Read More >>"> Kala Senja (Senja Yang Berbeda) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kala Senja
MENU
About Us  

Mungkin ini adalah menghabiskan waktu senja yang berbeda. Kali ini dengan Prisil. Ia mengajakku pergi makan di salah satu restoran cepat saji. Tempatnya berada di salah satu mall di Kota Bandung. Kami memilih duduk di teras restoran tersebut setelah Prisil membawa nampan berisi makanan yang kami pesan.

“Jadi inget kelas satu,” kata Prisil setelah duduk dan menyimpan nampan tersebut di atas meja. “Waktu kita kemana-mana masih berdua.”

“Tempat makan pertama yang bikin aku mules-mules saking pedesnya,” kataku.

“Aku diare tiga hari, Sya,” timpal Prisil.

Dan kami berdua hanya bisa tertawa mengenang kejadian konyol dulu.

“Kenapa kita PD banget sih pesen ayam level terpedas?” tanyaku heran.

“Karena kepo. Hahaha…..”

Setelahnya kami banyak membicarakan masa lalu, dan juga saling menyicipi pesanan kami masing-masing. Yang tentunya bukan ayam level terpedas.

Meski berada di tengah-tengah kota, mall yang kami datangi terbilang sepi pengunjung. Hal itu justru menambah nilai lebih pada mall ini. Kami menjadi bisa bersantai lama-lama, juga tak perlu melihat banyaknya hilir mudik orang-orang yang berlalu lalang. Ada sedikit ketenangan saat kami menikmati senja di tempat nostalgia seperti ini.

“Jadi panitia sesibuk itu ya?” tanya Prisil kemudian.

“Hn? Yaa, begitulah. Walaupun aku cuma koordinator, tapi aku gak tega kalau cuma nyuruh-nyuruh doang, aku bantuin yang lain juga,” jawabku.

“Sampe harus paksain diri dan mimisan di toilet?”

Aku terdiam ketika Prisil membicarakan kejadian beberapa hari lalu. Karena terlalu memaksakan diri, aku sempat mimisan dan Prisil yang menjadi saksinya.

“Kok kamu ungkit-ungkit lagi? Aku kan ucah bilang itu cuma dehidrasi,” jawabku mencoba mengelak darinya.

“Sya, kita temenan udah lama. Masing-masing dari kita pasti tau kebiasaan-kebiasaan satu sama lain, dan aku tau kebiasaan kamu kalau lagi banyak masalah,” terang Prisil.

Aku tak pernah bisa menghindari apapun dari Prisil. Bagaimana pun dia sahabat yang lebih tahu siapa aku dan paling mengenalku melebihi siappaun.

“Aku gak mungkin diem aja Sya, liat kamu pura-pura bahagia padahal ada sesuatu yang kamu pikirkan? Cerita sama aku, Sya. Ada apa?”

Dari raut wajahnya, aku paham jika Prisil mengkhawatirkanku akhir-akhir ini. Seseorang yang tak perlu bertanya untuk menyadari ada yang salah denganmu, seseorang yang lebih mengetahui tentangmu dibanding dengan dirimu sendiri. Dan kufikir itu adalah definisi sahabat.

Alasan kenapa aku menyibukkan diri tak jauh dari sosok ketua kelasku sendiri. Bayang-bayang tentang Davi di depan rumahku kembali mengantarku pada rasa patah dan sakit. Perasaan yang tak bisa kunikmati bak para penyair-penyair hebat yang menyesap luka bagai kopi di pagi hari. Bagiku tak ada kenikmatan diantaranya.

“Davi bilang, dia bilang aku sama Kak Edgar cocok Sil, rasanya sakit banget kalau Davi yang ngomong,” kataku nanar.

Entah bagaimana namun air mataku mengalir dengan bebasnya. Rasa sesak di rongga dadaku yang belakang terkaburkan, kini datang kembali dan menjadi alasan untuk kembali jatuh.

Aku terisak, di hadapan Prisil, di hadapan sahabatku sendiri. Untuk pertama kalinya aku menyerah pada sedih. Bagiku kesedihan seharusnya disimpan sendiri, tapi kali ini, kesedihan mengalahkan itu semua. Rasa sakit, rasa kecewa, juga patah hati yang melemahkanku. Kuceritakan semua pada Prisil. Mengenai Davi yang membantuku membeli peralatan, hingga ia mematahkan hatiku lagi.

~KALA SENJA~

Prisil mengusap lembut punggungku. Ia diam tak berkomentar meski aku sudah selesai bercerita maupun menangis. Mataku sembab, hidungku pun mangpet. Aku tidak peduli penampilanku kini, semuanya seakan terangkat dan membuat hatiku tidak seberat sebelumnya.

“Aku kaget sih, Sya. Davi yang aku liat gak pernah komentar apapun soal kamu sama  Kak Edgar,” ujar Prisil.

Aku menghela napas panjang.

“Aku juga kaget waktu Davi bilang gitu. Meskipun aku sering banget denger hal semacam itu, rasanya justru sakit banget kalau itu dari Davi sendiri. Gak tau kenapa, rasanya aku memang gak pernah ada di hati Davi,” terangku.

“Haha…. Aku terlalu baper sampai-sampai aku gak sadar kalau aku sama Davi selalu punya jarak yang jauh banget,” kataku sambil tertawa miris.

“Sya, kalau aku jadi kamu, aku juga pasti ngerasa sakit kalau Davi sendiri yang bilang. Tapi soal kamu percaya bahwa gak ada kamu di hati Davi, apa memang Davi sendiri yang bilang? Aku pikir itu cuma dugaan kamu doang,” tutur Prisil.

“Tapi Davi bilang kalau aku sama Kak Edgar itu cocok,” kataku.

“Atau Davi cuma ikut-ikutan nyemangatin kamu seperti yang lain? Secara cuma dia sendiri yang liat kejadiannya. Masa Davi harus cuek-cuek aja, dia mungkin berusaha untuk perhatian supaya kamu gak merasa diabaikan. Kamu sendiri kan yang bilang kalau Davi itu orang yang baik dan perhatian?” terang Prisil

“Hal paling menyebalkan itu menduga-duga perasaan orang lain, Sya. Kita cuma bisa dikelilingi dugaan-dugaan yang sumbernya adalah pikiran kita sendiri. Itulah kenapa aku selalu bilang sama kamu buat berani menyatakan sama Davi, atau sekedar bertanya perasaanya.”

Makanan penutup yang masih utuh di depan kami pun sudah mulai mencair. Aku memandanginya dengan tatapan nanar.

“Cara untuk merasa tenang adalah dengan berpikir positif, Sya.”

“Mungkin aku juga harus ubah pola pikir aku,” kataku. “Makasih, Sil.”

Prisil tersenyum menanggapi. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu menunjukkan sebuah album foto padaku.

“Aku sampai lupa, foto-foto waktu kita makan-makan sekelas itu. Tinggal kamu sama si Davi tuh yang belum liat,” kata Prisil.

“Punya Citra ya?” tanyaku.

“Iya. Sekelas udah pada liat, tinggal kalian berdua. Bawa pulang aja ke rumah, liatnya di rumah aja.”

Aku memasukkan album foto itu ke dalam tasku. Hobi Citra salah satunya fotografi, ia senang menyimpan banyak foto-foto kenangan, termasuk ketika kami berempat pergi berlibur atau menginap, Citra menjadi seksi dokumentasi dadakan.

“Udah dingin makanannya, yuk makan!” kata Prisil.

~KALA SENJA~

Aku berbaring di atas kasur setelah membersihkan tubuhku. Aku membuka-buka album foto yang dipinjamkan Prisil padaku tadi, ia berpesan sesaat sebelum kami berpisah.

‘Nanti, kasih album ini ke Davi, bilang sama dia perasaanmu.’

Aku tertawa mengingatnya. Perasaanku sudah lebih ringan sekarang, meskipun aku tahu di hati Davi tak pernah ada aku, bukan berarti aku harus melupakan perasaan yang telah kubangun lama sekali. Jika tak bisa bersama, setidaknya perasaan ini harus berujung, bukan menggantung seperti sekarang.

Pintu kamarku diketuk. Ibuku datang dan berdiri di ambang pintu.

“Minggu depan Mamah sama Bapak ke Jogja ya,” kata Ibuku.

“Ngapain?” tanyaku.

“Liburan. Hahaha….” Jawab Ibuku dengan senangnya.

Aku mengerutkan keningku. “Jogjakarta?”

“Iya.”

“Kok jauh banget?”

“Temen Mamah ada yang nikahin anaknya. Mamah sama Bapak mau ke sana, sekalian liburan. Cuma empat hari.”

Jika ibuku meminta ijin seperti itu, artinya aku tak diijinkan ikut. “Aku sendiri dong di rumah?”

“Iya. Makanya Mamah minta ijin sama Teteh, jagain rumah ya.”

Aku menghela nafas. Mau bagaimana lagi, orang tuaku pun butuh ruang sendiri. “Ya udah deh.”

“Teh, ngomong-ngomong temenmu yang namanya Davi itu jarang ke sini ya. Kenapa?” tanya Ibuku.

Ibu atau ayahku sering menemukanku sedang diantar pulang oleh Davi. Namun kedua orang tuaku tidak tahu saat Davi mengantarku membeli peralatan untuk acara pensi dulu. Aku lupa dan terlanjur larut dalam rasa sakit saat itu.

“Kan dia juga sibuk jadi panitia pensi, Mah,” jawabku.

“Ohh. Ya sudah deh!”

Lalu ibuku berlalu pergi menutup kembali pintu kamar yang sempat terbuka tadi.

Aku kembali melihat pada satu per satu foto yang tersimpan di dalam album buku tersebut. Kebanyakan hanya foto-foto yang diambil tak sengaja oleh Citra. Baik saat di studio foto maupun di tempat makan. Banyak juga foto dengan ekspresi aneh dari teman-temanku, termasuk aku yang tertawa terbahak-bahak karena guyonan Raka.

Ada sebuah foto yang sanggup mengembangkan senyumku. Foto di saat aku dan Davi baru tiba di tempat makan yang ditunjukkan oleh Mia. Yang pada saat itu dengan bodohnya aku tidak meminta teman-temanku untuk pergi bareng dan aku akhirnya ditinggal sendirian. Beruntung saat itu ada Davi, dan ia sempat bertanya perihal aku dan Adi yang ia salah artikan. Sebegitu perhatiankah dia pada setiap orang?

Di halaman selanjutnya, aku dibuat mematung oleh beberapa foto, dan membuat darahku berdesir hebat.

“Ini kan….”

 

Hah? Tasya kamu lihat apa sih? Bikin penasaran aja? 

Nantikan chapter berikutnya minggu depan! 

Oh iya, My X Idol sudah di update yaa

 Untuk teman-teman yang juga ikut kompetisi menulis, tulis judul ceritanya di komentar dong agar aku bisa membaca karya teman-teman juga

Cheers,

SR

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • zufniviandhany24

    ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256

    Comment on chapter Satu Kelas
Similar Tags
The Hidden Kindness
11      11     0     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
ELANG
8      8     0     
Romance
Tau kan bagaimana cara Elang menerkam mangsanya? Paham bukan bagaimana persis nya Elang melumpuhkan lawannya? dia tidak akan langsung membunuh rivalnya secara cepat tanpa merasakan sakit terlebih dahulu. Elang akan mengajaknya bermain dahulu,akan mengajaknya terbang setinggi awan dilangit,setelah itu apa yang akan Elang lakukan? menjatuhkan lawannya sampai tewas? mari kita buktikan sekejam apa...
Dont Expect Me
294      242     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
Aku Mau
360      211     0     
Romance
Aku mau, Aku mau kamu jangan sedih, berhenti menangis, dan coba untuk tersenyum. Aku mau untuk memainkan gitar dan bernyanyi setiap hari untuk menghibur hatimu. Aku mau menemanimu selamanya jika itu dapat membuatmu kembali tersenyum. Aku mau berteriak hingga menggema di seluruh sudut rumah agar kamu tidak takut dengan sunyi lagi. Aku mau melakukannya, baik kamu minta ataupun tidak.
Jika Aku Bertahan
312      207     0     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
Strange and Beautiful
81      52     0     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...
The Savior
74      48     0     
Fantasy
Kisah seorang yang bangkit dari kematiannya dan seorang yang berbagi kehidupan dengan roh yang ditampungnya. Kemudian terlibat kisah percintaan yang rumit dengan para roh. Roh mana yang akan memenangkan cerita roman ini?
Aditya
32      25     0     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Love and Pain
382      231     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
Hey, Limy!
64      40     0     
Humor
Pertama, hidupku luar biasa, punya dua kakak ajaib. kedua, hidupku cukup istimewa, walau kadang dicuekin kembaran sendiri. ketiga, orang bilang, aku hidup bahagia. Iya itu kata orang. Mereka gak pernah tahu kalau hidupku gak semulus pantat bayi. Gak semudah nyir-nyiran gibah sana-sini. "Hey, Limy!" Mereka memanggilku Limy. Kalau lagi butuh doang.