"Lala, bangun, udah jam empat! Siap-siap gih, kita mau berangkat ke Surabaya!" Yose mendorong-dorong bahuku dengan keras. Kata-katanya tadi hanya sebagian yang dapat kudengar, tetapi dorongannya itu yang membuatku jengkel setengah mati. Ganggu aja!
"Masih jam empat, Yos. Keretanya jam setengah Sembilan, yaoloh!" jawabku masih malas beranjak dari kasur yang hangat. Aku kembali tertidur, mungkin agak lama. Aku sempat bermimpi, tapi aku tidak bisa mengingat mimpi apa yang tadi kualami.
"La, bangun! Udah jam lima! Udah siang ini. Lo, kan, mandinya lama banget. Ayo bangun!" Suaranya kembali mengusik tidur nyenyakku. Yose begitu bersemangat hari ini.
"Duh, Yos. Ntar aja jam tujuh baru bangunin gue. Lo packing aja sono." Tanganku melambai di udara memberinya kode untuk tidak mengusikku.
"Gue, kan, udah packing kemaren. Lo yang belom packing, Neng."
"Ya udah packing-in barang gue deh, ntar jam tujuh baru bangunin. Gue masih ngantuk banget ini Yose." Bener-bener deh Yose, siapa yang ada urusan di luar kota, siapa yang jadinya paling bersemangat?
Sepanjang hari kemarin, Yose selalu mengulang kata yang sama dengan intonasi yang kedengaran sangat menjengkelkan bagi telingaku. "Pegi bedua~ Pegi bedua~"
Katanya ia sangat senang karena Nicko tidak akan ikut dan sudah lama kami tidak bepergian berdua seperti ini. Well, kita tidak pergi untuk bertamasya, Yos.
Sejam berikutnya ia tidak ingin aku menawar lagi. "Lala! Bangun! Ga mau tau, bangun sekarang! Udah jam enam! Barang lo udah beres semua. Pokoknya bangun sekarang ah, bete gue bangunin mulu tiap satu jam!"
"Duh, iya-iya bangun, bawel banget sih lu!" Perlahan kupaksakan mataku yang masih pedih untuk terbuka. Kulihat Yose berdiri di samping tempat tidurku sambil bertolak pinggang. Bukan main! Ia sudah rapi!
"Lo kapan bangunnya? Jam begini udah siap aja. Keretanya jam setengah sembilan kali, Yos."
"Ih, bodo. Gue ga bisa tidur gara-gara terlalu excited. Pegi bedua ... pegi bedua ...."
Aku hanya melongo melihatnya menari-nari seperti bebek sedang mengepak-ngepakkan sayapnya. "Sakit jiwa ini orang," ujarku sambil geleng-geleng kepala. Yose benar-benar sudah tidak waras.
"Mandi gih, Neng, biar cantik. Jelek banget lu kalo baru bangun, belek sama iler di mana-mana," ejeknya sambil mengacak-acak rambutku. Kubalas ejekannya dengan geplakan di belakang kepalanya, kuharap kewarasannya dapat kembali setelah itu.
"KDRT! Dokter Boyke tolooong!" Yose menjerit dengan suara seraknya yang dibuat sebanci mungkin. Tidak berhasil tenyata.
Pukul tujuh aku baru keluar dari kamar mandi. Butuh waktu sekitar satu jam untuk memastikan bahwa segala isi perut yang dapat menyebabkan pengen pup di kereta sudah dikeluarkan semuanya.
"Lama banget njir." Yose mengeluh begitu melihat aku keluar dari kamar mandi sambil cengengesan. Aku sudah bisa menebak ia akan mengeluh, karena selama aku di dalam tadi, ia sudah mengetuk pintu kamar mandi sebanyak empat kali. Lengkap dengan keluhan macam ibu-ibu yang takut anaknya terlambat ke sekolah.
"Kan pup dulu," jawabku membela diri.
"Makanya belajar supaya bisa berak di tempat lain, La. Bisa mati kali lu, kalo kamar mandi di rumah tiba-tiba mampet."
"Bodo amat," acuhku sambil menjulurkan lidah. Dari dulu penyakitku memang tidak bisa buang air besar di tempat lain selain di rumah. Em ... sebenarnya bisa sih, tapi itu juga terpaksa dan rasanya sangat tidak nyaman. Yose pernah mengejek, katanya kotoranku ini sebenarnya punya nyawa sendiri. Karena mereka tidak akan mau keluar, kalau bukan di kloset rumah. Sableng, kan, dia?
Kami berangkat ke stasiun lebih cepat dari yang sudah kujadwalkan. Tentu saja karena Yose sudah tidak sabaran sejak pukul empat pagi! Setelah mencetak tiket kereta untuk kami berdua, kami menunggu di peron. Tidak terlalu banyak orang di stasiun, mungkin saja nanti hanya sedikit penumpang yang akan berangkat menuju Surabaya.
Kuperhatikan Yose yang sedang merokok di dekat toilet umum. Tadi aku sempat melarangnya untuk merokok, kubilang di sini tidak boleh merokok. Ia tidak percaya lalu nekat bertanya pada petugas yang ada di peron. Akhirnya di sanalah Yose sekarang, sedang menjadi kereta api hidup. Tatapan kami bertumbukkan, dari kejauhan Yose menyodorkan rokoknya ke arahku.
"Mau?" tanya Yose hanya dengan gerakan bibir.
"No!" tolakku juga dengan gerakan bibir dan gelengan cepat. Ia sedang sarapan, tapi aku aku tidak berminat untuk gabung bersamanya.
Ngomong-ngomong soal Yose yang merokok, ia sudah pernah berhenti tahun lalu. Penyebab ia berhenti, karena ia terserang batuk yang tidak sembuh-sembuh sampai tiga bulan. Yang paling parah lagi, batuknya itu sampai mengeluarkan darah. Dokter menganjurkannya untuk berhenti merokok jika ia mau sembuh, maka Yose terpaksa berhenti. Lalu entah sejak kapan ia kembali merokok. Kutebak mungkin saat beberapa minggu lalu ketika kami sedang jarang bertemu itu, ia mulai merokok lagi. Tunggu saja sampai batuknya kambuh! Biar tau rasa! Yose, kan, tidak bisa dibantah, tidak bisa diberi saran, tidak suka diatur-atur, kalian juga tahu itu, kan? Jadi, biarkan ia kena batunya dulu, baru tobat.
Setelah Yose menghabiskan dua batang rokok, kulihat gerbong kereta datang dari kejauhan. Yose bergegas kembali dengan senyum lebar, tanpa harus disuruh ia langsung mengangkat ransel kami berdua. Meski otaknya geser, paling tidak ia masih cukup gentle untuk membawakan ransel juga tas kameraku yang beratnya minta ampun.
"Sabar Yos, belom nyampe keretanya."
"Kan, siap-siap, La. Takut keduluan orang," jawabnya polos.
"Lo kira naik angkot, takut keduluan orang. Kan, udah ada tiket masing-masing," Sebenarnya ada apa ya di dalam kepalanya? Kenapa ia tidak mirip dengan orang-orang normal lainnya? Sepertinya batas antara polos, tidak waras dan bodoh memang benar-benar tipis, pemirsa-pemirsa.
Yose hanya tertawa kecil. Kutarik badannya mendekat, "Kesinian dong, Yos. Silau."
"Bangke, gue dijadiin tembok buat ngalangin matahari! Enak banget emang jadi orang kecil kayak upil. Ini kayaknya gara-gara mata lo, La. Makanya, Neng, punya mata jangan gede-gede. Intensitas nyerap sinar mataharinya makin gede, kan, jadinya?"
Combo! Double kill!! Kurang ajar memang manusia ini.
"Gua tinggal di sini baru tau rasa lu," serangku balik.
"Yah jangan dong, ntar lu ga kuat ngangkat tas. Kan, badan lu seupil," elaknya dengan sangat cerdik. Cengiran polos tersungging di bibirnya.
"Tinggal manggil Nicko, susah amat," balasku lagi. Kami jadi saling serang begini, persis seperti anak kecil yang sedang adu bacot.
"Nicko lo itu, kan, sibuk. Lagian, mana mau dia disuruh ngangkat tas? Jangankan ngangkat tas, gue jamin dia ga pernah megang sapu." Yose membantah dengan percaya diri.
Aku mendelik ke arahnya. Ia memang sangat tidak menyukai Nicko. "Sinis lo."
"Bodo amat!" Hasil akhirnya, aku kalah adu bacot. Yose memang punya skill mumpuni jika berhubungan dengan bacot-membacoti, berdebat, dan sinis soal Nicko. Dia juaranya.
Jika boleh kukatakan, Yose ini adalah gabungan dari dua gen, gen pria dewasa yang membentuk badannya menjadi setinggi dan seseksi ini, juga gen ibu-ibu arisan yang membuat bacotannya tak tertandingi. Hybrid adalah julukan yang pas untuk mengklasifikasikan makhluk seperti apa Yose ini. Luar biasa.
ceritanya bermutu, sarannya kata kata nya masih kurang baku. Sukses terus yaaaa
Comment on chapter BAGUS PULANG