"Maaf," ucap Riu dengan nada menyesal.
"Untuk apa?"
"Aku membuat repot."
Memang.
"Tidak apa-apa," sahut Leo. Dia melepaskan topinya lalu memasangkannya di kepala Riu.
Gadis itu menatap Leo bingung.
"Panas. Nanti rambut kamu keriting," kata Leo menyahuti tatapan Riu.
"Rambut aku tidak keriting. Ikal," sanggah Riu.
Leo menghela napas. "Katanya sih begitu. Perempuan takut rambutnya berwarna jagung terkena matahari," ungkap Leo. Memberitahu sedikit hal yang dia tahu tentang wanita lewat pengamatannya selama ini.
Riu tersenyum malu-malu kepada Leo. "Kak Leo baik," katanya gembira.
Lagi, Leo menghela napas melihat sikap kekanak-kanakan gadis di depannya. Lagian Riu juga masih anak-anak, Leo membatin.
Mereka berjalan ke parkiran di depan klinik. Leo membawanya ke sana agar segera mendapatkan perawatan supaya tidak ada pembengkakan atau masalah lainnya pada pergelangan kaki Riu. Jadi gadis itu kini berjalan hati-hati dengan kaki yang diperban. Di sisinya, Leo dengan sabar mengiringi Riu langkah demi langkah.
Jam menunjukkan pukul 17.07 p.m. Leo ingat sesuatu, mereka belum makan sama sekali sejak sampai di studio. Hanya segelas susu dan sepotong roti yang mengisi perut keduanya. Tetapi Leo tidak mendengar Riu mengeluhkan lapar atau ingin memakan sesuatu.
"Kamu lapar?" tanya Leo pada Riu yang sedang melihat keluar jendela.
Riu menoleh pada Leo. Tangannya dia lipat di atas paha dengan rapi, duduk seperti seorang putri kerajaan. Dia nampak berpikir-pikir sebentar, lalu menjawab, "Iya," lengkap dengan satu anggukkan kecil.
"Mau makan apa?"
"Apa saja."
"Apa saja?" ulang Leo menatap gadis itu heran.
Riu mengangguk lagi. "Aku tidak pilih-pilih makanan," tuturnya jujur.
Anak baik, Leo bergumam dalam hati.
"Oke."
Leo membelokkan mobilnya masuk ke dalam salah satu kafé terdekat. "Tunggu sebentar," kata Leo bersamaan dengan matinya mesin mobil.
Riu yang ingin membuka pintu mobil menarik tangannya kembali mendengar perintah Leo. Lalu dia lihat lelaki itu berjalan memutari mobil dan sampai di samping pintu tempat Riu duduk. Dia membukakan pintu dan mengulurkan tangan.
Sejenak Riu terdiam menatap tangan tersebut. Entahlah, Riu tidak ingin mengharapkan apa-apa dari perlakuan itu. Lagi pula, Gilang juga begitu padanya.
"Ayo," kata Leo membuat Riu tersadar. Lantas gadis itu menyambut tangan Leo dan berdiri dengan baik. Leo menutup pintu mobil, lalu mereka masuk ke dalam kafé.
Akhirnya Riu memilih makan mie goreng dengan telur mata sapi di atasanya-kesukaannya.
Leo menatap heran pada Riu. "Itu tidak cukup," katanya.
"Cukup. Ini kan karbohidrat juga. Hm.. sama atau lebih ya dari nasi.." sahutnya tidak yakin. "Ya begitulah," lanjutnya tidak mau tahu.
Leo mendesah. Terserah lah.
Mereka makan dengan khidmat. Tidak saling bicara. Riu menikmati mie gorengnya dengan perasaan tenang, senang, damai-seperti biasanya. Namun Leo makan dengan hati penasaran. Di saat-saat sadar seperti ini Leo terus mempertanyakan "apa yang terjadi padaku?" dan "kenapa aku membawa anak kecil ini ke mana-mana?". Dan Leo terus-terusan melirik ke arah Riu. Apakah gadis itu menyadari keanehan yang terjadi di antara mereka. Tapi dilihat dari caranya makan dan wajah polos nan imut itu tampak dia tidak memikirkan seperti yang Leo pikirkan-tidak merasakan apa yang Leo rasakan.
"Hm.. Riu.." panggil Leo.
Seperti perkiraan Leo, gadis itu mengangkat kepala, menatap Leo penasaran dengan senyum khasnya dan wajah anak-anak itu.
"Ya?"
"Kalau lahir di tanggal 12 oktober zodiaknya apa?" Leo bertanya, entah karena penasaran, entah hanya ingin memecah kebisuan di antara mereka.
Tanpa berpikir panjang Riu langsung menjawab, "Libra."
"Bagaimana dengan Libra?" tanya Leo.
"Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan."
"Libra selalu melibatkan perasaannya terhadap sesuatu. Biasanya bila dia ingin marah dia akan marah. Ya, tentunya dengan alasan yang jelas. Kalau wanita Libra suka dia katakan suka, kalau dia katakan tidak biasanya dalam hati dia mengatakan iya. Seperti hukum alam seorang wanita," lalu Riu tertawa setelah kalimat terakhirnya.
"Dan dia akan terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka pada seseorang. Misal dengan menatapnya sinis, menghindar, atau langsung mengatakannya," tambah Riu.
Leo mengangguk-angguk mendengarnya. Kemudian dia meraup nasi gorengnya dan mengunyahnya dengan sangat pelan, seperti sedang berpikir-pikir-atau membenarkan ucapan Riu.
"Memangnya siapa Libra?" tanya Riu membuat Leo tersentak kaget.
Pria itu menggelengkan kepala. "Temanku," sahutnya ringkas.
***
Tumben.
Kata itu mewakilkan kondisi jalan raya kali ini. Tidak ada macet yang melelahkan, tidak ada bunyi klakson dari motor atau mobil yang berburu pulang ke rumah. Jalan yang dilewati Leo dan Riu berjalan mulus-mulus saja. Tidak seperti kemarin, padahal hari ini hari libur.
Leo menatap Riu di sampingnya. Alisnya bertaut samar melihat gadis itu tertidur. Dia menghela napas, mungkin anak kecil itu kelelahan menunggui Leo sampai berjam-jam. Tapi Riu adalah gadis aktif yang selalu berjalan ke sana dan ke mari seperti anak usia 5 tahun. Selalu ingin tahu banyak hal. Mungkin karena itu juga dia kelelahan karena energinya terkuras. Di tambah lagi gadis itu tidak makan makanan yang cukup untuk mengimbangi gerakan-gerakan tubuh kecilnya yang lincah
Bibir Leo tersenyum kecil. Saat berhenti di lampu merah, Leo mendekat. Dia menggeser kepala Riu yang tersandar ke jendela pintu mobil menghadap ke arahnya. Membuat gadis itu tidur senyaman mungkin dari posisinya duduk. Lalu dia kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Riu.
Beberapa menit berlalu, mobil Leo berhenti di depan rumah yang sama. Dia keluar lebih dulu, membukakan pagar lalu masuk kembali ke dalam mobil dan memarkirkannya di halaman rumah kontrakan Riu yang kecil-setidaknya cukup untuk mobilnya mendekam dengan tenang di sana.
Dia membuka pintu mobil sebelah kiri. Melihat Riu yang masih menikmati mimpi dengan tenang. Mata gadis itu tertutup rapat, seperti tidak ingin membukanya sama sekali meski sudah sampai di rumahnya. Itu membuat Leo tidak punya pilihan selain menggedong gadis itu ke dalam rumah dengan sisa tenaga yang ada.
Sebelum itu dia mengambil kunci pintu rumah terlebih dahulu di dalam tas Riu. Barulah dia melepaskan sabuk pengaman dan membawa gadis itu ke dalam dekapannya.
Ringan. Batin Leo. Meski gadis itu sudah makan.
Dia menutup pintu mobil dengan mendorongnya dengan kakinya.
Leo sukses masuk ke dalam rumah meski dia sedikit kesusahan saat memutar kunci pada lubang kunci di pintu. Dia rebahkan tubuh gadis itu di sofa. Lalu dia taruh tas Riu di atas meja. Leo diam sejenak untuk mengambil napas.
"Riu," panggil Leo sambil menyentuh bahu Riu dengan hati-hati.
"Riu," panggilnya lagi. Kali ini menggoyang-goyangkan pundak Riu yang lain.
Sejenak kemudian Riu menggaduh. Dia bergumam dengan nada kesal. "Aaah!." sambil tangan mungilnya meninju apa saja yang sudah menganggu tidurnya-dengan mata tertutup.
"Aku mau pulang. Kamu harus kunci pintu dari dalam," ucap Leo salah tingkah.
Namun gadis itu merespon dengan memunggungi Leo.
Sekali ini saja, batin Leo lelah.
Sekali ini saja. Dia harus di sini lagi. Leo harus menginap lagi.
Sekali ini saja.
***
Leo selesai membereskan beberapa hal. Seperti menutup pagar rumah, mengunci pintu, menutup kain gorden jendela, dan menyelimuti Riu dengan selimut tebal di kamarnya.
Pria itu kembali menghela napas berat. Dia duduk sebentar di samping Riu. Lagi-lagi Leo sedang tersadar, lalu melamun.
Kenapa Leo di sini lagi. Menatap wajah gadis yang sedang menutup mata menikmati mimpinya.
Anak-anak.
Apa semua anak remaja seperti ini? Tapi Riu itu bukan gadis remaja lagi. Usianya sudah 20 tahun-kata Dani- namun wajah itu berhasil memanipulasi usianya yang sudah bisa dibilang sebagai wanita dewasa.
Namaku Aquarius Bii. Panggil aku Riu, not Bii. Karna kalau Bee dengan e berarti lebah, kalau Bii dengan i sering dibaca dua kali.
Bii..Bii? Bibi?
Leo tertawa kecil, berusaha meredam suaranya. Jadi itu yang dimaksud Riu tidak boleh memanggil nama belakangnya. Kini Leo mengerti kenapa dua wanita itu tertawa saat itu. Mereka menertawakan nama belakang Riu.
Aquarius. Nama yang cukup asing didengar telinga. Apa itu ada hubungannya dengan kepandaian gadis itu meramal zodiak? Leo jadi penasaran. Mungkin nama itu nama keramat atau semacamnya yang bisa memberi kekuatan-ya, semacam bisa meramal seseorang.
Riu menggeser tubuhnya ke kiri. Itu membuat Leo hanya bisa memandangi wajah itu dari samping. Tangan Leo tergerak untuk mengaitkan beberapa helai rambut Riu yang menutupi wajahnya ke belakang daun telinga Riu.
Lagi, Leo menghela napas menatap wajah itu. Tidak ada alasan jelas kenapa Leo harus membuat gadis itu tidur dengan tenang. Bahkan sekarang dia memperhatikan Riu terlelap. Gadis itu terlihat damai dalam tidurnya.
Leo tersenyum. Kemudian dia mengusap kepala Riu dengan lembut. Lalu keluar dan menutup pintu kamar Riu.
***
"Cepat, Riu! Kamu pikir ini jam berapa? Saya bisa menskor kamu," teriakan itu terus bergema di ruang tamu.
Gadis itu buru-buru memasang baju, merias wajah seadanya, dan bergegas keluar kamar dengan napas terengah-engah. "Sudah siap, Pak!" katanya.
Gilang memutar bola mata lengkap dengan helaan napas berat. "Saya tidak mau mendengar alasan kamu menonton film korea atau begadang untuk mendowload musik terbaru dengan paket malam kamu," ucap Gilang sambil berjalan keluar rumah.
"Tidak, Pak," sahut Riu sambil mengunci pintu rumah. Lalu mengikuti Gilang menuju mobil silver pria itu.
"Lalu apa?" tanya Gilang sambil membalikkan badan menatap Riu meminta penjelasan.
"Tidak ada alasan apa-apa, Pak. Saya hanya kelelahan," jawab Riu tegas. Menatap Gilang dengan senyum tegas-begitulah.
"Sudah, ah!" Gilang mengibaskan tangannya di depan wajah Riu. "Bersikap formal memang melelahkan," katanya lagi. Lalu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
Riu buru-buru memutari bagian depan mobil Gilang dan masuk dari sisi kiri.
"Memang," kata Riu.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Gilang sambil memutar setir dan melaju di sepanjang jalan yang belum terlalu ramai.
"Belum," sahut Riu dengan nada murung.
"Itu kesalahan kamu."
"Jahat!" decak Riu kesal.
Gilang tertawa. Dia tatap wajah Riu yang cemberut. "Mau makan di mana? Di kantin atau di luar?" tanya Gilang lembut. "Tapi kita cuma bisa memesan. Kamu bisa makan di kantor. Karna kita akan telat mengambil absen jika harus makan di luar," dia menambahkan.
"Aku boleh beli burger?" mohon Riu.
"Kamu pemakan segalanya," sahut Leo acuh.
"Apa?" ucap Riu meninggikan nada suaranya seraya menatap Gilang geram.
Gilang tertawa renyah. "Maksudku, kamu tidak pilih-pilih makanan. Sekalipun untuk sarapan, kamu bahkan makan ice cream walaupun itu sangat tidak cocok dijadikan sarapan," jawab Gilang di sela-sela tawanya.
"Aku memang tidak pilih-pilih makanan. Tapi aku bukan pemakan segalanya. Memangnya aku herbivora?" desis Riu. Lalu dia melipat tangan di depan dada dan menatap kesal keluar jendela.
Gilang terperangah mendengarkan. Mulutnya terbuka ingin tertawa sekencang yang dia bisa. Namun takut menyinggung hati gadis itu. Terkadang Riu berbicara blak-blakan dan aneh seperti tadi. "Aku tidak mengatakan itu. Ayolah, aku hanya bercanda Aquarius Bii." Bila sudah begitu Gilang akan memanggil nama lengkap gadis itu untuk merayu.
"Tidak peduli," bentak Riu masih dengan wajah cemberut.
"Kita beli burger yang di dekat kantor atau di tempat biasa kamu beli?" tanya Gilang membujuk.
"Tidak lapar!"
"Kan belum sarapan."
"Sudah sarapan celaan."
Gilang terdiam sejenak. Dia berdeham salah tingkah. "Maafkan aku Bii. Aku bercanda. Jangan tersinggung," katanya memohon.
"Tidak mau." Riu tetap bersidekap.
Akhirnya Gilang memberhentikan mobil di tepi jalan. Menatap Riu dengan perasaan bersalah. "Riu. Dengarkan aku. Ayo beli sarapan dulu. Kamu tahu kan, aku tidak ingin kamu sakit," ucap Gilang lembut.
Riu tetap tidak mau mengalihkan pandangannya dari pemandangan di luar mobil. Entah kenapa dia merasa marah dengan candaan Gilang kali ini. Padahal dia sudah biasa mendapatkan lelucon garing sekalipun dari Gilang.
Kali ini Gilang meraih sebelah tangan Riu, menggenggamnya lalu tangannya yang lain menarik pipi Riu untuk menatapnya. Gadis itu menurut namun tidak menatap Gilang.
"Ya?" Gilang memohon. "Aku harus menjaga kamu dengan baik. Aku tidak boleh merusak kepercayaan yang sudah diberikan padaku untuk menjaga kamu, memperhatikan kamu. Jadi maafkan aku dan ayo kita beli burger agar perut kamu terisi dan kuat untuk bekerja."
Gilang akan selalu mendapatkan nilai sempurna untuk pelajaran merayu seorang wanita. Dan itu berlaku pada Riu. Gadis kecil itu menatap Gilang sebentar lantas menganggukkan kepala. Dia selalu mempercayai Gilang sekalipun lelaki itu berbohong. Riu hanya ingin berlaku baik.
Gilang tersenyum dengan senyuman tipis andalannya. Manis atau menawan? Sulit untuk membacanya di sana. Gilang sempurna. Sampai-sampai Riu minder untuk mengimbangi pria dewasa itu.
"Ya, sudah. Ayo jalan lagi. Katakan di mana kita akan beli sarapan kamu?" tanya Gilang, masih dengan berlemah lembut untuk meluluhkan hati Riu. Tapi dia tahu itu sudah berhasil.
"Di tempat biasa," jawab Riu pelan.
"Satu Burger kesukaan Riu segera datang," seru Gilang dengan gembira.
Iti membuat Riu tidak bisa menahan senyumnya. Gilang paling pandai membuatnya kembali tersenyum.
***
"Hai Kak Leo."
Sapaan itu membuat dua orang yang sedang berjalan menuju ke arah tangga menoleh bersamaan.
Lelaki yang namanya dipanggil itu menatap Riu, lalu dia tersenyum senang. Tiba-tiba hatinya merasa lega saat melihat Riu di sana. Bersama Gilang di sampingnya.
"Hai, Aquarius," balas Leo sambil melirik kaki kiri Riu yang sudah tidak mengenakan perban.
Riu dan Gilang berhenti di depan kedua orang itu.
"Oh, ini? Sudah tidak sakit," kata Riu menjawab tatapan mata Leo yang terlihat khawatir.
"Baguslah." Leo tersenyum senang, yang dia pastikan Riu pasti membalas senyumannya. Bahkan senyuman gadis itu secerah matahari pagi ini.
Ana dan Gilang memandangi Leo dan Riu bergantian. Jika Gilang tidak mengerti pembicaraan keduanya, Ana bahkan tidak ingin menduga-duga apa yang dilewati Leo dan Riu kemarin.
Baru saja dia sangat senang mendengar Leo bersedia ke kantor bersamanya. Tentunya Leo yang baik hati itu akan menjemput Riu seperti tuan putri. Namun mendengar panggilan Riu dan senyuman gadis itu pagi ini, hati Ana yang tadi pagi menghangat seketika meluruh lemas.
"Kenapa kaki kamu Bii?" tanya Gilang terdengar sangat khawatir.
Riu menatap Gilang. Satu senyum tercetak di bibirnya. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkilir," jawab Riu ceria, agar lelaki itu mempercayainya.
"Aku harus cepat. Aku duluan, ya. Banyak pekerjaan," kata Ana cepat memotong pikiran ketiga orang itu.
Gilang yang pertama tersadar. "Kenapa terburu-buru, Ananda Desra?" panggilnya menghentikan langkah Ana sebelum menaiki tangga.
"Saya harus.."
Kata-kata Ana dipotong oleh Gilang. "Kami belum melakukan apa-apa dan setter kamu masih tahap bekerja. Jadi santai saja," ucap Gilang santai.
Mendengar itu Ana tidak berkutik. Bukan karena pekerjaan dia terburu-buru pergi. Akan tetapi karena rasa cemburu melihat Leo dan Riu berbicara hangat beberapa menit lalu. Bahkan terlihat hangat dan sudah saling mengenal.
Leo dan Riu juga menatap Ana bingung. Lalu suara Gilang mengalihkan pikiran mereka.
"Kenapa naik tangga?" tanya Gilang menatap Leo.
"Liftnya rusak," jawab Leo tenang.
"Ah! Kapan benda itu bisa berlaku baik selama beberapa hari saja!" decak Gilang kesal.
Lalu mereka sama-sama menaiki tangga menuju lantai ruangan masing-masing.
"Aku duluan," kata Ana setelah sampai di lantai 3, tempat dia bekerja di bagian percetakan.
Ketiga orang itu hanya mengangguk lantas melanjutkan langkah menaiki tangga yang tidak seberapa di setiap lantai.
"Kami di sini," kata Gilang ketika di lantai 4. Di ruang editor.
"Dah, Kak Leo." Riu melambaikan tangan di depan dadanya.
Leo menganggukkan kepala kepada Gilang dengan rasa hormat-sebagai atasan-meski umur mereka terpaut satu tahun Gilang lebih muda darinya. Lalu tersenyum pada Riu, "Dah, Riu. Berhati-hatilah," pesannya. Lalu berbalik dan menaiki tangga menuju lantai 5.
Gilang melirik Riu sekilas. Menerka-nerka ada yang aneh di antara kedua orang itu. Gilang masih ingat betul, beberapa hari yang lalu mereka berdua bertemu di lorong ini, Riu bahkan sangat terkejut bertatapan dengan Leo.
Sejenak dia berpikir-pikir mungkin sikap aneh yang Riu lakukan seperti sedang bersembunyi dari sesuatu berarti bersembunyi dari Leo. Apakah sudah terjadi sesuatu tanpa diketahui Gilang?
***
Leo menuruni undakan tangga dengan tergesa-gesa. Tidak melakukan sesuatu pekerjaan apa pun yang menuntutnya untuk terburu-buru. Namun dia merasa senang menuruni tangga dengan ritme yang cepat.
Ah, benar. Leo harus ke ruangan Ana. Menjemput gadis itu dan mengajaknya makan siang bersama di kantin.
"Sudah selesai?" tanya Leo saat melihat Ana baru saja keluar dari ruangannya.
Ana tersentak kaget. Dia mengurut dada meredakan detak jantungnya karena dikagetkan oleh kehadiran Leo yang tiba-tiba. "Kakak seperti hantu," decaknya pura-pura kesal.
"Aku seperti hantu?" tanya Leo polos.
"Iya. Hantu di siang bolong.." Hantu tampan, lanjutnya dalam hati.
Leo menautkan kedua alisnya. "Benarkah?"
Ana menghela napas. Dia mengibaskan tangan di depan wajah. "Aku sangat lapar," katanya, lalu berjalan mendahului Leo.
Lelaki itu mengikuti, menyamai langkah Ana dan menatap gadis itu penasaran. "Apa benar aku terlihat seperti hantu?"
Ana tersendak. Lalu terbatuk-batuk.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Leo cemas.
"Aku sangat baik," jawab Ana. "Ayo jalan. Nanti kehabisan makanan," lanjutnya lalu kembali melanjutkan langkah.
Sesampainya di kantin, setelah memesan makan siang mereka mencari tempat duduk. Siang ini kantin tidak begitu ramai jadi mereka leluasa duduk di mana saja.
"Kak, nanti saat aku pulang mau mengajak Kak Leo ke rumah, ya. Aku mengundang untuk makan malam," ucap Ana di sela-sela makan.
"Undangan makan malam?" tanya Leo memastikan pendengarannya.
Ana mengangguk. "Kenapa?"
"Tidak biasanya," kata Leo sedikit aneh.
"Kakak mau atau tidak?" tanya Ana terdengar sedikit memaksa.
Leo menatap Ana sebentar untuk mencari jawaban di mata gadis itu. Lalu dia menganggukkan kepala. "Baiklah," jawabnya.
"Tidak usah pulang ke apartemen dulu. Langsung saja ke rumah."
"Kenapa?" tanya Leo dengan alis bertaut.
"Aku takut Kakak membatalkannya."
"Tapi aku tidak pernah mengingkari janjiku padamu selama ini."
Ana terdiam. Kenapa dia bersikap seperti ini? "Aku tahu.." gumamnya.
"Aku akan ke rumah kamu jam 7 malam," putus Leo akhirnya.
"Tapi Kak.." protes Ana.
Leo langsung memotong. "Aku tidak mungkin ke rumah kamu dengan pakaian seperti ini. Aku harus mandi, membereskan apartemen, dan mengambil cucianku di loundry. Jadi aku tidak bisa datang cepat."
Ana tertunduk. "Baiklah." Lalu dia menghela napas.
***
"Hai Kak Leo."
Suara yang sama, intonasi yang sama, menyapa Leo lagi untuk kedua kalinya hari ini.
"Hai Kak Ana. Kami makan di sini, boleh?" tanya Riu sebelum duduk.
"Boleh," jawab Leo cepat.
"Terimakasih," balas Gilang lalu duduk di samping Leo. Sementara Riu duduk di samping Ana.
Seketika suasan hati Ana menjadi semakin memburuk. Di saat-saat seperti ini kenapa Riu dengan Gilang muncul di antara dia dan Leo. Dia tidak membalas sapaan dari Riu. Saat mendengar Leo membolehkan mereka untuk bergabung wajah Ana langsung berubah masam.
"Aku dengar dari tim reporter kami ada berita informasi tambahan untuk si A yang sedang bersiteru dengan keluarganya. Ya, mereka mendapatkannya tidak dengan cuma-cuma. Reporter kami harus menemuinya diam-diam dan menguak rahasia. Ini pasti akan menjadi berita yang bagus kalau kita memasukkannya dalam berita majalah kali ini." Gilang memulai pembicaraan sebagai seorang pimpinan.
"Bagaimana bisa?" tanya Leo penasaran.
"Ya, ada tambahan. Begitulah.." jawab Gilang.
"Bagaimana kalau di majalah berikutnya kita bahas tentang yang ringan-ringan saja. Tentang gaya hidup, info kesehatan, dan seputar keseharian atau investasi masa depan," usul Riu tiba-tiba.
Kedua lelaki itu sedang berpikir-pikir. Lalu Gilang mengangguk-angguk mempertimbangkan usulan Riu. Leo juga menatap Riu sebentar, membenarkan pemikiran itu. Karena selama 2 tahun dia bekerja di The Blue mereka hanya membahas tentang berita-berita yang menjenuhkan dan sudah pasaran.
"Menarik," gumam Gilang, sambil memasukkan sayuran ke dalam mulutnya.
"Berarti kita harus mencari sumber baru untuk ide ini," sambung Leo.
Gilang mengangguk menatap Leo. "Itu benar."
"Zaman sekarang orang lebih senang membaca tips and trick di kehidupan sehari-hari. Seperti memanfaatkan barang lama menjadi baru lagi. Atau jika bosan menggunakan kemeja bisa dijahir ulang menjadi rok mini," tambah Riu.
"Apa benar kemeja bisa dijadikan rok mini?" tanya Gilang tidak percaya.
"Biar aku rubah kemejamu menjadi rok mini," kata Riu asal.
"Memangnya aku akan menggunakan rok mini ke kantor?" decak Gilang.
"Mungkin saja," balas Leo.
Riu tertawa. "Itu dijadikan berita menarik. Kepala editor majalah The Blue menggunakan rok mini dari kemeja ke kantor."
"Tidak lucu Bii," bantah Gilang.
"Kak Leo saja tertawa," kata Riu merasa menang.
Leo tertawa. Tidak ingin membalas candaan itu. Sebagai rasa hormat pada kepala editor di sampingnya.
"Oh, iya. Ana bagaimana proposalnya? Sudah sampai mana dikerjakan? Kamu sudah memeriksanya?" tanya Gilang pada Ana-mengabaikan candaan Riu.
Ana yang sejak tadi hanya diam tersentak kaget. Dia tidaj bergabung dengan percakapan ringan tadi karena tidak tahu membalas apa atau lebih tepatnya tidak ada yang mengajaknya berbicara
"Oh? Itu. Kami sudah menyelesaikannya 3/4 bagian," jawan Ana tergagap.
Gilang menganggukkan kepala. "Berarti sedikit lagi. Jika bisa cepat kalian sudah harus mengantarkannya ke ruang editor. Biar kami bekerja lebih cepat. Dan kita akan segera mencetak edisi kali ini."
"Tentu, Pak. Kamu akan menyelesaikannya dengan cepat," jawab Ana menunduk.
Sembari menghabiskan makan siang mereka bercakap-cakap ringan. Tidak menyangka Leo malah senang dengan makan siang kali ini. Dia tampak lebih banyak bicara, seperti memberi usulan, bertanya dan membalas lelucon. Dia mengira-ngira bila Gilang dan Riu adalah pasangan yang kompak, sama-sama periang, dan tidak membosankan.
Pasangan?
***