Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di mana-mana
Di udara dingin yang menyusup di bawah pintu
Atau di baris-baris puisi lama yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa jauh
Di sepasang mata gelandangan yang menyerupai jendela rumah
Berbulan-bulan tidak dibersihkan
Atau di balon warna-warni yang melepaskan diri dari tangan seorang bocah
~Akhirnya Kau Hilang, Aan Mansur~
Aku menghabiskan waktu satu minggu lagi di Yogja kala itu. Berkeliling kesana-kemari untuk mencari sosok itu. Aku mencari sosok unik itu, yang akan menggembungkan pipinya saat ngambek, yang akan mogok bicara saat jengkel denganku, yang akan mengusirku menjauh beberapa meter darinya karena kejahilanku. Aku berkeliling masuk gang-gang sempit, masuk satu penginapan ke penginapan lainnya dan menjelajahi semua tempat wisata di kota itu berharap untuk menemukan sesosok tubuh mungil itu. Aku merindukannya, ya benar, aku akui aku merindunya. Bukan saja hari ini tapi setiap hari-hariku sejak tak kulihat lagi dia disampingku, aku hanya berteman dengan sepi-sepi itu.
Aku tak percaya jika orang bilang bahwa pertemuan kembali bisa menghapus rindu yang ada. Tidak, itu tidaklah benar. Pertemuanku kembali dengannya saat itu hanya menimbulkan kerinduan-kerinduan yang lainnya. Seperti saat ini, saat aku tengah makan nasi di pinggir jalan dan segelas es teh manis, aku masih memikirkannya. Aku melepas penatku setelah berkeliling selama seminggu mencari dia di kota ini tapi tak ku temukan. Dan aku pun memutuskan untuk kembali. Aku pergi ke stasiun kereta untuk kembali menuju Sragen karena orang tuaku dan adikku sudah pulang seminggu yang lalu dan membawa serta mobilnya.
“Harus kemana lagi aku mencarimu, Ara?” batinku.
*****
Rumah sakit masih sepi pengunjung ketika waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Ya, jam kunjung di rumah sakit ini sekarang memang di batasi yaitu pukul 08.00-12.00 dan pukul 16.00-18.00 sehingga tak banyak pengunjung yang diizinkan untuk berkunjung di luar hal itu, kecuali keluarga yang menjaga pasien dan tentunya itu juga harus di sertai id card penjaga pasien agar diizinkan masuk. Ara sudah lebih baik hari ini, dia diperbolehkan untuk pulang hari ini. Selepas kecelakaan yang terjadi padanya beberapa minggu yang lalu. Lukanya kini sudah sembuh cidera di kepalanya dan luka-luka di sekujur tubuhnya juga sudah sembuh. Hanya saja, dia masih kehilangan ingatannya.
Seorang lelaki dengan menenteng jas putih masuk ke ruangan rawat inap Ara setelah mengetuk pintu dan di izinkan masuk oleh penghuninya. Lelaki itu tinggi dan berkulit kuning langsat, memakai kacamata berbentuk kotak dan rambutnya hitam ikal. Dia terlihat tampak rapi dengan setelan celana formal flant front berwarna hitam dan kemeja berwarna abu-abu dan terdapat warna hitam berbentuk segita yang terdapat di bagian bahunya. Dia berjalan dan tersenyum kemudian duduk di samping ranjang Ara.
“Sudah lebih baik?” tanya lelaki itu.
“Iya, dokter..,” Mahdi memandangi gadis itu, tampak raut senang di wajah mungil itu. “Kamu keliatannya seneng banget?”
“Iya dong, kan bentar lagi udah boleh pulang...hehe...,” Ucap Ara yang kemudian wajahnya dari ceria berubah menjadi muram dalam hitungan detik.
“Kenapa, sekarang kok ekspresimu gitu?”
“Tapi mas kalau aku kembali...,” ucap Ara yang belum terselesaikan karena gadis itu kembali dalam renungannya. Mahdi yang mendengar gadis itu akhirnya memanggilnya dengan sebutan “Mas” daripada “dokter” tersenyum simpul. Pasalnya dia lebih senang di panggil seperti itu oleh Ara seolah mengingatkannya pada masa lalu meskipun dia tahu kini gadis itu tak mampu lagi mengingat beberapa kejadian di masa lalu. “Kalau aku kembali apa tidak apa-apa...,” ucap Ara dengan mata yang kemudian berkaca-kaca.
“Tidak apa-apa Ra, bukan inginmu jika kamu kehilangan beberapa ingatanmu. Kamu bisa menjelaskan semuanya pada teman-temanmu dan semuanya pasti bisa mengerti kalau kamu kehilangan beberapa ingatanmu akibat kecelakaan itu..,” ucap Mahdi.
“Tapi mas, Ara pasti akan merasa tidak enak seperti yang terjadi pada Bunda beberapa waktu lalu,”
“Bunda ngerti kok keadaan kamu Ra, hanya saja Bunda sedikit syok makanya jadi sedih melihat keadaanmu seperti ini. Kamu tahu kan butuh waktu lama untuk kami bisa menemukanmu,” jelas Mahdi.
“Iya mas, andai saja aku tidak mengalami kecelakaan itu. Aku pasti bisa mengingat kalian semua,” ucap Ara.
“Jangan pernah menyalahkannya Ara, semua yang terjadi adalah takdir. Dan karena takdir itulah kita bisa dipertemukan kembali. Kalau saja kamu tidak mengalami kecelakaan itu, bisa jadi kita juga tidak akan bisa bertemu bukan?” jelas Mahdi. Dan di sahuti oleh anggukan oleh Ara.
“Aku akan berusaha mengingatnya Mas, mengingat semuanya...,”
“Ya, tapi kamu harus janji satu hal..,”
“Apa itu mas?”
“Jangan terlalu memaksakan diri. Mas gak mau kamu jadi tiba-tiba pingsan seperti minggu lalu,” pinta Mahdi. Dan permintaan Mahdi pun di sahuti anggukan oleh Ara.
*****
Ara tengah naik kereta yang menuju ke Sragen. Dia akan di mutasikan sementara di sana untuk mengawasi kantor cabang perusahaannya yang baru di buka di sana. Mahdi tak dapat mengantarkannya kali ini karena ada beberapa urusan yang harus di urusnya di rumah sakit. Sehingga Ara pergi sendiri kali ini. Waktu menjelang senja hari ketika kereta sudah menepi di stasiun Sragen. Dia pun berjalan dan mencari kendaraan umum yang akan membawanya ke tempat penginapannya selama bekerja di sana nanti.
Butuh waktu beberapa jam hingga Ara bisa sampai di tempat yang di tujunya. Dan tentu saja itu karena hasil dari dia bertanya-tanya ke sana kemari pada orang-orang yang lewat tentang alamat rumah kontrakannya itu. Maklum dia belum pernah mengunjunginya, karena yang mencarikan rumah itu adalah Mahdi seminggu sebelumnya. Dan karena Mahdi tak dapat mengantarkannya itulah makanya dia kesulitan.
“Oh, iya ini sudah benar mbak. Mbak tinggal jalan lurus saja dan cari nomor rumah yang mbak tuju. Nomor ganjil sebelah kanan dan nomor genap sebelah kiri mbak,” jelas bapak tukang soto yang di tanyai oleh Ara. Dan Ara pun menganggukkan kepalanya tanda mengerti dengan penjelasan bapak itu dan ucapan terima kasih dikatakannya setelah penjelasan bapak itu selesai.
Beberapa menit kemudian Ara sampai di sebuah rumah yang berwarna biru muda. Rumah itu tak begitu besar jika di bandingkan dengan rumah-rumah yang berada di sebelah kanan kirinya. Namun, itu sudah cukup besar bagi Ara yang hanya menempatinya seorang diri untuk beberapa bulan ke depan. Ada halaman kecil di depannya yang tidak begitu terawat hingga Ara memutuskan untuk membersihkannya setelah rehat sejenak guna melepas lelahnya.
*****
Ara tengah berjalan kaki sepulang dari bekerja, namun ia singgah sebentar di sebuah toko kelontong di pinggir jalan untuk membeli beberapa kebutuhan dapurnya yang sudah habis. Jalanan sore ini ramai, banyak sekali kendaraan yang lalu lalang di jalan raya yang tidak cukup besar itu. Dia berdiri di samping lampu merah bersama dengan penyeberang jalan lainnya untuk menunggu lampu hijau berubah menjadi merah. Sesekali di tengoknya ke kanan dan ke kiri jalanan itu hingga akhirnya dia pun melangkahkan kakinya melewati zebra cross bersama dengan para penyeberang lainnya.
Ara merasa ada seseorang yang memperhatikannya saat dia berjalan melewati zebra cross itu. Sepasang mata yang bersembunyi di balik kacamata itu memperhatikannya sedari tadi. Tak ingin menaruh curiga atau terkesan takut dengan orang tersebut akhirnya Ara pun memberikan senyum simpul kepada orang tersebut yang nyatanya memang memberi sedikit senyum terlebih dahulu untuknya beberapa detik lalu. Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik saja karena zebra cross penuh dengan orang yang hendak menyeberang dan dia pun berada di arah yang berlawanan dengan orang yang tengah memperhatikannya tadi. Hingga setelah kejadian yang berlangsung beberapa detik itu dia pun kehilangan sosok yang memeperhatikannya dengan tatapan tajam itu.
“Kenapa orang tadi memperhatikanku hingga sebegitunya ya…,” gumam Ara dalam hati.
Tak mau menghabiskan waktu hanya untuk memikirkan apa yang terjadi beberapa detik lalu akhirnya Ara pun melanjutkan perjalanannya dan menuju ke rumah kontrakannya.
*****
Erlangga masih duduk termenung sementara teman-temannya tengah asyik bermain PS. Pikirannya melayang pada kejadian sore tadi dimana dia melihat seseorang yang seharusnya tak dilihatnya. Pasalnya mana mungkin orang itu tiba-tiba berada di sekitarnya. Beberapa menit berikutnya akhirnya dia pun membuyarkan lamunan karena tepukan tangan temannya di pundaknya.
“Loh ngapain bro, ngelamun aja...,” ucap Vino.
“Pasti si doi lagi mikirin Brina bro, dia gengsi mau nemuin Brina ato nggak,” sahut Ferdhy.
“Sok tahu loe....,” ucap Erlangga.
“Kalau kangen temuin aja deh bro, gak usah gengsi gitu...,” cerca Andi.
“Gue gak kangen, gimana bisa kangen kalau dia bisa nyamperin gue tiap bulan ke Singapura,” jelas Erlangga.
“Hahaha...iya juga sih... tapi kan kalau disini kamu bisa sepuasnya kencan sama dia,” jelas Ferdhy.
“Loe lagi mikirin hal lain ya Gha?” tanya Vino yang cukup tahu tabiat temannya itu. Erlangga hanya menyahutnya dengan anggukan.
“Siapa Gha? Cewek di Singapura? Cantik gak? Kenalin dong. Kamu kan udah ada Brina?” cerocos Andi yang langsung dapat timpukan bantal dari dua teman lainnya.
“Jangan hiraukan Andi, dia emang gitu,” ucap Vino.
“Iya, apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu Gha?” tanya Ferdhy.
“Gadis itu bro....,” ucap Erlangga.
“Gadis yang mana?” tanya teman-temannya serempak.
“Gadis yang biasa gue panggil bocah dulu. Teman kuliahku tiga tahun yang lalu itu...,” jelas Erlangga.
“Gadis itu.....gadis itu..... si gadis cengeng...,” ucap Andi dan di jawab dengan anggukan oleh Erlangga.
“Si gadis pencetak skripsi...si perpustakaan berjalan....?” tambah Ferdhy yang dijawab pula dengan anggukan oleh Erlangga.
“Ada apa dengan gadis itu? Loe masih mikirin dia tiga tahun belakangan ini?” tanya Vino.
“Ya, gue masih memikirkannya Vin, semenjak perpisahan dengannya kala itu hingga kini tak pernah sedikitpun gue gak memikirkannya. Dan karena itu gue tadi sempat menghayal bahwa gue ngeliat dia berdiri di penyeberangan tepat di bawah lampu lalu lintas,” jelas Erlangga.
“Benarkah....?” seru Andi.
“Ya, gue gak tahu bahwa itu benar dia atau bukan,” ucap Erlangga.
“Kenapa gitu?” tanya Ferdhy.
“Karena dia sama sekali gak ngenali gue Fer. Dia hanya berjalan berpapasan dengan gue tanpa menyapa gue di jalan itu. Hal itulah yang ngebuat gue ragu apa benar itu dia atau bukan. Tatapannya dingin seperti bukan dia. Karena yang gue tahu dia memiliki tatapan yang hangat dan karena itulah gue selalu ngerasa seolah pulang ke rumah tiap kali bersama dengannya,” jelas Erlangga.
“Karena itu loe yakin bahwa itu bukan dia?” tanya Vino.
“Ya, lagipula dia gak mungkin berada di sini....,” tegas Erlangga.
“Gha, gue ada saran buat loe agar loe gak selalu seperti ini...,”ucap Vino.
“Apa....?”tanya Erlangga.
“Temui dia, dan selesaikan masalah loe dengannya...,” jelas Vino.
“Gue dan dia gak ada masalah Vin. Kita baik-baik saja,” ucap Erlangga.
“Ya, loe dan dia emang gak da masalah. Tapi apa yang tersimpan di hati loe yang masih belum loe ketahui apa itu, itulah masalahnya Gha,” jelas Vino.
“Iya Gha, loe selalu bilang kalau loe gak da apa-apa sama dia, gak ada hati sama dia dan loe bahkan bilang bahwa loe gak menyukai dia lebih dari sekedar teman. Loe bahkan bilang bahwa loe gak akan mungkin jatuh cinta pada teman loe sendiri. Tapi, apa loe tahu bahwa setiap rasa cinta itu berawal mula dari hubungan pertemanan. Lihat saja sendiri pada masa lalu loe sama Brina bukankah awalnya loe sama Brina hanya teman, tapi pada akhirnya loe jadian juga sama dia,” jelas Vino.
Erlangga mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Vino. Semua yang dikatakan Vino adalah benar adanya. Prinsipnya untuk tidak mungkin jatuh cinta pada teman sendiri terpatahkan oleh perkataan Vino bahwa memang benar adanya bahwa dulu hubungannya dengan Brina juga berawal dari pertemanan. Jika tidak mana mungkin dia yang dulu sama sekali tidak pernah kenal dengan Brina bisa langsung jatuh cinta, terlebih langsung menyatakan cinta pada orang yang tidak dikenalnya.
“Loe benar Vin, gue harus mencari tahu apa sebenarnya yang gue rasain ke dia...,” ucap Erlangga.
*****
Ceritanya bagus, menginspirasi.
Comment on chapter Di Batas Rindubaca ceritaku juga ya,