Read More >>"> L & A (Antara Kita) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - L & A
MENU
About Us  

Antara Kita

            Leo duduk termenung di atas motornya di tepi jalan yang lengang. Jam baru menunjukkan pukul 20.22 malam. Makan malam kali ini berakhir dengan sangat cepat. Atau bahkan begitu lama karena percakapan yang menyesakkan. Entah bagaimana bisa terjadinya, tetapi Leo merasa begitu jahat meninggalkan makan malam tanpa ucapan selamat malam.

            “Aku ngga suka Kakak dekat-dekat dengan dia..”

            “Dia siapa?”

            “Aquarius dari tim editor.”

            Dahi Leo mengerut bingung. Setelah mengingat seorang bernama Aquarius itu Leo buka bicara, “Aku ngga dekat-dekat sama Riu.”

            “Tapi Kakak itu kelihatan akrab sama dia. Kemarin di depan apartemen. Kapan Kakak membuat janji bertemu Riu? Pasti terjadi sesuatu setelah itu sampai aku lihat pagi ini kalian terlihat sudah mengenal lama.”

            Leo meletakkan sendok di samping piring makannya. Dia mengangkat kepala, menatap Ana dengan pandangan heran, bingung, sekaligus sedikit tersinggung. “Untuk apa kamu tahu?”

            “Iya, aku ingin tahu. Aku ingin tahu semua tentang Kakak. Aku mengkhawatirkan Kakak sejak malam sebelumnya. Aku..”

            “Kenapa?” potong Leo tidak sabaran.

            “Karena aku sayang sama Kakak. Aku ngga bisa lihat wanita manapun ada di dekat Kakak selain aku.”

            Pengakuan Ana membuat Leo terpana. Ada rasa aneh menyerang hatinya. Ada rasa bersalah juga entah apa di dalam dada.

            “Maksud kamu?” tanya Leo berusaha menyadarkan diri.

            “Kenapa bertanya maksud aku?” Ana balik bertanya dengan raut kecewa.

            Beberapa saat udara menjadi begitu dingin di antara mereka berdua. Bahkan ruangan luas ini terasa begitu sesak.

            Leo membuang napas. “Ana. Dengarkan aku,” kata Leo. “Aku sudah berjanji dengan orang tua kamu untuk menjaga kamu. Bukan untuk mencintai ataupun memiliki kamu,” ungkap Leo berat hati.

            Ana menatap Leo berkaca-kaca. Menjaga? Apa maksudnya itu? Janji dengan orang tuanya?

            “Ingat pertama kali pertemuan kita aku membawa kamu ke rumah sakit? Ingat apa yang terjadi sama kamu? Orang tua kamu hanya berpesan untuk menjaga kamu dari patah hati..”

            “Patah hati?” suara Ana meninggi mendengar itu.

            “Ana. Jangan pura-pura lupa apa yang terjadi hari itu. Kamu hampir mencelakai diri karena seorang laki-laki,” tekan Leo.

            “Aku ingin jujur. Dulu aku memang menaruh rasa sama kamu. Tetapi, sebelum perasaaan itu berubah menjadi ingin memiliki, orang tua kamu mengatakan hal tersebut. Aku tidak bisa melarangnya, membantah, atau menyatakan cinta di depan mereka.”

            “Aku bingung saat itu. Ingin bertanya, menjaga kamu dalam artian seperti apa dan bagaimana? Dengan menjadi kekasih kamu atau seorang body guard? Tetapi setelah orang tua kamu mengatakan ‘jagalah Ana untuk kami. Sementara kami bekerja di luar negeri dan Ana akan bertemu dengan calon suaminya nanti’ aku memutuskan untuk menjaga kamu sebagai adikku saja.”

            Ana menatap Leo tanpa berkedip. Menyadari matanya perih, ia mengerjapkannya beberapa kali. “Kenapa? Kenapa tidak bilang ini dari awal?” protes Ana tidak terima.

            “Karena aku lihat kamu menganggap lebih hubungan kita. Aku yakin kamu akan menjauh jika aku ungkapkan lebih cepat. Dan aku yakin cepat atau lambat kamu akan menanyakan ini. Jadi maafkan aku jika waktunya terlalu lama. Aku hanya tidak ingin menyakiti kamu..”

            “Tapi ini lebih menyakitkan!” sanggah Ana marah.

            Leo menghela napas panjang. Dia menggelengkan kepala. “Lebih sakit saat rasa cintaku terhalang orang tuamu,” ungkap Leo.

            Air mata Ana jatuh di kedua belah pipinya. Dia mengulum bibir untuk meredam isak tangis. Sesak. Begitu menyakitkan di sana, di dalam dadanya.

            Merasa tidak bisa lagi melanjutkan pembicaraan dengan melihat air mata Ana yang mengalir di pipinya, Leo berdiri dari duduknya. “Maafkan aku.” Hanya itu. Setelahnya Leo melangkah pergi dari sana. Dengan langkah berat, dengan perasaan sesak, juga rasa bersalah yang tak dapat Leo bendung di dalam dada.

            Leo menghembuskan asap rokoknya ke udara. Menatap langit malam tanpa taburan bintang, tanpa bulan, benar-benar langit malam yang kelam. Sama seperti hatinya.

            Tiba-tiba saja, dari arah belakangnya, ada dua telapak tangan yang menutup matannya. Pandangan Leo menjadi gelap. Dia sedikit terkejut. Namun ketika mendengar suara itu berbicara, Leo mengurungkan niatnya untuk berbalik dan melihat siapa di sana.

            “Tebak aku siapa?” ucap suara itu.

            “Tidak mau!” bantah Leo pura-pura cemberut.

***

            Aquarius Bii. Gadis penyuka warna merah jambu itu sedang bersenandung ria di jalanan yang cukup sepi menuju rumahnya. Dengan senyum ceria khas Riu, dia berjingkat, melompat, berputar-putar, dan menari-nari sesuka hatinya. Tentu saja Riu melakukannya tanpa malu karena tidak akan ada yang melihatnya di bawah langit kelabu tanpa rembulan.

            Seketika tubuh Riu berhenti melenggak-lenggok di trotoar kala matanya menangkap seseorang yang duduk di atas motor di seberangnya. Ia memiringkan sedikit kepala, menerka siapa di sana. Setelah Riu tahu jawabannya, ia malah tersenyum gembira menyebrangi jalan. Tanpa berpikir panjang lagi Riu mengulurkan tangan dan menutup mata lelaki itu dari belakang.

            “Tebak aku siapa?” kata Riu.

            “Tidak mau!”

            Kening Riu berkerut bingung. Ia lepaskan kedua tangannya sehingga lelaki itu bisa menoleh ke belakang dan menatapnya.

            “Kenapa tidak mau?” tanya Riu.

            “Karena aku tahu itu kamu,” jawab Leo. Lalu seulas senyum tipis terbit di wajahnya. Keajaiban apa yang sudah terjadi di sekelilingnya sehingga ia dipertemukan dengan gadis itu di saat-saat seperti ini.

            “Kenapa bisa tahu?” tanya Riu lagi, penasaran.

            “Suara kamu, tangan kecil kamu, wangi parfum kamu, dan aura pink kamu itu.” Leo menunjuk baju Hello Kitty berwarna pink yang Riu gunakan. “Duduk di sini,” kata Leo sambil menepuk jok motor di samping dia duduk.

            Riu menurut. Dengan senang hati dia berjalan memutari motor Leo dan duduk di samping lelaki itu.

            “Kamu dari mana?” tanya Leo, menatap gadis itu dari samping.

            Riu menoleh, mengangkat kantong plastik berwarna putih di tangannya. “Belanja. Kakak mau?” tawarnya.

            “Beli apa?” tanya Leo melihat ke dalam kantong plastik itu.

            “Ada minuman dingin, camilan, permen, agar-agar, dan garam.”

            “Aku tidak akan memilih yang terakhir.”

            “Aku juga tidak menawarkan.”

            “Aku mau ini,” kata Leo mengambil minuman dingin dan agar-agar rasa coklat.

            Riu tersenyum. Lalu dia juga mengambil minuman dingin dan menegaknya sedikit.

            “Kenapa kamu sendirian? Kenapa tidak naik taksi?” tanya Leo kemudian.

            “Hm?” Riu menoleh. “Dibatalkan,” sahutnya.

            “Dibatalkan oleh drivernya?”

            Riu mengangguk. “Aku jalan kaki.”

            “Lain kali jangan keluar malam-malam. Kalaupun ada yang mau dibeli pesan online saja. Bahaya kamu sendirian. Tidak ada yang mengantarkan juga,” tegur Leo.

            “Gilang masih di kantor,” sahut Riu tenang sambil menyesap minumannya.

            Leo berhenti minum. Baru saja Riu mengucapkan nama Gilang. Memangnya apa hubungannya. Ia menoleh menatap Riu yang mengamati pemandangan di depannya. “Lalu?”

            “Lalu dia tidak bisa menemani aku, mengantar aku belanja, atau menjemput aku,” sambung Riu.

            “Kenapa tidak telepon aku?” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.

            Riu menoleh. Leo yakin jantungnya sedang berdetak sangat kencang sekarang sampai ia takut Riu akan mendengarnya.

            “Aku tidak punya nomor Kakak.”

            Leo terkesiap. “Oh. Kalau begitu, mana ponsel kamu. Simpan nomorku,” ucap Leo tergesa-gesa.

            Riu tidak curiga atau merasa aneh sama sekali. Dia mengeluarkan ponsel dan memberikannya pada Leo.

            Setelah Leo mengetikkan sejumlah angka dia memberikan posel itu kembali pada Riu. “Telpon aku ketika kamu butuh.”

            Riu menerima dengan senang hati. Lalu beberapa detik kemudian ponsel Leo bergetar. Ia mengeluarkannya dari dalam saku celananya.

Nomor tidak dikenal.

Tanpa pikir panjang Leo mengangkatnya. “Halo?”

“Halo. Dengan Kak Leo?”

Suara itu terdengar di telepon, bahkan lebih jernih di samping telinganya. Ia menolehkan kepala ke kanan.

“Aku butuh Kak Leo sekarang.”

Wajah itu malah tertawa senang.

Leo ikut tertawa. Dasar gadis aneh ini. Dengan ponsel yang masih ada di telinga mereka masing-masing keduanya berbicara. “Iya. Ini siapa, ya?” tanya Leo seakan-akan mereka tidak saling mengenal.

“Aku Aquarius Bii,” jawab Riu sambil menahan tawa.

“Oh, Aquarius Bii yang tidak ingin nama belakangnya dibaca dua kali itu, ya?”

Riu tertawa. “Anda benar. Selamat Anda mendapatkan hadiah nomor telepon saya.”

Keduanya menertawakan hal konyol itu bersama-sama. Entahlah, sejenak Leo melupakan beban pikirannya tentang Ana beberapa jam yang lalu.

Leo menghela napas. Menatap Riu lekat, tepat di mata gadis itu. “Jadi apa yang kamu butuhkan?”

Dan Riu membalas dengan tatapan yang sama .“Aku butuh Kak Leo mengantarkan aku pulang.”

Leo memiringkan kepalanya sedikit. Seperti sedang berpikir-pikir. “Baiklah.” Lalu ia mengakhiri telepon dengan satu kedipan di matanya.

Riu terkesiap. Tubuhnya mundur ke belakang karena perlakuan Leo baru saja. Ponselnya masih berada di dekat telinga.

“Duduk baik-baik, ya,” pesan Leo ketika ia sudah memperbaiki duduknya dan bersiap menyalakan mesin motor.

Riu tersentak. Ia menyimpan ponsel dengan segera dan duduk dengan patuh di atas motor Leo.

“Kak Leo dari mana?” tanya Riu saat di perjalanan.

“Dari rumah Ana,” jawab Leo singkat.

“Ngapain?”

“Diajak makan malam.”

Riu mengerucutkan bibir. “Oh..” gumamnya.

Satu menit kemudian dia bertanya lagi.

“Makan apa?”

“Makan apa, ya? Aku tidak ingat ingat.”

“Tidak ingat?”

Leo terdiam sejenak. Ia ingin mengatakan tentang kejadian yang membuat ia tidak berselera untuk makan. “Iya, saking banyaknya makanan. Aku lupa sudah memakan apa saja tadi,” kekehnya.

Riu tertawa kecil. “Ajak aku juga. Aku suka makan.”

Entah apa maksud Riu mengatakan itu, yang jelas dia tidak bermaksud menyinggung apapun di antara Ana dan Leo. Riu benar-benar tidak tahu akan hal itu.

“Iya,” sahut Leo ringkas.

Akhirnya mereka sampai di depan rumah Riu. Gadis itu turun dan berdiri di samping motor Leo. Cukup hanya 5 menit saja menempuh jarak sedekat itu.

“Terima kasih,” ucap Riu dengan senyum lebar.

“Sama-sama,” sahut Leo tulus.

“Kakak pulang hati-hati, ya.”

“Pasti,” jawab Leo dengan satu anggukan mantap.

Leo pergi dari sana, meninggalkan Riu yang masih menghantar kepergiaannya dengan lambaian tangan. Bisa Leo lihat gadis itu dari balik spion motornya.

Kembali ingatan di rumah Ana beberapa jam lalu bermain di benaknya. Apa yang akan Leo katakan besok pada Ana saat mereka berpapasan di kantor. Apa ia terlalu kasar pada gadis itu? Apa ini kesalahan?

Tentu saja. Pertemuan kita adalah kesalahan. Batin Leo.

Leo memarkirkan motor di bawah gedung apartemen. Masuk ke dalam lobi, menyapa beberapa orang dan menuju ke kamarnya dengan lift. Ia rebahkan tubuh di atas ranjang kamarnya.

Leo tahu, Ana menyimpan perasaan itu. Sebagai seorang laki-laki, tidak mungkin ia dapat menghindari perasaan pada gadis itu. Senyuman Ana, suara lembutnya, Ana juga sedikit manja, gadis itu selalu mengajaknya bermain permainan puzzle jika di rumah Ana. Leo terpaut perasaan nyaman saat di sisi Ana. Namun kenyataan selalu menyadarkannya bila ia tidak akan bisa memiliki Ana.

Leo bukanlah siapa-siapa di mata keluarga Ana. Meski Ana menganggap Leo adalah segalanya.

***

Leo sedang menyesap kopi di kantin kantor lantai satu. Dia sedang mengamati setiap warga kantor yang masuk satu per satu, berdua, atau tergesa-gesa karena takut terlambat.

Dia melihat Gilang masuk ke dalam kantor dengan langkah seribu. Didampingi dua orang dari tim editor yang terburu-buru mengikuti langkah Gilang. Nampak lelaki itu sedang berbicara serius di telepon. Kabarnya, si kepala editor itu akan melakukan pertemuan dengan seorang artis yang sedang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Jadi jika mereka berhasil mewawancarainya, majalah mereka akan laku keras di pasaran. Tentu saja setelah ini mereka akan berpesta.

Leo mengedikkan bahu. Melanjutkan menyesap kopinya yang sudah tinggal sedikit. Dia kembali melihat ke arah pintu masuk, di sana Riu baru saja selesai mengambil absen karyawan kantor.

Mata gadis itu terlihat sedang mencari-cari sesuatu, lalu berhenti tepat ke arah Leo. Seketika senyum cerah terbit dari bibirnya, secerah matahari pagi ini.

“Selamat pagi, Riu,” sapa Leo terlebih dahulu.

“Selamat pagi, Kak Leo,” balas Riu ceria. Dia duduk di kursi pantri di samping Leo.

“Mau minum kopi?” tawar Leo.

Riu menggeleng. “Aku tidak suka kopi,” tolak Riu. Lalu dia memesan segelas susu kepada Ibu kantin.

“Kamu yakin susu adalah minuman untuk seumuran denganmu?” tanya Leo tidak yakin.

Riu menoleh. “Memangnya kenapa?”

“Tidak apa-apa. Biasanya orang-orang sarapan dengan segelas kopi sebelum bekerja.”

“Kalau aku sarapan segelas susu dan roti setiap pagi,” jawab Riu.

Kedua alis Leo terangkat. Tiba-tiba ia teringat ketika ia sarapan di rumah Riu. Gadis itu memberikannya segelas susu dan roti selai kacang. Lalu dia mengangguk-anggukan kepala.

“Kakak lihat Gilang tidak?” tanya Riu.

“Hm? Tadi ada. Dia sudah ke ruangannya mungkin. Ada apa?”

“Oh. Tidak apa-apa. Aku Cuma ingin bicara dengannya.”

“Membicarakan apa?”

“Seharusnya dia menjemput aku. Tapi sepertinya dia sibuk.”

“Kenapa tidak telpon aku?” tanya Leo.

Riu terkekeh kecil. “Ah, benar. Lain kali aku akan telpon Kakak,” katanya.

“Dia sering melakukan itu?” gumam Leo. Namun bisa Riu dengar.

“Melakukan apa?” tanya Riu. Kemudian mengunyah roti gandumnya.

Leo tersentak. Baru saja ia melamunkan hal bodoh. “Oh? Itu. Menjemput kamu setiap pagi.”

Riu bergumam sebentar, berpikir-pikir. “Tidak juga.”

“Tidak juga apa?”

“Tidak sering.”

“Oh.”

Leo menganggukkan kepala mengerti. Dia mengangkat kepala dan mendapati berjalan menuju lift sambil membuang pandangan matanya. Leo menelan ludah. Baru saja Ana memperhatikan mereka pagi ini. Baru saja ia lihat Ana ke kantor dengan mata sembab seperti sehabis menangis. Astaga.

***

“Lepaskan!”

Kali ini suara Ana meninggi saat Leo tidak berhenti mengejarnya. Dia muak melihat lelaki itu. Benci, marah, kecewa, serta bermacam perasaan aneh di dadanya.

Leo menyerah. Dia lepaskan genggamannya di lengan Ana.

“Aku tidak punya pilihan lain Ana. Tolong mengerti,” pinta Leo. Ia ingin menyelesaikan pembicaraan tadi malam.

“Pilihan apa? Pilihan untuk berduaan dengan Riu di kantor ini?”

“Riu?” Alis Leo bertaut bingung. “Dia tidak ada hubungannya dengan kita!” bantah Leo.

“Jelas ada! Kalau bukan karena dia, aku tidak akan pernah mengungkapkan perasaanku.” Ana menutup mulut rapat menahan isakan yang mungkin akan keluar dari bibirnya.

“Ana..” panggil Leo melunak. “Apa yang kamu inginkan?”

“Aku ingin Kak Leo menjadi milikku.”

“Aku tidak bisa Ana.”

“Karena Kakak menyukai wanita lain!”

“Tidak. Karena aku tidak akan mengingkari janji...”

“Seberapa pentingnya janji itu dari pada perasaanku?” potong Ana.

“Seberapa penting?” ulang Ana karena Leo tidak menjawab.

Leo menundukkan kepala. Sesulit ini ternyata menghadapi masalah yang dirasahasiakan sejak lama. “Aku tidak tahu.”

Ana membuang pandangannya, terluka. “Kenapa, Kak?”

Leo mendekat. Mengusap air mata Ana di kedua belah pipi gadis itu.

“Aku akan tetapi di sisi kamu ketika kamu butuh. Tetapi untuk menjadi kekasihmu aku tidak bisa,” ucap Leo, terdengar seperti memohon.

***

Riu duduk di halte dengan wajah murung. Pertengkaran antara Ana dan Leo menganggu pikirannya. Ditambah namanya disebut-sebut, Riu merasa ada yang tidak beres. Apa benar Riu menjadi pengacau hubungan keduanya? Tetapi jelas Riu dengar bila mereka tidak memiliki hubungan spesial di antara keduanya.

Gadis itu menghela napas. Hari ini Gilang sibuk lagi. Riu tidak tahu harus mengadukan masalah ini kepada siapa. Dia ingin tahu, tetapi tidak mau mendengarnya dari Ana ataupun Leo.

“Riu?”

Panggilan itu membuat Riu mengangkat kepala dan melihat Dani berdiri di depannya.

“Hai Kak Dani,” sapa Riu.

“Kenapa belum pulang?” tanya Dani sambil duduk di samping Riu.

Riu melirik jam tangannya. Jam menunjukkan pukul 7 malam. Riu tidak ingat sudah berapa lama dia melamun di halte dan melewatkan bis.

Riu menggelengkan kepala.                          

            “Leo mencari kamu Riu,” kata Dani tenang.

            Kepala Riu menoleh menatap Dani tidak percaya. “Mencari aku?”

            Dani mengangguk. “Tidak tahu kenapa. Sepertinya ada hal penting.”

            “Hal penting? Apa?”

            “Mana aku tahu,” sahut Dani tertawa kecil. “Seorang Leo tidak pernah memberi tahu kenapa dan apa yang akan dia lakukan,” lanjutnya.

            “Lalu di mana dia sekarang?”

            “Aku di sini.”

            Suara itu mengalihkan perhatian keduanya kepada Leo yang berjalan ke arah mereka.

            Riu menatap Leo sendu. Pria itu terlihat berbeda dari biasanya. Dan itu membuat Riu tidak nyaman.

            Lelaki itu menatap lurus ke mata Riu, membuat gadis itu merasa perlu menghindari mata itu.

            Sadar dengan keadaan Dani segera beranjak, sebelumnya dia berpamitan dengan dua orang itu dan menghilang dari sana.

            Perasaan Riu mengatakan dia harus pergi dari sana sekarang juga. Tetapi seperti ada yang menahannya, Riu tidak dapat pergi dari sana.

            “Kenapa belum pulang?” tanya Leo.

            Riu menghela napas panjang. Dari nada suaranya saja Riu sudah tidak nyaman. Kenapa juga Riu merasa seperti ini. Tetapi.. siang tadi. Saat Leo mengusap pipi Ana membuat Riu cemburu.

            “Ngga apa-apa,” sahut Riu setelah beberapa saat dia membiarkan pertanyaan Leo mengambang di udara.

            “Aku mencari kamu ke mana-mana Riu!” ucap Leo. Entah kenapa Leo merasa marah kepada gadis itu.

            “Ponsel itu ada di tangan kamu. Kenapa tidak menberi aku kabar sementara aku sudah menelepon kamu berkali-kali.”

            “Kenapa Riu?” tanya Leo lagi karena gadis itu tidak menjawabnya sama sekali.

            “Kak..” lirih Riu. “Aku lihat Kakak dengan Kak Ana pada jam makan siang di belakang gedung. Aku tidak bermaksud ingin tahu. Tapi, kenapa nama aku disebut-sebut? Apa aku membuat kesalahan?”

            Mata Leo membulat mendengar pengakuan Riu. Tidak mungkin Riu mendengar mereka. Tetapi bisa saja. Semua orang bisa datang dari arah mana saja dan mengikuti mereka.

            Pria itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Begitu beberapa kali, untuk menenangkan perasaannya. Ia menatap wajah Riu dari samping.

            “Kamu tidak membuat kesalahan Riu,” jawab Leo pelan.

            “Lalu?”

            “Lalu apa?”

            “Kenapa Kak Ana menangis?”

            “Aku pikir kamu sudah mendengar semuanya.”

            “Hanya bagianku saja.”

            Leo menghela napas panjang lagi. “Tidak usah dipikirkan. Sekarang ayo pulang.”

            “Apa aku merusak hubungan kalian?” tanya Riu lagi, mengabaikan ajakan Leo untuk membawanya pulang.

            “Tidak Riu.”

            “Lalu?”

            “Lalu apa lagi?”

            “Kenapa mencariku?”

            “Aku lihat Gilang masih di kantor. Dan kamu sudah pulang duluan. Aku hanya memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat.”

            “Untuk apa?”

            “Bisa tidak kamu berhenti bertanya Riu! Ini sudah malam dan kamu mengenakan baju pendek seperti ini.” Leo mulai kehabisan kesabarannya.

            Riu tidak tahu kenapa dia menjadi kacau begini. Dia menyimpan ponsel di tangannya ke dalam tas lalu berdiri dari duduknya. “Aku akan pulang sendirian.”

            Leo ikut bangkit. Dia mengikuti Riu dan menahan gadis itu. Suasana aneh macam apa ini. Leo membencinya.

            “Riu, berhenti!” perintah Leo.

            “Aku akan pulang.. tolong lepaskan, Kak,” pinta Riu melirih.

            “Kamu akan pulang denganku sekarang!” tekan Leo. Ia ingin Riu menuruti keinginannya kali ini.

            “Tidak, Kak.”

            Tanpa menggubris penolakan Riu, Leo membawanya ke arah mobil lelaki itu yang terparkir di seberang halte.

            “Tolong lepaskan aku Kak Leo,” pinta Riu sekali lagi. Kali ini suaranya bergetar.

            Leo berbalik dan melepaskan genggaman tangannya. Ia menatap Riu sedang menekuk kepala dalam-dalam di depannya. Ada rasa bersalah, marah, sekaligus entah di dalam hatinya.

            “Kenapa Riu?” tanya Leo pelan.

            “Aku tidak apa-apa. Tidak perlu mencariku sampai semalam ini, Kak. Aku bisa menjaga diri,” sahut Riu dengan suara serak.

            Leo menarik tangan Riu dan melihat bekas berwarna merah di lengan gadis itu akibat tangannya tadi. “Aku pasti sudah menyakiti kamu. Maaf, Riu.” Leo mengusap lengan gadis itu lembut.

            “Untuk apa Kakak melakukan ini?” tanya Riu. Dia mengangkat kepala menatap wajah Leo dan tangannya bergantian.

            “Karena aku mengkhawatirkan kamu Riu,” jawab Leo tanpa menoleh.

            “Kenapa? Aku bukan siapa-siapa untuk Kakak khawatirkan keselamatannya.”

            “Karena aku menyukaimu Riu.”

            Riu terdiam. Dia menelan ludah dengan susah payah. Seolah tidak percaya dengan pengakuan Leo, tetapi Riu tidak ingin pria itu mengulangi ucapannya. Biarkan Riu saja yang salah mendengarnya.

            Leo mengangkat kepala. Menatap ke manik mata Riu. “Aku suka kamu, Riu.”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Haruskah Ada Segitiga?
2      2     0     
Short Story
\"Harusnya gue nggak boleh suka sama lo, karena sahabat gue suka sama lo. Bagaimana bisa gue menyukai cewek yang disukai sahabat gue? Gue memang bodoh.” ~Setya~
PETRICHOR
40      12     0     
Romance
Ingin tahu rasanya jungkir balik karena jatuh cinta? Novel ini menyuguhkan cerita cinta dengan cara yang berbeda. Membacanya membuatmu tahu cara memandang cinta dari 4 sudut pandang yang berbeda. "Bagi Anna, Harrys adalah kekasih yang hidup di langit. Di antara semua kekuasaan yang dimilikinya, dia tidak memiliki kekuasaan untuk menjadikan Anna miliknya." "Bagi Harrys, Ann...
With or without you
21      12     0     
Romance
Bulan
479      316     5     
Short Story
Ketika Bulan mengejar Bintangnya kembali
Pangeran Benawa
180      52     0     
Fan Fiction
Kisah fiksi Pangeran Benawa bermula dari usaha Raden Trenggana dalam menaklukkan bekas bawahan Majapahit ,dari Tuban hingga Blambangan, dan berhadapan dengan Pangeran Parikesit dan Raden Gagak Panji beserta keluarganya. Sementara itu, para bangsawan Demak dan Jipang saling mendahului dalam klaim sebagai ahli waris tahta yang ditinggalkan Raden Yunus. Pangeran Benawa memasuki hingar bingar d...
Operasi ARAK
3      3     0     
Short Story
Berlatar di zaman orde baru, ini adalah kisah Jaka dan teman-temannya yang mencoba mengungkap misteri bunker dan tragedi jum'at kelabu. Apakah mereka berhasil memecahkan misteri itu?
Hunch
233      57     0     
Romance
🍑Sedang Revisi Total....🍑 Sierra Li Xing Fu Gadis muda berusia 18 tahun yang sedang melanjutkan studinya di Peking University. Ia sudah lama bercita-cita menjadi penulis, dan mimpinya itu barulah terwujud pada masa ini. Kesuksesannya dalam penulisan novel Colorful Day itu mengantarkannya pada banyak hal-hal baru. Dylan Zhang Xiao Seorang aktor muda berusia 20 tahun yang sudah hampi...
Sosok Ayah
4      4     0     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Snow
35      11     0     
Romance
Kenangan itu tidak akan pernah terlupakan
Dissolve
6      6     0     
Romance
Could you tell me what am I to you?