“All I ask is
If this is my last night with you
Hold me like I’m more than just a friend
Give me a memory I can use
Take me by the hand while we do what lovers do
It matters how this ends
Cause what if I never love again?”
~ All I ask – Adele~
Aku tengah terbangun pagi ini dan lekas ku buka jendela kaca kamar dimana aku menginap setelah ku sibak terlebih dahulu gorden yang menutupinya. Aku memandangi langit biru yang menjulang tinggi, dihiasi semburat putih nan indah. Cuaca sangat cerah pagi ini, udara begitu segar dapat ku hirup. Maklum aku memang mencari penginapan yang udaranya agak segar meskipun jauh dari perkotaan. Beberapa detik aku mengamati pemandangan disekeliling penginapanku yang terletak di lantai dua. Dan seketika itu, hati ku tertohok ketika mendapati seseorang yang ku lihat dari seberang kamar tidurku. Seorang gadis, yah..aku melihat gadis itu lagi.
Pagi ini wajahnya berseri-seri. Dia sudah bersiap dengan setelan rok berwarna salem dan atasan blouse berwarna pink polos. Rambutnya tertutup rapat oleh jilbab panjang berwarna salem senada dengan warna roknya namun lebih terang dengan beberapa garis putih di bagian bawahnya. Ia menyampirkan jilbabnya yang memang tidak terjahit itu ke samping pundaknya dan mengenakan pita kecil dengan warna yang senada dengan jilbabnya.
“Manis…,” gumamku seketika.
Aku bukannya baru menyadarinya sekarang, tapi sejak dulu aku memang sudah menyadarinya. Gadis itu manis, ya dia memang sangat manis meskipun dengan pipi cubby nya itu. Dia memang bukan gadis yang cantik yang pandai berdandan seperti orang kebanyakan. Dia bukan gadis yang pandai mematutkan warna baju dan kadang gaya berpakaiannya pun aneh. Dia bukan pula tipe gadis yang suka memakai pakaian press body hingga menampilkan tubuh seksi mereka atau menampilkan kaki jenjang mereka dengan balutan jins yang rapat sekali. Dia memang bukan gadis seperti itu. Dia gadis yang berbeda, beda dari kebanyakan gadis lainnya. Dia gadis yang sederhana dan mengenakan pakaian apa adanya yang dirasanya cukup nyaman untuknya. Dan kau tahu salah satu cirinya, pakaian apapun itu baginya nyaman asalakan dapat menutup tubuhnya dari atas ke bawah dan tentunya salah satu syaratnya pakaian itu haruslah longgar, karena ia tidak mau menampikan lekuk tubuhnya. Pernah aku bertanya padanya suatu ketika dulu.
Flashback On
“Kenapa ? Manyun gitu muka loe?” tanyaku.
“Sebel…..,” ucapnya yang duduk di bangku depan ruang part time.
“Sebel kenapa memangnya…?” tanyaku penasaran.
“Tau nggak Gha….,” dia hendak memulai ceritanya.
“Ya gak taulah, loe kan belum cerita…,” ucapku mencandainya. Lalu dia menatapku sinis dengan raut wajah yang masih manyun. Dan tentu saja aku tahu dia akan mulai ngambek dengan candaanku tadi. Pasalnya aku tahu dia serius hendak cerita tentang apa yang membuatnya sebel. Menyadari dia hendak ngambek akhirnya akupun angkat bicara. “Bercanda doang, jangan serius gitu napa mukanya,” ucapku. “Cepet cerita, sebel kenapa?” tanyaku yang bersiap untuk mendengar ceritanya.
“Tau nggak…,” dia memulai ceritanya dengan nada yang sama dan jelas kujawab gak tau dalam hatiku karena memang dia belum cerita. “Tadi di lift masak ada adik tingkat yang godain aku, main coba-coba pegang tanganku lagi. Alesannya sih mau tekan tombol lift. Tapi kan aku udah nekan tombol itu lebih dulu karena aku berdiri tepat didepan tombol itu…,” cerita dia. “Nyebelin gak sih….,”
“Hahaha…gitu doang. Godain balik lah…,” candaku.
“Eh…kamu nih kok malang ngomong gitu sih. Itu gak baik Gha, anak zaman sekarang kok malah berani kayak gitu ya sama kakak tingkat…,” ucapnya.
Dia memikirkan kata-katanya sendiri dengan tangan telunjukknya yang di sentuh-sentuhkan ke pipinya. Dan aku hanya menanggapinya dengan ketawa melihat wajah dia yang sebel banget dengan adek tingkat. Melihatku yang masih ketawa dia pun langsung menatapku sinis dan berjalan pergi meninggalkanku. Esok paginya tau nggak apa yang terjadi, ya gak taulah kan aku belum cerita. Hehe..sorry bercanda. Esok paginya dia mengenakan terusan seperti gamis gitu, dan hari-hari selanjutnya dia mengenakan rok terus gak hanya saat dia mengajar saja tapi juga saat kuliah. Dia gak pernah makek jins atau celana lagi sejak saat itu. Padahal kalau aku piker-pikir baju dia sopan-sopan saja. Meskipun mengenakan jins dia selalu mengenakan atasan yang longgar dan panjang bahkan sampai dibawah lututnya.
Diapun tahu bahwa aku sedikit terkejut melihat kebiasaan penampilannya saat itu. Dan kadang juga sering ketawa melihat tingkah jalannya yang masih belum begitu terbiasa.
“Itu rok apa kain pel…,” kataku waktu itu ketika melihat dia agak ribet dengan rok lebar berwarna biru tuanya yang panjangnya menyapu lantai. Waktu itu kami tengah menuruni tangga hendak makan siang di belakang kampus.
“Ish….,” dia hanya menjawab seperti itu sembari memanyunkan muka nya. Dan aku hanya ketawa semakin lebar melihat tingkahnya itu. “Aku hanya ingin mengurangi dosa…,” ucapnya kemudian dan berjalan mendahuluiku.
Dan seketika itulah aku berpikir apa ini karena kejadian kemarin. Dimana dia digoda oleh adik tingkat. Mungkin dia berpikir bahwa itu salahnya karena dia menjadi di ganggu oleh laki-laki. Karena itulah dia mengubah penampilannya. Padahal itu bukan salah dia sepenuhnya, tapi itu salah adik-adik tingkat itu yang matanya tidak bisa dikondisikan. Atau mungkin alasan mereka menggoda mungkin bukan karena penampilan Ara tapi karena mereka penasaran dengan sikap Ara yang kadang kelewat dingin. Ya..itulah salah satu perubahan darinya dulu dan dia menjadi seperti itu juga sampai sekarang. Meskipun ingatan dia tidak sepenuhnya kembali tapi setidaknya dia tetap melakukan hal yang dianggapnya benar.
Flashback Off
*****
Aku masih menikmati memandanginya dari kamarku tanpa ku sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Dia masih saja sama, sama lugunya seperti dulu dan hal itulah yang membuatku selalu ingin mengganggunya dulu dan selalu berusaha memicu pertengkaran dengannya. Entah kenapa alasannya aku tak tahu, hanya saja bertengkar dan bercanda dengannya membuatku merasa senang dan bisa melupakan sejenak hal-hal yang mengganggu pikiranku. Handphoneku berdering, seketika dan nama Mela tampil dilayarnya.
Mella Calling :
“Hallo, Gha...loeudah bangun kan?” tanya Mella.
Erlangga Calling :
“Iya, sudah....ini lagi bersiap-siap....,” jawabku sekenanya padahal aku masih belum melakukan apapun karena sibuk memandangi Ara dari seberang kamarku.
Mella Calling :
“Loe bawa mobil kan?”
Erlangga Calling :
“Iya, gue udah sewa mobil kok....,”
Mella Calling :
“Ya sudah kalau gitu, nanti jemput gue di penginapan gue ya. Gue berangkat bareng loe, karna cowok gue udah balik kemarin...,”
Erlangga Calling :
“Oke...oke....setengah jam lagi gue jemput loe...,” ucapku.
Aku mendesah dan manampakkan wajah lesu karena keasyikanku memandangi gadis itu harus ku hentikan sekarang karena aku harus menjemput Mella. Aku tahu memang nanti aku juga akan bertemu dengannya lagi karena acara reuni lanjutan kemarin sore, tapi disana aku tidak akan bisa memandangnya dengan puas seperti saat ini. Pasalnya disana pasti akan banyak mata yang curiga jika aku diam-diam memandang Ara seperti saat ini.
“Huft...gue harus bergegas....,” desah gue.
*****
Ara tengah menunggu Mahdi di lobby penginapan. Pasalnya kamar penginapan mereka terpisah cukup jauh. Beberapa menit kemudian Mahdi pun datang dengan pakaian kemeja dan setelan celana kain hitam yang tampak rapi seperti biasanya.
“Ra, nanti aku antar kamu ke tempat teman-teman kamu ya, setelah itu aku tinggal karena aku ada urusan mendadak, gak apa-apa kan?” ucap Mahdi.
“Hmmm...oke gak apa-apa kok Mas. Lagian ada Vreya juga kan yang membantuku kalau nanti aku kesulitan,” kata Ara.
“Baiklah kalau begitu, tapi kamu harus janji dulu satu hal padaku..,”
“Janji apa Mas,”
“Janji untuk segera menghubungiku kalau ada sesuatu yang aneh yang kamu rasakan...,”
“Baik pak dokter...,” ucap Ara dengan senyum lebarnya.
Beberapa jam kemudian akhirnya Ara pun sampai di tempat teman-temannya berkumpul. Mereka menyiapkan dua mobil disana, satu Erlangga yang menyewa dan satunya lagi mobil milik Zeta.
“Oke jadi semua sudah datang ya, kalau begitu sekarang kita bagi kelompok untuk masuk mobil ya... Dan biar lebih adil kita gambreng aja...,” jelas Putra.
“Oke...,” jawab mereka serempak.
“Baiklah,,, Oh ya Ra, loe gak usah ikut gambreng kan loe bakal semobil dengan Mas Mahdi kan?” tanya Putra. Mendengar Putra berkata seperti itu entah kenapa raut wajah Erlangga jadi sedikit muram.
“Aku ikut, Mas Mahdi lagi ada urusan jadi gak bisa nemenin cuman ngantar aku kesini aja kok. Jadi aku ikut gambreng ya...,” ucapnya.
“Oke baiklah kalau begitu kita mulai....,” tegas Putra,
Akhirnya dari hasil itu maka diputuskan bahwa Putra, Vreya, Ara, Mela, Tama, dan Ahmad satu mobil dengan Erlangga sedangkan Vena, Yola, Reza, Arif, Dinda dan Azrel naik mobil Zeta. Lepas pembagian tersebut akhirnya mereka pun segera melajukan mobil menuju ke tempat tujuan mereka. Pantai.
“Ahhhhhh.....pantai, akhirnya kita sampai........................,” teriak Zeta dan Dinda serempak.
“Iya, rasanya menyenangkan bisa rehat sejenak dari rutinitas sehari-hari..,” tambah Vreya. “Bukankah ini menyenangkan kan Ra...,” tanyanya pada Ara.
“Hmm...ya ini menyenangkan,” ucap Ara sambil mengangguk kan kepalanya. “Tapi, kenapa aku merasa aku pernah pergi ke Pantai juga ya dalam waktu yang tidak terlalu lama ini?” ucapnya. Seseorang yang berjalan di belakang Ara tahu apa yang dibicarakan gadis itu dengan Vreya.
“Benarkah...?” Vreya bertanya.
“Em...iya rasanya aku sudah terbiasa dengan udara pantai, tapi mungkin itu cuman perasaanku saja ya. Atau apa mungkin aku juga lupa kalau aku sebenarnya juga pernah pergi ke tempat seperti ini?” ucap Ara dengan raut wajah yang sedikit sendu.
“Loe gak salah, loe bener. Loe emang pernah pergi ke pantai di Yogja dan bertemu denganku beberapa bulan yang lalu,” ucap Erlangga namun hanya dalam batinya.
“Sudahlah apapun itu lupakan saja dulu. Jangan mencoba mengingat begitu keras, ingat pesan Mas Mahdi bahwa kau tidak boleh terlalu streess. Oke...?” ucap Vreya dan di jawab dengan anggukan oleh Ara.
“Ayo main Air Ra....,” ajak Putra dan temannya yang lain.
“Kalian saja, aku akan menunggu disini.....,”
“Ya....kau ini, kita kan sudah jauh-jauh kesini...,” ucap Vina.
“Em.....sebenarnya aku...aku.....,” ucap Ara yang terpotong oleh perkataan Erlangga selanjutnya.
“Bilang aja, loe takut tenggelam kan.....,” ucap Erlangga memotong perkataan Ara.
“Emmm....engg...enggak...siapa bilang. Jangan sok tahu, emang kamu siapa. Sok tahu... Ayo kita main air....,” ucap Ara berusaha untuk menyembunyikan ketakutannya persis seperti apa yang Erlangga bilang bahwa sebenarnya dia memang takut tenggelam.
“Ya sudah kalau loe emank gak takut. Buktikan aja...,”ucap Erlangga. “Hati-hati ini dalam loh....,” bisik Erlangga yang sengaja menakut-nakuti Ara. Dan jelas mendengar perkataan Erlangga tersebut Ara berusaha menyembunyikan ketakutannya dari yang lainnya. Tapi, tidak dari Erlangga. Erlangga tahu bahwa gadis itu menggigit bibir bagian bawahnya yang menandakan bahwa ia tengah dilanda ketakutan. Erlangga pun tersenyum simpul karena berhasil membuat gadis itu begidik takut, dan ia yakin gadis itu pasti tidak akan berani menyentuh air.
Mereka pun akhirnya bermain air. Dan tentu saja semua saling menjatuhkan teman-teman mereka satu persatu ke dalam air. Dan mereka pun berenang kesana kemari mengingat ombak tidak terlalu besar. Dirasa aman dan tidak terlalu dalam akhirnya Ara pun mengikuti teman-temannya tapi tiba-tiba dia tidak tahu kalau semakin dia berjalan maka semakin pantai itu tak sama dengan yang terdapat di pesisir. Dalam keasyikan akhirnya teman-temannya pun menyadari bahwa Ara tengah tenggelam ketika mereka mendengar suara deburan dari seseorang yang melompat ke arah Ara. Dan dalam beberapa menit pun Ara akhirnya dapat diselamatkan.
“Uhuk...uhuk....,” Ara terbatuk dan mengeluarkan beberapa air. Ia menatap penuh selidik pada Erlangga yang tengah basah kuyup di sampingnya tepat di samping dia tidur telentang. Akhirnya dia pun bangun dan menatap Erlangga intens.
Erlangga yang menyadari hal itu langsung bertanya : “ Apa?” tanya nya.
“Kau tidak melakukan apa-apa padaku kan?” tanya Ara dengan penuh selidik sembari mendekapkan kedua tangannya ke dadanya. Sementara mendengar hal itu semua temannya pun tertawa pasalnya mereka semua tahu bahwa Erlangga hanya berusaha untuk menolong Ara tidak lebih.
“Emang loe pikir gue cowok apaan. Ini dunia nyata nona, jangan pikir gue melakukan hal-hal yang dilakukan dalam film. Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron...,” ucap Erlangga.
“Hehe...sapa tahu. Tampangmu kayak orang mesum sih...,” ucap Ara sembari nyengir.
“Makanya kalau gak bisa renang bilang aja gak bisa. Gak usah sok-sok an, dasar bodoh,” ucap Erlangga sembari menjitak kepala Ara. Yang dijitak hanya bisa meringis akibat jitakan Erlangga. Selepas itu Erlangga pun pergi meninggalkan Ara dan teman-temannya yang lain.
Setelah kejadian itu Ara pun hanya duduk di pinggiran pantai sembari bermain-main pasir putih disekitar tempat duduknya. Baju gamisnya yang basah kuyup itu masih belum digantinya karena menunggu teman-temannya yang lain. Dia hanya menyampirkan handuk di bahunya hingga menutup dadanya untuk mengurangi rasa dingin karena terpaan angin pantai. Erlangga yang mengetahui gadis itu sudah baik-baik saja hanya dapat mengawasinya dari kejauhan.
*****
Ceritanya bagus, menginspirasi.
Comment on chapter Di Batas Rindubaca ceritaku juga ya,