Read More >>"> Black Lady the Violinist (Kapitel xiii) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

Sehabis bangun lebih siang karena hari libur, Kenan menguap lebar. Ia berguling malas di kasur. Namun, kantuknya lenyap waktu terdengar suara pelayannya sedang berbicara dengan siapapun itu. Hatinya resah mendengar dialog-dialog di luar kamarnya karena mungkin saja yang dibicarakan ialah nonanya yang malas di hari libur. Itu memalukan.

Mata Kenan tertuju pada jam dinding. Jarum panjangnya terus bergerak ke angka 8:12 AM. Selimut dilemparnya, sekejab ia sudah di kamar mandi. Meski mandi bebek, yang penting ia harus cepat pergi dari sana sebelum Ryan datang!

Dalam lima menit Kenan menyelesaikan acara mandi dan berpakaian. Tak dipikirkan lagi rapi tidaknya, cocok tidaknya, lapar tidaknya.

Pintu Kenan buka lebar-lebar dan berharap bisa segera pergi sebelum harapannya musnah. “Hai, Kenan! Selamat pagi!” sapa Ryan senang. Kenan mengerang. Tas yang dipakainya dijatuhkan ke lantai. “Ada masalah, Miss?”

Kenan mendongak setelah merenung dan menyesal. “Ini baru jam setengah sembilan! Kenapa sudah datang!?” seru Kenan kesal.

“Kami malah sudah datang dari pukul setengah delapan. Kenapa? Kau kecewa?" goda Ryan. Rasanya kepala Kenan sudah berasap.

“Kamu bohong kalau Kenan perginya siang-siang, Ryan?” sela bibi Vani

Ryan mengabaikan mamanya. “Waduh, masa? Lagipula sepupu kita yang cantik ini sekali-kali harus ikut pertemuan keluarga, kan?”

Paman Anderson tertawa dari kejauhan.

“Anak bapak sama saja!” gerutu Kenan yang sudah keberapa kalinya.

Kenan mengehela nafas panjang-panjang supaya Challysto sekeluarga tahu ia sedang kesal. “Terserahlah. Pantas saja daritadi pagi sudah bising–bodohnya aku tak kunjung sadar,” ujar Kenan menyerah sambil beranjak ke kursi di meja makan dan berkumpul.

Have a breakfast, Miss?” tanya si pelayan padanya.

Tangan Kenan diletakan di meja untuk menopangkan dagunya.

“Kalian sudah makan? Datang pagi-pagi ke rumah orang sebelum yang punya bangun. Hebat sekali,” sindir Kenan terutama pada Ryan. Ia malah tertawa. “Oh, thanks pada tuan tanah yang memberikan rumahnya padaku,” timpal Kenan.

Keluarga Challysto sekalian tak ada satu pun yang termakan sindiran pedas Kenan lalu marah. Parah sekali rasa pede mereka ini.

“Makan apa saja yang Kenan mau,” kata bibi Vani santai dari ujung meja.

Kenan berbicara pada pelayannya yang masih bertengger di sebelahnya, “Ya, thank you. Any sort of menu which would to be served,” jawabnya tanpa kata sir lagi. Sang pelayan mengangguk dan ia pergi ke dapur. Mata Kenan terfokus kembali pada orang sekeluarga di hadapannya itu. “Ngomong-ngomong kenapa kalian bisa masuk? Kalau kalian sampai terlihat publik masuk ke rumahku –“

 “Ya ya, Nona. Bosan aku mendengarnya. Tenang saja, kami pakai mobil biasa kok.” ‘Biasa’ seperti apa? “Dan masuk ke halamanmu yang besar itu begitu saja. “Kenapa bisa masuk? Pelayanmu yang mengijinkan. Oh ya, kau tak tahu ya kalau keluarga Reamer pelayan setia keluarga Challysto selama bertahun-tahun.”

Alis Ryan terangkat sebelah. Wajah meledeknya kentara sekali.

Ya benar. Ryan tidak akan sembarangan menempatkan orang di rumah yang dibelikannya untukku. Kenan merenung dalam hati sedikit bersyukur.

Kenan meneguk segelas air yang sudah tersedia di depannya. “Jadi, ada keperluan apa ke sini? Kalau cuma iseng, sekarang juga aku pergi.” Ia menyelak.

Ryan tertawa senang. “Asyik sekali ya punya adik perempuan yang langsung ngomong tanpa basa-basi ini.”

Paman Anderson yang daritadi diam langsung mengawali perbincangan serius. Gayanya seperti menteri hukum di rapat parlemen.

“Kami benar tak tahu apa-apa karena datang sangat terlambat dan tantemu yang paling kaget soal kau dan rumah ini. Kamu tinggal sendiri padahal masih 13 tahun. Jadi, tak ada salahnya berkunjung ke tempat keponakan cantiknya, ‘kan?”

Raut wajah paman Anderson begitu senang ketika ia mengatakan itu. Sepertinya ia ingin punya anak perempuan. Apalagi anak lelakinya tak berguna.

Ryan tertawa lagi. Apa sih yang dia tertawakan? Kulempar juga sepatuku.

 “Jadi kami gak bakal diusir, kan?” goda paman Anderson.

Tak terasa bibir Kenan merekahkan senyum tanpa sekehendaknya.

“Tidak juga. Terima kasih perhatiannya, Paman. Bibi juga. Tante juga.”

“Jadi, apa kau senang dengan rumah ini, Kenan?” tanya bibi Vani. Kenan mengangguk. “Jangan sampai lupa makan. Nanti bisa mati beku.” Kenan tertawa geli. “Juga, jangan lupa kembali ke rumah ya, sayang. Vincent tahu jalannya.”

“Kalau ada waktu atau acara keluarga pasti aku ke sana, Bibi. Kalau hari ini tidak karena aku tak mau bersama-sama dengan anak laki-laki yang cakep itu.”

Ryan kegeeran, cengar-cengir mirip cihua-hua diberi whiskas.

“Oke, oke. Lebih baik makan dulu,” perintah paman Anderson pada mereka semua karena sarapan sudah disiapkan.

 

“Memangnya tadi kau niat kemana sambil bawa-bawa violin?” tanya Ryan setelah piringnya bersih duluan. “Di sini kan tidak ada tebing curam seperti di dekat rumahmu dulu.” Kepala bibi Vani tegak ketika mendengar kata ‘curam’.

“Menurutku tanpa bertanya juga kau tahu,” jawab Kenan to the point.

Mata Ryan lirak-lirik. “Hmm, kupikir kau mau jalan-jalan dengan mobil.”

Garpu dan pisau Kenan letakkan di piring. Kenan berhenti makan dan kepalanya tertunduk. “Aku bukan orang yang bisa senang-senang dengan harta yang berlimpah sementara ada orang lain yang hanya bisa berbaring di ranjang dengan seprai dan selang-selang sebagai teman main.”

Ryan tertegun, menyesal menanyakan pertanyaan itu. “Ma, maaf, Ken. Aku boleh ikut kau untuk menjenguk?”

Kenan mendongak. “Dan membuat fashion show keluarga Challysto di rumah sakit? Tidak terima kasih. Pulang saja kau,” usir Kenan.

Ryan mulai mencandai sepupunya lagi. “Aih galaknya.” Ia mengangkat alisnya. “Soal itu santai saja. Ada cara jitu untuk mengelabui orang-orang.”

Tangan Kenan mengangkat garpu dan pisaunya lagi. “Taktik yang sama seperti saat kau menyiasati orang-orang untuk masuk ke rumahku.”

Begitu selesai sarapan, mereka semua masuk ke mobil yang dikatakan biasa oleh Ryan. Tak Kenan sangka kalau mobil itu memang biasa sekali untuk ukuran mereka. Kalau di Indonesia, mungkin bisa dikatakan hanya mobil Inova atau Xenia. Lalu mobil pun melaju dengan tenang tanpa ada seorang pun memperhatikan.

Begitu memasuki tempat parkir rumah sakit, mereka beraksi dengan penyamaran luar biasa absurd-nya. Bibi Vani memakai coat panjang, topi lebar, dan kacamata gelap sementara paman pakai kacamata gaya lama dan ganti coat yang terlihat seperti dibeli di pasar loak dengan banting harga. Ryan–ini yang paling ngaco–ganti baju gembel, rambut diacak-acak, bertopi baseball, lalu pakai headphone di leher, persis anak sakau.

Mereka mau lomba stand-up comedy keluarga atau mau cosplay? Pasti ulah Ryan. Konyolnya, kenapa paman dan bibi mau-mau saja dikerjai putranya??

Mereka kemudian melenggang santai memasuki koridor National Hospital of Neurology dengan sopir ikut berbaur. Tak Kenan sangka cara aneh bin ajaib seperti di FTV itu ampuh. Mereka benar-benar selamat tanpa seorang pun curiga hingga tiba di kamar Lena. Satpam yang jaga pun hanya mengira keluarga aneh itu seperti keluarga pinggiran kota yang hendak mengunjungi kerabatnya yang sedang operasi usus buntu atau wasir.

Ketika paman Anderson membuka pintu, Lena yang melamun menatap ke kaca jendela menolehkan kepalanya pada mereka yang menjenguknya beramai-ramai. Ia awalnya berpikir kalau mereka sekumpulan badut penghibur yang disewa Kenan.

“Kenan? Mama syudah syampai?” tanya Lena bingung. “Kalian syama syiapa?”

Begitu pintu ditutup, semua langsung melepaskan penyamaran konyol itu. Lena pun terkejut. “Eh? Lyan, om, tante?”

Ryan tersenyum. “Yo. Sudah lama gak ketemu, Len. Gimana Inggris?”

Lena tersenyum lebar. Kenan melihat ke arah lain dengan sedih. “Mungkin lain kali kau bisa ke sini lagi karena dia hanya punya aku,” gumamnya pada Ryan. Sebenarnya Kenan pribadi tak berharap Ryan mendengar. Itu hanya ungkapan sedihnya.

“Ya,” jawab Ryan. Ryan berjalan menarik kursi ke dekat Lena. “Kabarmu baik? Kangen juga sama anak yang rada bloon kaya kamu. Kenan orangnya terlalu serius sih.”

Lena cekikikan mendengarnya. Kenan yakin mereka itu pinang dibelah dua.

 “Aku gak tau Ingglis di lual kaca ini. Aku juga tambah bloon kalena gak syekolah lagi.” Lena tertawa-tawa. “Di syini syemua orang ngomong bahasya Ingglis. Aku gak ngelti.” Kenan mendekat lalu duduk di ranjang Lena dan mendengarkan.

“Belajar dong!” seru Ryan.

“Gimana belajalnya? Memangnya di syini ada kamus? Nonton televisyi aja bahasya Ingglis. Novel, komik, bahasa Ingglis syemua! Aku pastyi waktu itu syengaja dijatuhkan dali pesyawat.” Lena merengut. Kenan mengeluarkan bekal dari tasnya yang sudah ia siapkan dari semalam untuk saat yang tepat seperti itu. “Hehe, thanks.”

Ryan penasaran dengan isinya. “Apa itu? Kok gak bagi-bagi?” Kenan menjejalkan sepotong sandwich ke mulut Ryan. “Enak.”

“Enyak, kan? Ini buatan Ken syendili loh!” seru Lena bangga. Bibi Vani, paman Anderson, dan tante Merry yang hanya diam mendengar juga tersenyum. “Oh ya Ken, minta syatu lagu dong, apa aja,” pinta Lena pada Kenan. “Hehe. Ken jangan marah ya.”

Kenan tersenyum lalu menggeleng. Tanpa bicara sepatah kata pun atau berpikir hal yang muluk-muluk, Kenan mengeluarkan violinnya dan meletakkannya di pundaknya. Mata paman Anderson terpaku padanya karena ia tahu ia ingin sekali mendengar lagi permainan violin dari putri adiknya.

Kenan berusaha mengingat lagu. “Tschaikovsky: Dance of the Reed Pipes.”

“Kau halus dengal,” pintanya sambil menarik lengan Ryan lebih mendekat. Lena menunduk sambil tersenyum. “Balbie Nutclackel suite. Apa aku bisya bebas menjelajah syepelti yang dilakukan putli syugal plum kalau aku syudah syembuh nanti?” tanya Lena membuat tante Merry dan bibi Vani sedih.

Tuhan, tolong aku. Aku mau sembuh,  ujar Lena dalam hati merasa sedih.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CATATAN DR JAMES BONUCINNI
91      73     0     
Mystery
"aku ingin menawarkan kerja sama denganmu." Saat itu Aku tidak mengerti sama sekali kemana arah pembicaraannya. "apa maksudmu?" "kau adalah pakar racun. Hampir semua racun di dunia ini kau ketahui." "lalu?" "apa kau mempunyai racun yang bisa membunuh dalam kurun waktu kurang dari 3 jam?" kemudian nada suaranya menjadi pelan tapi san...
Night Wanderers
352      199     0     
Mystery
Julie Stone merasa bahwa insomnia yang dideritanya tidak akan pernah bisa sembuh, dan mungkin ia akan segera menyusul kepergian kakaknya, Owen. Terkenal akan sikapnya yang masa bodoh dan memberontak, tidak ada satupun yang mau berteman dengannya, kecuali Billy, satu roh cowok yang hangat dan bersahabat, dan kakaknya yang masih berduka akan kepergiannya, Ben. Ketika Billy meminta bantuan Julie...
AMORE KARAOKE
431      248     0     
Romance
Dengan sangat berat hati, Devon harus mendirikan kembali usaha karaoke warisan kakeknya bersama cewek barbar itu. Menatap cewek itu saja sangat menyakitkan, bagaimana bila berdekatan selayaknya partner kerja? Dengan sangat terpaksa, Mora rela membuka usaha dengan cowok itu. Menatapnya mata sipit saja sangat mengerikan seolah ingin menerkamnya hidup-hidup, bagaimana dia bisa bertahan mempunyai ...
Move On
12      12     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
MONSTER
163      87     0     
Romance
Bagi seorang William Anantha yang selalu haus perhatian, perempuan buta seperti Gressy adalah tangga yang paling ampuh untuk membuat namanya melambung. Berbagai pujian datang menghiasi namanya begitu ia mengumumkan kabar hubungannya dengan Gressy. Tapi sayangnya William tak sadar si buta itu perlahan-lahan mengikatnya dalam kilat manik abu-abunya. Terlalu dalam, hingga William menghalalkan segala...
Dear, My Brother
0      0     0     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
In Love With the Librarian
358      223     0     
Romance
Anne-Marie adalah gadis belia dari luar kota walaupun orang tuanya kurang mampu, ia berhasil mendapatkan beasiswa ke universitas favorite di Jakarta. Untuk menunjang biaya kuliahnya, Anne-Marie mendaftar sebagai pustakawati di kampusnya. Sebastian Lingga adalah anak tycoon automotive yang sombong dan memiliki semuanya. Kebiasaannya yang selalu dituruti siapapun membuatnya frustasi ketika berte...
Sakura di Bulan Juni (Complete)
232      144     0     
Romance
Margareta Auristlela Lisham Aku mencintainya, tapi dia menutup mata dan hatinya untukku.Aku memilih untuk melepaskannya dan menemukan cinta yang baru pada seseorang yang tak pernah beranjak pergi dariku barang hanya sekalipun.Seseorang yang masih saja mau bertahan bersamaku meski kesakitan selalu ku berikan untuknya.Namun kemudian seseorang dimasa laluku datang kembali dan mencipta dilemma di h...
Carnation
14      14     0     
Mystery
Menceritakan tentang seorang remaja bernama Rian yang terlibat dengan teman masa kecilnya Lisa yang merupakan salah satu detektif kota. Sambil memendam rasa rasa benci pada Lisa, Rian berusaha memecahkan berbagai kasus sebagai seorang asisten detektif yang menuntun pada kebenaran yang tak terduga.
The Yesterday You
15      15     0     
Romance
Hidup ini, lucunya, merupakan rangkaian kisah dan jalinan sebab-akibat. Namun, apalah daya manusia, jika segala skenario kehidupan ada di tangan-Nya. Tak ada seorang pun yang pernah mengira, bahkan Via sang protagonis pun, bahwa keputusannya untuk meminjam barang pada sebuah nama akan mengantarnya pada perjalanan panjang yang melibatkan hati. Tak ada yang perlu pun ingin Via sesali. Hanya saja, j...