Sampai nanti aku berharap bisa melindungimu—tapi mungkin tidak sekarang.
Bukan Tiara namanya kalau Ia belum mengerjakan PR-PR-nya, apalagi kalau itu menyangkut Baskara. Maksudnya adalah PR mencari tahu segala hal tentang Baskara sebelum Ia masuk SMA itu. Apa gunanya Facebook, Twitter, Instagram, dan kawan-kawannya kalau nggak untuk kepo-in kehidupan orang lain, kan?
Sayangnya, dari sekian banyak sosial media yang ada, Baskara memilih untuk setia hanya pada satu: Facebook. Parahnya lagi, cowok itu sepertinya paling males meng-update akun sosial satu-satunya itu. Akunnya itu udah berdebu dan lumutan. Bikin cewek-cewek kepo kayak Tiara jadi kesulitan mencari info yang mereka inginkan.
Tapi ini bukanlah tantangan sulit untuk Tiara. Walaupun cowok itu jarang meng-update informasinya, teman-teman Baskara masih suka meng-tag Baskara dalam status atau foto-foto mereka. Dari sanalah Tiara mendapatkan informasi-informasi berharganya. Mulai dari jadwal ekstrakurikulernya, macam-macam kegiatan OSIS sampai jadwal ulangan harian pun Tiara tahu.
Sebenernya kadang-kadang Tiara merasa bersalah juga. Ngintipin akun orang dan mencari tahu tentang orang itu kan agak-agak melanggar privasi. Tapi Tiara harus bagaimana lagi? Dirinya nggak bisa menahan rasa penasarannya.
Sebelum masuk ke SMA itu, Tiara sudah bertekad untuk mencoba keberuntungannya dengan ikut seleksi pengurus OSIS. Kemudian Ia akan bergabung dengan Klub Jurnalistik, ekskul yang sudah melekat di hatinya sejak SMP. Kebetulan sekali, ya, hanya kebetulan, kedua ekskul itu adalah ekskul yang diikuti oleh Baskara.
Tiara termenung memikirkan apa yang akan terjadi kalau mereka berdua berada di ekskul yang sama. Apa Baskara bakal tetap cuek? Atau apa cowok itu akhirnya sembuh dari amnesianya dan mengenali Tiara lagi?
Tiara nggak sabar untuk mengetahui jawabannya.
* * *
“Pagi Tiara..” Ayu yang sedang menyapu lantai ruang kelas menyapa Tiara yang baru masuk ke kelas dengan langkah gontai.
Tiara cuma tersenyum kecil pada Ayu dan segera menuju bangkunya tanpa basa-basi lagi pada Tim Piket yang lain yang selalu datang lebih awal untuk membersihkan kelas.
“Kenapa nih kupu-kupu kok pagi-pagi udah manyun? Bertengkar sama Aldo ya? Udaahhh putusin aja tuh cowok!” Rangga menyapa Tiara dengan pertanyaan sekaligus nasehat yang bikin hati Tiara yang memang udah dongkol jadi dongkol akut. Hhhh! Kenapa sih Rangga harus selalu duduk di belakang Tiara? Padahal yang ngatur tempat duduk itu selalu Wali Kelas mereka? Rangga kan berisik!
“Enggak, kok! Yee! Sok tau!” Tiara mengelak sambil duduk di bangkunya, memunggungi Rangga. Sumpah dia nggak mood ngomong sama siapa-siapa hari itu, apalagi ngebales perkataan Rangga si Tuan Sok Tau. Hatinya masih nyut-nyutan gara-gara pertengkarannya semalam dengan pacarnya, Aldo. Kepalanya masih terasa panas karena emosi yang dipendamnya semalaman. Kalau aja hari itu bukan hari keduanya sebagai murid SMA, pasti Tiara bakal bolos dengan alasan sakit. Nggak bohong-bohong banget sih, emang sakit hati plus sakit kepala!
“Kupu-kupu! Temenin aku ke kantin yuk! Belum sarapan nih..” Tiba-tiba Rangga udah berdiri di samping meja Tiara.
“Pergi sendiri aja lah, Ngga!” Tiara menjawab malas sambil menaruh dagunya di atas meja. Nggak pengen ngomong, nggak pengen jalan, nggak pengen makan. Komplit dah penderitaan Tiara pagi itu.
“Pasti gara-gara kelasnya Aldo deketan sama kantin ya? Kamu masih takut ketemu Aldo kan?” Rangga duduk di meja Tiara sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sok tau.
“Enggak kok! Enggak gituuu...”
“Ya udah kalo nggak gitu, ayok ke kantin!”
“Maleeeesss Nggaaa...” Tiara berusaha merengek.
“Ayoooookk..” Rangga menarik siku Tiara dan memaksa cewek itu untuk berjalan ke luar kelas. “Kamu bisa cerita ke aku tentang masalah kalian waktu kita di kantin nanti!” bisik Rangga.
Tiara yang memang belum menceritakan cikal-bakal pertengakaran terkininya dengan Aldo ke siapapun akhirnya tergoda oleh tawaran Rangga. Biasanya setelah Tiara cerita ke Rangga, Tiara selalu ngerasa lebih tenang. Yahh, walaupun komentar Rangga bakal selalu berujung pada nasehat yang sama, “Udaahhh putusin aja tuh cowok!”
Awalnya Tiara ngerasa jengkel denger nasehat Rangga yang selalu keluar spontan dari mulutnya, seolah-olah Rangga nggak pernah mencoba menelaah masalah yang melanda hubungan Tiara dan Aldo. Kadang-kadang Tiara marahan sama Aldo cuma karena SMS yang kelamaan di balesnya, pulsa yang abis, cewek atau cowok ganjen yang deketin mereka berdua – masalah-masalah sepele yang memang lumrah dialami oleh pasangan-pasangan remaja.
Tapi setelah satu tahun pacaran sama Aldo dan mendengar nasehat yang itu-itu mulu dari Rangga dalam jangka waktu yang sama pula, Tiara jadi kebal. After all, Tiara udah tau dari jaman dodol kalau Rangga emang suka ngawur kalau ngomong. Tiara memang pernah baca di suatu artikel, katanya orang jenius cenderung banyak omong. Katanya, sih. Tiara nggak yakin Albert Einstein juga dulunya banyak omong kayak Rangga.
* * *
Sampai di kantin, Rangga memesan semangkuk bubur ayam dan dua cangkir milo panas.
“Nih... “ Rangga menyodorkan milo panas itu ke arah Tiara yang duduk dengan wajah ditekuk dan kedua tangannya menyangga dagu.
“Kan aku nggak pesen, Ngga..” Tiara berkata lemah. Moodnya hari ini bener-bener kebalikannya hari kemarin.
“Gratis kok. Aku traktir.” Rangga menyahut santai sambil meniup-niup bubur ayamnya yang masih panas.
“Thanks..” kata Tiara singkat sambil meniup-niup milonya juga. Rangga emang the best companion kalo lagi hari-hari kelam begini.
Beberapa menit mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Beda sama Shasa, Rangga nggak suka maksa Tiara untuk cerita. Rangga bakal nunggu sampai Tiara bener-bener siap.
“Tadi malem Kak Aldo dateng ke rumah.” Akhirnya setelah lima menit yang sunyi, Tiara membuka mulutnya.
Rangga nggak menanggapi. Ia tau Tiara cuma perlu pendengar yang baik.
“Dia marah. Ya salahku juga sih, Ngga. Udah berhari-hari aku cuekin dia. Nggak bales SMS dia, nggak angkat telponnya. Makanya dia kesel. Kemarin dia dateng ke rumah buat ngomel. Hhhh... Bikin bete, sekaligus sedih juga sih.”
“Mungkin dia khawatir, Ti.” Rangga berkata pelan. Ngerasa nggak enak karena kali ini dirinya merasa Aldo benar. Nggak biasanya dia belain si Aldo tapi kali ini Ia ingin bersikap objektif. Kalau dirinya yang mendapat perlakuan cuek begitu, mungkin Ia juga akan meradang.
“Yaaa.. Khawatir sih khawatir, Ngga. Tapi kata-katanya itu loh, nusuk banget. Dia bilang aku egois lah, nggak nganggep dia ada lah, nggak pernah bersyukur karna ada yang perhatian lah, nggak tau cara menghargai orang lah, bla bla bla.. Semua deh yang jelek-jelek keluar dari mulutnya.” Tiara bercerita dengan nada getir bercampur emosi sambil menggoyang-goyangkan cangkirnya yang setengah kosong.
“Emangnya aku beneran gitu ya, Ngga?” Tiara menatap Rangga dengan mata berkaca-kaca. “Emangnya sifatku jelek banget ya? Nggak mungkin kan Cuma gara-gara aku cuekin dia bisa bilang aku gitu. Pasti ini udah dia pendem lama-lama.”
Rangga yang ditatap dengan pandangan begitu jadi salah tingkah, nggak tau harus bilang apa. Ia paling nggak bisa liat cewek nangis, apalagi kalau itu Tiara.
“Ya nggaklah, Ti. Kamu orangnya nggak gitu, kok. Sumpah! Dia Cuma lagi kebawa emosi aja, Ti.. Nggak usah kamu masukin ke hati.” Rangga berusaha mengerahkan segala ketulusan dan kejujuran ke dalam sorot mata dan nada bicaranya. Tentu aja Tiara punya banyak kekurangan, tapi apa yang disebutin Aldo itu... Bukan kekurangan Tiara. Malah sebaliknya. Dasar, sebenernya Aldo itu cowoknya Tiara bukan sih?!
“Gitu ya?” Tiara mengangguk kecil, tapi wajahnya tetap murung.
“Iya!” Rangga menangguk dengan semangat. “By the way, Ti.. Ngg... Dia nggak minta putus?” Rangga bertanya dengan hati-hati.
Tiara menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, tau betul jalan pikiran Rangga kali ini.
“Yahh..” Rangga menghela nafas kecewa sambil menyenderkan punggungnya ke tembok. Kecewa lagi saya saudara-saudara!
“Dasar! Simpati dikit kek, temen lagi susah kok malah berharap putus!” Tiara tertawa kecil sambil melempar tisue yang sudah diremasnya hingga berbentuk bola kecil ke arah Rangga.
Rangga ikut tertawa sambil menghalangi wajahnya dengan tangannya untuk menghindari serangan Tiara. Senang akhirnya ada sedikit senyuman di wajah sahabatnya itu.
* * *
Hari ini Shasa nggak masuk, jadi terpaksa Tiara berdua-duaan terus sama Rangga kemana-mana. Makan di kantin berdua. Bayar SPP berdua. Daftar jadi calon pengurus OSIS berdua. Ngobrol di kelas berdua. Untung aja ke toilet nggak berdua. Eh, itu sih nggak boleh ya!
“Payah ah Shasa, masak hari ketiga sekolah aja udah sakit.” Tiara menendang-nendang batu kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Dirinya dan Rangga sedang berjalan menuju kantin sekolah untuk membeli beberapa bungkus camilan.
“Aldo! Itu ya yang namanya Tiara?” Tiba-tiba Tiara mendengar namanya disebutkan. Tiara menoleh ke kiri, ke sebuah meja bundar di bawah pohon yang entah apa namanya. Denger-denger itu tempat nongkrongnya preman-preman sekolah.
Tiara mendapati sekitar enam sampai delapan cowok-cowok senior yang tampangnya sangar-sangar sedang duduk di sana. Ada yang jenggotan, kumisan, bajunya keluar atau celananya udah nggak abu-abu lagi tapi mendekati putih. Dan ternyata Tiara memang nggak salah dengar. Di antara kerumunan cowok-cowok sangar yang nggak keliatan kayak anak SMA itu, duduk Aldo, pacarnya yang sedang marah padanya.
Cowok yang bertanya dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan tadi rupanya si Brewok. Heran juga Tiara kenapa dia nggak ketangkep guru BP! Harusnya tuh jenggot dicukur setaun yang lalu! Cowok itu tersenyum ke arah Tiara dan Rangga. Senyuman yang nggak tulus sama sekali. Senyuman yang mengejek dan meremehkan.
Kok bisa sih Aldo temenan sama orang-orang aneh bin ajaib kayak gini?! Tiara nggak habis pikir. Tiara cuma berdiri mematung di hadapan cowok-cowok itu, masih heran akan pemandangan di hadapannya.
“Iya.” Aldo menjawab singkat. Matanya menatap Tiara dengan tajam. Masih ada kemarahan di sana. Bahkan tanpa melihat kedua mata itu Tiara bisa merasakannya. Kenapa sih Aldo marah sampai sebegitunya? Tiara kan nggak minta putus atau sedang selingkuh! Dia Cuma lagi nggak pengen ngomong sama Aldo. Dia hanya sedang ingin sendiri. Itu aja.
“Wah.. Ckckck.. Cantik juga ya..” Si Brewok menyeringai memperlihatkan gigi bawahnya yang maju mundur cantik kayak lagunya Syahrini, bedanya muka si Brewok bukannya kelihatan cantik, tapi sebaliknya. Cowok-cowok lainnya kontan bersiul-siul genit sambil mengedipkan mata padanya atau menaikkan alis mereka. Bahkan ada dua orang yang mulai berjalan menghampirinya, menatap Tiara dari atas ke bawah dengan pandangan menilai, dan berusaha menyentuh pipinya. Tiara mundur perlahan. Ia merasa jijik. Rasanya Ia ingin menampar satu-satu cowok-cowok yang sedang memandangnya dengan tatapan menghina itu. Ini pasti gara-gara Aldo telah menghasut mereka! Apa sih yang cowok itu katakan pada orang-orang mengerikan ini? Rangga yang semula berdiri di sampingnya kini berusaha melindungi Tiara dengan punggungnya.
Melihat Aldo yang masih diam sambil terus menatapnya tajam, Tiara makin nggak habis pikir. Bisa-bisanya Aldo duduk mematung di tempatnya melihat pacarnya digoda cowok-cowok sarap! Apa ini caranya balas dendam terhadap sikap cuek Tiara selama tiga hari? Tiara menatap Aldo balik, berusaha mengerahkan segala rasa kesal dan kecewa yang dia rasakan ke sorot matanya itu. Tapi ekspresi Aldo nggak berubah sama sekali, seolah-olah dia nggak peduli lagi Tiara merasakan apa. Tiara merasakan darahnya mulai mendidih. Kedua tangannya terkepal. Kakinya terasa lemas.
“Kita pergi aja dari sini, Ti.” Rangga berbisik di telinga Tiara dan menarik siku gadis itu pelan. Saking speechlessnya, Tiara nggak melawan sama sekali. Ia nggak peduli kemana Rangga membawanya, asalkan Ia bisa pergi dari tempat mengerikan itu sebelum Ia melayangkan bogem mentah ke cowok berambut jabrik yang berusaha menyentuhnya tadi.
“OH! JADI ITU YA SELINGKUHANNYA? MAU KITA KASI PELAJARAN NGGAK, DO?” Si Brewok berkicau lagi, kali ini sambil berteriak karena Tiara dan Rangga sudah berjalan menjauh.
Mendengar itu tubuh Tiara menegang. Rasanya dadanya akan meledak dan kepalanya hampir pecah karena amarah yang ditahannya. Bisa-bisanya mereka menuduh dirinya yang nggak-nggak dan menyeret Rangga ke dalam ini semua. Lagipula, sejak kapan Aldo berpikiran bahwa Tiara selingkuh?!
Rangga yang takut Tiara akan bertindak nekat cepat-cepat mempererat cengkramannya pada siku cewek itu dan menyeretnya pergi menuju keramaian kantin, “Nggak usah dipeduliin, Ti. Cuma anceman kosong!” Rangga berbisik lagi di telinga Tiara, kali ini dengan gigi terkatup rapat. Berusaha ditahannya emosi yang dirasakannya. Kurang ajar si Aldo! Cowok macam apa yang rela ceweknya dihina seperti itu?! Kalo aja dia nggak berlindung di balik tameng-tameng preman sekolahnya itu, udah Rangga bikin perhitungan dengannya! Begini-begini dia pernah belajar karate!
Yah, cuma sampai sabuk kuning, sih.
But, still… Karate.
* * *
Baskara meremas gelas plastik kosong di tangannya tanpa sadar. Kejadian yang sedang berlangsung di bawah membuatnya geram. Cowok-cowok brengsek itu sudah keterlaluan!
Dengan susah payah Baskara menahan dirinya untuk tidak turun berlari dari kelasnya di lantai tiga dan memberikan pelajaran pada anak-anak kelas XI yang sok berani itu. Baru kelas XI aja udah belagu!
Mungkin akan lebih mudah bagi Baskara untuk menutup sebelah mata jika orang yang mereka bully itu bukan Tiara. Dan apa yang cowok munafik itu lakukan di sana? Aldo yang katanya pacar Tiara, apa yang dia lakukan di tengah kerumunan cowok-cowok tengil itu?! Diam mematung membiarkan Tiara dihina? Sungguh keterlaluan! Dia bener-bener nggak pantes jadi pacar Tiara! Baskara meremas gelas plastik di tangannya lagi sampai gelas itu benar-benar kempes.
Dan ketika dua orang dari mereka mulai berjalan menghampiri Tiara, Baskara nggak bisa menahan dirinya lagi. Segera Ia menuruni anak tangga, melangkahi dua-dua, bahkan tiga sekaligus hingga nyaris membuat dirinya jatuh tergelinding. Apapun asalkan Ia bisa sampai di lantai satu dengan cepat! Kalau pacar Tiara berniat membiarkan Tiara dimangsa macan-macan kampungan di depan matanya sendiri, Baskara akan menyelamatkannya. Kalau sampai salah satu dari mereka menyentuh Tiara, Baskara akan menghajar mereka habis-habisan. Ia nggak peduli kalau dirinya adalah seorang Wakil Ketua OSIS. Ia nggak peduli kalau dirinya adalah panutan setiap siswa dan murid kesayangan setiap guru, bahkan Pak Kepala Sekolah. Ia nggak peduli apapun asalkan Tiara selamat.
Dengan terang-terangan melindungi Tiara, Baskara sedang dalam proses untuk membiarkan luka hatinya terbuka lagi. Basah lagi. Sakit lagi. Karena Ia yakin apapun yang Ia lakukan, Tiara bukanlah miliknya. Hati Tiara bukanlah untuknya. Tapi Baskara nggak peduli. Kalau Ia harus sakit lagi, maka sakitlah. Lagipula Ia akan merasa lebih sakit jika dirinya hanya diam dan melihat Tiara tersakiti.
Tapi rupanya takdir terlalu menyayangi hatinya, karena begitu Baskara tiba di bawah, Tiara telah berlindung di balik pungguh Rangga. Segera setelah itu, kedua anak baru itu berjalan menjauh dari TKP.
Baskara berhenti di ujung tangga. Tangannya masih terkepal. Disandarkannya punggungnya ke tembok di sampingnya sambil memejamkan mata, berusaha mengatur nafasnya kembali setelah berlari kencang menuruni anak-anak tangga dari lantai tiga, hampir terpeleset dan nyaris guling-guling belasan kali.
Sesaat kemudian Baskara mendengar Ari, cowok brewokan itu, berteriak dengan suara nge-bassnya, “OH! JADI ITU YA SELINGKUHANNYA? MAU KITA KASI PELAJARAN NGGAK, DO?”
Baskara nggak bisa menahan rasa gelinya dan tertawa kecil. Dasar goblok! Bahkan dirinya yang bukan orang dekat Tiara aja tahu kalau hubungan antara Tiara dan Rangga itu murni cuma sahabatan. Baskara bisa melihat dengan jelas kalau Rangga dan Tiara saling menyayangi seperti sepasang saudara. Dan menuduh Rangga sebagai selingkuhan Tiara is just plainly stupid!
Dari semua cowok yang Baskara lihat pernah berada di kehidupan Tiara, hanya Rangga yang tampaknya bisa dipercaya. Dan Baskara bersyukur cowok itu nggak pernah meninggalkan sisi Tiara, bahkan sejak sebelum Baskara mengenal Tiara. Walaupun dalam hati yang terdalam, Baskara merasa iri pada Rangga. Dirinya tidak memiliki hak istimewa yang Rangga miliki. Hak untuk selalu berada di samping Tiara, menjaga, melindunginya, dan berbagi segala suka dan duka.
* * *
“Sori ya, Ngga, kamu jadi harus pulang telat,” Tiara memandang Rangga dengan wajah penuh penyesalan. Hari ini kayaknya Ia sudah merepotkan Rangga ratusan kali. Seharusnya Rangga udah bisa pulang sejak tadi karena rumah Rangga tepat di belakang sekolah. Tapi karena Papa sepertinya lupa jam pulang Tiara, Rangga harus ikut menunggu bersama Tiara di depan sekolah.
“Nggak pa-pa kok, Ti. Aku nggak mungkin ninggalin kamu sendiri nunggu jemputan,” Rangga tersenyum kecil. Dari tadi matanya mengawasi gerbang sekolah dengan was-was, tapi preman-preman yang mereka temui tadi siang ataupun Aldo belum juga muncul. Itu berarti mereka semua masih berada di dalam gedung sekolah. Dan meninggalkan Tiara sendirian menunggu di sini jelas-jelas seperti meninggalkan seekor anak ayam di kandang harimau.
Tiara balik menatap kosong ke arah kendaraan yang berlalu-lalang di hadapan mereka. Cewek itu bersikap begitu tegar hari ini, nggak seperti Tiara yang biasa Rangga hadapi selama ini. Tiara yang gampang nangis. Tiara yang menangisi kemalangan orang asing. Tiara yang bisa nangis dari awal film sampai akhir non-stop. Tiara yang manja.
Sepertinya kejadian tadi benar-benar mengguncang dirinya. Betapa tidak, Tiara nggak pernah tahu kalau Aldo berteman dekat dengan preman-preman sekolah mereka, kalau tidak bisa dibilang menjadi salah satu bagian dari mereka.
Rangga nggak bisa menebak apa yang akan terjadi pada hubungan Tiara dan Aldo selanjutnya. Lebih daripada hari-hari lainnya, dengan segenap hatinya Rangga berharap sahabatnya itu putus dari Aldo.
* * *
niceeee :)
Comment on chapter Prolog