Motor yang kami tumpangi berhenti di sebuah kedai dessert terkenal di kota Malang. Semburat senja jatuh tepat di atas spion motor matic berwarna biru itu, menciptakan pantulan yang indah namun sedikit menyilaukan.
Aku melangkah seiringan dengan langkah Fey, lalu masuk ke kedai bernuansa minimalis itu. Iringan musik pop terbaru mengalir lembut menyentuh seluruh sisi penjuru ruangan.
Kami memutuskan untuk duduk di sofa coklat tepat di depan kasir. Fey sibuk membaca menu, sementara aku sendiri sibuk mengamati sekeliling kedai yang penuh dengan berbagai tulisan ala tumblr yang dibingkai dan beberapa lukisan sederhana. Pancaran cahaya kuning dari lampu-lampu kecil yang terpasang di sudut ruangan membuat suasana kedai terasa santai dan menenangkan.
“Lu mau pesen apaan?” tanya Fey tiba-tiba.
Aku membolak-balik buku menu itu sekilas. “Hm, aku mau coba es krim coklat yang ini sama waffle blueberry,” ujarku sambil menunjuk gambar es krim yang kumaksud.
Dia menulis pesanan sesuai instruksiku dan memberikannya kepada salah satu pelayan di sana, sementara aku kembali memperhatikan sekitar.
Seorang cewek berkacamata dengan setelan blus coklat sederhana dan celana jeans memasuki kedai itu dengan membawa beberapa bendel kertas serta memakai ransel kanvas hitam di punggungnya. Sesaat, aku teringat sesuatu yang penting; menyangkut masalah hidup dan matiku.
“Fey, kamu punya nomor teleponnya Jihan, nggak?” tanyaku akhirnya.
Dahinya mengernyit. “Jihan? Tumben nanya soal dia. Buat apaan?”
“Aku baru ingat sesuatu,” jawabku, “print-out materi patofisiologi sistem pernafasan ada di Jihan, dan itu harus difotokopi buat hari Senin.”
Fey menepuk dahinya lantas menggeleng-gelengkan kepalanya. “Astaga, Kir. Kita mau malming-an di sini dan lu masih sempet mikir soal itu? Dasar anak dosen. Coba tanya grup kelas, aku nggak punya nomernya dia.”
“Oh, oke.”
Kirana
Permisi, nomornya jihan yang mana, ya?
Fafa
Sori gatau
Pipit
Yang ini
Contact
Kirana
Oke makasih.
“Udah?” tanya Fey lagi.
“Udah, kok. Bentar aku chat dia dulu.”
Kirana
Han, ini Kirana.
Print out kemarin udh kamu fotokopi?
Jihan
Belum, sori
“Astaga bocah ini!” seruku kemudian.
“Kenapa?” tanya Fey heran.
“Bayangin, print-out-nya belum difotokopi. Kamu tahu sendiri itu dipake hari Senin. Nanti kalo dimarahin Bu Dewi gimana? Tahu sendiri orangnya disipilin kayak gimana,” keluhku.
Pembicaraan kami terhenti karena pelayan sudah datang dengan membawa pesanan kami.
“Udahlah, Kir. Dia pasti tanggung jawab kok. Sabar aja, lagian juga masih ada hari esok. Kalo besok belum juga kelar, baru lu boleh marah-marah. Udah, makan dulu,” ujar Fey setelah membantu pelayan menata hidangan di atas meja.
Aku berusaha menenangkan diriku dengan menyantap es krim coklat yang sudah disusun sedemikian rupa hingga menyerupai manusia salju yang sedang berlayar di atas kapal—gelas kaca yang bentuknya bulat seperti mangkuk. Sesekali, aku menyelinginya dengan menyantap waffle bluberry. Persetan jika cara makanku salah, toh yang penting aku bisa menyantap keduanya.
Langit yang senja telah terhapuskan oleh malam. Kini ganti bintang-bintang dan bulan sabit yang menggantikan sang surya. Entah mengapa musik hari ini juga terdengar mellow dan sendu, mungkin para pelayan di sini juga tengah galau atas sesuatu yang tidak mungkin bisa kuketahui. Namun, guyonan receh dari Fey berhasil merubah suasana itu menjadi lebih gembira.
“Kir, ada chat,” tukas Fey di tengah-tengah pembicaraan. Aku melirik handphone-ku yang tergeletak di sebelah handphone milik Fey.
Jihan
Photo
Aku mengernyitkan dahi. Ngapain dia ngirim foto ke aku? Apa dia salah ngirim?
Kubuka chat itu untuk memastikan bahwa dia memang salah kirim atau tidak.
Jihan
Tuh udh ku fc. Jelas kan foto gw?
Kirana
Pinter. Jangan Cuma difoto. Senin dibawa
Hidup dan mati nih.
Jihan
Iya, berisik
“Tuh, kan,” celetuk Fey tiba-tiba.
Aku meliriknya keheranan, “Kenapa?”
“Gue bilang juga apa, dia pasti tanggung jawab. Tuh, buktinya udah difotokopi. Lu, sih, terlalu bingung. Nggupuhi wong—bikin orang panik.”
“Aku nggak nggupuhi. Aku cuma takut aja kalo belum diurusin. Nggak lega aja gitu,” jawabku, “Btw kok kamu tahu? Ngintip ya?”
Aku mematikan layar handphone-ku cepat-cepat sebelum memasukkannya ke dalam saku jaketku.
“Kepo, deh,” godanya, “tapi emang prediksi gue nggak salah, kok.”
Aku mengunyah potongan waffle-ku sebelum akhirnya membalas, “Prediksi soal apa?”
“Prediksi kalo dia itu orangnya amanah dan tanggung jawab.”
“Kok bisa? Emang dasarnya apa?”
“Nebak aja,” katanya enteng.
Kami meneruskan pembicaraan tentang berbagai hal hingga langit benar-benar semakin gelap. Mood-ku yang memburuk berangsur membaik.
Tapi, siapa sangka jika ternyata aku juga tersenyum? Semoga Fey tidak menyadarinya. Aku tak ingin ditanya alasannya, sebab aku sendiri tidak begitu mengetahuinya dengan pasti.
Yang jelas, aku hanya ingin berterima kasih pada orang itu; yang sukses membolak-balikkan mood-ku hari ini.
Seringkali, kebahagiaan tidak datang dengan kekompleksan.
Dia datang dengan kesederhanaan, dan dengan percuma.
Seringkali, dia hanya memerlukan sebersit kata untuk bisa mengukir senyum manis di wajahmu.
Jadi, bersyukurlah jika kamu bisa bahagia tanpa harus merogoh sakumu dalam-dalam.
Terima kasih apresiasinya :) @dede_pratiwi @YouRa_muriz
Comment on chapter 07: One Night To Remember