Read More >>"> KAFE IN LOVE (BAB 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - KAFE IN LOVE
MENU
About Us  

Hampir saja aku menjatuhkan piring ke lantai saat baru selesai mencucinya karena sebuah senggolan keras di bahuku. Tunggu! Ini bukan senggolan, melainkan penabrakan dengan sengaja. Aku menoleh dengan maksud akan mengomeli siapa saja yang kudapati ada di belakangku. Aku sudah membuka mulut hampir saja menyumpahi, setelah tahu siapa yang di belakangku, aku justru segera membungkuk hormat. Siapa lagi kalau bukan bos besar di kafe ini. Yang belakangan ku tahu namanya adalah Evan, yahh... Evan Djuanda. Ku akui namanya keren. Tapi tidak dengan kepribadiannya yang super nyebelin itu. Dia membelalakkan matanya yang sipit. Tunggu! Setelah diperhaatikan, ternyata dia memiliki tahi lalat di bawah mata kirinya. Dan, OMG! Ternyata mata kirinya lebih sipit dari mata kananya. Kenapa bisa begitu?

“Ehemm!!” dia mendehem keras. Aku langsung tersadar dari pengamatanku. “Sorry.. saya nggak lihat.” Ujarnya kemudian dan langsung keluar dari dapur tempat aku mencuci piring. Aku terpana. What?! Dia barusan bilang maaf kan? aku nggak salah dengar kan? yah.. itu memang sudah seharusnya sih! Kan dia yang menabrakku. Tapi masa aku nggak kelihatan sih? Apa mungkin efek dari mata sipitnya itu? Ahh.. bodo amat lah. Aku melanjutkan aktivitas menaruh piring ke lemari kembali dengan perasaan yang masih bingung.

*

Aku dan Sri sedang sibuk melayani pengunjung sore ini. Pengunjung yang datang lumayan banyak, sampai membuat mas Egi yang seharusnya hanya duduk manis di meja kasir ikut turun tangan membantu kami.

Capucchino latte-nya, Ra!” mas Anca selesai membuat minuman dan aku sang distributor harus dengan sigap mengantarkan pesanan pengunjung. “Meja 15 ya.” Mas Anca menambahkan. Aku segera meluncur menuju meja yang dimaksud yang ternyata adalah pengunjung pasangan. Dengan senyum terkembang aku menyodorkan dua capucchino latte di atas meja. Wahh... sepertinya aku mulai ahli dalam bidang ini. Sri yang sedang mengantarkan pesanan untuk meja 18 mengerling padaku. Aku hanya tersenyum ringan, lalu mengedipkan sebelah mataku. Namun, eeiitss...!! siapa itu, yang berdiri di pojokan dengan tangan menyilang di dadanya? Hahaha ... sudah pasti sang-bos-besar-dengan-mata-sipit-sebelah-nya memperhatikan kami dengan sikap otoriter yang jelas kelihatan dari wajahnya. Dengan sebelah bibir terangkat, dia beralih ke konter dan mengobrol sebentar dengan mas Risky sebelum akhirnya menghilang di balik pintu ruangannya. Dengan seram aku melangkah ke konter untuk mengambil pesanan lainnya.

Setelah semua pesanan di antarkan kepada pengunjung, kini kami sedang mengobrol satu sama lain di belakang konter pemesanan. Mas Risky yang baru saja selesai mencuci peralatan dari pengunjung segera bergabung dengan kami setelah mengelapkan tangannya yang basah ke celemek hitam di pinggangnya. Celemek yang beruntung. Aku masih memandangi pergerakannya yang maskulin itu dengan mulut hampir terbuka lebar sebelum akhirnya mbak Lana menepuk lenganku pelan dan membuyarkan lamunanku. Aku menoleh.

“Kamu tinggal di mana Ra?” tanya mbak Lana kemudian.

“Di Intan Permai mbak,” jawabku kemudian yang disambut anggukan dari yang lain.

“Berarti searah dong sama Risky.” Tukas mas Anca. Mas Risky Cuma mengangguk-angguk.

“Emang rumah mas Risky dimana?” tanyaku.

“Di Pondok Permai.” Jawabnya singkat.

Setelah obrolan pembukaan itu, akhirnya kami mulai mengobrol panjang lebar. Hanya mas Egi dan mas Raka yang mengobrol berdua di meja kasir.

Akhirnya kafe akan ditutup setelah jam menunjukkan pukul sembilan malam. Aku dan Sri sudah berada di ruang ganti untuk mengganti seragam kami dan segera pulang ke rumah. Karena hari ini cukup melelahkan bagiku, maka sudah dapat dipastikan aku akan langsung berbaring ria sesampainya di rumah. Setelah selesai mengganti seragamku, aku menunggu Sri di luar. Sekarang aku mengenakan celana jeans hitam dan kaos panjang ungu, tak lupa jaket putih menempel di badanku. Malam ini cukup dingin, sehingga aku harus memakai jaket kalau besok aku masih mau berangkat sekolah dengan keadaan hidung tidak meler. Sri menepuk bahuku pelan sebelum akhirnya kami meluncur dengan sepeda motornya untuk pulang ke rumah.

*

Aku memegang kepalaku yang rasanya hampir pecah ini. semester akhir benar-benar membuatku stres. Walaupun otakku jenius, tapi aku punya batas daya tampung juga. Tiga jam dijejali mata pelajaran matematika siapa yang akan tahan? Sri disebelahku sudah hampir muntah-muntah sambil melambaikan bendera putih ke kamera (aku mulai ngelantur). Sedangkan teman-temanku yang lain ada yang sibuk mengoleskan minyak angin di kepalanya, ada pula yang langsung ngacir ke UKS karena nggak bawa minyak angin. Aku menghela napas keras-keras sebelum akhirnya bel tanda istirahat berbunyi yang langsung disambut meriah oleh seisi kelas. Belum sempat aku mengedipkan mata, seisi kelas sudah kosong. Hanya tersisa aku dan Sri yang masih memijat-mijat keningnya.

“Ke kantin nggak Sri?” tanyaku kemudian.

“Gue bawa bekal kok, tau sendirilah... hemat gue.” Jawabnya seraya mengambil kotak bekal dari laci mejanya. Aku menatapnya sirik, sementara dia membuka kotak bekalnya aku berlari ke kantin untuk memesan makanan.

Aku memasukkan suapan terakhir makananku ke mulutku. Sedangkan Sri sudah duduk manis di sebelahku sambil menyeruput es teh yang kubelikan.

“Jadi ini strategi hemat lo? Dengan malakin duit jajan gue?” Kataku setelah kunyahan makananku berakhir. Dia melengos.

“Gue nggak ada nyuruh lo beliin ya Ra...! Lo sendiri yang datang nyodorin es teh. Gue sebagai teman yang baik budi, tidak akan membuang kesempatan dan rezeki. Dosa namanya, mubazir!” Aku mencibir.

“Ya sebagai teman yang baik budi, gue juga nggak tega lihat teman gue mati tersedak nasi goreng gara-gara makan nggak punya minum” Balasku yang langsung mendapat pelototan dari Sri, aku cuma melengos.

*

Aku merapikan lemari piring setelah selesai menyucinya dengan bersih. Setelah bekerja part time di sini selama dua minggu, akhirnya aku tambah mahir melakukan pekerjaan rumah sederhana. Maksud dari kata sederhana adalah hanya sekedar cuci piring, menyapu, dan hal sepele lainnya yang masih bisa kukerjakan dengan keterampilanku yang sederhana pula. Jangan tanya tentang memasak, asal tahu saja, aku hanya bisa memasak nasi dan telur goreng. Lagi pula, kenapa Bunda tidak menurunkan bakat memasaknya begitu saja tanpa aku harus belajar? Ckckck.. setelah dipikir-pikir aku bukanlah jenius. Hanya seorang pemalas saja.

Saat aku akan memasukkan gelas terakhir ke dalam lemari, tiba-tiba sebuah tangan dengan sendok digenggamannya muncul di depan wajahku. Aku terkejut, dan langsung melangkah mundur. Setelah aku melihat si pemilik tangan yang omong-omong kekar itu, aku semakin melangkah mundur. Ternyata pak Evan, dengan wajah kurang senang dia masih mengacungkan sendok yang saat kuperhatikan ternyata masih kotor dengan sabun sisa sehabis menyuci yang kurang bersih. Dengan takut-takut, aku mencoba menatap wajahnya dan tersenyum.

“Kamu mau kita kehilangan kepercayaan pelanggan dengan kerjaan kamu yang seperti ini?” Satu kalimat yang langsung menohok ke ulu hatiku. Kerjaanku yang seperti apa yang dia maksud? Aku berusaha untuk tidak mendengus dengan keras. “Bagaimana kalau pelanggan kita pergi karena kebersihan kafe ini tidak terjamin?” Lanjutnya tanpa memberiku kesempatan untuk berkedip.

“Maaf pak. Saya akan lebih berhati-hati.” Akhirnya aku mampu bersuara juga. Aku melihat mas Risky di depan pintu sedang memperhatikan kami. Pak Evan menghela napas.

“Jangan menambah pekerjaan saya, tolong!” Aku melongo. Dia menaruh sendok itu di meja dapur begitu saja dan hendak berlalu. Namun langkahnya terhenti. “Tolong jangan panggil saya Pak, saya masih dua puluh empat tahun.” Ujarnya tiba-tiba, kemudian berlalu. Saat berpapasan dengan mas Risky dia hanya menepuk bahu mas Risky. Mas Risky tersenyum dan menghampiriku.

“Jangan diambil hati, dia emang tipe orang perfeksionis.” Ujarnya berusaha membesarkan hatiku. Aku hanya mengangguk lemah. Dengan sisa-sisa kedongkolanku akupun meraih sendok yang ditinggalkan pak Evan— tunggu! Maksudku mas Evan, seperti yang dia katakan, dia masih duapuluh empat tahun. Tetap saja bagiku dia hanya om-om berkepribadian menyebalkan. Setelah puas memakinya dalam hatiku, akupun melanjutkan dengan membilas sendok pembuat masalah ini. Mas Risky masih memperhatikan gerak-gerikku, aku yang tersadar masih terdiam setelah dia membela mas Evan.

“Iya mas, aku ngerti kok.” Ujarku kemudian, “Lagian aku yang salah.” Lanjutku. Mas Risky tersenyum dan mengacak poniku pelan sebelum akhirnya keluar dari dapur. Aku terpana, apa-apaan dia? Baru saja dia mengacak poniku? Aku menyentuh poniku. Wahh.. pipiku memanas, dengan segera aku menjerit pelan dengan membekap mulut. Tiba-tiba saja seperti mendapatkan rezeki melimpah. Sri yang masuk ke dapur terheran-heran dengan tingkah anehku.  Aku tersenyum misterius.

“Ra? Jangan nakut-nakutin gue ya?” Katanya dengan nada ngeri. Aku langsung memeluk lengannya masih dengan senyuman lebar. Dengan kening berkerut Sri mendorong keningku menjauh.

“Gue rasa, gue jatuh cinta Sri.” Ujarku kemudian. Yang membuat Sri terlonjak mundur.

“Gua tahu hal kayak gini pasti bakal terjadi.” Jawab Sri skeptis. “Lo tuh emang nggak bisa lihat cowok kinclong dikit,” Lanjutnya, “Pasti deh langsung lengket.”

“Jangan salahin gue, salahin mereka dong. Kenapa harus begitu mempesona,” Sambarku kemudian membela diri. Sri cuma bisa geleng-geleng kepala. Dengan segera dia meninggalkanku di dapur, sedangkan aku masih merasakan sentuhan tangan mas Risky di poniku. Sepertinya aku semakin betah di kafe ini.

Setelah mengganti seragam kerjaku dengan pakaian biasa, aku keluar kafe untuk menunggu mas Ega yang kusuruh untuk menjemputku. Yah.. akhirnya aku mengaku pada bunda kalau aku sedang bekerja part time di kafe ini, karena aku nggak mau membuat bunda cemas dan agar mas Ega bisa menjemputku saat pulang kerja. Yah.. kalau itu sih sudah pasti perintah mutlak dari bunda yang hampir kutolak mentah-mentah kalau saja bunda tidak mengancam untuk melarangku bekerja lagi. Saat sedang berdiri sendiri menunggu, aku melihat mas Risky baru saja keluar dari kafe menghampiriku.

“Nunggu siapa Ra?” Tanyanya kemudian. OMG! Calm down Ra, dia Cuma nanyak.

“Ah... Nunggu jemputan mas.” Jawabku pelan.

“Loh, emang Sri kemana? Biasanya kan kalian bareng.”

“Ah.. dia harus pulang cepat, karena ibunya lagi sakit. Kalo harus nganter aku entar dia muter, kasihan.” Kenapa aku harus memulai jawaban dengan gumaman aneh sih?

“Atau mau bareng sama aku? Kita kan satua arah.” Tawaran yang menggiurkan. Sumpah demi apa, cuma gadis gila yang menolak niat baiknya. Seharusnya aku sudah melonjak-lonjak kegirangan di sini. Hanya saja aku tidak ingin berakhir di mobil ambulans dengan tangan terikat karena disangka pasien sakit jiwa yang kabur. Please! Aku nggak segila itu. Seharusnya ini menjadi gampang, tinggal kirim pesan ke mas Ega kalau aku udah ada yang nganterin. Jadi dia nggak perlu datang. Ponsel sudah di tangan, sumpah demi apa ingin rasanya aku berteriak keras saat aku melihat mobil mas Ega menepi di pinggir jalan depan kafe. Mas Risky masih menunggu jawabanku. Aku hanya tersenyum kaku sambil menunjuk mobil mas Ega yang sudah berhenti. Mas Risky memalingkan wajahnya ke arah jalan, dan yang bersangkutan keluar dari mobil dengan senyum terkembang. Hwaakss.. Ingin rasanya setelah ini aku mencabik-cabik wajahnya, walaupun aku tahu wajahnya adalah harta kebanggaan satu-satunya yang dia miliki. Tapi dia datang pada timing yang tidak tepat. Mas Ega datang mendekat dengan senyum sialnya.

“Hai Ra, ayok pulang!” Ujarnya kemudian. Aku berusaha menahan diri untuk tidak mencabik-cabik wajahnya saat itu juga. Setelah berhasil merusak momen-momen yang aku yakin tidak akan pernah terulang lagi, dia juga ternyata tidak sopan. “Loh? Mas Risky?” Tahu-tahu aja mas Ega menyebut nama mas Risky.

“Oh.. jadi kamu Ga yang ditunggu Aura?” Tunggu? Kenapa mereka bisa saling kenal?

“Kok kalian bisa saling kenal?” Tanyaku dengan nada kelewat penasaran.

“Ah... Mas Risky itu dulu senior aku di kampus” Jawab mas Ega. Mas Risky hanya mengangguk-angguk setuju. Oh... Senior mas Ega, kebetulan yang sangat bagus.

“Loh, kalian sendiri? Kok saling kenal?” Kali ini mas Risky yang bertanya. “Kalian pacaran?” Hampir saja aku ngakak di jalan kalau saja tidak ingat kemungkinan mobil ambulans. Aku langsung berlagak menilai mas Ega dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Kira-kira dong Mas, masa aku disuruh pacaran sama cowok loser kayak dia? Nggak banget.” Komentarku kemudian. Mas Risky Cuma tertawa pelan, sedangkan mas Ega sudah mendaratkan jitakan di kepalaku.

“Lagian siapa juga yang mau punya pacar kayak kamu Ra?” Balas mas Ega kemudian. “Lagian kamu kurang ajar, kakak sendiri dibilang loser.” Aku cuma nyengir kuda. “Dia adikku mas,” lanjut mas Ega.

“Oh..” gumam mas Risky mengerti.

“Jadi mas Risky yang punya kafe ini?” Tanya mas Ega kemudian.

“Yah.. nggak bisa dibilang gitu juga sih. Soalnya  kafe ini dihandel sama Evan, aku cuma bantu-bantu.” Jawabnya. Aku dan mas Ega cuma mengangguk-angguk mengerti.

“Mas Evan Djuada maksudnya?” Tanya mas Ega lagi penasaran. Akupun ikut penasaran juga, mas Risky cuma mengangguk. Ternyata dunia ini sempit Tuhan, kenapa juga kedua bos-ku kenal dengan kakak laki-lakiku?

Setelah mengobrol sebentar dengan mengingat masa-masa mereka kuliah dulu, yang cukup membuatku pegal berdiri. Akhirnya aku dan mas Ega sudah berada di dalam mobil menuju pulang ke rumah.

“Mas tadi dari mana sebelum jemput aku?” Tanyaku saat mobil sudah meluncur dengan  mulus di jalan.

“Oh.. Aku abis nganterin Nana beli buku. Terus kamu sms, aku langsung nganter dia pulang dan jemput kamu deh...” Jawabnya kemudian.

“Mas masih pacaran sama mbak Nana ya?” Mendengar pertanyaanku, mas Ega menoleh.

“Masih, kenapa?” Ujarnya balik bertanya.

Aku menggeleng, “Enggak...” Nana adalah pacar mas Ega yang sudah dipacarin kurang lebih enam bulan. Kenapa aku bisa tahu? Soalnya aku yang belikan bunga untuk bakal mas Ega menembak mbak Nana. Seharusnya saat itu aku nggak melakukannya, kalau aku tahu akhirnya akan jadi begini. Aku menghembuskan nafas berat.

*

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tak Pernah Memiliki
14      14     0     
Short Story
Saling menunggu seseorang, dalam diam. Berakhir tak indah, berujung pisah. Kita yang tak pernah bisa untuk saling memiliki.
UnMate
34      26     0     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
Reason
8      8     0     
Romance
Febriani Alana Putri, Perempuan ceria yang penuh semangat. Banyak orang yang ingin dekat dengannya karena sikapnya itu, apalagi dengan wajah cantik yang dimilikinya menjadikannya salah satu Perempuan paling diincar seantero SMA Angkasa. Dia bukanlah perempuan polos yang belum pernah pacaran, tetapi sampai saat ini ia masih belum pernah menemukan seseorang yang berhasil membuatnya tertantang. Hing...
Bottle Up
132      88     0     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
Jingga
222      129     0     
Romance
Kehilangan memang sangat menyakitkan... Terkadang kita tak mampu mengekspresikan kesedihan kita membuat hati kita memendam sakit... Tak berakhir bila kita tidak mau mengakui dan melepas kesedihan... Bayang-bayang masa lalu akan selalu menghantui kita... Ya... seperti hantu... Jingga selalu dibayangi oleh abangnya yang sudah meninggal karena kecelakaan... Karena luka yang mendalam membuatnya selal...
Mencintaimu di Ujung Penantianku
137      101     0     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Me vs Idol
12      12     0     
Romance
Intuisi
103      69     0     
Romance
Yang dirindukan itu ternyata dekat, dekat seperti nadi, namun rasanya timbul tenggelam. Seakan mati suri. Hendak merasa, namun tak kuasa untuk digapai. Terlalu jauh. Hendak memiliki, namun sekejap sirna. Bak ditelan ombak besar yang menelan pantai yang tenang. Bingung, resah, gelisah, rindu, bercampur menjadi satu. Adakah yang mampu mendeskripsikan rasaku ini?
Manusia
62      44     0     
Romance
Manu bagaikan martabak super spesial, tampan,tinggi, putih, menawan, pintar, dan point yang paling penting adalah kaya. Manu adalah seorang penakluk hati perempuan, ia adalah seorang player. tak ada perempuan yang tak luluh dengan sikap nya yang manis, rupa yang menawan, terutama pada dompetnya yang teramat tebal. Konon berbagai macam perempuan telah di taklukan olehnya. Namun hubungannya tak ...
Cinta Aja Nggak Cukup!
34      30     0     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...