Read More >>"> Black Lady the Violinist (Kapitel iv) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

Klining.. klining.. Pintu toko Ritsena memang khas banget bunyinya dibanding toko yang lain di kampung itu. Satu hal yang amat disukai Kenan.

“Ada apa ini!? I’m bussy!” Terdengar gema auman dari dalam toko mungil itu. “I’m flee from England when unexpectedly Ryan told me that!

“Permisi,” sapa Kenan sopan. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat orang yang ia cari. Eh, aroma mawar? Memangnya pengharum ruangan toko ini sudah ganti??

“Nah, ini Pak nak Kenan yang minta Bapak datang,” ujar Pak James yang malang–korban amukan ayah Ryan–sambil menunjuk Kenan sebagai sambutan.

Oh, you are! Tell me in hurry!” semburnya pada Kenan sambil menuding-nuding wajah orang seenak jidat.

Kenan naik darah. Ia menyahut dengan nada suara super rendah, “ya. Memang saya! Kalau Bapak merasa tak pantas datang karena permintaan Saya, seorang bocah kampung ini, Bapak boleh silahkan pulang, kembali ke tempat Bapak sibuk itu! Ke Inggris itu!”

“Woi! Gila! Kenapa malah disewotin gitu?” Lena bisik-bisik histeris.

Bodo! Ngeselin jadi orang! Sok sibuk banget!” bisik Kenan balik.

Orang itu langsung terdiam. Tak enaknya malah menatap Kenan lekat-lekat. Pelan-pelan Kenan menelan ludah karena rasa takut akhirnya timbul. Ia pun menunduk dengan terpaksa. “Maaf, Pak. Saya jadi marah-marah. Padahal, Saya yang minta tolong,” pinta Kenan yang merasa bersalah campur merinding.

“Oh, oh. Maaf Saya juga salah. Ada apa, Nak? Kamu teman Ryan ya? Katanya kamu suka minta diajarin Ryan main violin yah? Tapi kok wajahmu itu –“

“Iya, Pak. Saya suka violin dan Saya minta tolong Bapak untuk ini,” potong Ken langsung sebelum beliau selesai bicara sembari menyerahkan surat itu.

Wajah pak Anderson berubah merah. Kenan takut kalau dia hendak marah lagi, hendak meledak lagi.  “Da, dari, darimana kamu dapat surat ini, Nak?”

Kenan sedikit melirik Lena dan dengan ragu menjawab, “Dari… buku cerita bergambar Saya, Pak. Surat itu diselotip di dua halaman terakhir.”

Wajahnya sulit diterka. Mungkin agak geram? Pilu? Apapun itu, Kenan hanya takut kalau ia mau ditonjok gara-gara sudah berani kurang ajar.

“Nama lengkap kamu siapa, Nak?”

“Ee, Kenan Grace,” jawab Kenan ragu.

Ia berpikir sejenak. “Nama ayah kamu, Nak?”

“Yuwana Az–“

“Ibu kamu?” tanyanya tanpa titik koma.

Rese ya ini orang, gerutu Kenan dalam hati. “Ine Metha Septhi.”

“Hah!?” Sang Bapak berkata ‘hah’ seperti memenjarakan bom selama puluhan tahun. “Kamu... mana Azmi!?” teriaknya. “Orang itu memang…!”

Padahal semua orang di ruangan itu tahu kalau kalimat Kenan belum selesai. Jadi, darimana ia tahu kalau maksud Kenan adalah ‘Azmi’ dari kata ‘Az’ yang terpotong tadi?

“Ayah Saya sudah meninggal bulan lalu,” kata Kenan lirih.

“Jadi, sampai meninggal pun Azmi itu sengaja tidak memberi tahu kamu kalau si Mata bukan ibumu!? Keterlaluan si Azmi itu!”

“Namanya kan Metha,” bisik Lena.

“Tunggu, apa Bapak bilang!? Bukan ibu saya!? Jadi maksud Bapak –“

“Nama ibumu Ritsena Angelina Challysto, seperti dalam surat ini.” Beliau berkata sambil memamerkan kertas di tangannya. “Masa kamu gak merasa kalau kamu itu pasti tak ada mirip-miripnya sama si Mata ini?” tuntut pak Anderson.

Dada Kenan serasa ditusuk. Ucapannya itu mengesalkan banget, sampai membuat Kenan menggertakkan giginya tapi kata-katanya memang kebenaran. Benar, ia tidak mirip, berbeda dan sangat berbeda, dari orang yang bernama Ine Metha Septi ataupun dari Ningtyas, adik kecilnya. Hal itu membuat Kenan hanya bisa mati kutu.

“Namanya Metha,” bisik Lena.

“I, iya,” jawab Ken ragu, “lantas kenapa Bapak yakin dan bicara begini?”

“Tiga belas tahun yang lalu, sebelum Ritsena melahirkan kamu, dia pindah ke suatu desa seperti ini. Padahal, ia punya warisan rumah mewah sendiri tapi ia malah memilih rumah kampung itu! Tiba-tiba kabarnya hilang setelah surat itu Saya tulis, lenyap begitu saja sampai hari ini!! Dan Azmi… ia sengaja menyembunyikanmu!!”

Ayah?? Kenan gentar. “Jadi, maksud Bapak, Saya ini, keluarga Challysto, pewaris toko ini, dan aset lainnya!?” seru Kenan kaget dengan terbata-bata. Lena mengerang, menarik-narik baju Kenan, membuat Kenan tambah frustasi.

“Ya, keluarga Challysto, keponakan Saya. Pantas dari awal wajahmu tidak asing. Tidak ada yang pernah berani menentang Saya seperti itu tentunya selain kalian. Ah, Ritsena.” Ucapnya sedih.

Kenan diam karena kehabisan kata-kata. Ia dan Lena hanya bisa berdiri mematung berdua kebingungan. Begitu juga Ryan yang selama ini selalu jadi teman bercandanya... ternyata sepupunya sendiri!

“Ryan cerita soal bakatmu. Ah, kamu tahu tidak, Ritsena itu violinist Praha di Wina. Senang rasanya, bakat Ritsena turun langsung ke putri kesayangannya.”

“Sayang kalau bakatnya disia-siain, Pah,” ujar Ryan yang ternyata berdiri di belakang ayahnya duluan sadar dari rasa heran. Beliau malah mangut-mangut.

 “Jadi, Saya bingung, Pak.” Dalam segala aspek.

“Ah, jangan begitu, Ken. Saya tahu kamu ini cerdas. Saya tahu kamu paham maksud Saya,” ucapnya dengan nada lembut, “tinggalah bersama kami. Ada bibimu yang selalu menantikanmu. Rumah terlalu sepi kalau cuma bertiga.” Ia menawarkan dengan sopan.

Kenan terpaku. “Bapak... percaya pada Saya? Terlepas apapun isi surat itu, Bapak percaya kalau Saya adalah putri saudara Anda? Padahal kita baru pertama kali bertemu.”

Pak Anderson sedikit tersenyum. “Ryan sudah banyak cerita tentangmu. Entah mengapa hanya melalui ceritanya saja ada perasaan yang terasa familiar.” Pak Anderson menepuk kepala Kenan sementara putranya nyengir-nyengir. “Jadi, bagaimana, Nak?”

Secara reflek “Ah, iya itu, maaf, Pak. Saya tinggal dengan teman Saya saja. Di sana –“

“Teman?”

“Dia diusir ibunya, Pak,” sergap Lena memberanikan diri. Dengan gagah.

Paman Anderson mengamuk. “Diusir!? Mana Mata! Berani sekali dia –“

“Namanya Metha,” koreksi Lena entah yang keberapa kalinya. Tangan Kenan siap mencakar teman idiotnya yang melawak tak lihat situasi.

“Tenang, Pak. Saya senang di sana kok.”

“Hah!?” teriaknya. Beberapa saat kemudian ia bisa menenangkan dirinya. “Yah terserah kamu lah mau tinggal dimana. Ritsena banget. Saya memang selalu kalah berdebat dengannya tapi kamu bisa minta sesuatu. Bagaimana?”

Ken melirik Lena tapi ia malah memalingkan muka. “Begini saja, Pak. Saya berterima kasih pada kebaikan Bapak tapi Saya cuma minta dua hal?”

“Apapun itu.”

“Hmm, Saya minta satu violin dari sini dan terakhir Saya minta tempat atau perlengkapan untuk toko kue, Pak untuk mama teman Saya ini,” pinta Kenan. Ia berpikir untuk merasa kalau itu cukup murah buat orang sekaya mereka.

“Cuma segitu, Ken? Ya ampun. Bapak gue orang kaya nih,”  pamer Ryan.

“Hanya ini, Nak? Yakin? Oh ya, sekalian sama toko ini buat kamu. Begitu kan isi suratnya? Oh iya! Tambah tempat les saja,” timpal paman Anderson.

Wah. Kok jadi beranak pinak begini permintaanku, pikir Kenan heran. “Terserah Bapak saja tapi Saya cuma minta dua ini kok.”

“Baiklah, Kenan Juga, panggil paman saja,” jawabnya dengan suasana hatinya yang sudah cerah. “Saya pergi dulu yah.”

Thanks paman Anderson,” kata Kenan lega.

Setelah paman Anderson pergi dari toko Ritsena dan keadaan mulai mencair, Kenan hendak ikut melenggang pergi.

“Ngomong-ngomong,” kata Lena tiba-tiba, “si pamanmu itu daritadi bilang Mata melulu ya? Mantan mamamu banyak matanya ya?”

Kenan memukul Lena pelan. “Emangnya emak gue laba-laba!?”

Dari jauh Ryan tertawa terpingkal-pingkal karena sedaritadi memang menahan tawa ketika ayahnya sendiri mengatakan ‘Mata’ berkali-kali. Apalagi dengan tampang serius. Dasar anak yang berbakti pada orang tua.

 

 

Tukang bangunan dan dekorasi untuk toko kue kecil keluarga Maganda di depan rumah sudah datang. Daya terjang paman Anderson dalam merespon permintaan Kenan justru membuat orangnya sendiri ngeri. Menurut Kenan, baru 41.25 jam yang lalu ia minta tapi semua sudah tersedia di depan mata.

Dekorasinya cantik. Kenan mangut-mangut. Benar-benar seniman ya, pikir Kenan–apa hubungannya?

“Eh, bangun juga si putri musik,” sindir Lena. Rupanya ia sudah menyiapkan sapaan kalau Kenan sudah bangun.  “Atau nyonya Ken?” tambahnya.

“Nyonya jidatmu.”

“Eh. Kenapa sih kamu ini gak terima saja tawaran si pak Andar, eh Ender, eh Ander, apalah itu sebangsa sejenisnya, buat tinggal di istananya?”

“Anderson. Tahu darimana kamu rumahnya kaya istana?”

“Ya elah, siapa sih yang gak tahu keluarga Challysto?”

“Ya aku tak tahu. Tidak juga. Memangnya enak ya?”

“Sebenarnya aku juga gak tau sih.” Lena merengut. “Ya Tuhan. Mimpi apa sih nih anak. Enak banget ya jadi anak orang kaya! Makannya mewah, banyak pembantu, gak usah kerja! Sekolah di tempat mewah. Baju mewah! Wow!”

“Baju mewah?” Pikiran Kenan melayang pada Ryan yang dekil.

“Iya baju mewah, kenapa? Baju Ryan kaya kaleng rombeng?”

“Hmm....” Kenan mengangguk setuju. “Mungkin gaun lance juga ya?”

Lance? Apaan tuh? Merek apa lagi?”

“Merek sapu terbang baru.”

“Kemarin kain pel, sekarang sapu. Besok apa lagi? Sikat WC?”

“Bagus ‘kan? Ada merek sikat WC yang lebih bagus dari nama –“

Prang. Salah satu alat berat tukang jatuh pada saat hendak memperbaiki kanopi toko. Mendengarnya, cengiran Kenan lenyap seketika setelah bercanda. “Ehm, Len, kita keluar saja ayo.” Merasa tak enak hati, Kenan berniat kabur.

 

Sekembalinya dari ajang melarikan diri, mereka lihat pintu terbuka lebar. Pertanyaan muncul ketika ada sepatu boots setengah betis di depan toko yang dalam masa perbaikan. Tamu tante Merry? Artis? Artis beli kue kampung? Haha.

“Permisi. Siang, Tante,” salam Kenan. Ia memanggil dengan nada lantang.

Sudah beberapa lama Kenan memanggil tapi hening tak ada jawaban.

“…, ah iya, when is miss Ken going home? I –“

Kenan tersentak karena namanya disebut dari dalam rumah. Ia risih tapi malah jadi ragu untuk masuk. “Eh. Mereka ngomongin kamu tuh. Masuk sana, jangan bengong saja,” sela Lena. Kenan melihat Lena sejenak lalu mengangguk.

“Permisi, kami pulang, Tante,” salam Kenan.

Langkah mereka sepertinya cukup mengejutkan mereka. “Oh, Anda Nona Ken, are not you?” Tamu tante Merry langsung bertanya tanpa memperkenalkan diri. Gak kenal tapi sok kenal. Siapa lagi ini. Artis bilingnual datang bertamu.

Spontan Kenan langsung membalik keadaan dengan hujan pertanyaan. “Anda kemari mencari Saya? Anda siapa ya? Tahu saya darimana?”

My name, Roselyn Snich, dari tempat les spesial to make you be a master in violin. Mr. Anderson minta kepada kami to send someone, special to you, and hereby here I am just for you, Miss,” jawab Rose ramah sambil senyam-senyum.

Bulu kuduk Kenan meremang. “Oh, begitu,” jawab Kenan spontan.

Kenan cukup terkejut karena pada kenyataannya pamannya terlalu serius dengan perkataannya. Mana pake acara ‘special’. Ada kata ‘master’nya juga.

Dari planet mana tempat les yang namanya freak ini? Apa dia harap aku jadi penerus adiknya? Ingat saja tidak, ah, tahu saja tidak! Orang kaya memang luar biasa, batin Kenan pasrah. “Jadi, les biola private? Kau datang kesini seperti babysitter dan menggentayangiku setiap hari? Amazing. ”

Miss benar-benar genius! Unfortunely, your answer is not correct yet. Nona meminta jam berapa pun for have a lesson pada Saya. Nona sendiri yang menentukan waktu dan tempat latihan,” jawab Rose tanpa terburu-buru. Kenan memperhatikan orang asing itu sambil melongo.

“Jadi, Anda akan tinggal di sini? Seperti tutor abadi!? Lalu, apa Anda bisa membantu pekerjaan rumah juga?”

Of course! Saya akan fully of your request. However, I am here.” Jawab Rose santai. “Apa Miss meminta saya bantu in your little bakery? Sure I can!!

Rose menjawab kegirangan dengan bahasa Indonesianya yang acak-acakan. Bodohnya, Rose hampir tak bisa bahasa Indonesia tapi tetap mengerti apa yang Kenan dan orang di sekitarnya katakatan. Namun, ia hanya bisa membalasnya dengan bahasa Inggris acak-acakan dengan pede maksimal.

“Oh!” Kenan tiba-tiba teringat pada toko musiknya. “Gimana kalau di toko musik saja? Di sana nyaman,” pintanya. Lebih baik di sana daripada di sini. Jauhkan tante dari makhluk Mars  ini, renung Kenan merelakan dirinya untuk dikorbankan.

“Kapan Miss would begin?” Nadanya lebih mirip nantang daripada pertanyaan.

 “Hmm... lihat besok ya.” Kenan sudah kehilangan minat ngobrol.

Ok, Miss. Hmm, Excuse me, Mrs. Maganda. Do you have any room for me?? Next I would like to help you anything if you needed, please??

Enak ya cas cis cus bicara bahasa Inggris tanpa lihat wajah tante Merry yang melongo. Lena juga sama…. tapi kalau dipikir lagi, bukannya wajar kalau anak SD, anak kampung pula, belum lancar bahasa Inggris? Jadi, aku yang tak wajar??

“Tante, maksudnya dia, dia tanya apa di sini ada ruangan lagi untuk jadi kamanya? Berikutnya dia akan bantu apapun di sini kalau diperlukan.”

“Oh! Ada, ada,” jawab tante Merry semangat. “Tapi Ken, siapa yang gaji dia disini?” tanyanya gelisah.

“Tenang, Tante. Jelas pamanku yang gaji. Hebatnya paman bisa nemu tempat les yang didik pengajarnya jadi pembantu. Amazing.” Kenan berbisik geli pada Tante Merry. “Mrs. You have a room own by yourself. Please follow me.

“Mama, Ken tuh pinter banget yah. Bahasa Inggrisnya lancar banget,” tanya Lena pada mamanya. Kenan masih bisa mendengarnya dari agak jauh.

“Ya, namanya juga asli keturunan bule, Nak,” jawab tante Merry pasrah.

“Gak adil ih. Coba mama nikah sama bule yah.”

“Ya udah cari mama baru sana.”

“Ih mama mah. Orang cuma bercanda.”

Nah kumat lagi penyakit bodohnya Lena.

Meski begitu, hati kecil Kenan iri melihat Lena punya sesuatu yang sangat ingin dimilikinya; ibu, keluarga. Namun, apa daya. Kenan tidak bisa memilih di keluarga mana ia dilahirkan. Yang lebih penting baginya saat ini adalah bersyukur karena Tuhan tidak lupa memberinya kesempatan untuk bertemu kerabat terakhirnya. Satu poin lagi yang bisa disyukuri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Meet Mettasha
14      14     0     
Romance
Mettasha Sharmila, seorang gadis berusia 25 tahun yang sangat senang mengkoleksi deretan sepatu berhak tinggi, mulai dari merek terkenal seperti Christian Loubotin dan Jimmy Choo, hingga deretan sepatu-sepatu cantik hasil buruannya di bazar diskon di Mall dengan Shabina Arundati. Tidak lupa juga deretan botol parfum yang menghiasi meja rias di dalam kamar Metta. Tentunya, deretan sepatu-sepat...
IZIN
90      54     0     
Romance
Takdir, adalah sesuatu yang tidak dapat ditentukan atau disalahkan oleh manusia. Saat semua telah saling menemukan dan mencoba bertahan justru runtuh oleh kenyataan. Apakah sebuah perizinan dapat menguatkan mereka? atau justru hanya sebagai alasan untuk dapat saling merelakan?
When Heartbreak
85      57     0     
Romance
Sebuah rasa dariku. Yang tak pernah hilang untukmu. Menyatu dengan jiwa dan imajinasiku. Ah, imajinasi. Aku menyukainya. Karenanya aku akan selalu bisa bersamamu kapanpun aku mau. Teruntukmu sahabat kecilku. Yang aku harap menjadi sahabat hidupku.
Kisah yang Kita Tahu
91      64     0     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
The Yesterday You
15      15     0     
Romance
Hidup ini, lucunya, merupakan rangkaian kisah dan jalinan sebab-akibat. Namun, apalah daya manusia, jika segala skenario kehidupan ada di tangan-Nya. Tak ada seorang pun yang pernah mengira, bahkan Via sang protagonis pun, bahwa keputusannya untuk meminjam barang pada sebuah nama akan mengantarnya pada perjalanan panjang yang melibatkan hati. Tak ada yang perlu pun ingin Via sesali. Hanya saja, j...
BACALAH, yang TERSIRAT
364      169     0     
Romance
Mamat dan Vonni adalah teman dekat. Mereka berteman sejak kelas 1 sma. Sebagai seorang teman, mereka menjalani kehidupan di SMA xx layaknya muda mudi yang mempunyai teman, baik untuk mengerjakan tugas bersama, menghadapi ulangan - ulangan dan UAS maupun saling mengingatkan satu sama lain. Kekonyolan terjadi saat Vonni mulai menginginkan sosok seorang pacar. Dalam kata - kata sesumbarnya, bahwa di...
A & O
35      22     0     
Romance
Kehilangan seseorang secara tiba-tiba, tak terduga, atau perlahan terkikis hingga tidak ada bagian yang tersisa itu sangat menyakitkan. Namun, hari esok tetap menjadi hari yang baru. Dunia belum berakhir. Bumi masih akan terus berputar pada porosnya dan matahari akan terus bersinar. Tidak apa-apa untuk merasakan sakit hati sebanyak apa pun, karena rasa sakit itu membuat manusia menjadi lebih ma...
Tuhan, Inikah Cita-Citaku ?
79      53     0     
Inspirational
Kadang kita bingung menghadapi hidup ini, bukan karena banyak masalah saja, namun lebih dari itu sebenarnya apa tujuan Tuhan membuat semua ini ?
Luka Adia
31      26     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
May be Later
367      188     0     
Romance
Dalam hidup pasti ada pilihan, apa yang harus aku lakukan bila pilihan hidupku dan pilihan hidupmu berbeda, mungkin kita hanya perlu mundur sedikit mengalahkan ego, merelakan suatu hal demi masa depan yang lebih baik. Mungkin di lain hari kita bisa bersanding dan hidup bersama dengan pilihan hidup yang seharmoni.