You must have been sent from heaven to earth to change me
You’re like an angel
The thing that I feel is stronger than love believe me
You’re something special
I only hope that I’ll one day deserve what you’ve given me
But all I can do is try
Every day of my life
~Breathless, Shayne Ward~
Aku tengah menonton tv di ruang keluarga kali ini, tapi tak ada satupun tayangan yang menarik perhatianku. Aku mengganti berkali-kali channel di televisi itu tapi tak menemukan apa yang mau ku cari. Ya, bagaimana mungkin aku menemukan apa yang aku inginkan, karena yang ku cari jelas saja tidak ada di layar yang berbentuk persegi panjang itu. Sudah berbulan-bulan lamanya aku pergi mencari kemanapun, tapi aku tak menemukannya. Aku sudah hampir berputus asa kala itu tapi setiap kali aku membaca buku hariannya, aku semakin ingin menemukannya. Entah di belahan bumi mana kini dia berada, aku telah bertekad bahwa aku akan menemukannya.
“Gha, kenapa sih dari tadi mama perhatiin kamu gonta ganti terus channelnya?” tanya Mamanya.
“Gak papa Ma, gak da yang asyik aja...,” jawab Erlangga.
“Kalau gak niat liat tv mending dimatiin aja mama pusing liatnya,” jelas Mamanya. “Emang kamu lagi kenapa sih Gha, di suruh balik ke Singapura gak mau, di rumah kerjaannya merenung terus, kamu gak pergi main seperti biasanya. Mending Mama liat kamu pergi main seharian deh daripada di rumah kayak gini bikin Mama lebih khawatir aja,” jelas Mama Erlangga yang bernama Merlita itu.
“Egha bukannya gak mau balik Ma, Egha bakal balik kalau udah nyelesain urusan Egha, Ma,” jelas Erlangga.
“Memangnya urusan apa toh le kamu itu sampai-sampai bisa kayak gini...,” tanya Mama Merlita sembari menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya yang semakin hari semakin aneh.
“Ada deh Ma, suatu saat Mama pasti tahu. Tapi bukan saat ini,”
“Ya sudah kalau gitu. Oh ya ngomong-ngomong kok Brina belum kesini juga ya. Memangnya dia tidak tahu kalau kamu sudah pulang?” tanya Mama Merlita.
Erlangga menggelengkan kepalanya. “Egha masih belum kasih tahu Ma,”
“Kenapa Nak, kamu bertengkar sama dia?”
“Nggak Ma, cuman Egha masih belum pingin aja ketemu dia Ma,”
“Ya sudah wis kalau itu memang mau kamu le, yang penting hubungan kalian masih baik-baik saja,”
“Iya Ma..,”
*****
Usai berbincang-bincang dengan Mama aku langsung balik ke kamar. Ku buka dan ku baca lagi buku hariannya. Dan ku baca dengan seksama isi di dalamnya seperti biasa. Dan jelas saja setiap kali aku membaca cerita itu aku kembali mengingat kenangan masa lalu itu.
11 Agustus 2012
Aku bertemu seseorang ibu. Seseorang yang ingin aku kenalkan padamu. Dia menyampaikan salam untukmu ibu, tapi aku tak sempat menyampaikan salam itu padamu kala itu. Engkau terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu, dengan infus yang terpasang dari dadamu yang terpaksa di lubangi. Aku lemah kala melihatmu terbaring seperti itu ibu, hingga semua rangkaian kata yang ingin aku ceritakan hilang dan musnah begitu saja. Tapi ibu, kini aku ceritakan padamu tentangnya, tentang dia. Dia seseorang yang membuatku mampu menjalani betapa sedih dan rapuhnya diriku saat kau pergi. Dia seseorang yang menjadi tempatku bergantung selain kau ibu. Dia seseorang yang menghapus semua kenangan burukku. Dengannya aku bisa menjadi apapun yang ku mau. Aku bahagia dia berada di sampingku ibu dan aku berharap agar dia selamanya bisa berada di sisiku. Apa aku terlalu egois?
Erlangga menghela nafas membaca halaman pertama dari buku harian itu. Dia merenung dan bergolak dengan pikirannya kemudian. Hingga akhirnya dia tahu bahwa gadis itu mulai menulis isi di lembar pertama buku harian itu selepas ibunya meninggal beberapa tahun silam. Tapi, dia masih belum mengerti siapa yang dimaksud dengan seseorang yang tercantum dengan kata ganti “dia” dalam catatan harian itu. Kemudian, diapun melanjutkan untuk membaca halaman selanjutnya dari buku harian itu. Hingga dia mencapai di halaman terakhir dari buku harian itu yang tentu saja membuatnya tercenggang dan geram penasaran dengan siapa yang di maksud oleh gadis itu.
27 Mei 2017
Ibu, aku tidak tahu apa yang membuatku menjadi seperti ini. Ini itu adalah hal-hal yang berbeda, tidak sama. Aku tidak merasakan degub jantung yang berpacu dengan kecepatan layaknya cahaya di ruang hampa. Aku sungguh tidak merasakannya sama seperti saat pertama kalinya aku jatuh cinta. Ini berbeda ibu, dan aku tak tahu harus menyebut perasaan ini sebagai apa. Akan ku jelaskan kenapa. Aku merasa sakit saat dia mendiamkanku, tapi aku tidak merasa sakit melihat dia bersama wanita lainnya.Aku meneteskan air mataku, menanggung resah dan pilu sepanjang waktu ketika dia tak mengabariku selama beberapa hari. Aku merasakan kupu-kupu berterbangan di perut ketika aku melihat dia tersenyum ataupun ketika ku dapati bahagia terpancar di wajahnya.Ketika dia disampingku aku merasa seluruh ketakutanku sirnah dan hanya menyisakan kenyamanan yang kurasa. Dan entah mengapa pula do’a selalu ku panjatkan tanpa terlewatkan namanya disana.
Firasat-firasatku tentangnya menjadi nyata seketika meski kadang aku tak mempercayainya, dan hanya menekankan bahwa itu hanya kebetulan saja dan bukan karena aku benar-benar terhubung dengannya. Tapi, mimpi-mimpi tentangnya yang membawa firasat itu selalu datang setiap harinya tanpa dapat kuhindari lagi. Kemudian aku pun terjatuh limbung saat ku tahu bahwa firasat itu menjadi nyata setelah aku mendengar semuanya lewat ceritanya keesokan paginya. Bahkan sampai saat ini, sekalipun aku telah terpisah oleh ruang dan waktu dengannya aku masih kerapkali mendapatkan mimpi-mimpi firasat tentangnya. Aku tidak tahu kenapa ibu, jika aku dan dia memang tidak ditempatkan di takdir yang sama tetapi kenapa aku masih merasa terhubung dengannya? hingga aphelium yang memisahkan aku dengannya seolah tak terasa, karena dia dekat di hatiku meski tak tampak di mataku.
Ibu, kini aku hanya akan melepaskannya. Untuk wanita yang dicintainya, untuk kebahagiaannya. Karena aku tahu tidak ada aku dalam bahagianya itu. Aku tidak ingin egois ibu, aku memang ingin dia tetap berada di sisiku tanpa ada harapku untuk bisa memilikinya. Tapi, aku tahu itu hanya akan menambah luka di hati wanita itu, dan aku tak inginkan hal itu terjadi.
Untukmu, orang yang menghapus kenangan burukku, ma’af jika aku membuat keputusanku sendiri untuk menghapusmu dalam hidupku. Bukan karena aku membencimu tapi terlebih karena aku menyayangimu dan aku tak ingin lagi menjadi beban hidupmu dengan selalu bergantung padamu. Inilah yang terbaik untuk ku, untuk mu, untuk kita dan agama kita. Bismillah, aku ikhlas.
Usai membaca halaman terakhir dalam catatan harian itu. Erlangga merasakan panas di sekitar matanya. Hingga kacamata yang dikenakannya seolah menguap dan membuat pandangannya kabur. Di lepasnya kacamata itu dan di bersihkannya kemudian.
“Siapa orang yang membuatmu seperti ini Ara, aku tidak akan mema’afkannya,” gumam Erlangga.
*****
Ara tengah pulang dari Bandara mengantarkan bos nya untuk beranjak dari Sragen ke Jakarta. Dia berjalan keluar dari arah bandara bersama dengan supir dari perusahaannya. Namun tiba-tiba dia bertemu dengan seseorang. Terlihat wajah pucat orang itu, dia mengenakan seragam yang mungkin merupakan salah satu petugas di bandara itu. Entah dia seorang flight attendance, ATC, AME, flight operation officer, marshaller, atau check in counter ia tak tahu. Yang jelas baju yang dikenakan oleh pemuda itu mirip dengan yang dikenakan oleh beberapa petugas yang ada di bandara. Pemuda itu berjalan tertatih sembari memijat-mijat pelipisnya.
“Anda baik-baik saja?” tanya Ara seketika ketika melihat pemuda yang berjalan terhuyung-huyung itu.
“Ya, saya baik. Hanya saja saya…,” ucap pemuda itu.
“Anda tidak baik-baik saja. Apa anda perlu saya bantu antarkan ke rumah sakit?” tanya Ara kemudian.
Pemuda itu terkejut melihat seseorang yang menawarkan bantuan kepadanya itu. Dia tak percaya bahwa masih ada seseorang yang peduli kepada orang lain bahkan pada seseorang yang tidak di kenalnya. Pemuda itu akhirnya menganggukkan kepalanya tanda menyetujui saran Ara. Wanita dengan pakaian rok hitam lebar dengan atasan berwarna hitam dan bergaris putih yang disertai kerudung abu-abu panjang yang menjuntai itu membuat pemuda itu tak henti-hentinya menatap takjub namun wanita yang ditatapnya itu tetap sibuk mengurusi administrasi di rumah sakit itu sementara ia tengah di bantu oleh supirnya dan para perawat untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Ara menatap pada pemuda yang terbaring lemah itu dengan infuse yang masih menggantung yang tersalurkan dengan selang kecil di tangan sebelah kirinya itu. Beberapa jam kemudian akhirnya lelaki itu tampak lebih baik tak seburuk beberapa saat yang lalu. Dan mendapati lelaki itu membuka mata dan menatap ke arah Ara, Ara pun menyunggingkan senyumnya.
“Anda sudah merasa lebih baik?” tanya Ara yang duduk di samping ranjang pemuda itu.
“Ya, terima kasih sudah mau membantu,” ucap pemuda itu.
“Iya sama-sama. Kata dokter anda harus banyak istirahat karena kelihatannya anda kelelahan karena banyak pikiran,” jelas Ara. Dan di jawab dengan anggukan oleh pemuda itu. “Kalau begitu apa anda perlu bantuan yang lain sebelum saya pamit untuk pergi? Ma’af saya tidak bisa menunggu lama-lama di sini karena saya harus balik ke kantor lagi,” jelas Ara berikutnya.
“Ya, tidak apa-apa. Saya sudah benar-benar baik berkat anda. Tapi, bolehkah saya minta tolong sekali lagi?”
“Ya, tentu saja,”
“Bolehkah saya meminjam handphone Anda, saya ingin mengabari keluarga saya dan handphone saya ketinggalan,”
Ara pun memberikan handphonenya pada pemuda itu. Pemuda kemudian melakukan panggilan pada seseorang di seberang sana. Terdengar rasa khawatir pada seseorang diseberang sana yang dapat terdengar oleh Ara karena suara seseorang diseberang sana cukup kencang hingga mungkin beberapa orang yang terdapat tak jauh dari ranjang pemuda itupun dapat mendengarnya. Beberapa menit kemudian selepas pemuda itu menelpon Ara pun mohon untuk izin pergi. Ara kemudian pergi tanpa sempat memperkenalkan diri dan menanyakan nama pemuda itu.
Pemuda itu hendak menanyakan nama Ara dan membayar tagihan rumah sakitnya kemudian setelah keluarganya tiba, namun Ara tampaknya terburu-buru hingga dia bahkan hanya meletakkan obat beserta catatan resep dan tagihannya di atas nakas dan kemudian berlalu pergi. Tidak lama selang beberapa menit setelah kepergian Ara seorang lelaki dengan mengenakan kacamata berbentuk persegi panjang itupun datang menghampirinya. Dan seolah tahu apa yang hendak dilakukan oleh orang tersebut, pemuda itupun bergidik ngeri.
“Loe, masuk rumah sakit lagi? Kenapa? Kenapa bisa begini? Loeu putus lagi, sama pacar loe? Pacar loe yang mana lagi yang memutuskan loe kali ini? Chyntia, Mita, Diana, Wena atau….,” ucap lelaki berkacamata itu yang kemudian terhenti oleh cela pemuda itu.
“Kak… kali ini Riana yang putusin gue…,” ucap pemuda itu yang langsung membuat lelaki berkacamata yang notabene kakaknya itu melenguh.
“Loe itu laki-laki Ethan, sampai kapan loe akan seperti ini. Diputusin cewek langsung stress dan kayak gini. Lagian, salah loe juga sih, ini karma bagi loe karena loe sering nyakitin banyak cewek,” jelas lelaki berkacamata.
“Iya kak, tapi kan gue udah mau insyaf, dan gue mau putusin semua cewek-cewek gue demi Riana. Eh, tapi malah Riana putusin guedan balikan sama mantannya,” jelas Ethan. Erlangga hanya menghela nafas melihat kelakuan adik laki-laki satu-satunya itu.
“Trus, siapa tadi yang nganterin loe ke rumah sakit ini?”
“Seorang wanita kak, cantik…,” jelas Ethan sembari nyengir-nyengir sendiri mengingat wajah wanita yang beberapa saat lalu membantunya.
“Tuh kan loe kumat lagi, beberapa saat lalu bilang mau insyaf, eh sekarang malah….,”
“Sueer kak dia cantik banget. Bukan wajahnya sih yang cantik kak, wajahnya sih biasa aja cuman hatinya ituloh benar-benar cantik. Zaman sekarang gak banyak yang masih mau peduli pada orang lain apalagi orang yang tidak dikenalnya, tapi dia berbeda kak. Pokoknya dia cantik deh apalagi melihat penampilannya yang tertutup dari atas ke bawah dengan jilbab panjangnya yang menjuntai dan bergerak-gerak di tiup angin, rasanya adem gitu kak lihat wajah dia,”
“Tipe cewek muslimah? Tanya lelaki berkacamata itu yang langsung dijawab anggukan oleh adiknya. “Sejak kapan tipe loe berubah?” goda kakaknya.
“Sejak tadi, beberapa jam yang lalu,”
“Huh, dasar. Jangan-jangan tuh cewek yang mengenakan baju hitam dengan jilbab warna abu-abu ya…?” tanya Kakak Ethan.
“Loh, kok loe tau kak?”
“Iya tadi sekilas lihat dia keluar dari rumah sakit ini, tapi gak lihat wajahnya hanya bagian belakangnya aja,”
“Yah,,,nyesel deh loe kak gak liat wajahnya. Duhhh,,,andai saja gue tahu namanya,”
“Loh, emang tadi gak kenalan?”
“Enggak kak dia buru-buru mau ke kantor katanya,”
“Hahhh…cewek macem dia pekerja kantoran..,”
“Iya, emang kenapa kak. Ada yang salah?”
“Gak juga sih…,” ucap Erlangga. Erlangga termenung dan teringat pada seseorang, dia membayangkan akan bagaimana jika melihat gadis yang dicarinya selama ini. Akankah dia akan terlihat sama seperti gadis yang telah dilihat oleh adiknya beberapa jam yang lalu. Seorang gadis yang masih mempertahankan prinsipnya walau dalam keadaan apapun.
*****
Ceritanya bagus, menginspirasi.
Comment on chapter Di Batas Rindubaca ceritaku juga ya,