Langit di hari Senin kali ini berwarna kelabu. Begitu gelap, padahal ini masih baru pukul tujuh lewat dua puluh menit. Angin dingin yang berhembus menusuk tulang turut melengkapi cuaca saat ini. Jaket kurekatkan, dua telapak tanganku kugosok-gosokkan, berharap suhu tubuh sedikit meningkat.
Cuaca kali ini tampaknya memang sinkron dengan kondisiku saat ini. Aku gelisah, sebab orang yang kutunggu sedari tadi belum juga menunjukkan batang hidungnya. Harusnya dia tahu, kuliah akan dimulai tepat pukul setengah delapan pagi. Niat untuk menghubunginya terpaksa kuurungkan karena aku tidak punya nomor teleponnya. Aku sadar ini juga kesalahanku sebab aku tidak memintanya sejak kemarin-kemarin.
Aku menghela napas pasrah, sepertinya kali ini aku terpaksa menjalankan tugas sebagai PJ seorang diri.
*****
Kini aku sudah berada di hadapan seorang ibu yang masih tampak awet muda walau umur beliau sudah kepala 5. Beliau berjilbab dengan style yang selalu sama setiap harinya. Beliau membenahi kacamatanya sembari membaca silabus yang kuberikan pada beliau.
“Lho, yang laki-laki itu kemana?” tanya beliau tiba-tiba.
“Anu, bu, di ... kelas,” jawabku sedikit kelimpungan.
“Oh, ya sudah.”
Beliau berangsur memberikan sebendel kertas berupa slide materi dari powerpoint, “Ini ada print-out dari saya, silahkan difotokopi. Nanti print-out yang asli kembalikan ke saya, karena mau saya pinjamkan ke kelas satunya.”
Aku menerima pemberian dari ibu dosen itu, lalu berpamitan tanpa lupa berterima kasih.
Dengan langkah seribu, aku beranjak kembali ke kelas. Dari ujung pintu kelas, hal yang pertama aku lakukan adalah mencari keberadaan partner-ku yang satu itu.
“Woy, Jihan mana, nih?!” teriakku.
“Apa, sih?!” sahutnya dari belakang
Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang cowok dengan sweater navy sedang asyik berkutat dengan game online-nya di bangku pojok belakang. Buru-buru aku menghampirinya dengan kesal.
“Kamu tuh, ya, kemana aja, sih? Ditungguin dari tadi nggak nongol-nongol. Ditanyain tuh sama Bu Dewi,” celotehku sambil berkacak pinggang di hadapannya.
“Sorry, gue kesiangan, hehe,” jawabnya sambil nyengir. “Terus, lu jawab gimana?”
“Aku tadi bilangnya kamu di kelas. Untung aku baik, kalo nggak, pasti dari tadi aku udah lapor kalo kamu belum dateng. Biar dimarahin.”
“Duh, alay.”
“Eh, perlengkapan buat dosen udah disiapin di meja belum?”
“Udah. Tuh,” balasnya sambil menunjuk ke arah meja dosen berwarna putih. Benar juga, laptop, spidol, hingga konsumsi memang sudah terhidang dengan rapi di sana.
“Oh, bagus deh. Makasih,” ujarku singkat sambil berlalu menuju bangkuku.
Tak lama, Bu Dewi masuk ke kelas. Kegiatan kuliah akhirnya dimulai seperti biasa.
*****
Aku menatap pagar putih tinggi itu dengan seksama. Di baliknya, terpampang sebuah rumah besar dengan pelataran yang penuh dengan tanaman berbunga yang diselingi dengan beberapa tanaman toga dan satu pohon mangga hasil cangkok—terlihat dari pohonnya yang tidak terlalu tinggi. Sepintas, rasanya aneh jika ini adalah sebuah rumah kost saking bagusnya. Terlebih, rumah ini tidak terlihat seperti semacam apartemen—yang berjendela banyak—dari depan; hanya seperti rumah pada umumnya.
Suara pagar yang dibuka membuyarkan ketakjubanku. Aku mendapati Fey keluar dari pagar putih itu.
“Kuy, Kir, masuk aja,” ajaknya. Aku mengangguk lantas menghampirinya.
Aku mengikutinya memasuki rumah itu melalui pintu garasi yang sama putihnya seperti pagar tadi. Dari balik pintu garasi, aku baru bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa ini adalah memang rumah kost. Rumah ini rupanya terdiri atas dua bagian; satu rumah pemilik kost yang aku lihat tadi, lalu bagian lainnya adalah gedung serba krem yang terdiri atas tiga lantai, dimana masing-masing lantai terdiri atas belasan kamar dengan beberapa kamar mandi dan dapur kecil.
“Welcome to my room,” ujar Fey setelah ia membukakan pintu kamarnya.
Aku takjub begitu melihat kondisi kamarnya. Meskipun kecil, kamar ini begitu apik dan rapi. Begitu masuk, aku sudah disambut dengan wallpaper berbentuk daun-daunan berwarna hijau. Di sisi kiri, aku melihat beberapa foto polaroid ditempel di sana.
Perhatianku tertuju pada sebuah foto kebersamaan Fey dengan seorang cowok. Di foto itu, cewek itu terkesan lebih polos daripada yang sekarang bersamaku; lebih judes dan dewasa. Sementara itu, si cowok juga terlihat sama polosnya. Dari kondisi fotonya juga, bisa kusimpulkan ini adalah foto lama yang mungkin sengaja ia pasang karena menyimpan memori tertentu.
“Lu lagi ngapain?” tanyanya.
Aku terhenyak, lantas menoleh padanya, “Eh, nggak kok, cuma liat ini. Btw ini siapa?”
“Oh, itu pacar gue,” balasnya.
“Eh, kamu punya pacar?!” tanyaku terkejut.
“Iya, dari SMA kelas 1. Udah lama banget, lah.”
Ia menyodorkan cangkir putih berisi kopi susu padaku. Terasa hangat dan menenangkan, seperti sikapnya sekarang.
Ia menyeruput kopinya perlahan, lalu melanjutkan bicaranya, “Lu sendiri, apa lu jomblo?”
Aku nyaris tersedak akibat mendengar pertanyaannya barusan. Beruntung aku sempat mengendalikan organ pernafasan dan pencernaanku sehingga cairan kopi yang kuminum masih bisa melesat di jalur yang semestinya. Aku meletakkan cangkir kopiku di atas meja kayu tepat di sisi ranjang Fey.
“Iya, aku emang jomblo. Lagian, siapa coba yang mau sama aku?” balasku kemudian, sambil tertawa kecil.
“Wait, cewek secantik lu nggak punya pacar? Nggak salah denger nih gue?”
“Kalo soal cantik, masih banyak yang lebih cantik daripada aku. Aku cuma cewek biasa, dari kampung, bukan orang kota kayak kamu. Lagian, cowok-cowok pasti nyarinya yang setara sama mereka, lah, secara mereka orang kota semua.”
“Kata siapa lu nggak cantik? Lu tuh cantik, serius deh, kayak nama lu. Gue bahkan ngiri sama kulit putih lu dan rambut lu, secara rambut gue udah rusak begini,” katanya sambil menunjukkan ujung rambutnya yang memang sudah bercabang dan tampak kasar.
Fey melanjutkan ceramahnya, “Kalo soal cowok, gue nggak bisa nyalahin kalo rata-rata cowok kota nyari cewek yang sepadan dengan dia, yang bisa nyamain pola hidupnya mereka. Tapi, itu bukan berarti lu nggak bisa mukul rata kalo semua cowok kota kayak gitu. Ya gue tersinggung, lah, pacar gue orang kota dan dia nggak kayak yang lu bilang. Gue nggak maksud ngebela dia, tapi emang kenyataan yang bicara. Tenang, masih banyak cowok-cowok yang nyari cewek dengan liat attitude-nya, intinya nggak cuma liat fisik dan materi, lah. Kalo lu mau usaha, pasti nemu, kok. Udah sana, buruan cari.”
“Nggak, makasih. Nanti susah kalo ujung-ujungnya kuliahku keganggu.”
“Dilema anak pinter ya gini ini, deh,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala. “Eh, lu tunggu sini, gue mau ngambil sop dulu. Tadi gue manasin di dapur terus gue tinggal kesini.”
Fey melenggang keluar dengan tergopoh-gopoh. Sementara itu, aku tetap merenung di atas kasur, memikirkan soal perkataan Fey dan segala tingkah lakunya hari ini.
Pelajaran pertama hari ini: jangan mudah men-judge sesuatu hanya dengan analisis singkat. Contoh saja, kau tidak bisa menilai orang hanya dengan sekali dua kali berkecimpung dengannya.
Bukankah menarik sebuah kesimpulan itu butuh banyak waktu dan pertimbangan agar hasilnya valid?
Terima kasih apresiasinya :) @dede_pratiwi @YouRa_muriz
Comment on chapter 07: One Night To Remember