Read More >>"> RARANDREW (Propesa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RARANDREW
MENU
About Us  

“Ibu, Rara pergi dulu. Assalamualaikum”, aku berlari sampai keluar komplek yang berjarak sepuluh menit dari rumah.

Aku berhenti berlari lalu menyetop mobil angkutan, sudah pukul 17.45 jarak dari rumah ke kampus adalah enam puluh menit perjalanan. Tanganku menepuk jidat, mati aku! Laporan ketinggalan, bisa runyam nanti kalau ketemu Merry. Pasalnya laporan itu adalah pekerjaan kelompok yang dikerjakan oleh empat orang teman-temanku dan malam ini akan dipresentasikan di depan Dosen.

Kenapa jadi pontar-pantir begini sih. Ini semua gara-gara Lusi. Coba dia tadi tidak mengajakku ke Mal pastinya tidak akan buru-buru begini. Runtukku komat-kamit. Sesal memang datangnya belakangan, andai saja aku tidak pelupa dan selalu hati-hati.

Terlihat gedung kampus Universitas Pamulang dari kaca mobil. Turun dari angkot, aku berjalan menyusuri gang dan memasuki pelataran parkir gedung kampus. Lingak-linguk mencari-cari siapa tahu ada mahasiswa atau mahasisiwi yang benar-benar aku kenal dan mengajakku ngobrol.

“Hei, sudah masuk!”, Merry menghentakan kakinya dan membuatku sedikit berpaling.

“Sudah tahu!”, jawabku singkat.

“Mana laporannya? Sudah jadi kan?”, tangan Merry menengadah.

“Aduh Merry, sorry banget aku lupa bawa”, aku menatapnya seperti orang memelas.

“Oh ye ... jangan bercanda deh, mana sini?”, Merry menyeringai.

“Sungguh, aku benar-benar lupa, aku tidak bohong”, ulangku.

“Rara nanti kalau Dosennya minta gimana?”, Merry marah-marah.

“Ya kalo memang ketinggalan? Masa iya aku harus pulang lagi”, aku membela diri.

“Oke-oke tapi nanti kamu yang jelasin ya kalau laporannya tidak ada”, Merry menoleh.

Aku mengangguk, baiklah aku harus bertanggungjawab dimarahi Dosen. Bagaimana pun juga ini adalah salahku. Salah aku. Orang lain tidak salah. Jadi aku yang harus menjelaskan panjang lebar apapun alasannya kepada pak Dosen yang terhormat dan tentu saja meminta maaf kepada teman-teman semuanya kalau aku tidak akan mengulanginya lagi. Dasar Rara pelupa!.

Ihh, nyebelin banget ya hari ini. Laporan ketinggalan, diomelin Merry. Belum lagi ceramahannya teman-teman yang lain masalah aku yang tidak bertanggungjawab. Tapi ... bagaimanapun juga aku tipe orang yang tidak mau membesar-besarkan masalah. Karena masalah ada di dalam diriku sendiri tak perlu orang lain tahu, itu mottoku.

Aku masih berjalan-jalan di koridor kampus tanpa tujuan, setidaknya dengan berjalan sendirian dapat menghiburku walaupun sedikit. Melihat-lihat Mading yang tertempel dan membacanya. Hah! Itu puisiku? Wah ... ternyata puisiku bagus juga sehingga para Sekretariat mau menempelkannya.

 

Intropeksi

Siapa yang mesti dipermasalahkan

Bila kemunafikan tertanam di dalam diri

Jangan pasang muka masam

Jika hidup tampak tak berpihak pada kebaikan

 

Lupakah? Wahai umat duniawi

Bahwasannya hidup ini cuma sekali

Kita masih berkesempatan

Untuk melakukan kearifan

 

Tanamkanlah budi pekerti

Untuk membina derajat yang lebih tinggi.

A-moon de Naoko

Sasindo sem-3

 

“Puisi yang sederhana tapi memiliki makna yang mendalam”, suara kakak senior Sastra Inggris semester delapan menghentakanku dari kekhusyuanku membaca Mading. “Kamu-kan yang tulis puisi itu? Walaupun namanya tidak tercantum dengan jelas, hanya A-moon de Naoko, Sasindo sem-3. Saya tahu kalau puisi itu milik Rara, iya kan?”, dia masih menatapku.

Walaupun tatapannya membuatku tidak bisa berkata banyak karena sesungguhnya aku ingin sedikit berbohong agar dia tidak memuji yang macam-macam atau mengkritik berlebihan. Yeakh ...

“Dari mana kakak tahu kalau puisi itu karya aku?”, aku bertanya.

“Aku tahu karakter setiap orang lewat tulisannya, dan kamu tipe orang yang mengikuti kemana arah angin berhembus dan tidak meninggalkan dirimu yang sesungguhnya. Memiliki pendirian teguh, mencerna baik-baik apa yang terjadi di sekeliling dan di hadapanmu”, ceramahnya.

“Wow!”, wah sepertinya terkaannya tentang aku benar delapan puluh persen, belum seratus persen sih ... sama saja. Dasar orang aneh. “Betulkah begitu?”, aku mendelik.

“Apakah benar begitu?”, dia berbalik bertanya.

“Tidak juga sih”, kataku lagi.

“Berarti fifty-fifty dong?”

“He ... he ... he, kakak jangan jadi paranormal deh, yang suka menebak-nebak orang lewat tulisan”, aku menyanggah pendapatnya.

“Karena sesungguhnya aku ini ingin jadi paranormal”, katanya lagi.

“Apa enaknya jadi paranormal?”, aku menatapnya. “Selalu ingin tahu permasalahan orang lain atau memamerkan kemampuan dapat melihat makhluk halus?”, sebenarnya aku kurang suka dengan paranormal. Mereka cenderung menganggap bahwa dirinya hebat dan orang bisa memuji-mujinya.

“Begitu burukkah penilaianmu tentang seorang paranormal di matamu?”, dia malah menatapku dengan tajam.

Membuatku takut, jangan-jangan dia hendak menghipnotisku. “Tidak tahu”, aku berbalik meninggalkannya sendirian di situ. Sedikit tidak sopan memang. Aku muak kalau harus berdebat panjang lebar dengannya, nggak penting gitu lho!.

***

Aula dipenuhi para mahasiswa dan mahasiswi baru. Aku berdiri di barisan paling depan mengenakan jaket Almamater biru dan kocard tanda bahwa aku adalah bagian dari kepanitian Propesa malam ini.

Cama dan Cami (panggilan untuk peserta Propesa). Cama (panggilan untuk laki-laki), Cami (panggilan untuk perempuan).

Aku sibuk mengatur para junior untuk melaksanakan tugas malam ini dengan atributnya. “Cama, Cami, untuk kelengkapan tugas dari para Raka dan Nita. Kemarin telah disampaikan bahwa hari ini membawa barang-barang berupa atribut Propesa. Diantaranya kocard dan topi militer. Untuk itu saya meminta agar Cama dan Cami memakainya”, aku berjalan mondar mandir dari depan ke belakang. “Bagi mereka yang tidak menggunakan salah satunnya akan ada sanksi dari Raka dan Nita”.

Raka dan Nita (panggilan untuk panitia Propesa). Raka (panggilan untuk panitia laki-laki), Nita (panggilan untuk panitia perempuan).

“Permisi Nita. Saya tidak bawa topi militernya”, seorang Cama bertubuh pendek gendut, mengacungkan tangan.

Salah seorang Raka menghampiri perserta Propesa itu kemudian membaca namanya yang tertempel di dada si Cama. “Junaedi”, Raka Nandar membacanya keras-keras. “Punya alasan yang masuk akal untuk membela diri?”.

“Begini Raka, siang hari saya bekerja. Saya tidak sempat membuat kocard dan topi militernya, untuk itu saya meminta tolong kepada adik saya untuk membuatkannya. Sewaktu saya pulang ke rumah dari tempat kerja, saya hanya mendapatkan kocardnya saja. Dikarenakan adik saya tidak bisa membuatkan topi militer yang saya minta. Karena saya tidak mau terlambat sampai kampus, jadi saya tidak membuat topi itu. Mohon Raka dan Nita dapat maklum”, Junaedi menjelaskan panjang lebar.

“Oke. Alasanmu saya terima, namun sesuai peraturan di sini. Siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi. Karena kamu punya alasan yang dapat diterima. Maka hukuman yang harus kamu lakukan adalah cukup menari di depan seluruh teman-teman dengan gaya tari Ular. Seperti yang dilakukan oleh penari-penari India itu. Bisa kan?”, kata Raka Nandar.

Junaedi tampak berpikir sebentar, tidak lama kemudian dia berjalan keluar barisan dan berdiri di podium. Alunan musik India seperti lagu-lagu yang dimainkan para penari untuk memanggil ular-ular diputar. Junaedi mulai dengan aksinya di atas panggung berlenggak-lenggok seperti cacing kepanasan.

Spontan semua yang ada di Aula tertawa terkekeh-kekeh menyaksikan Junaedi yang sedang menari. Tariannya benar-benar tidak mirip dengan tari Ular dari India melainkan lebih mirip tari Hula-hula dari Hawai.

“Kamu jahat banget sih N’dar kasih hukuman”, Merry berbisik di telinga Nandar. “Gimana coba kalo nanti dia malah dendam sama kamu?”, Merry nunjuk-nunjuk.

“Tau tuh!”, aku menatap kasihan dan agak kaget sebenarnya sama hukuman yang di berikan sama Nandar. “Tapi itung-itung hiburan gratis”, kataku cengengesan.

Junaedi terus bergoyang melenggak-lenggok ke kanan dan ke kiri. Musik belum berhenti dan Junaedi terus menari. Makin lama tariannya semakin mirip walau tidak semirip dengan aslinya. Dia mulai melenturkan tubuhnya agar bisa di bilang mirip Ular, lalu merayap-rayap ke lantai podium seperti rayapan Ular. Dia merangkak, sepertinya ...  dia mulai menjiwai alunan musiknya.

Tepuk tanganpun membahana ke seluruh ruangan Aula. Sepertinya Junaedi punya fans baru yaitu teman-temannya yang merasa terhibur oleh aksinya barusan. Setidaknya ini menjadi hiburan bagi seluruh peserta yang hadir di malam ini. Ya ... memang sih! Mungkin sedikit keterlaluan ulahnya Nandar.

Junaedi kembali ke barisan dengan nafasnya yang kecapean. Keringat mengucur di tubuhnya yang gendut. Tarian tadi membakar kalorinya dan mungkin bisa menurunkan berat badan untuk postur tubuhnya yang mirip gulungan kasur.

“Terimakasih, karena kamu telah menghibur teman-temanmu yang ada di sini”, Nandar menjabat tangan Junaedi erat-erat.

**

Usai acara Propesa malam ini pukul 23.10 aku bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Sudah larut begini, sedikit ciut nyaliku untuk pulang sendirian.

“Rara mau pulang bareng gak?”, Nandar berhenti di sampingku dengan motornya yang ala-ala motor tril, suaranya berisik bram-brim-brum. Sebenarnya ingin sekali kutolak, tapi daripada kemalaman, jadi ... aku ‘iya’kan saja ajakannya.

Duduk di belakang Nandar, aku sedikit kikuk. Lantaran aku kan belum begitu kenal dengan dia. Baik banget ya ... mau nganterin. Tapi bagaimana pun juga dia bermaksud baik mengantarku sampai rumah. Seorang anak gadis tidak baik pulang larut malam naik angkot sendirian. Bahaya. Kata Ibu yang kata-katanya selalu terngiang-ngiang di telingaku.

“Ra ... besok kamu ikut LDKO?”, Nandar membuka pembicaraan.

“Gak tau, aku belum bilang sama orangtua, pengennya sih ikut. Mudah-mudahan di izinin”, kataku.

“Ikut aja, asyik lho”.

“Hah! Asyik? Emang ngapain aja?”

Seingatku LDKO itu kepanjangan dari Latihan Dasar Kepemimpinan Orientasi. Sewaktu SMU, aku termasuk siswi yang rajin ikut-ikutan LDK-LDK semacam itu. Makanya ekstakurikulerku banyak dan aku tahu betul yang namanya LDK itu ngapain dan diapain saja. Ya ... dikerjain gitu sama senior.

“Kalau kamu ikut, besok aku jemput deh. Sekalian meyakinkan orangtuamu untuk mengizinkanmu ikut LDKO besok”, Nandar masih sibuk melajukan motornya menembus malam yang diterangi lampu-lampu jalan.

“Insyaallah ya ...”, kataku kemudian.

Motor berhenti tepat di depan rumahku. “Mau mampir dulu N’dar? Sekalian minum kalau gak keberatan”, kataku menawarkan dan turun dari motor.

“Gak usah, salam aja buat orangtua kamu. Orangtua kamu juga pasti sudah tidur”, Nandar kembali menstarter motornya.

“Terimakasih udah nganterin aku sampai rumah, sampai jumpa besok”, aku melambai, melihatnya mengendarai motornya dan pergi menjauh.

Aku masuk ke dalam rumah. Aku lihat Ayah dan Ibu tidur di kamarnya dan aku langsung ke kamar tidurku. Aku mengganti bajuku dengan piama. Tidak lupa membersikan muka, gosok gigi, cuci tangan, cuci kaki, lalu naik ke ranjang.

**

Beker membahana ke seluruh ruangan membangunkan aku dari kelelapan. Sebuah bantal melayang menjatuhkan beker lalu mati dalam sekejap. Tubuh di balik bedcover pink bermotif bulan sabit bintang-bintang kecil, masih asyik mendengkur melanjutkan kelelapannya. Sinar cerah matahari memaksa menerobos tirai hijau daun-daun di celah-celah jendela tiga kusen.

Wajah Andrew melayang-layang dalam mimpi. Mengejar kesana kemari, bermain bola basket saling lempar-lemparan dan tertawa-tawa bersama. Andrew memeluk pinggangku yang ramping, memberikan sekuntum bunga Mawar merah kesayangan yang romantis. Aiiihhh ... .

 “Rara ... sudah jam sepuluh, masih belum mau bangun juga?!”, kepala Ibu nongol di pintu. “Rara cepat bangun, perawan kok gini hari belum bangun sih”, kata Ibu lagi meledek. Menarik paksa selimut yang membungkus tubuhku.

Wajahku muncul dari balik selimut masih mengerjap-ngerjapkan mata. Apa benar-benar sudah siang? Mengucek-ngucek mata. Aku lihat Ibu menggantung sebuah kemeja lalu membuka tirai jendelanya lebar-lebar, membuat sinarnya menerobos masuk sehingga menusuk-nusuk kulitku yang berbalut piama biru langit kotak-kotak.

“Tadi malam pulang jam berapa?”, tanya Ibu sambil merapikan buku-buku dan majalah yang berserakan di atas lantai karpet Snoopy.

“Setengah satu kali!”, jawabku singkat. “Ayah sudah pergi ke kantor ya Bu?”.

“Dari tadi pagi dong”.

“Rara mau minta izin, ada acara kampus. Kamping ke Gintung tiga hari. Acaranya LDKO”.

“Harus nginap ya?”, Ibu mendelik menatap tajam mataku.

Aku mengangguk. “Boleh ya ...???”.

“Ibu pikir Rara sudah dewasa, sudah bisa menjaga diri sendiri, bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri, Ibu sudah tidak mungkin mengekang Rara lebih lama lagi. Apa yang ingin Rara lakukan , lakukanlah selama itu adalah hal-hal yang positif. Jauhkan hal-hal yang dapat merusak diri. Bisa menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik, jadi Ibu mempercayai Rara dan Ibu mengizinkannya”.

Aku memeluk Ibu. “Terimakasih, Ibu”, satu kecupan hangat mendarat di pipi Ibu.

Aku mempersiapkan segalanya mulai dari baju, celana, perlengkapan sholat, perlengkapan mandi, dan perlengkapan makan. Aku masukan ke dalam ranselku, tidak lupa membawa obat-obatan apabila dibutuhkan dan makanan ringan apabila kelaparan.

Aku melihat kemeja hijau tergantung di gagang pintu lemari. Kemaja punya Andrew. Aku menghampiri, aku sentuh kemejanya dan berkaca di depan cermin. Melihat diriku sendiri di depan kaca sambil memegang kemeja itu seolah-olah mengepaskannya di badan.

Aku slempangkan handuk kuning ‘Long Beach’ milikku. Mulutku masih asyik bersenandung tra... la... la... tri... li... li, jadi ingat waktu SMP. Tralala trilili itu lagu kesayanganku. Masuk kamar mandi, memutar keran shower, air mengucur deras, lama ... sekali.

Keluar kamar mandi, cepat-cepat beranjak ke kamar lalu berpakaian. Celana Armi, kaos putih, sweter abu-abu, kets hitam, rambut di ikat ekor kuda. Siap berangkat. Eh ... nanti dulu, kan belum makan.

Keluar kamar menuju ruang makan. Sudah pukul 12.05 ini sih bukan breakfast tapi sekalian lunch time gitu lho. Ibu menyiapkan telur dadar, sop ayam dan tempe goreng garing kesukaanku. Wah enak deh pokoknya.

“Ingat ya, walaupun nanti di sana sibuk, kamu harus rajin-rajin kirim kabar ke rumah”, pesan Ibu.

“Oke deh! Beres, tenang aja Bu ... Rara pasti telep Ibu sama Ayah. Gak usah khawatir. Kan Ibu sendiri yang bilang kalau Rara sudah dewasa”, kataku.

Tak lama telepon berdering. Ibu mengangkat.

“Rara ada telepon”, kata Ibu pelan.

“Dari siapa?”, tanyaku pelan lagi.

“Andrew”, Ibu memonyongkan mulutnya.

“Hah! Ada apa ya?”, aku bergegas meraih gagang telepon.

“Halo, asalamualaikum”, sapaku.

“Walaikumsalam, Rara ya?”, jawab suara di seberang sana.

“Ya, hemm ... ada apa ya”, aku melirik Ibu di dapur.

“Lagi ngapain?”, pertanyaan yang gak penting banget.

“Lagi makan, terus mau berangkat kamping”.

“Kamping? Di mana? Acara kampus ya? Pantes gak ngajak-ngajak”.

Emang penting ya harus ngajak dia. “Iya ... tiga hari”.

“Oh, aku doain biar selamat sampai tujuan”

 “Thank’s ya? Nanti kalau aku sudah pulang aku telep kamu deh”.

“Di mana tadi?!!”

“Gintung”

“Tiga hari ya? Pulangnya selasa dong, jam berapa?”

“Gak tau kemungkinan habis dzuhur

“Kalau saya gak sibuk, saya jemput boleh gak?”

“Boleh aja”

“Iya deh, hati-hati ya?”

“Hemmm, makasih”

“Asalammualaikum”

“Walaikumsalam”.

Andrew menutup teleponnya.

Terdengar bunyi bram-brim-brum suara motor Nandar di luaran. Aku mengintip dibalik gorden. “Nandar”, pekikku sambil berbisik sendiri. On time banget! Baru juga belum jam satu. Padahal ngumpul di kampus jam setengah tiga, paling-paling ngaret sampai jam empat.

“Assalammualaikum?!!!”, suara Nandar terdengar dari luar pagar. Tapi aku masih memperhatikannya.

Ibu memperhatikanku yang hanya berdiri di balik pintu sambil mengintip ke jendela di sela-sela gorden ruang tamu. “Rara, ada tamu kok gak dibukain pintunya?”, terdengar suara Ibu dari dapur.

Aku nyengir ke Ibu. Ih malas banget deh. Aku memutar gagang pintu sampai terbuka setengah. “Walaikumsalam”, jawabku. “Cepat banget datangnya? Aku baru mau beres-beres”, kataku membuka pagar.

Nandar masuk. “Niatnya sih sekalian mau main, pengen kenalan sama keluarga kamu”, Nandar celingak-celinguk.

“Cuma ada Ibu di dalam, Ayah ngantor”, aku mempersilahkan Nandar duduk di ruang tamu.

Nandar cowok hitam manis bermata sipit, bertubuh gempal, rambutnya keriting dan lebat, tapi wajahnya ke arab-araban. Mana ada orang Arab matanya sipit sih! He ... he ... he.

Aku pergi ke dapur meninggalkan Nandar di ruang tamu untuk mengambilkan air minum untuknya, karena di rumahku tidak ada pembantu.

Ibu keluar menyapa Nandar. “Teman kampusnya Rara ya?”, Ibu menjulurkan tangan.

“Iya Tante, selamat siang, saya Nandar”, Nandar mencium punggung tangan Ibu.

“Satu tingkat dengan Rara juga?”, tanya Ibu.

“Oh gak Tante, saya semester tujuh”.

“Seniornya kalau begitu”.

Nandar mesem-mesem. “Iya Tante, begini ... saya datang ke sini sekalian mau minta izin sama Ibu untuk menjemput Rara. Ada acara LDKO dari kampus ke Situ Gintung”.

“Oh LDKO ... tadi Rara sudah cerita tentang itu, dan Ibu sudah izinkan”.

“Syukurlah kalau begitu Tante”.

 

Rara kenal Nandar sewaktu ikut acara BEM (Badan Eksekutif Mahasisiwa). Pada waktu itu Nandar merupakan salah satu kandidat calon Presiden BEM. Tapi sayang, dia kalah banding empat dan gagal merebut kursi kepemerintahan yang pada akhirnya dia tertulis sebagai Menteri di Departement Kesenian dan Olahraga.

Pamornya banyak sih, selain pintar, do’i juga termasuk pengurus yang tidak asing lagi di mata Rara dan kawan-kawan karena, setiap Rara mau tanya tentang apapun pasti sama dia, walaupun beda Departement.

Aku meletakan air putih di depan Nandar lalu duduk. “Di minum N’dar, maaf adanya cuma air putih”, aku mempersilahkan.

“Gak apa-apa, air putih kan bagus, lebih sehat malah”, katanya dengan nada menghibur, deueu.

“Tante tinggal dulu ke dalam ya? Diminum airnya”, Ibu beranjak dari tempatnya.

“Terimakasih Tante”.

Aku memutar Chanel, Nandar nonton TV, biar gak BeTe.

“Aku tinggal ke dalam dulu ya? Aku masih belum rapi jadi mau siap-siap dulu”, kataku.

“Iya-iya gak apa-apa”, matanya Nandar menonton televisi.

***

Gintung, pukul 16.57 begitu asri, sejuk dan lengang. Pengunjungnya terdiri orang-orang setempat dan kini para Mahasiswa dan Mahasiswi dari Universitas Pamulang meramaikan suasana Situ yang agak sepi itu. Lapangan yang hijau oleh rumput gajah luas namun ada sebuah pohon asam yang rindang berdiri di tengah-tengah lapangan. Di samping lapangan berumput ada sebuah lapangan Tennis di kelilingi pagar kawat jaring-jaring, di luaran pagar kawat itupun berderet pohon Palem botol tinggi besar-besar. Menengok ke kanan terhampar Situ Gintung yang menawan tempat kami berpijak, kanan dan kirinya adalah Setu. Jadi, bisa dibilang lapangan ini di kelilingi air, seperti pulau. Airnya memantulkan cahaya mentari saat memasuki petang.

Matahari yang mulai tenggelam, langit sedikit kelabu. Satu, dua rintikan hujan mulai turun menjadi gerimis. Para mahasiswa mulai bekerja mendirikan tenda-tenda di tengah lapangan dekat bawah pohon asam.

Aku masih berjalan-jalan sendiri lalu menghampiri sebuah ayunan terbuat dari besi di pinggir Setu. Kutumpangi dan kuayunkan dengan kedua kaki. Bunyi berderat-derat dari besi karatan menemani kesendirian. Aku memperhatikan orang-orang mancing di pinggir sungai. Ada yang mengobrol, makan, baca koran, atau cuma bengong menikmati kesendirian.

Tak banyak yang kulakukan selain mendengarkan musik pop lewat speaker walkman berlagukan End Of Me-nya Marion Riven. Mulutku tak habis-habisnya mengulum coklat cha-cha yang kubeli di supermarket dekat kampus siang tadi.

Aku beranjak, berjalan menghampiri teman-temanku di podium terbuka yang berhadapan dengan pohon asam. Mereka bercanda-canda. Tak sedikit yang ikut serta dalam acara ini. Hampir seluruh anggota BEM dan KM (Kongres Mahasiswa) ikut serta. Namun, ada juga calon Mahasiswa dan Mahasiswi baru juga mendaftarkan diri dalam organisasi BEM dan mengikuti acara ini dari seluruh Fakultas.

“Rara ... sini deh!”, Merry melambaikan tangannya.

Aku mempercepat langkahku menghampirinya. Aku mendongak dan menatapnya menunggui dia berkata-kata lagi.

“Kita, tenda yang itu ...”, Merry menunjuk tenda kuning. “Di situ kita berempat. Kamu, aku, Ida, dan Yuli”, Merry menunjuk orangnya satu persatu. “Kamu mau gak?”.

Aku mengangguk, aku kan gak punya tenda. Jadi mau gak mau aku harus nurut saja walaupun setelah aku cek tenda itu sebenarnya hanya cukup untuk dua orang. Tiga pas, empat dempet. Jadi, kalau tidur gak boleh miring kanan, miring kiri, lalu mirip orang mati dong!.

Aku ini orangnya gak mau neko-neko alias nrimo. Jadi kalau dikasih segitu, ya ... segitu saja demi kenyamanan bersama. Together gitu lho!.

Aku dan teman-teman memasukkan semua barang-barang kami ke dalam tenda dan mulai menata agar terlihat lebih rapi. Tenda ini hangat juga bila dibandingkan udara di luar yang sudah mulai dingin suhunya.

Acara malam ini gak penting jadi ada kebebasan karena baru pengenalan tempat. Senior mulai membagikan makan malam berupa nasi bungkus dari tenda ke tenda. Setelah aku buka, isinya nasi, telur ceplok, sambal, sayur toge dan kerupuk.

Sebelum makan, Ida memimpin do’a di dalam tenda. Sedikit gelap memang, mengingat kini sudah pukul 20.01. Isya sudah lewat sejak tadi. Aku mulai menyantap, ditemani sebuah lilin kecil untuk menerangi. Diletakkan dekat luar pintu masuk tenda untuk menghindari apabila tak sengaja tersenggol lalu terjadi kebakaran.

Yuli mengacungkan telurnya. “Ada yang mau?”, tawarnya.

“Kenapa? Gak enak?”, tanya Ida.

Yuli merupakan Mahasisiwi baru, jadi boleh di bilang, kita baru saling kenal. “Gak apa-apa, aku cuma gak makan telur, pokoknya yang daging-daging gitu. Kayak ayam, dan lain-lain”, Yuli menerangkan kemudian meletakan telur itu ke piring Merry. “Bagi-bagi aja”, kata Yuli lagi.

“Memangnya kenapa gak makan-makanan itu?”, tanyaku ingin tahu.

“Pantang kata Dokter”, Yuli menyantap.

“Sakit apaan?”.

“Ini”, Yuli menunjuk ke dadanya. “Kanker, baru selesai Operasi. Dokter bilang pantang dulu biar gak numbuh lagi”.

Kami saling meng-ooh-kan.

“Jadi gimana sekarang udah sembuh?”, tanyaku penasaran dan prihatin sebenarnya mengingat Yuli itu masih muda. Masih banyak perjalanan hidup yang belum di tempuhnya.

“Makanya mantang makanan dan gaya hidup yang kira-kira dapat memicu pertumbuhan kanker lagi. Gak enak kalau harus Kemo”, Yuli bercerita dengan sangat santai.

“Sudah pernah di Kemo?”, Merry penasaran.

“Sebulan lalu di Kemo tapi aku gak kuat, jadi aku minta stop aja sama Bapak. Untungnya Bapak menuruti kemauanku”.

Kami yang mendengar sebenarnya agak sedih tapi melihat Yuli yang tak memperlihatkan kesedihan ... jadi kami pun tak memperlihatkan kesedihan kami agar Yuli tak merasa tidak enak kepada kami.

Selesai makan kami cuci tangan. Bersenda gurau, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Setidaknya setelah  acara LDKO ini kita bisa berteman lebih dekat. Aku mengeluarkan walkman, yang lainnya masih asyik tertawa membicarakan dan mengkritik para cowok-cowok yang ikut dalam acara ini.

Ida merebahkan tubuhnya, bersandarkan tas bagpag hitam miliknya. “Hei ... gue mau tidur dulu, jangan berisik”, katanya mengusir, menyuruh kita minggir.

Lilin itu belum padam walaupun sedari tadi angin sudah beberapa kali menerpa.

“Heh-heh ... aku bacain dongeng ya?”, aku mengeluarkan buku Kumcer (Kumpulan Cerpen) warna biru bonus dari majalah Muslimah yang kubeli kemarin di seberang kampus.

“Ya-ya, bacain yang kenceng”, kata Merry ikut tiduran di samping Ida.

“Heh sonoan ... n’tar aku di mana?”, aku mendorong Merry.

“Iiih berisik amat sih! Katanya mau ngedongeng”, Ida bangkit. “Udah tau sempit, Mer ... kakinya, jangan begini dong!”, Ida bangkit membenarkan kaki Merry lalu tidur lagi.

“Kalo gak begini aku gak bisa tidur”, Merry cengengesan.

“Ya sama! Tapikan bagi-bagi tempat. Yuli nooooh... gak kebagian”, Ida menatap Yuli.

Yuli yang sedari tadi hanya memperhatikan tingkah laku kita bertiga, cuma bisa senyum.

“Dah-dah-dah dengerin aku mulai bacain nih!”, kataku. “Pada suatu hari ...”, aku memulai.

“Alaaahh basi! Pada suatu hari ... kayak anak sekolahan aja”, Ida dengan tampang cueknya menyela.

“Namanya juga dongeng kalau bukan pada suatu hari gak asyik ceritanya”, Merry ketawa.

“Seekor kura-kura berlomba dengan seekor kelinci. Terus menurut kamu-kamu dan kamu yang menang sampai finish duluan siapa?”, aku membacakan.

“Lho, mau dongeng apa tebak-tebakan sih, gak jadi tidur nih”, Ida melotot.

“Daaa ...! Kok galak banget sih”, kataku memelas. “Udah ah, mendingan aku ikutan tidur deh daripada dipelototin gitu”, aku menyumpel di antara Merry sama Yuli. Aku goyang-goyangkan tubuh Yuli memintanya untuk bergeser, wah ... dah nyenyak rupanya.

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (22)
  • Nukita

    Kece ceritanya berasa kenal sama kotanya

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @MajidNito Terimakasih

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • MajidNito

    makasi kak inspirasi baru ini hehe

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @Ardhio_Prantoko Terimakasih koreksinya 😊

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • Ardhio_Prantoko

    Tanda bacanya.

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @AjengFani28 Makasih sudah mampir

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @Archimut Hehe

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @Gladistia Terimakasih kembali.

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • Archimut

    Pakai POV 1 dan terasa ngalir gitu aja cara penyampaian. Ini namanya rara kayak authornya 😂

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • AjengFani28

    Mantap ceritanya kak

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
Similar Tags
My Lovelly Doll
357      267     3     
Short Story
\"Diam dan memendam menunggu saat terbaik untuk menciptakan momen terindah.\"
THE HISTORY OF PIPERALES
38      25     0     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Melankolis
40      32     0     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
Stuck On You
4      4     0     
Romance
Romance-Teen Fiction Kisah seorang Gadis remaja bernama Adhara atau Yang biasa di panggil Dhara yang harus menerima sakitnya patah hati saat sang kekasih Alvian Memutuskan hubungannya yang sudah berjalan hampir 2 tahun dengan alasan yang sangat Konyol. Namun seiring berjalannya waktu,Adhara perlahan-lahan mulai menghapus nama Alvian dari hatinya walaupun itu susah karena Alvian sudah memb...
The Dumb Love
65      36     0     
Romance
Aku bukan cewek pendiam, namun jika bicara soal cinta, aku mendadak menjadi bisu. Aku; keturunan kampung yang mengharapkan seorang kota. Apa aku bisa mendapatkanmu?
Broken Promises
582      429     5     
Short Story
Janji-janji yang terus diingkari Adam membuat Ava kecewa. Tapi ada satu janji Adam yang tak akan pernah ia ingkari; meninggalkan Ava. Namun saat takdir berkata lain, mampukah ia tetap berpegang pada janjinya?
Tuan Landak dan Nona Kura-Kura
67      29     0     
Romance
Frans Putra Mandala, terancam menjadi single seumur hidupnya! Menjadi pria tampan dan mapan tidak menjamin kisah percintaan yang sukses! Frans contohnya, pria itu harus rela ditinggal kabur oleh pengantinnya di hari pernikahannya! Lalu, tiba-tiba muncul seorang bocah polos yang mengatakan bahwa Frans terkena kutukan! Bagaimana Frans yang tidak percaya hal mistis akan mematahkan kutukan it...
Deepest
14      12     0     
Romance
Jika Ririn adalah orang yang santai di kelasnya, maka Ravin adalah sebaliknya. Ririn hanya mengikuti eskul jurnalistik sedangkan Ravin adalah kapten futsal. Ravin dan Ririn bertemu disaat yang tak terduga. Dimana pertemuan pertama itu Ravin mengetahui sesuatu yang membuat hatinya meringis.
Golden Cage
18      8     0     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
PUBER
45      30     0     
Romance
Putri, murid pindahan yang masih duduk di kelas 2 SMP. Kisah cinta dan kehidupan remaja yang baru memasuki jiwa gadis polos itu. Pertemanan, Perasaan yang bercampur aduk dalam hal cinta, serba - serbi kehidupan dan pilihan hatinya yang baru dituliskan dalam pengalaman barunya. Pengalaman yang akan membekas dan menjadikan pelajaran berharga untuknya. "Sejak lahir kita semua sudah punya ras...