"Selamat pagi, Kak Leo," sapa Riu sambil tersenyum pada Leo yang masih mengusap mata.
Lelaki itu tersentak kaget mendengar suara Riu begitu dekat dengannya. Dia buru-buru membuka mata dan mendapati Riu dengan handuk di kepala. Gadis itu tersenyum padanya.
Dia bangkit menjadi duduk. Sangat terkejut Riu mengenakan bathrobe warna pink dan handuk warna putih di kepala gadis itu. Ada beberapa rambut Riu yang basah keluar di dekat pipinya, menandakan gadis itu baru selesai mandi.
"Ini kaca mata Kakak," katanya seraya menyerahkan kaca mata Leo.
Pria itu menerimanya. Memasangnya dan menatap sekelilingnya. Sudah terang dan kain jendela juga sudah terbuka. Kesiangan, keluhnya dalam hati.
Lalu dia tatap lagi Riu yang masih duduk bersila menatap ke arahnya dengan wajah gembira. Sejenak Leo berpikir-pikir bila perempuan itu sudah melihatnya tidur. Dan untuk apa dia menatap Leo seperti itu.
Leo menyentuh sudut kedua bibirnya dengan punggung tangan. Perlakuan itu mendapat gelak tawa dari Riu. Leo tatap Riu.
"Ngga ada, kok," ucap Riu geli sambil menutup mulut. "Kakak manis saat tidur," tambahnya.
Leo membuang muka, dia malu sekali saat Riu menyadari apa yang dia pikirkan. Dia merasa wajahnya memanas, jadi Leo tetap tidak mau menatap Riu untuk beberapa saat.
"Kamu sudah mandi?" tanya Leo kemudian.
Riu menganggukkan kepala dengan semangat. "Kakak mandi juga, ya," katanya.
Apa?
"Tapi aku tidak membawa baju ganti," tolak Leo.
"Pakai itu aja. Kan masih bersih," sahut Riu.
"Cepetan." Dia menyuruh Leo bangkit untuk menuju kamar mandi. Lelaki itu penurut, tidak membatah atau pun menahan diri untuk duduk-duduk dahulu dan semacamnya.
Leo masuk ke dalam kamar mandi dengan handuk di lehernya. Saat dia melihat bayangannya di kaca, Leo bertanya-tanya apakah Riu tidak punya warna handuk lain untuk dirinya selain warna pink ini. Dia kemudian mencuci tangan di wastafel.
Matanya melihat kamar mandi berukuran 2m x 2m ini. Bersih, wangi, dan semuanya tertata rapi. Leo melihat-lihat sebentar peralata mandi Riu. Ada shampoo, sabun mandi cair, sikat gigi.. pink lagi. Dahi Leo mengernyit samar. Apa gadis itu penyuka warna pink?
"Kakak sudah mandi?" tanya Riu sambil menggedor pintu kamar mandi membuat Leo tersentak kaget.
"Belum," balasnya berteriak. Dia berjalan ke arah pintu, membukanya dan melihat Riu sedang menyodorkan sebuah sikat gigi baru berwarna biru sambil menutup matanya.
Leo tersenyum kecil. Dia ambil sikat gigi itu dari tangan Riu. "Aku belum buka baju," katanya polos.
"Tidak mau lihat. Aku akan siapkan sarapan," ucap Riu cepat. Dia langsung memutar tubuh dan menghilang dari pandangan Leo.
"Kalau lihat juga boleh," gumam Leo sambil menutup kembali pintu kamar mandi.
***
"Hai Kak Leo."
Suara itu lagi, menyapa Leo saat baru saja dia muncul di dapur. Dia menatap Riu yang tersenyum lebar padanya. Gadis itu sedang mengoles roti dengan selai.
"Kakak mau rotinya aku panggang dulu atau begini saja?" tanyanya.
"Begitu saja," sahut Leo ringkas.
Riu mengacungkan jempol dan mengedipkan satu mata pada Leo. "Oke," katanya.
Leo termenung untuk beberapa detik sebelum bunyi pisau di tangan Riu menimbulkan bunyi saat diletakkan di meja menyadarkan Leo. Dia berjalan mendekati Riu sambil mengeringkan rambut dengan handuk warna pink.
Wangi. Itulah yang Leo cium sejak Riu mengalungkan handuk itu dilehernya. Ngomong-ngomong soal itu, Leo merasa canggung saat Riu berjinjit untuk meletakkan handuk itu langsung di lehernya. Wajah perempuan itu begitu dekat di depan matanya.
Leo menggeser bangku kayu itu lalu duduk dengan patuh seperti anak SD yang sedang menunggu ibunya menuangkan susu dan memberikan sepotong roti. Dia perhatikan Riu mematikan api kompor, mengangkat teko pemanas air dengan sarung tangan lalu menuangkan air ke dalam dua buah gelas yang sudah terdapat bubuk susu berwarna putih di dalamnya. Gadis itu menyelesaikannya dengan cepat. Menyajikan segelas susu dan sepotong roti yang sudah diberi selai di atas piring.
"Selamat makan," katanya, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Leo. Tanpa basa-basi dia langsung melahap roti gandum yang dia beli kemarin.
Leo menatap Riu sebentar, lalu menatap sarapannya kali ini. Rasanya agak asing, biasanya setiap pagi Leo hanya menyesap secangkir kopi dan menghirup sebatang rokok sebelum pergi bekerja. Tapi sarapan kali ini berbeda. Tangannya mengambil roti tersebut, mengigit ujungnya lalu mengunyahnya pelan-pelan. Tidak ada yang spesial dari roti dengan selai coklat itu, namun kenapa terasa istimewa saat Leo sudah menelannya dengan segelas susu.
Diperhatikannya Riu yang makan tanpa peduli dengan dirinya dihadapan gadis itu. Riu menghabiskan roti pertamanya dengan cepat lalu mengambil roti kedua dan mengunyahnya kembali dengan senang hati.
Astaga, kenapa Leo hanya mendapat satu roti sedang gadis itu memiliki dua?
Leo merasa tidak adil. Namun dia tidak mau protes. Kembali dia gigit rotinya, memakannya dengan sopan meski gadis di depannya tidak memperhatikan sama sekali.
"Mau ke mana hari ini?" tanya Leo tiba-tiba.
Riu berhenti mengunyah. Dia menatap Leo dengan mata membulat. Lalu Riu menelan sisa roti di mulutnya dengan susu. Barulah setelah itu dia menyahut, "Ngga ke mana-mana."
"Kenapa belum ganti baju?" Leo menunjuk bathrobe yang Riu pakai dengan dagunya.
Riu menyengir. "Aku lupa," katanya sambil membetulkan handuk di kepala.
Lupa? Lupa pula ada aku di depanmu sehingga makan seperti itu?
"Oh," gumam Leo. Lalu dia kembali memakan sarapannya dengan tertib.
***
"Tidak ada kegiatan di hari minggu?" tanya Leo saat mereka sudah di depan teras rumah Riu.
Riu menggelengkan kepala.
"Tidak berniat keluar?"
"Entahlah," kata Riu tidak yakin.
Leo mengangguk. "Aku pulang. Terimakasih untuk makan malam dan mengizinkan aku menginap."
Riu menganggukkan kepala. "Sama-sama," katanya, tersenyum lebar.
Leo masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesinnya dan memutar kendaraan roda empat itu keluar halaman rumah Riu. Gadis itu menunggu di depan gerbang dengan wajah lugu dengan senyum manis. Seperti akan melepas ayahnya pergi bekerja. Leo menatap Riu dari balik kaca mobilnya yang berwarna hitam. Sejenak dia berpikir-pikir, lalu berpikir ulang lagi.
Leo menurunkan kaca mobil. Riu nampak bingung, gadis itu menunduk melihat pada Leo. "Mau jalan-jalan?" tawarnya.
***
Riu melihat-lihat barisan gedung yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri jalan. Tidak lupa sesekali dia berdecak kagum. Dia pikir pemandangan seperti ini hanya bisa dia lihat dari balik layar televisi dalam acara luar negeri.
Leo melirik Riu sesekali. Berpikir-pikir, apa bagusnya Riu mengagumi gedung-gedung pencakar langit itu. Bahkan tidak terlihat bagus sama sekali. Matanya kembali fokus menatap jalan di depannya.
Satu kegiatan sudah terlewatkan dari daftar seluruh kegiatannya di hari minggu, yaitu berolah raga yang digantikan sarapan bersama seorang wanita. Leo memejamkam mata beberapa detik, mencoba menghilangkan ingatan itu. Dia berharap itu semua hanyalah mimpi, namun ketika melihat Riu di sampingnya Leo sadar itu sudah berlalu beberapa jam yang lalu.
Leo membelokkan mobilnya ke kanan masuk ke jalan tol. Kali ini jalan sangat lapang, karena sudah memasuki kawasan dekat apartemennya. Lingkungan yang bersih dan susunan gedung yang rapi menghiasi lingkungan itu.
Pria itu melirik Riu sekali lagi. Tumben sekali gadis itu tidak cerewet seperti semalam. Dia lebih memilih diam sejak satu pertanyaan dia lontarkan untuk Leo.
"Ini mobil Kakak?
"Iya."
"Aku ngga pernah lihat Kakak bawa mobil ke kantor."
"Iya, memang. Aku tidak suka macet."
Lalu Leo lihat gadis itu menganggukkan kepala. Setelahnya kekosongan mengisi mobil tersebut.
Leo berhenti di depan sebuah gedung berwarna putih yang tidak begitu tinggi. Gedung tersebut memiliki desain sederhana dan ramah dipandang mata. Dia memasukkan mobil ke dalam parkiran di bawah gedung. Setelah mematikan mesinnya, dia membuka pintu mobil lebih dulu diikuti Riu.
"Ayo. Apartemen aku ada di lantai 6," kata Leo. Tangannya menenteng katong plastik warna putih
Tanpa Leo beritahu juga gadis itu hanya akan mengikutinya dengan baik. Jadi Riu hanya mengangguk dan berjalan di sisi kiri Leo. Mereka berjalan masuk ke dalam lobi, masuk ke dalam lift dan dalam satu menit sampai di lantai 6.
"Kakak tinggal sendiri?" tanya Riu.
Tiba-tiba Leo menghela napas lega. Itu yang ditunggu-tunggunya sejak tadi. Leo takut tidak pandai memulainya karena dia tidak paham tentang gadis ini.
"Ya, aku tinggal sendiri," sahut Leo senang hati. "Sebenarnya dulu ada temanku tinggal di sini. Cuma dia sudah menikah dan membeli rumah," tambahnya tanpa sadar.
Riu mengangguk-anggukan kepala. "Kakak kenapa belum menikah?" tanyanya polos.
Leo tersentak kaget. Apa yang Leo pikirkan, diam-diam dia menyesal menyampaikan kabar tentang temannya. Lalu dia berdeham dan berkata, "Aku masih muda," dengan setengah malu-malu
Lalu mereka melanjutkan langkah, lurus menuju apart Leo. Namun tiba-tiba pemandangan seorang gadis di depan mereka membuat keduanya kaget.
"Ana?" panggil Leo bingung.
Ana tidak segera menyahut. Dia diam mengamati Leo dan gadis di sampingnya. Sejenak dia berpikir, apa yang dilakukan kedua orang itu bersama.
"Hai?" sapa Ana enggan. Matanya mengamati Riu sebentar, lalu menatap Leo sambil melempar senyum yang dipaksakan.
Riu menatap Ana bungkam. Ada rasa malu, ada juga heran saat membaca tatapan Ana. Riu tahu Ana tidak menyukainya lewat pandangan mata itu.
Leo berjalan mendekat, sementara Riu hanya mengikuti beberapa langkah dan berhenti di belakang punggung Leo.
"Ada apa?" tanya Leo, dengan sikap seperti biasanya.
"Aku ke sini karena kemarin tidak mengangkat telepon Kak Leo. Saat aku telepon tidak diangkat sejak semalam. Jadi aku putuskan untuk ke sini, mungkin ada sesuatu," tutur Ana jujur.
"Oh? Itu. Iya aku.. tertidur dan bangun pagi tidak melihat hp karena buru-buru mencari sarapan." Leo menyeringai salah tingkah. "Sebenarnya kemarin aku ingin mengajak kamu berbelanja. Ya.. kamu tahu maksudku kan," tambahnya dengan kekehan.
Ana terdiam sejenak. Sedetik kemudian dia menganggukkan kepala mengerti. "Aku hanya ingin tahu itu," ucapnya pelan.
"Ya, sudah. Aku akan pulang. Hari ini mau bantu-bantu ibu memasak. Ada keluarga yang datang." Ana beralasan demikian karena dia merasa tidak nyaman. Entahlah, perasaan Ana mengatakan bila dia harus segera pergi dari sana.
"Kita minum dulu," tawar Leo, merasa tidak enak hati.
Ana menggeleng pelan, lalu tersenyum. "Terimakasih, Kak. Aku buru-buru,"tolaknya lembut.
Jadi Leo hanya menganggukkan kepala. "Hati-hati," katanya kemudian.
Ana tersenyum lagi. Hatinya teriris. Bahkan Leo tidak menahannya. "Tentu," katanya. "Sampai jumpa besok di kantor." Lalu pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Riu.
Riu menghela napas. Tiba-tiba dia merasa sangat lega.
"Hey, ayo masuk. Ini dia," kata Leo mengejutkan Ana.
"Oh? Iya," sahutnya.
Leo memutar kuncinya, menekan gagang pintu dan mendorongnya. Riu mengikuti dari belakang. Matanya menyapu apartemen sederhana itu dengan teliti.
Pertama memasukinya, Riu melihat ada rak sepatu di belakang pintu. Pintu kamar utama di sebelah kanan dan sofa berwarna coklat di bagian kanan dan kiri ruangan itu diletakkan berhadapan. Sangat sederhana, namun ditata sempurna. Ada beberapa lukisan di dinding. Beberapa pajangan di atas meja dekat pintu kamar 2 yang sejajar dengan pintu masuk. Di sana terletak piala, sebuah kotak yang di dalamnya gitar mainan, sekotak kue keju dan sebuah kaca mata.
Dahi Riu mengerut, lalu menatap Leo yang baru saja kembali dari dapur meletakkan plastik belanjaannya kemarin.
"Apa?" tanya Leo heran.
"Kenapa ada dua kaca mata?" tanya Riu.
Leo melirik sekilas kaca mata yang Riu maksud, lalu dia berkata, "Oh, itu. Kaca mata lama. Ini sudah aku pakai satu bulan lebih. Ukurannya sudah bertambah."
Lantas Riu menganggukkan kepala mengerti. "Aku coba boleh?" tanya Riu.
"Jangan. Nanti ketika memakainya kamu bisa pusing," kata Leo memperingatkan.
Riu berdecak. "Siapa bilang aku mau coba kaca matanya. Maksud aku ini, kue kejunya," katanya sambil membuka tutup tempat kue berbentuk bulat itu dan mengambil salah satu isinya. "Enak," kekehnya sambil menatap Leo.
Pria itu melongo menatap wajah Riu yang keenakan memakan kue keju itu. Apa yang baru saja terjadi? Leo dipermainkan?
Lantas Leo biarkan Riu berputar-putar di apartemennya yang tidak seberapa luas itu. Membiarkan gadis aneh itu mengamati setiap sudut bahkan inci dari ruang tamu. Leo melangkah menuju kamarnya untuk berganti pakaian.
Leo mendesah berat saat menatap bayangan dirinya di kaca. Sejak kapan dia membiarkan orang asing di apartemennya. Hanya Ana yang pernah di sini beberapa kali. Itu juga hanya sebentar dan tidak pernah menginap. Menginap? Tentu saja. Mana mungkin Leo membiarkan seorang wanita menginap di tempatnya.
Dia menyorongkan baju kaos warna putih, memakai jelana jeans hitam dan meletakkan topi snapback berwarna hitam dan merah di kepala. Lalu memutar bagian depannya ke belakang. Pria itu terlihat lebih santai lewat penampilannya. Setelah selesai merapikan diri, dia keluar kamar. Melihat Riu yang masih sibuk memuaskan matanya melihat-lihat. Gadis itu sedang mendongak mengamati televisi yang digantung di ruang dapur.
Mendengar bunyi terbuka Riu menoleh menatap Leo. "Kenapa televisinya diletakkan di sini, Kak?" tanyanya penasaran.
"Entahlah, sudah ada di sana," sahut Leo sambil berjalan ke rak sepatu. Dan memilih sepatu slip-on berwarna abu-abu.
Gadis itu berjalan ke arahnya. "Mau ke mana, Kak?"
Leo berbalik. Dia mengangkat tangan kiri dan melihat jam. "Aku mau ke studio. Kamu mau ikut?" tawarnya.
Hm.. bolehkah Leo meralat ucapannya atau memutar waktu?
Mata Riu membulat mendengar itu. Dengan cepat dia menganggukkan kepala dengan semangat. "Mau, mau, mau," ucapnya.
Leo menghela napas. Tidak ada salahnya Leo mengajak seorang teman untuk pergi berlatih band, maksudnya seorang wanita.
***
Leo sedikit gugup melihat Riu melambaikan tangan padanya dari balik kaca. Gadis itu melompat-lompat, tersenyum lebar, berjalan mondar-mandir dan tidak mau tenang. Sesekali Leo salah memetik senar gitar atau menekan kunci gitar membuat beberapa temannya mengeluh.
Vino yang duduk di sebelah Leo bertanya, "Kenapa?"
Mereka sedang istirahat 5 menit saja untuk merelakskan pikiran dan otot-otot. Leo yang selesai menegak minuman dari botol mendesah pelan. "Entahlah," sahutnya.
"Oh, iya. Siapa gadis di luar itu?" Sejak tadi memang Vino sudah penasaran. Sebab itu juga dia curiga Leo bermain tidak lancar karena gadis itu.
"Oh? Itu teman satu kantor," jawabnya singkat. Leo menengadahkan wajah menatap langit-langit ruangan berukuran 5m x 6m itu. Ruangan dengan nuansa warna kuning dan biru terang. Sedikit membosankan pilihan warnanya di pandangan mata Leo.
"Kalian berkencan?"
"Hah?" Leo tersentak. Dia menatap Vino dengan tatapan mengharap agar lelaki itu tidak berpikir macam-macam. "Tidak," kilahnya cepat.
Vino tertawa. "Kenapa kaget begitu? Biasa saja," katanya. "Aku bertanya karena kamu tidak pernah mengajak siapa pun ke sini. Pantas saja aku berpikir begitu, apalagi seorang wanita," tambahnya. Dia bangkit, waktu istirahat mereka sudah selesai.
Leo menghela napas. Vino benar, kenapa juga reaksi Leo berlebihan seperti itu. Dia ikut bangkit dari duduknya dan kembali melanjutkan latihan bersama.
***
Leo bergegas meletakkan gitar pada tempatnya. Dia buru-buru ingin keluar dari ruangan itu. Sejak tadi dia penasaran kemana perginya Riu karena tidak tampak lagi berjalan mondar mandir lewat kaca tersebut.
Tanpa menunggu, dia bergegas keluar setelah berpamitan dengan yang lainnya. Ketika dia membuka pintu utama, nampak punggung gadis itu membelakanginya.
"Riu?" panggil Leo.
Gadis itu berbalik. Dia tersenyum cerah. Mengangkat dua buah keleng minuman bersoda di tangannya. "Aku membeli minuman," katanya.
Pria itu menghela napas. Leo pikir Riu pergi ke mana-mana atau tersesat di suatu tempat, atau mungkin juga pulang tanpa permisi. "Terimakasih," ucap Leo sambil menerima minuman itu dan membukanya. Meminumnya sedikit lalu menatap Riu yang masih menegak minumannya.
"Lama, ya. Kamu bosan?" tanya Leo.
Riu menurunkan kaleng minuman itu. Dia menggeleng. "Sedikit," katanya. "Tadi aku sudah menjelajahi gedung ini."
Leo terbatuk-batuk mendengar kalimat Riu baru saja. "Apa?"
Gadis itu malah mengangguk gembira. "Ya. Aku naik ke atas, memeriksa nama ruangannya. Melihat-lihat bunganya, aquarium ikan dan berkenalan dengan beberapa orang." Lalu dia tertawa kecil.
"Apa?" ulang Leo. Dia mengerjap menatap Riu seolah tidak percaya dengan pengakuan gadis itu.
"Iya. Ada namanya, Estu, Namira, Rega, Dino, Tari, Ciko, Viola. Kakak-kakak semua. Katanya mereka produser musik di studio ini, dan apa ya... aku tidak ingat."
"Mereka bertanya kenapa kamu ada di sini?"
Riu mengangguk. "Aku bilang menemani Kak Leo latihan musik," jawabnya jujur.
"Dia orang yang ramah. Aku bahkan bisa berkenalan dengannya dalam sehari. Dia banyak bicara, sedikit lucu dan yah.. menyenangkan untuk ukuran anak seumur dia."
Leo benar-benar tidak dapat berkata-kata sekarang. Dia tatap gadis di depannya dengan pandangan yang sulit diartikan, bahkan Leo tidak mengerti kenapa dia menatap gadis itu berlama-lama. Mungkin Dani benar, gadis itu ramah. Lihat saja dalam beberapa jam dia bisa berkenalan dengan orang-orang di studio ini yang bagi Leo membutuhkan beberapa hari untuk menghapal nama dan profesi orang-orang di sini.
Gadis itu tersenyum. Seolah tidak mengerti perasaan Leo saat ini. Anak-anak.. pikirnya.
***
Setelah kembali dari studio, Riu mengajak Leo jalan-jalan. Katanya Riu ingin membeli sepatu untuk di bawa bekerja. Jadi Leo menurut saja karena dia memang tidak memiliki kegiatan.
Gadis itu banyak tertawa. Sesekali Leo juga ikut menertawakan hal yang sama. Sepertinya Leo mulai mengerti tentang selera humor Riu yang rendah.
Saat melihat beberapa sepatu yang terpajang di dalam etalase di balik kaca toko Riu berjingkat senang. Dia menatap setiap sepatu di dalam etalase itu dengan semangat sambil bergumam tidak jelas.
"Silahkan lihat di dalam, dek," kata seorang karyawan toko berseragam warna merah menghampiri mereka di depan toko.
"Oh? Iya, iya," sahut Riu bersemangat. Dia masuk lebih dulu diikuti Leo dengan ekspresi biasa-biasa saja. Tidak berminat, apalagi bersemangat.
"Yang ini bagus ngga, Kak? Yah, tinggi 5 cm, atau 10 cm ya aku pilih," tanyanya pada Leo.
Pink? Apa gadis itu buta warna? Kenapa matanya selalu melirik warna pink adalah warna terbaik dari semua sepatu yang ada di toko itu.
"Tinggi Kakak berapa, ya?" Gadis itu berjinjit mengukur tingginya dengan Leo yang menjulang di depannya.
"Memangnya kenapa?" tanya Leo bingung.
"Biar aku tidak terlalu pendek kalau berjalan di samping, Kakak," sahut Riu acuh. Setelah mendapatkan ide tentang berapa tinggi hak sepatu yang akan dia pakai, Riu memesannya kepada pelayan toko yang sedang menunggui mereka memilih-milih.
Leo tercenung mendengarkan. Dia tidak berkomentar saat Riu mengukur tinggi gadis itu dengannya.
"Biar aku tidak terlalu pendek kalau berjalan di samping, Kakak."
Apa maksudnya barusan, ya. Leo berpikir dengan keras. Dia tatap gadis yang masih melihat-lihat sepatu itu. Kenapa tiba-tiba Leo merasa aneh. Perlakuan gadis itu di luar perkiraannya. Tidak dapat Leo tebak.
"Ini, dek," kata pelayan wanita itu sambil menyerahkan dua sepatu dengan ukuran haknya berbeda.
"Terimakasih, Mbak." Riu menerimanya, lalu berjalan dengan riang ke arah Leo berdiri. "Ini dia," katanya. Dia letakkan sepatu itu di lantai lalu mencobanya dari ukuran rendah.
Gadis itu terkekeh di depan Leo. Sekarang tinggi gadis itu bertambah setinggi dagunya. Leo menunduk menatap Riu. Gadis itu tersenyum-senyum menatap Leo.
"Cocok segini, Kak?" tanyanya.
"Cocok apanya?" tanya Leo balik, tidak mengerti.
"Menyamai tinggi, Kakak," sahutnya.
Leo terdiam sejenak. Menatap Riu lalu berdeham. Dia mengangguk sekilas. "Cukup," jawabnya ringkas.
Mendengar itu lalu Riu mencoba sepatu yang kedua, ukurannya lebih tinggi. Awalnya Riu ragu untuk berdiri, jadi dia berpegangan pada lengan Leo dan berdiri tegak.
"Ini tinggi sekali." Dia tergelak. Lalu berputar dengan hati-hati untuk berhadapan dengan Leo. Alhasil, gadis itu memiliki tinggi yang sama dengan Leo.
"Terlalu tinggi," komentar Leo.
Riu berdecak membenarkan. "Iya. Akan aku tukar," katanya sambil menjauh dari Leo.
Namun ketika Riu melangkah kaki kirinya, kakinya itu menyandung sepatu yang satunya lagi membuat kaki Riu terkilir.
Cepat-cepat Leo menangkap tubub gadis itu sebelum jatuh menubruk lantai. Dan para karyawan dan beberapa pengunjung toko mendapatkan tontonan drama romantis dari pasangan itu.
Riu merasakan wajahnya memanas melihat wajah Leo dari jarak yang sangat dekat. Jantungnya berdebar-debar ketika mata itu bertemu dengan matanya. Leo menatapnya tanpa berkedip. Raut terkejut di wajah itu terlihat jelas meski dengan secepatnya dia hapus Riu bisa membacanya.
"Hati-hati," kata Leo. Lalu dia menegakkan tubuh Riu. Kemudian berlutut melepaskan sepatu tersebut dari kaki Riu.
"Aw!" Riu meringis saat Leo menyentuh pergelangan kakiknya. "Sakit," rengeknya.
Leo menghela napas. Merepotkan saja. Batinnya. Lantas Leo berdiri dan membantu Riu duduk di salah satu kursi di toko tersebut. Dia memeriksa kaki Riu yang memerah. Terdengar Riu menahan sakit saat Leo meregangkan kakinya.
Gadis itu menatap Leo cemberut. Leo hanya memberikan senyuman. Lalu dia berdiri dan mendekati pelayan wanita itu. Setelah kembali dari sana, dia mendekati Riu.
"Aku mau.." kata Riu memohon.
Tapi Leo menggelengkan kepala. "Lain kali saja," bantah Leo. Lalu dia berjongkok dan memasang faltshoes di kaki Riu dan mengajak gadis itu pulang.
Riu berjalan tertatih dibantu Leo. "Pelan-pelan," ucap Riu setengah memaksa.
Leo menghela napas. Tanpa berbicara, dia membungkukkan badan lalu menggendong tubuh Riu ala bride style. Sontak perlakuan itu mendapatkan bisik-bisik oleh orang-prang di toko tersebut namun Leo tidak memedulikannya.
"Turunkan aku.." bisik Riu memberontak malu.
"Sudah diam!" ucap Leo sambil terus berjalan.
Mendengar itu, Riu berhenti meminta di turunkan. Dia bersembunyi di dada Leo agar tidak dilihat oleh siapa pun. Orang-orang di kantor misalnya.
***