Kutatap wajah wanita muda yang duduk di hadapanku. Wajahnya menunduk dan mimik wajahnya menampakkan kebingungan. Kami berdua memilih meja di pojok agar dapat berbicara dengan leluasa. Malam ini Starbucks tidak terlalu ramai, tumben.
Beberapa menit berlalu dalam hening yang tidak mengenakkan. Rasanya malah cenderung mencekam. Kusesap matcha latte ukuran cup besar yang sudah mengeluarkan bulir-bulir keringat dinginnya karena sedari tadi tak kusentuh sama sekali. Kuubah posisi dudukku agar tidak kikuk dengan suasana ini. Mataku masih menatapnya lekat-lekat. Dia sibuk bermain game di HP-nya, sementara aku hanya membiarkan HP-ku di atas meja bergetar-getar terus sedari tadi. Meskipun awalnya aku mencoba cuek dan membiarkannya bergetar ria, lama-lama aku tak tahan dibuatnya. Kubuka aplikasi Whatsapp, dan… Matthew! Dia mengirim cukup banyak chat. Kenapa tidak dijadikan satu paragraph saja, sih?
Chatnya tidak terlalu penting setelah kubaca. Dia hanya merencanakan beberapa acara untuk wisuda S2-nya dan rencana kepulangannya sebelum wisuda S2. Jariku menari dengan lincah di layar touchscreen. Usai membalas chatnya, kumatikan paket dataku dan kumasukan benda tersebut ke dalam slingbag. Manusia yang duduk di hadapanku masih saja sibuk dengan gadget. Apa faedahnya jika dia mengajakku ke sini hanya untuk melihatnya bermain game secara live? Atau, memang dia belum siap mengatakan sebuah rahasia besar?
“Ehm ehm,” aku berdeham agak keras sampai dua wanita yang sedang berdiri mengambil pesanan mereka melirik ke arahku.
Mbak Thalia menengadah dan menatapku.
“Mbak, kalau ke sini supaya aku nonton mbak main HP, lebih baik aku pulang aja,” kataku dengan nada sedikit mengancam dan menyindir.
Mbak Thalia rupanya agak terkejut dengan kata-kataku yang terdengar intimidating. “Eh, jangan, jangan, Mar! Jangan pulang! Maaf, maaf… Hmm… Aku Cuma bingung harus cerita dari mana?” body language-nya menunjukkan kegugupan. Ada apa ini?
Aku mencoba tenang sambil memeriksa dengan seksama wajahnya. “Mbak,” kataku pelan, “Mbak Thalia kenapa resign? Ada masalah apa, mbak? Kalau mbak merasa di kantor nggak ada yang bisa dipercaya, aku bisa dipercaya, mbak! Mbak ceritalah sama aku.”
Dia terdiam. Keningnya mengernyit. Jelas sekali dia sedang berpikir keras apa yang harus dikatakannya.
“Mbak?” aku sudah tidak sabar menghadapinya. Ayolah, katakan sesuatu!
“Oke, Mar, aku akan jujur sama kamu, tapi please, jangan sampai bocor ke orang lain. Oke?” nada bicaranya menjadi serius. Seketika suhu ruangan terasa lebih dingin. Kurasakan kedua tanganku mulai dingin.
“Iya, mbak, aku janji. Aku bisa garansi semua rahasiamu aman di aku.”
Mbak Thalia mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak, raut wajahnya berpikir keras dan serius. HP disembunyikan ke dalam tasnya. Aku menunggu di hadapannya dengan harap-harap cemas. Aku tidak tahu harus berekspektasi apa dan bagaimana. Yang jelas aku sangat penasaran, dan aku sangat yakin kalau aku pasti akan sangat tidak siap dengan apa yang akan dikatakan olehnya karena aku tahu, semua manusia pun dengan insting alamiahnya akan tahu, bahwa this is a big deal! Aku tahu bahwa apa yang akan dikatakannya adalah hal yang sudah pasti benar-benar di luar dugaanku.
“Aku tahu pasti kamu sudah dengar dari orang-orang di kantor kalau aku keluar karena ada sesuatu, karena ada masalah besar yang membuatku harus disingkirkan dari jabatanku, bahkan kasarnya didepak dari kantor tempatku bekerja selama lima tahun.” Dia menghela napas panjang. “Yang jelas, aku nggak pernah sama sekali terlibat masalah yang berkaitan dengan pekerjaan atau kantor – nggak! Kalau itu yang kamu dengar, dari siapapun itu, itu berita bohong. Tapi, ada satu hal yang mungkin kamu belum tahu, Mar. Aku bukan keluar karena kemauanku, tapi aku dipaksa untuk menandatangani surat pengunduran diri. Ya, dengan kata lain, aku dikeluarkan secara tidak terhormat, tapi dengan cara yang dibilang orang terhormat. Aku tahu pasti para direksi di sana mulai merencanakan scenario kebohongan tentang keluarnya aku yang begitu tiba-tiba.”
Dia berhenti dan meneguk kopinya. Di hadapannya, aku hanya bisa terdiam dan tak berkomentar sedikitpun. Tidak kusangka ternyata wanita yang selama ini bekerja bersamaku dikeluarkan secara paksa oleh kantor? Yang benar saja! Memangnya kesalahan macam apa yang sudah dia lakukan? Dia menatapku yang masih shock dengan tatapan kosong dan putus asa. Speechless. Otakku tak bisa mencerna apa yang dia katakan. Semua ini seperti mimpi. Mimpi buruk!
“Kamu kaget, kan?” suara seraknya memecah keheningan diantara kami berdua.
Aku mengangguk, “kenapa, mbak? Kenapa Mbak Thalia harus dikeluarkan begitu?”
Dia menunduk dan tidak menjawab pertanyaanku.
“Mbak?” cecarku tak tahan lagi untuk lebih jauh mendengar kesaksian-kesaksiannya.
“Apapun itu yang kamu dengar, kamu harus ingat kalau kami nggak pernah punya hubungan yang spesial.” Dia menunduk, tak kuasa menatap mataku.
Tubuhku lemas seketika usai mendengar kalimat yang diucapkannya. Kami? Apakah yang dia maksud adalah dirinya dan Pak Robert? Atau siapa? Kami siapa? Punggungku menyentuh sandaran kursi dengan lemas. Mataku terus menatapnya lekat-lekat. Kuharap dia hanya terlalu banyak minum kopi atau terlalu banyak pikiran sehingga dia mengigau dan mengatakan hal-hal yang tidak benar. Tapi kenapa Mbak Thalia mengatakan kalau dia tidak punya hubungan special? Apa yang mereka lakukan sehingga dia seolah memaksaku memercayainya? Apakah ada yang masih disembunyikannya? Jika dia jujur, berarti berita yang selama ini menyebar adalah scenario kebohongan yang sudah dibuat sedemikian rupa. Kepalaku serasa mau meledak karena dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan yang semakin lama semakin mencecarku dan mencabik-cabik isi kepalaku. Bahkan, semakin kami larut dalam diam, pertanyaan-pertanyaan aneh itu semakin menjadi-jadi dan berkecamuk di dalam benakku, menyiksaku, membuatku tak tahan. Tiba-tiba muncul satu pertanyaan yang – aku rasa – bisa membuatnya sekakmat. Kalau memang dia tidak ada hubungan special dengan beliau, kenapa dia bisa sampai dikorbankan?
“Ka-kami?”
Dia mengangguk. “Iya, aku dan Pak Robert. Semua orang mengira kami having affair hanya karena kami cukup dekat dan aku dulu sempat beberapa kali keluar bersama beliau.” Dia menarik napas dan berhenti.
“Oh my God.” Itulah komentar yang terlontar otomatis dari mulutku. “Tapi, hanya karena itu?” Nada bicaraku meninggi. Bukan karena marah, tapi karena aku tidak percya.
“Enggak hanya itu, Mar. Yang lebih parah adalah waktu Cherry lapor ke Pak Niko kalau aku kedapatan makan berdua dan sedang berpegangan tangan dengan beliau. Itu semua nggak benar, Mar. Dia fitnah, lalu disampaikan ke Pak Niko dan Maria. Karena dia cukup dekeat sama Pak Niko, beliau memanggilku. Aku sudah menjelaskan semuanya kalau aku memang makan berdua dengan beliau, tapi kami tidak pernah pegangan tangan. Aku bilang kalau Cherry tidak ada bukti dan karena itu aku bilang apa yang dia laporkan itu bohong, tapi Pak Niko tidak akan pernah bisa percaya…karena… Dia juga dapat laporan dari Maria kalau aku sering tidak bersikap profesional di hadapan beliau. Yang membuat aku merasa tidak diperlakukan dengan adil adalah karena hanya aku yang disalahkan, sementara Pak Robert tidak pernah sekalipun dipanggil untuk ditanyai, apalagi disalahkan!”
Wanita di hadapanku lagi-lagi tidak menunjukkan wajahnya. Semudah itukah menyingkirkan orang di perusahaan hanya dengan fitnah murahan? Aku tidak begitu yakin. Memori yang bersarang di benakku mencuat ke permukaan lagi. Kepingan-kepingan ingatan di masa lalu itu muncul kembali. Telpon yang berdering itu. Ya, aku ingat betul. Dia lah yang menelpon beliau sore itu. Kenapa dia menelpon beliau di jam pulang kerja? Ada yang tidak masuk akal di sini. Versi ceritanya tidak sama dengan cerita yang selama ini aku dengar. Baru saja bayangan namanya di layar HP beliau melintas di benakku, aku kembali teringat saat aku memergoki seseorang mirip Pak Robert dengan seorang wanita, yang sepertinya tidak asing dan mungkin kukenal, berjalan berdua di mall. Sebenarnya masih tidak begitu jelas apakah itu memang beliau atau bukan. Namun, kurasa wanita yang bersamanya waktu itu belum tentu Mbak Thalia… Tapi, aku juga tidak tahu pasti. Pikiranku bergejolak, apakah Mbak Thalia tahu tentang hal ini? Rasanya ingin sekali kukatakan hal ini kepadanya, tapi kuurungkan niatku. Sebaiknya aku tidak usah menceritakan hal ini kepadanya. Ini bukanlah waktu yang tepat. Lagipula, aku juga belum tahu kebenaran yang dikatakan wanita yang duduk di hadapanku ini.
“Kamu nggak percaya, kan?” suaranya memecah keheningan diantara kami.
Aku menatap wajahnya. Kelu. Bisu. Aku menarik napas dan menghembuskannya sebelum menjawab pertanyaannya. Aku masih menimbang-nimbang apa aku perlu mempertanyakan perihal telpon itu. “Jujur aja aku bingung. Aku nggak tahu siapa yang bohong dan siapa yang jujur, mbak. Jadi, maaf kalau aku mungkin masih butuh waktu untuk memercayaimu.”
Wanita itu menatapku dengan tatapan memohon. Memohon aku untuk memercayainya. Aku masih diam dalam pergumulanku. Namanya di layar HP beliau semakin menguat di pikiranku.
“Mbak, semua yang mbak katakan tadi itu…bohong, kan?”
Matanya terbelalak. Pasti dia tak mengira aku akan melontarkan pertanyaan yang membuatnya skakmat.
Dia menggeleng, “enggak, Mar. Aku jujur sama kamu. Percaya aku, Mar!”
“Terus, kenapa waktu itu Mbak Thalia telpon Pak Robert berkali-kali?”
Dia terdiam.
“Mbak?! Jawab yang jujur!”
“Dari mana kamu tahu?”
“Dari mana aku tahu itu nggak penting, mbak. Yang penting sekarang mbak jawab pertanyaanku dulu.” Aku mendesaknya terus.
“Kamu lihat HP beliau?”
“Aku nggak lihat, mbak. Beliau waktu itu nggak sengaja ninggalin HP di atas mejaku, jadi – ” Kebohonganku langsung di-cut olehnya.
“Bohong!” sergahnya.
“Mbak! Aku nggak bohong!” bentakku. Kini suaraku sudah mulai meninggi dengan volume suara yang keras. Aku tidak peduli jika orang-orang mendengarku.
“Pak Robert nggak pernah ninggalin barang miliknya sembarangan, apalagi HP!” Sepertinya mantan seniorku ini sudah mulai naik pitam.
“Mbak! Apa sih yang nggak mungkin? Aku jujur, mbak! Sekarang aku udah punya bukti kalau mbak nelpon beliau ratusan kali di luar jam kerja. Aku lihat sendiri dengan mata kepalaku! Apa yang mbak lakukan waktu itu? Apa hubungan kalian? Aku rasa itu bukan hal yang wajar dilakukan seorang karyawan, meskipun sekretarisnya sekalipun! Semua orang juga tahu itu, mbak!”
Dia terdiam untuk kesekian kalinya. Hanya menatapku yang sudah marah terbawa suasana dengan tatapan tak percaya. Karena terbawa emosi, napasku jadi naik turun tidak jelas dan rasanya seperti orang terengah-engah.
“Penjelasan apa yang bisa mbak kasih ke aku tentang hal itu?” aku semakin menuntutnya lebih jauh.
Mendengar pertanyaanku yang terdengar mengintimidasi, dia semakin tenggelam dalam diamnya yang juga semakin membuatku makin tak sabar menghadapinya. Melihatnya ada di hadapanku saat ini membuatku berpikir mengapa aku jadi sangat bodoh? Kenapa aku mau datang ke sini untuk menemuinya? Hanya menemuinya? Lebih baik aku pulang, berpura-pura tidak tahu apapun, kembali ke kantor esok hari seolah-olah tidak pernah terjadi apapun.
Baru saja aku mau beranjak pergi, wanita itu bersuara lagi.
“Mar, please, dengarkan aku dulu. Dengarkan penjelasanku!” pintanya dengan memelas. Gerakan tubuhku yang sudah mau minggat dari tempat duduk dan pertemuan persetan ini seperti tersihir untuk mematuhi perintahnya yang secara tidak langsung mengisyaratkanku untuk kembali ke tempat duduk dan mendengarkannya.
Melihatnya duduk di sana, jujur saja aku iba dengannya, tapi di sisi lain aku merasa ada rasa sedikit kebencian terhadapnya yang aku juga tidak tahu datang dari mana. Mungkinkah karena berita miring yang selama ini aku dengar? Di sisi lain aku juga menyimpan rasa penyesalan yang tidak dapat kujelaskan karena aku dengan bodohnya membiarkan diriku masuk ke dalam lingkaran setan yang sebenarnya aku sendiri tak tahu itu apa.
“Mbak, apa lagi yang harus aku dengarkan?” tuntutku dengan nada bicara yang sudah muak sekaligus lelah.
Dia menarik napas panjang. Dadanya naik turun bak habis lari marathon. Dia kembali meneguk kopinya. Wajahnya acak-acakan bercampur panic, malu, kesal, marah, dan menyesal. Sementara aku, di sini, masih terduduk dengan tegang. Siapa yang harus kupercaya di sini? Kata-kata Dita kembali terngiang-ngiang di benakku. Kupejamkan kedua mataku untuk berkonsentrasi pada logika yang objektif. Kutunggu sampai dia bereaksi dengan mengeluarkan beberapa kalimat penjelasannya tentang telpon itu, tapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Yang kudengar hanyalah suara bising di sekitar kami, dan barista yang memanggil nama customer berkali-kali.
Beberapa lama kami terjebak dalam keheingan yang semakin dalam dan mencekam. Wanita yang duduk di hadapanku mengambil tisue dari dalam tasnya dan menghapus bulir-bulir air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir. Aku tertunduk tak mampu melihatnya. Dia tak memberikan penjelasan apapun terhadap pertanyaanku. Dan aku di hadapannya juga tak sampai hati lagi rasanya jika harus menuntutnya terus-menerus. Jadi, kubiarkan dia mengambil waktu beberapa saat supaya tenang.
Setelah ini semua, apa kesimpulannya? Mulai tumbuh rasa curiga yang semakin besar di diriku. Dia pasti menyembunyikan hubungan dengan Pak Robert. Kira-kira begitulah penghakimanku kepadanya di dalam batin. Tiba-tiba, aku jadi muak. Kukemasi barang-barangku untuk kedua kalinya dan bersiap pergi.
“Tunggu!” cegahnya.
Aku menengadahkan kepalaku. Dia masih ada di hadapanku dengan make up dan wajah yang sedikit acak-acakan. Pipinya masih kelihatan basah. Ada sedikit bekas maskara di bawah matanya. Matanya masih merah.
“Aku tidak datang ke sini mengajakmu hanya untuk curhat dan buang-buang waktu.”
Dahiku mengernyit. Drama macam apa lagi ini?
Aku memiringkan kepalaku, tidak percaya dengan kata-katanya barusan. “Maksud mbak gimana, ya?”
“Iya, aku mau minta bantuanmu. Aku nggak datang ke sini, mengajakmu, cuma buat buang-buang waktu menceritakan semua kebodohanku, Mara.” Kali ini nada bicaranya terdengar tegas dan kuat.
“Bantuan apa, mbak?” Masih setengah tidak percaya rasanya.
Untuk kesekian kalinya, dia menghela napas panjang.
keren, cerita dan diksinya
Comment on chapter Prolog