“Subuh-subuh-subuh, woi bangun-bangun-banguuuuuuunnn”, teriakan para senior yang keliling membangunkan para peserta yang tidur terlelap dengan sorotan senter ke dalam tenda-tenda.
Mataku merem melek, aduh masih ngantuk nih. Malas banget buat bangun.
“Bangun sudah subuuuh!”, suara laki-laki di luar teriak-teriak membangunkan yang lelap tertidur di dalam tenda untuk segera sholat subuh.
Yuli menyalakan senter.
Aku membuka mata. Menoleh ke arlojiku yang melingkar di pergelangan tangan, sudah pukul 05.02. “Sudah pagi ya?”, gumamku pada Yuli.
“Sholat yuk!”, ajaknya. Yuli membuka rel-sleting pintu tenda hingga terbuka setengah. Melongok keluar memperhatikan para pria yang masih asyik dengan mainan gitarnya di depan bekas bara api unggun semalam.
Aku goyang-goyangkan tubuh Merry. Matanya sih sudah terbuka tapi kemudian terpejam lagi. Ida tiba-tiba jingkat kemudian membenarkan jilbab hitamnya yang berantakan. “Yuk sholat yuk!”, katanya.
“Mer ... yuk, mau ikut ke Mushola gak?”, ajakku.
“Hemmm ...”, erangnya menggeliat lebar. Kakinya ngengkang lebar sekali, sampai-sampai kakinya mendarat di pangkuan Ida.
“Sopan banget nih kaki”, Ida mengeplak paha Merry.
“Duh! Sakit!”, jeritnya.
Kami jalan beriringan. Subuh-subuh begini udara dingin sekali. Mushola berjarak lima puluh meter dari tenda. Tidak begitu jauh sih, karena tanahnya lapang jadi mushola dapat terlihat dari tenda, karena tidak ada pohon yang menghalangi penglihatan jarak antara tenda mahasiswa dan mahasiwi dengan mushola itu.
Selesai ambil air wudhu, kami sholat berjamaah dipimpin oleh Ronnie. Suaranya bagus, merdu ... sekali. Selesai sholat kami saling bersalaman, melipat mukena, kemudian kembali ke tenda.
“Orang ma ... ngaji! Bukannya tidur!”, Ida dengan logat Betawinya biasa banget suka ngomelin orang, nah sekarang dia ngomelin aku.
Aku memejamkan mata tidak menghiraukan omongan Ida. Asyik mendengarkan yang melekat di telinga, speaker walkman melantunkan siaran kuliah subuh.
Merry berkeliaran di luar, ngobrol dengan para lelaki yang main gitar kemudian nyanyi-nyanyi bersama. Merry gadis yang manis, tidak heran apabila laki-laki selalu mengelilinginya karena Merry begitu mempesona di mata mereka, tapi bagiku sih! Biasa saja.
Yuli membenahi ransel hitam miliknya. Melipat dan merapikan pakaian. Barang-barang bawaannya adalah yang paling banyak. Maklum, tenda yang ditumpangi ini adalah miliknya jadi tas yang dibawa tentu besar-besar.
Aku tidur seperti orang mati tak bergerak teramat nyenyak. Beginilah kalau malam tak bisa tidur. Pagi, tiba-tiba ngantuk menyergap datanglah kemalasan teramat sangat. Malas ngaji subuh, malas olah raga, malas bantu-bantu orang yang berada dikesibukan pagi.
Aku membuka mataku sedikit, ada terang diluaran. Aku tengok arlojiku, pukul 08.12 hanya aku sendiri di dalam tenda. Kemana yang lain? Kok kosong. Aku mengintip keluar tenda dari celah rel-sleting. Di luar juga kosong pada kemana ya teman-teman?.
Aku raih sweter abu-abu kemudian keluar tenda. Nengok kanan nengok kiri, juga tak ada orang. Aku mencoba menengok ke tenda yang lain juga sama. Tak ada orang. Semua tenda pun kosong, kok jadi ninggalin aku sendirian sih. Aku mencoba mengambil kesimpulan. Oh ... paling-paling lagi antri mandi, atau lagi jogging atauuu ... ke pasar kaleee.
“Dor!!!”, suara seorang laki-laki mengagetkanku dari belakang.
Aku menoleh. “Nandar!?”, pekikku. “Pada kemana yang lain, kok sepi”, aku masih melihat kanan dan kiri.
“Jogging, kamu gak ikut mereka? Ngapain di sini sendirian”, katanya mengintrogasi.
“Baru bangun tidur”, jawabku singkat.
“Mau nyusul temen-temen kamu? Yuk aku antar”, katanya menawarkan jasa.
Aku menggeleng-geleng. “Malas ah!”, kataku.
Sebuah motor menghampiri kami, mengangkut dua kardus entah apa isinya.
“N’dar turunin”, kata pengendara motor. Menyuruh Nandar untuk membantu menurunkan kardus-kardus besar itu dari atas motor.
Nandar menuruti lalu mengangkut ke podium di tengah lapangan.
Aku mengikutinya dari belakang ingin tahu apa isinya. Sekalian ada teman daripada sendirian kayak sapi ompong kehabisan rumput he ... he ... he. Apa hubungannya ya? Oh makanan. Konsumsi. Ada nasi bungkus, mie instan, dan goreng-gorengan.
“Wah jadi lapar nih!”, kataku di belakang punggung Nandar.
“Ambil pisang gorengnya satu ya?”, aku mencomot dan menatap Nandar.
“Ambil aja, kan memang untuk dimakan”.
“Thank’s”, kataku kemudian.
“Nasi bungkusnya?”, Nandar menunjuk.
Aku menggeleng. “Entar aja, bareng sama yang lain lebih asyik”, aku ngunyem pisang goreng.
“Hei, makan sendirian aja gak bagi-bagi”, Ida menepuk pundakku.
“Iya nih!”, kata Yuli mengamati makanan yang masih di dalam kardus.
“Udah puasss, jalan-jalannya?”, aku mencibir.
“Tadinya kita mau bangunin tapi tidurnya nyenyak banget. Jadi gak tega mau ngebanguninnya”, kata Merry.
Kulihat Nandar memperhatikan kami kemudian sibuk kembali.
“Makan-makan-makan”, teriak Nandar.
Yang lainnya pun berdatangan dan berkumpul kembali. Duduk melingkar di Aula tengah lapangan.
Nandar membagikan nasi bungkus satu persatu.
Aku mulai membukanya. Ada ... telur lagi, telur lagi dari tadi malam menunya sambal telur melulu.
Lagi-lagi Yuli menyerahkan telurnya pada kami. Otomatis dia makan nasi dan sambalnya saja.
“Makan begitu doang emang enak?”, Ida memperhatikan Yuli yang asyik menyantap.
“Daripada gak dimakan sama sekali dan kelaparan ya ... nikmatin aja”, jawabnya.
Aku mengambil keripik pedas yang dibawakan Ibu dan kacang goreng asam manis di dalam tas. “Pake ini enak deh”, kataku.
“Dari kemaren kek!”, Merry melotot.
“Baru inget kalo punya simpenan he ...he ...he”, aku nyengir.
**
Satu, dua, gayung berisi air membasahi tubuhku. Tra ... la ... la ... tri ... li ... li ..., senandung lagu favoritku sejak masih kanak-kanak selalu aku lagukan. Wangi sabun fres memenuhi ruang kamar mandi. Aroma lemon dan melati menjadi aroma therapy tersendiri, menyejukkan dan menyegarkan.
“Dok-dok-dok!”, suara pintu digedor-gedor dari luar.
“Sudah belum, lama bener mandinya, cepetan gantian”, suara Merry membahana.
Aku sih cuek aja, karena waktu mandi adalah saat memanjakan diri. Tidak heran, aku bisa menghabiskan waktu sampai berjam-jam di kamar mandi.
Selesai berpakaian aku segera keluar. Sandalku basah berdecit-decit kena air. Di hadapanku sudah ada Yuli, Ida dan Merry yang siap-siap dengan argumentasinya masing-masing, wuiihhh ... lihat mata mereka tajam ke arahku tanpa berkedip, wow! Menakutkan.
“Mandi! Apa semedi?”, Ida sinis. Memainkan kaki yang digoyang-goyangkan. “Lumutan nih gue nungguin elo”.
“Siapa suruh nungguin, aku kan kalo mandi emang lama. Ini aja lupa belom luluran”, kataku meledek.
“Hah?”, pelongo mereka. “Luluran???”, jawab mereka serempak.
“Hei Non! Kita ini lagi kamping bukan holiday”, Merry merangkul pundakku.
Yuli cuma senyum-senyum.
“Jaga penampilan gitu lho!”
“O ... yeakh!”
Nandar menghampiri kami. “Wah ... sudah wangi nih!”.
“Ngapain kak? Mau nyamperin Rara ya ...?”, Yuli cengengesan.
Kusikut pinggang Yuli sampai dia mengaduh kesakitan.
“Bisa aja kamu”, Nandar malu.
“Deee ... segitunya, udah kalo mau ngobrol sama Rara bilang aja, gak usah basa-basi nanti keburu basi duluan”, cecer Merry.
Waduh si Merry ini kalau ngomong biasa banget suka ceplas ceplos, kan, jadi gak enak hati nih!.
Aku memperhatikan Nandar yang kemudian mengkodeku dengan matanya agar mengikutinya. Aku menuruti dan mengikuti langkahnya sambil menengok ke belakang lalu da ... dah ... da ... dah ... ke arah Merry dan Yuli. Jempol tangan Merry diacungkan kepadaku dan Yuli pun membalas lambaianku.
Nandar berbalik dan menatapku, lama dia diam. Sambil menunggunya berkata-kata apa yang ingin di sampaikan. Aku duduk di sebuah ayunan tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Tangan Nandar memegang besi ayunan dan berkata. “Kamu mau jadi pacar saya gak Ra?”, tanyanya tiba-tiba.
Kaget? Pasti! Langsung ditembak pakai kata-kata yang gak ada romatis-romantisnya sama sekali. Layaknya drama korea sang tokoh laki-laki menyatakan cintanya kepada si perempuan. Aku malah jadi penasaran kenapa dia langsung memintaku begitu.
“Kenapa aku harus jadi pacar kamu?”, Aku jadi berbalik bertanya. Hufff ... jujur saja, dia memintaku jadi pacarnya tapi aku tidak merasakan deg-degan sedikit pun, yang kurasakan hanya perasaan biasa gak ada ser-seran sama sekali.
“Ya karena kita kan sama-sama jomblo”, kata Nanda super cueks.
“He ... he ... he, iya aku, emang jomblo tapi kalo pacaran sih ... aku masih belum minat N’dar? Jadi aku belum bisa nerima permintaanmu untuk jadi pacar kamu”, kataku.
Nandar seperti berpikir dan diam beberapa saat.
“Kamu gak marah kan? Sama aku?”, tanyaku.
“Enggak ...”, jawabnya.
“Ngomong-ngomong kapan terakhir kali kamu nembak cewek N’dar?”, tanyaku penuh keingintahuan. Bukan apa-apa tembakannya barusan itu benar-benar meleset.
“Belum pernah”, jawabnya lagi. “Kenapa? Nggak romantis ya?”.
Aku tertawa. “Iya”.
Kamipun beranjak dari tempat itu, berjalan menuju tenda. Tiba-tiba kantong celanaku bergetar dan tak lama kemudian Ringtone Hpku berdering.
“Sebentar ya?”, aku berkata pada Nandar. Nandarpun berjalan mendahuluiku. Tinggallah aku berdiri sendirian menjawab telepon.
Kulihat di layar ponsel ada nama Andrew. Kok dia tahu nomor ponselku dan sejak kapan pula aku mencatatnya. Bertanya-tanya dalam hati. Oh iya! Kenapa bisa aku lupa ya ... kan, di jalan raya Bougenville, dia meminta nomor ponselku dan dia pula yang mencatatkan nomor ponselnya di Hpku.
“Halo ...”, sapaku.
“Lama sekali diangkatnya, sedang tidak ada di tempat ya?”, suara Andrew yang besar kelihatan berwibawa.
“Maaf di sekitarku banyak sekali orang, jadinya aku cari tempat yang agak tenang dulu untuk menjawab panggilanmu, ada apa? Kangen ya? He ... he ... he aku bercanda”, aku cengengesan. Sejujurnya aku senang sekali bisa ngobrol dengan Andrew lagi.
“Bagaimana keadaanmu, apa semuanya baik-baik saja?”, katanya perhatian.
“Iya, aku sehat sampai hari ini dan semuanya baik, tidak kurang suatu apapun, bagaimana denganmu? Dari suaramu kok, kamu kedengerannya agak lemah”.
“Sedikit flu, kemarin waktu main basket di Bogor, kehujanan. Biasanya sih gak masalah tapi kali ini ... mungkin karena kehujanannya lama, jadi sampai-sampai pas sampai di rumah, kepala pusing banget dan sekarang malah kena flu”.
“Andrew, punya badan jangan disia-sia. Kasihani tubuh kita biar terus terjaga, kalau sudah sakit kita sendiri yang merasakan. Sudah ke Dokter? Ke Dokter sana ... biar diobati”.
Aku sangat mengkhawatirkan Andrew, andai saja sekarang aku bisa ke tempatnya. Aku ingin sekali membantu merawat dirinya sampai sembuh. Sayang, aku tidak bisa dan lagi pula ... walaupun bisa, dia bukan siapa-siapa aku.
“Andrew, maaf ... sekarang aku belum bisa menjengukmu, mungkin besok kalau acara ini selesai”.
“Gak apa-apa justru tadinya saya tidak seharusnya meneleponmu, saya takut nanti kamu malah mengkhawatirkan saya”.
“Kok begitu, justru kalau kamu tidak kabari aku, nanti aku malah gak tahu keadaan kamu yang sebenarnya”.
“Iya-iya terimakasih, Rara saya gak bisa jemput kamu besok?”, suaranya bergetar.
“Aku yang akan datang menjengukmu”, kataku kemudian.
“Jangan lupa makan, nanti kamu ikutan sakit lagi”.
“Iya tenang aja, aku gak akan pernah melupakan yang satu itu”.
“Senyumku untukmu Rara”.
“Andrew ...”, kataku lirih. “Ya ... cepat sembuh”.
“Hemmm ...”.
Klik. Suara telepon ditutup.
Mataku nanar memandangi Setu yang jernih. Sinar matahari yang menyinari dengan terik tak terasa panas baranya. Segalanya tersapu angin dan rindangnya pepohonan di sekitar aku duduk di sini. Andrew sakit. Kenapa aku jadi memikirkan dan teramat mengkhawatirkannya? Andrew, cepat sembuh ya ... aku merindukanmu.
“Hei ... bengong, n’tar kesambet lho!”, Ida tiba-tiba menepuk punggungku hingga nafasku naik turun. Bukan karena kaget tapi tepukan Ida itu keras sekali hingga jantungku mau copot dari tempatnya. “Mikirin apaan sih! Kok serius banget”.
“Eh, eng ... gak kok cuma menikmati pemandangan, tak disangka ya? Bisa kamping di tempat sebagus ini”.
“Sudah yuk, sebentar lagi mau maghrib, siap-siap buat sholat berjamaah”, Ida beranjak dan kami pun berjalan menuju tenda.
Aku memandangnya sebentar kemudian dia menarik lenganku mengajak berdiri lalu berjalan menuju tenda.
Sholat Maghrib berjamaah. Seperti biasa dipimpin oleh Ronnie dengan suaranya yang lembut dan merdu. Alangkah indahnya suara itu, sedikit membuatku tenang dan berangsur hilang kegundahan hati.
Andrew sakit. Kenapa? Aku begitu mengkhawatirkannya. Ada apa dengan diriku hingga hatiku menjadi gundah gulana. Padahal habis ditembak Nandar tadi, tapi perasaan ini sangat berbeda. Ajakan Nandar untuk berpacaran aku tolak karena aku tidak memiliki perasaan spesial terhadapnya. Sangat berbeda dengan perasaanku sangat mengingat Andrew. Makan malam yang biasanya selalu dinanti-nanti. Kini seperti tak berselera sedikit pun. Tawaran Nutrisari jeruk peras favoritku yang menggiurkan juga terlewatkan begitu saja.
“Hemmm ...”, aku mencoba menarik nafas panjang.
Ronnie mengucapkan Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh untuk yang kedua kalinya. Aku usapkan kedua belah tangan ke wajahku yang masih berbalut kain mukena warna putih bermotif bunga-bunga Lily berwarna biru. Setelah bersalaman dengan jamaah di sebelahku, aku berzikir dan berdoa meminta kesehatan dan memohon perlindunga kepada Allah.
Ya Allah
Engkau yang selalu bermurah hati
Memberi perlindungan kepada setiap umatmu,
Jagalah kekasih hatiku
Limpahkanlah kesehatan kepadanya
Dan lapangkanlah dadanya
Untuk menerima ujianmu
Ya Allah
Ada apa denganku?
Hingga aku teramat memikirkannya
Bantulah aku, ya Allah
Agar tidak terjerumus ke dalam lingkaran nafsu duniawi
Engkau maha pemurah
Dan maha penyayang
Jagalah ia untukku
Lindungilah ia untukku
Sinarilah mutiaramu
Ke dalam hatiku dan hatinya
Untuk senantiasa suci
Ya Allah
Tiada Tuhan selain engkau
Yang dapat kumintai pertolongan
Ampunilah dosa-dosaku dan dosannya
Yang disengaja maupun yang tidak di sengaja.
Robbana atinna fiddun yaa hassanah, wafilakhiroti hassanah, waqinna azabannar.
Kulipat mukena disertai jatuhnya setetes air dari pelupuk mata, bak mutiara hati yang jatuh kelembaran suci membuatku terharu. Kuberanikan diri untuk menyeka mataku dan menoleh ke kanan dan ke kiri, kosong. Pada kemana yang lain? Sepi, hanya tinggal beberapa gelitir orang di Mushola itu. Teman-teman pun tak ada di sini, pasti mereka semua meninggalkanku.
Aku berdiri lalu keluar dari Mushola. Mengenakan sandal jepit berjalan sendirian diikuti Ronnie yang sudah tiba di sampingku.
“Ada masalah? Yang dapat mengganjal di hati? Doanya pasti langsung sampai ke sana”, Ronnie menunjuk ke atas.
Aku senyum, hanya bisa mengamienkan kata-katanya.
“Merry, Yuli dan Ida sudah balik dari tadi. Mereka nungguin kamu kelamaan dan takut mereka ganggu kekusyuan doa kamu, jadinya mereka balik ke tenda duluan. Sampai-sampai mereka pesan supaya saya menemani kamu di sini sebentar”.
Lagi-lagi aku cuma bisa senyum mendengarkan perkataan Ronnie barusan. Aku baru menyadari bahwa di sekitarku banyak teman-teman yang memperhatikanku, menyayangiku dan aku tak pernah habis pikir kalau aku dahulu suka sekali menghardik Tuhan bahwa aku diciptakan begitu miskin. Menganggap aku tak berarti apa-apa. Begitu jelek, kesepian dan tidak memiliki harta yang bisa dipamerkan.
Kini aku baru sadar kalau harta yang paling mahal dalam hidupku hanyalah kasih sayang. Ibu dan Ayah, teman-temanku yang begitu perhatian walaupun terkadang mereka begitu menjengkelkan. Maafkan aku kalau selama ini di hatiku selalu ada lebah yang menyengat diam-diam membenci kalian.
Aku beranjak berdiri, mengenakan sendal dan berjalan ditemani Ronnie di sampingku.
“Kalau kamu punya masalah, kamu bisa curhat sama aku”, senyum Ronnie.
“Terimakasih atas perhatiannya, tapi apa mukaku seperti orang yang punya masalah?”, mataku mendelik.
“Mata seseorang tidak bisa dibohongi walau sudah ditutupi seperti apapun”.
Senyumku mengembang lebar sekali.
“Jangan ketawa kalau gak mau ketawa, ketawa dipaksa-paksa malah kelihatan jelek”, kata Ronnie.
Aku cemberutkan wajahku.
“Tuh kan tambah jelek”, ledek Ronnie.
“Iiih dasar! Ronnie, aku cakar kamu”, marahku.
Ronnie berlari. “Wah Rara kalau marah bisa nyakar orang, takut ah”, Ronnie masih asyik ngeledek.
“Hei tunggu jangan lari, pengecut”.
“Atut ah atuut”, lidah Ronnie melelet kaya anak kecil.
Buat aku terpingkal-pingkal sejenak.
Ronnie malah lari meninggalkanku.
“Dasar, laki-laki tidak bertanggung jawab, katanya mau temenin malah ninggalin. Sebel!”, kupercepat langkahku agar cepat-cepat sampai ke tenda.
Kepalaku nongol di hadapan teman-temanku. “Assalamualaikum”, cengirku di hadapan mereka.
Merry sibuk ngobrol lewat ponselnya. Asyik benar kelihatannya. “Ngobrol sama siapa?”, tanyaku pada Yuli.
“Biasa, Yayangnya yang sudah dua hari gak ketemu”, tangan Yuli ribet makan kuwaci.
Aku hanya meng-oh-kan. “Iya lupa, aku juga kan harus telepon Ibu, jadi lupa tuh!”, kataku pelan. Kupencet nomor telepon rumah dan tidak lama kemudian tersambung.
Di seberang aku mendengarkan pesan Ibu supaya aku jaga diri baik-baik, jangan lupa sholat dan bertutur katalah yang sopan, jangan suka berbuat yang tidak pantas dan jangan terlalu memikirkan yang bukan masalah sama sekali.
“Iya Bu ... Rara ngerti, Rara dengar nasehat Ibu, selamat malam Bu ... Rara sayang Ibu”, aku mencium Ibu dari jauh.
Walaupun kami jauh, tapi hati kami selalu dekat. Sejak kecil aku selalu berada di samping Ibu, walaupun Ibu suka sekali marah dan terkadang aku pun suka kesal dengan sikap Ibu tapi aku selalu merindukannya. Begitulah sosok Ibuku, suka marah, suka banyak bicara yang gak penting, suka ngomel dan sampai sebesar ini aku masih suka di bentak-bentak olehnya.
Bagiku tak lengkap bila sehari tidak diomeli, tiada hari tanpa dimarahi kecuali hari ini. Aku jadi kangen dengan bicara Ibu yang keras seperti orang marah-marah.
Kasih Ibu sepanjang masa
I love you, mam.
***
“Siapa yang mau naik bebek?”, Nandar menunjuk ke Setu.
Setu selain indah tidak hanya dapat dipandangi saja tetapi dapat dinikmati. Indahnya dengan menumpangi bebek-bebek yang berwarna-warni bentuknya sama seperti yang ada di Taman Mini Indonesia Indah. Ada yang berwarna kuning, oranye, dan merah.
Aku langsung senang saat Nandar menawarkannya padaku dan teman-teman. Lantaran ini tiketnya gratis. Nandar yang beli, cukup mahal memang harga satu tiketnya. Per-orang sepuluh ribu rupiah.
“Pake pelampungnya, buat jaga-jaga”, kata pemilik bebek memberikan pelampung pada kami satu-satu.
Setu ini memang dalam, namanya juga Setu, kalau tercebur pasti tenggelam.
Aku menumpangi bebek yang berwarna oranye ditemani Widi kakak senior. Aku mengenal dia karena satu Departement di Kebudayaan.
Orangnya kecil, imut, pendek, berhijab dan mulutnya pintar bicara. Otaknya juga smart, kacamata itu selalu melengkapi penampilannya yang jenius. Benar-benar gadis yang sempurna.
Yuli dengan Merry menumpangi bebek berwarna merah, sedangkan Ida dengan Nandar menumpagi bebek warna biru. Hi ... hi ... hi, wah romantis sekali.
“Setunya bersih ya Mbak?”, aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mbak’ karena saat pertama kali bertemu dengannya aku sudah memanggilnya begitu. Melihat penampilannya waktu itu seperti ‘mbak-mbak’. Tentu dia sangat tidak keberatan.
“Indah banget. Coba yang di samping ini pacarku, pasti sudah kupeluk dia”, katanya menunjuk diriku.
“Mbak sudah punya pacar?”, mataku mendelik. “Boleh tahu pacar mbak itu orangnya seperti apa?”.
“Hemmm ...”, dia menarik nafas panjang. “Orangnya biasa saja, tapi kalau dinilai dari sifatnya, dia itu baik, sayang banget sama aku. Ini buktinya”, Widi menunjuk cincin bermata hati di jari manisnya.
“Mbak sudah tunangan ya?”
Widi mengangguk. “Dia beri cincin ini sewaktu kami merayakan hari jadi kami yang kedua tahun”.
“Aku jadi iri nih ngeliatnya”, aku gigit jari.
“Kalau Rara siapa pacarnya, cerita dong”.
Aku bingung sendiri, kugelengkan kepalaku perlahan dengan tatapan nanar ke depan menatap air di hamparan.
“Tapi pasti sudah ada laki-laki yang disukai?”, Widi ingin tahu.
“Gak tahu juga, aku belum memutuskan mba, karena aku sendiri masih belum yakin”, jawabanku.
“Oh bingung sama pilihan ya?”, Widi menebak.
Mataku melotot. “Kok bisa nebak begitu sih?!”.
“Habis, reaksinya begitu, berarti lagi bimbang menentukan apakah dia orang yang tepat untuk Rara pilih”.
Mataku melotot lagi. “Maksudnya bagaimana aku jadi gak ngerti!”.
“Kamu yang ngejalanin kok tanya mbak sih, harusnya kamu yang kudu ngerti diri sendiri”.
“Mbak? Aku memang sedang resah, tapi aku sendiri bingung. Sebenernya apa yang sedang kupikirkan”, aku lesu darat.
“Cari jawabannya di hati kamu, hati yang paling kecil ... sekali, di situlah jawaban tersimpan”.
Aku memandang Widi, mencoba menatap mata di balik kacamatanya. Terus terang, aku selalu merasa tenang jika ngobrol dengannya. Widi orangnya lembut, tegas dan misterius. Penuh teka-teki di balik kata-katanya, dan aku selalu suka mendengar ceritanya.
**
Gerimis Setu di tengah hari. Aku duduk bersila dinaungan pendopo pinggir Setu yang hijau. Di hadapanku sudah tersedia segelas air mineral, kerupuk, dan nasi bungkus. Merry memberikannya satu nasi bungkus kepadaku.
Aku tidak sendiri, ada Ronnie dan yang lainnya. Aku tolehkan wajahku ke samping kiri, Widi sedang menikmati makanan lalu ia menawarkan keripik pedas kepadaku yang dibawanya. Aku menggeleng karena selera makanku agak berkurang siang ini. Entah mengapa, biasanya aku paling antusias melahap makanan di depanku apapun menunya selama itu masih dalam kode halal.
Nandar tiba-tiba duduk di sampingku sambil menenteng makanannya dan ia tersenyum. Sebuah jeruk ia berikan padaku tanpa berkata.
Aku mengucapkan terimakasih dan tersenyum kepadanya. Dari jatah nasi bungkus ada buah jeruk di masing-masing peserta LDKO. Aku jadi memiliki dua buah jeruk. Ada sedikit perasaan tak enak sebenarnya. Ajakan berpacaran dari Nandar aku tolak. Semoga hingga saat ini dia bisa melupakan dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa kemarin.
Sore ini adalah acara penutupan LDKO yang dipimpin oleh pembina BEM sekaligus Dekan Kampus. Bapak ini datang pada saat makan siang dan setelahnya langsung memimpin penutupan acara yang diselenggarakan selama tiga hari dua malam ini.
Bagiku acara ini sangat berkesan. Selain menambah teman dan kenalan baru sesama mahasiswa dan mahasisiwi Universitas. Aku juga dibuat terkesan oleh ajakan Nandar. Aku juga jadi tahu sosok Ronnie yang cuek, gondrong, ternyata masuk kategori pria sholeh yang mampu memimpin sholat berjamaah dengan suara lantunan ayat suci yang begitu merdu sekali. Aku jadi tersadar, agar jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya. Terkadang cassing sangat menipu. Luar mulus belum tentu dalamnya bagus.
Setelah acara penutupan, karena ini adalah hari ketiga dan kami akan segera pulang ke rumah kami masing-masing. Kami saling bersalaman, meminta maaf apabila selama beberapa hari ini kami memiliki kesalahan baik tutur kata maupun perbuatan. Jangan sampai setelah acara ini selesai ada dendam di antara kita, hahay.
Aku menumpangi bus yang langsung membawa kami kembali kampus. Suasana dalam bus yang riang sambil bernyanyi dipimpin oleh Nandar. Aku terbawa suasana happy. Sesampainya di kampus aku langsung berjalan ke luar gerbang kampus. Tidak lama Nandar di belakangku dengan mengendarai motornya.
“Ra, saya antar pulang”, ajak Nandar.
Tanpa basa-basi lagi aku naik ke motornya untuk segera pulang. Aku tak tega harus menolaknya karena jujur saja, kuingin segera pulang.
Kece ceritanya berasa kenal sama kotanya
Comment on chapter Cowok Pelempar Bola