Aku mendudukkan diriku di bangku kelas dengan tergesa-gesa. Sesekali aku memijit kepalaku yang pening dan sedikit panas, berharap kunang-kunang putih yang berseliweran di depan mataku berangsur menghilang. Cuaca di luar begitu terik, namun untungnya aku masih bisa setengah berlari dan menyelamatkan diri di ruang ber-AC ini, atau aku akan pingsan di jalan. Beberapa teman yang memergoki diriku yang agak pucat menanyakan kondisiku, namun selalu kujawab dengan gelengan kepala.
Jika aku tidak ketiduran tadi, insiden seperti tadi pasti tidak akan terjadi padaku.
Kulirik jam tangan hitam yang kulingkarkan di lengan kiriku. Dua menit sebelum pukul setengah satu; aku aman. Kulihat sekitar, tidak ada tanda-tanda kedatangan dosen. Aku menghembuskan nafas lega begitu tahu diriku masih sempat masuk kelas sebelum bapak dosen datang. Sebenarnya dosen yang kali ini tidak begitu disiplin; kau masih diizinkan terlambat meski satu jam, namun apa salahnya menghargai dosen?
Sepertinya beliau tahu aku sedang membicarakannya, terbukti dengan datangnya bapak-bapak berkemeja putih—dengan paduan goresan navy di beberapa sisi—serta bercelana hitam yang secara tiba-tiba. Sontak, kerumunan para pembeli tahu bakso di dekat pintu pun buyar; seperti kerumunan semut yang tiba-tiba dilempari batu. Sementara itu, si penjual berparas cantik itu malah nyengir saat beliau melihatnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Kok dia nggak ada?
Ah, entah mengapa aku jadi begini. Mungkin karena aku terlalu sering berurusan dengan dia setidaknya setiap seminggu sekali, maka dari itu aku jadi tidak bisa berhenti memikirkan dia. Dan gara-gara itu juga, aku melakukan hal-hal yang biasanya tidak pernah kulakukan, seperti yang sekarang kulakukan.
Kirana
Buruan, dosen udh masuk
Kamu dmn?
Jelas-jelas ini bukanlah aku yang biasanya. Jika aku yang sebelumnya tidak pernah peduli soal orang-orang yang terlambat hingga bolos kuliah, tapi mengapa aku yang sekarang justru berperilaku sebaliknya?
Mungkin karena aku terlampau sering berkomunikasi satu arah dengannya. Bukan dua arah, sebab ia nyaris tidak pernah membalas chat-ku sama sekali walaupun isinya penting. Kalaupun membalas, pasti balasannya singkat.
Aku melirik chat itu lagi.
Tidak dibaca.
Setelah kupikir panjang lebar, aku memutuskan untuk memasukkan handphone-ku kembali ke dalam tas, sebab tidak ada gunanya juga berharap dibalas.
Suara pintu yang diketuk menghentikan pidato bapak dosen di depan kelas. Semua mata mengarah ke seseorang bertubuh kecil yang beranjak masuk dan menghampiri beliau. Sudah kuduga, dia telat lagi.
Dia menuju bangku kosong yang diapit antara aku dan Putra dan duduk di sana. Sesekali ia berbincang dengan Putra. Anehnya, dia sama sekali tidak menyapaku. Melihatku juga tidak, seolah aku ini adalah orang asing yang baru dijumpainya beberapa saat yang lalu.
Persetan, lebih baik aku mendengarkan celotehan dosen itu.
*****
Otakku masih belum bisa mencerna tentang apa yang terjadi selama dua jam terakhir ini. Bagaimana bisa ia bertahan tidak melirik apalagi melihatku sama sekali selama itu?
Arwah penasaran mulai merasuki diriku yang kurus kering. Setelah sukses, barulah si arwah itu melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia menggerakkan tubuhku seperti boneka. Ia membuatku mengamati tingkah lakunya selama lima menit sebelum ia memutuskan keluar dari kelas bersama cowok yang sama. Cowok yang lebih konsentrasi kepada handphone putihnya ketimbang langkah kakinya.
Aku masih tidak mengerti mengapa ia hanya berbicara kepada satu orang saja dari tadi. Apakah dunianya terlalu sempit hingga bahkan ia tidak memperdulikan teriakan Fey yang menyuruhnya membayar iuran kas? Apa ia pikir empat puluh empat siswa lainnya adalah angin lalu?
Oh, tidak, dugaanku salah. Telinganya masih normal. Buktinya, sepuluh detik pasca teriakan itu, ia langsung mengeluarkan lembaran uang lima ribu rupiah dan meletakkan tepat di atas meja Fey, beserta sepotong suku kata ‘nih’ yang ia lontarkan tepat di depan muka Fey. Selain itu, dia juga masih merespon panggilan teman-teman yang kebetulan satu kelompok dengannya pada suatu penugasan. Yah, meski hanya dengan balasan singkat seperti ‘ya’, ‘oke’, ‘nanti’, ‘gampang’, dan kawan-kawannya. Tapi dengan begitu, terbukti bahwa ia masih memperdulikan orang lain walaupun ia tidak menunjukkan gelagat apapun di wajahnya; demi apapun, wajahnya terlalu datar.
Aku harap dia tidak menderita facial paralysis, itu saja.
Tepukan di bahuku membuat jantungku sesaat berdetak kencang. Aku mengelus-elus dadaku untuk menenangkannya.
“Halo, masih hidup, nggak?” tanya Fey sembari melambaikan tangan tepat di depan mukaku begitu aku menoleh padanya.
“Kuy, ke kantin. Laper gue,” ajaknya.
Kami berdua beranjak berjalan beriringan ke kantin yang terletak di tepi kerumunan pohon jati. Sepanjang perjalanan, aku terus melihat punggung cowok itu dari belakang. Rasanya aku ingin memberinya sedikit kalor untuk membuat suhunya sedikit meningkat—setidaknya tidak di bawah nol derajat Celcius.
Dia dingin, sedingin salju.
Wajahnya beku, beku seperti es.
Tapi, dia bukan kutub utara maupun selatan.
Lantas, kutub apakah dia?
Terima kasih apresiasinya :) @dede_pratiwi @YouRa_muriz
Comment on chapter 07: One Night To Remember