"Astaga!" Aldo nyaris melempar handphone yang baru saja ia gunakan untuk melakukan selfie, ketika mendapati sesosok mahluk asing sudah berdiri di samping meja tempat duduknya.
Meneguk ludah yang entah sejak kapan serasa menelan biji salak. Pemuda itu menolehkan kepala, mengedarkan pandangan ke seluruh isi kelas, berharap mendapat pertolongan dari para penghuninya. Sialnya, semua kepala yang berada di sana tampak tak acuh pada keadaannya yang di sambangi mahluk bersurai panjang yang nyaris menutupi sebagian wajah pucat yang masih bisa Aldo tangkap.
Pemuda itu kian mengkerut di tempat duduk. Kala sosok itu bergerak mendekat kearahnya. Nyaris saja ia berteriak, ketika gadis itu mengulurkan kedua tangan. Membuatnya mengkhayal berada dalam sebuah adegan film horor, di mana ia yang dalam keadaan terdesak, dan sosok di hadapannya berniat mencekiknya. Tapi segala khayalan yang bercokol di kepalanya seketika menguap. Saat gadis itu menyodorkan sebuah jaket Bomber hitam yang tak asing untuknya.
"Tolong, berikan ini, pada temanmu." Bisiknya nyaris tertelan kebisingan kelas.
"Al ... Aldric? Maksudmu?" Tanya Aldo, sekadar memastikan.
Mengangguk kaku, gadis itu meletakkan jaket tersebut ke atas meja. Mengingat, tak ada pergerakan dari pemuda di hadapannya untuk menerima uluran tangan yang sedari tadi menggantung di udara.
Tanpa menambah kata, gadis itu berbalik, sebelum kemudian beranjak pergi. Meninggalkan Aldo yang tengah meraup udara di sekitarnya dengan rakus. Karena ia sendiri tak sadar, jika sedari tadi menahan napas karena terlalu sibuk menenangkan debaran jantungnya yang ribut karena rasa takut.
Tak berselang lama, sosok Aldric muncul dari balik pintu kelas. Berjalan tenang, mengabaikan sapaan beberapa siswi yang mencoba peruntungan, mengharap mendapatkan sapaan balasan. Sayangnya, mereka hanya bisa tersenyum kecut. Mendapati pemuda itu bahkan tak melirik sedikit pun. Dan pemandangan tersebut tak luput dari penglihatan seorang Aldo yang terkekeh di tempat duduknya. Jangankan para gadis yang tengah mencoba melakukan modus itu. Ia saja yang beberapa bulan menjadi teman sebangku Aldric tak pernah terlibat obrolan apa pun. Meski Aldo sering kali memancing dengan berbagai obrolan absurd yang selalu kandas karena tak mendapat tanggapan. Lelah karena harus mengoceh seorang diri, seakan ia tengah melakukan sesi curhat pada tembok. Pemuda memilih untuk mengurangi ocehan tidak pentingnya terhadap Aldric. Bahkan selama beberapa bulan menjadi teman sebangku, baru tiga hari yang lalu akhirnya seorang Aldric melakukan interaksi dengannya. Itu pun di karenakan Aldric yang meminjam pulpen berbulu miliknya. Pulpen yang Aldo dapatkan juga dari hasil pinjaman namun menjadi hak milik secara sepihak. Mengingat, Lia, sang pemilik pulpen berbulu itu tak mempermasalahkannya.
"Sumpek banget itu muka? Kaya penumpang angkot kekurangan tempat duduk." Celotehnya, sebelum tergelak seorang diri. Karena seperti biasa, tembok berwujud manusia kaku di sampingnya hanya akan mengatupkan mulut dengan rapat. Kadang, hal itu menjadi hiburan tersendiri untuk Aldo. Menggoda Aldric dengan bersikap menyebalkan di hadapan pemuda berwajah datar dan memiliki sikap kaku terhadap sekitarnya. Seolah, ia membangun sebuah pertahanan diri yang tidak boleh di masuki oleh siapa pun.
Tak lagi kesal, karena sudah kebal terabaikan sosok di sampingnya. Aldo meraih sesuatu dari balik laci meja tempat duduknya. Sebelum kemudian meletakkan benda itu di hadapan Aldric yang menatapnya tanpa minat.
"Tadi doi kemari bawa ini," Ucapnya, tak lupa menyelipkan seringai menyebalkan. Kembali mencoba menggoda Aldric. Terlebih, saat ini ia memiliki bahan yang sangat menarik, untuk di jadikan senjata mengusik Aldric. Karena rupanya, dari sekian deretan siswi yang mendamba seorang Aldric, pemuda itu justru terlibat dengan sosok yang mendapat julukan gadis tak kasat mata. Karena keberadaannya yang tak pernah di anggap oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.
Menarik, pikir Aldo.
"Apa pun yang bersarang di kepalamu tentangnya saat ini, segera enyahkan." Suara itu membuat Aldo kembali menginjak kesadaran. Setelah sebelumnya terlarut dalam lamunan.
Menolehkan kepala secara cepat, hingga nyaris membuatnya terkilir. Pemuda itu menatap takjub pada sosok yang tampak duduk tenang di sampingnya. Berbanding terbalik dengan keadaan Aldo sendiri yang kini begitu antusias.
"Nah, kan! Pembelaanmu itu justru membuatku semakin yakin, jika gadis tak kasat mata itu memang mendapat perhatian yang berbeda darimu."
Tak lagi bersuara, Aldric mengabaikan Aldo yang tak juga berhenti melakukan ocehan dengan wajah menyebalkan.
Dalam hati Aldric merutuk. Kenapa juga ia harus membicarakan hal yang tak penting semacam tadi. Jika pada akhirnya, hanya akan menjadi bahan ocehan teman sebangkunya yang ia tahu, tak akan berhenti dalam jangka waktu hingga beberapa hari ke depan.
***
Menarik napas panjang, gadis itu melarikan pandangan pada penunjuk waktu yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya. Hanya menyisakan beberapa menit sebelum waktu istirahat berakhir. Kembali meraih sisa roti kemasan yang berada di atas pangkuan, ia melanjutkan makan siang. Celotehan beberapa siswi samar-samar tertangkap pendengaran, seolah menjadi bakcsound yang selalu mengiringi makan siangnya. Mengingat, lokasi makan siang yang di pilihnya merupakan salah satu tempat favorit para gadis untuk bergosip.
"Kau masih ingin mencoba?" Tanya sebuah suara.
"Kenapa tidak?" Balas suara lainnya terdengar angkuh.
"Seorang Natalie saja di tolak, apalagi endapan kopi sepertimu?" Seru suara pertama sebelum tergelak keras.
Yang terdengar selanjutnya, hanya derap langkah kaki di sertai dengan suara tawa yang berderai.
Tanpa sadar, sudut bibir milik sesosok gadis yang masih menyembunyikan diri di salah satu bilik toilet itu terangkat. Membentuk sebuah senyuman tipis yang terkesan miris. Karena ada sudut hatinya yang tercubit rasa iri.
Kembali mengembalikan pandangan pada penunjuk waktu, gadis itu tergesa membersihkan beberapa remah roti yang tertinggal di atas rok abu-abu yang ia kenakan. Sebelum kemudian beranjak keluar. Dan mendapati keadaan toilet yang kini tampak lengang. Tak ada lagi barisan para siswi yang menyesaki wastafel demi bersolek memperbaiki penampilan, atau sekadar melakukan berbagai obrolan.
Meski sering kali, hal yang mereka bicarakan tak jauh dari berbagai gosip terhangat yang terjadi di lingkungan sekolah. Dan nyaris empat bulan terakhir ini, pendengarannya di sesaki oleh berita tentang sesosok anak baru yang dalam sekejap menjadi pusat perhatian. Tak sekadar karena paras rupawan yang di milikinya, Aldric Pranaja menjadi perbincangan hangat pada awalnya, karena ia merupakan kembaran dari seorang Aldrian. Siswa berprestasi yang di ketahui melakukan tindakan bunuh diri. Hal yang sangat di sayangkan. Terlebih, jika menilik dari berbagai prestasi yang di torehkannya semasa di sekolah.
Nama Aldric kian melambung, saat Natalie, gadis yang di nobatkan sebagai primadona sekolah tersebut, secara terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya pada Aldric. Bahkan kabarnya, ia sampai memutuskan hubungannya dengan Louise. Sosok yang sebelumnya menjadi dambaan para siswi di sekolah. Sebelum kemudian Aldric datang, dan mulai menggeser posisi Louise, sebagai cowok terpopuler di sekolah.
Meski hidupnya bak dalam tempurung. Tapi gadis itu tak menutup diri sepenuhnya. Ia juga mengetahui beberapa hal yang tengah terjadi di sekitarnya. Meskipun perannya sekadar angin lalu, di kehidupan para siswa populer seperti mereka.
"Sia!" Seruan itu membuatnya membatu di tempat.
Baru saja menjejakkan tiga langkah keluar dari ambang pintu toilet, gadis itu sudah harus menghentikan langkah. Ketika tiba-tiba sosok yang tak ingin ia temui, justru kini sudah berdiri berhadap-hadapan dengannya.
"Sia," panggil sosok itu dengan rasa antusias.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas