~Setya~Read More >>"> Haruskah Ada Segitiga?
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Haruskah Ada Segitiga?
MENU
About Us  

“Gi ... Anggi.” Diki menyikut lengan Anggi yang duduk di sebelahnya. Beberapa kali Diki mengacak rambutnya merasa bosan lantaran sejak tadi tidak mendapat tanggapan dari cewek itu.

Pelajaran Matematika adalah pelajaran yang sangat dibenci Diki, berkebalikan dengan Anggi. Cewek berambut sebahu itu sedang asik menyalin beberapa rumus yang baru saja ditulis oleh Bu Dita di papan tulis.

Anggi menggerutu sebelum meletakkan bolpoinnya kemudian menoleh, menatap garang Diki. “Apa lagi?” tanya Anggi bosan dengan tingkah Diki yang mulai mengacaukan konsentrasinya.  

“Lo mau nggak jadi pacar gue?”

***

Pernyataan sekaligus pertanyaan Diki kemarin memenuhi pikiran Anggi. Tadi malam cewek itu nyaris terjaga semalaman lantaran memikirkan pertanyaan Diki yang diluar dugaannya. Anggi pikir Diki menganggapnya hanya sebatas sahabat, tetapi realitas berkata lain. Diki ternyata memiliki rasa lebih terhadapnya. Anggi menggelengkan kepala, mengusir jauh-jauh kejadian kemarin dari benaknya.

Anggi menghirup udara sebanyak yang ia bisa, meyakinan diri semuanya akan sama seperti biasanya nggak akan ada yang berubah di antara persahabatan mereka.

Deru motor Ninja berhasil menarik seluruh kesadaran Anggi. Cewek itu berlari kecil ke luar rumah, tanpa sadar Anggi menyunggingkan seulas senyum. “Setya!” teriaknya sembari melambaikan kedua telapak tangannya.

Cowok yang mengendarai motor Ninja  itu hanya menoleh sekilas saat melewati Anggi. Anggi mendesah kecewa. “Dia kenapa sih? Cuek banget hari ini.”

Tidak nampak wajah berseri dan ceria yang selalu ia tunjukkan, dengan lunglai ia melangkahkan kakinya menyusuri trotoar. Sepanjang perjalanan menuju SMA Harapan Bangsa Anggi banyak melamun, hingga beberapa kali dia harus meminta maaf lantaran tidak sengaja menabrak beberapa pejalan kaki.

Anggi sibuk menganalisis sikap Setya hari ini. Bagaimana bisa cowok itu berubah sikap hanya dalam waktu semalam? kemarin sikap Setya masih seperti biasa. Setya yang ramah, Setya yang humoris, Setya yang suka menjailinya dan masih banyak sikapnya yang berhasil membuat Anggi nyaman menjalin persahabatan dengan cowok itu.

Ada yang aneh dari Setya, tatapan matanya tadi tidak bersahabat seperti biasa. Biasanya kalau Anggi meneriakinya, dia akan berhenti di depan cewek itu dan akan menawarkan tumpangan. Tapi kali ini, Setya benar-benar mengabaikannya. “Apa gue ada salah sama dia?”

Lima belas menit berlalu, kini Anggi sudah berada di depan kelas. Dia berhenti sejenak sebelum memasuki ruang kelasnya. Jemarinya menggenggam ujung tali tas ranselnya kuat-kuat. “Lo hanya perlu bersikap seperti biasa, Anggi. Anggap aja kemarin gak ada kejadian apa-apa,” ujarnya lirih.

Baru saja Anggi memasuki ruang kelas, Novi berlari-lari menuju  kearahnya. Begitu tiba di depan Anggi, Novi lantas menarik pergelangan tangan cewek itu menuju ke luar kelas.

“Ada apa, Nov?” tanya Anggi begitu tangannya sudah terbebas dari cengkraman Novi.

Novi menengok kanan-kiri memastikan tidak ada orang selain mereka berdua. “Lo tahu?” Novi menatap Anggi dengan gemas menunggu jawaban cewek itu.

“Tahu apa? Lo aja belum bilang.”

Novi menepuk dahinya. “Ah iya gue lupa,” ucapnya sambil tersenyum cengengesan. “Mereka kemarin berantem.” Lewat sorot mata Anggi, Nova tahu cewek itu menuntut penjelasan lebih. Sebelum melanjutkan ucapannya, Novi kembali menengok kanan-kiri memastikan tidak ada orang yang menguping pembicaraan mereka. “Diki dan Setya, mereka kemarin berantem,”

“Hah?” Nada bicara Anggi naik satu oktav saking terkejutnya. Buru-buru cewek itu membekap mulutnya setelah Novi memelototinya. “Gimana? Gimana bisa?” cecar Anggi lebih antusias dari sebelumnya.

“Itu kar—“ ucapan Novi terpotong ketika bel masuk berbunyi nyaring, memaksa siapapun memasuki ruang kelasnya masing-masing. Novi hanya tersenyum kikuk penuh penyesalah lantaran pembicaraan mereka harus berhenti sampai di sini, sedangkan Anggi memasang tampang kesal.

***

“Setya.” Panggil Anggi kepada cowok yang berada di meja terdepan persis di depan meja guru. “Setya.” Ulangnya sekali lagi.

Setya hanya menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada ponsel di genggaman tangannya. Sudah satu minggu hubungan Setya dan Anggi merenggang. Bahkan bukan hanya dengan dirinya, tapi hubungan Setya dan Diki juga merenggang. Hampir satu mingu ini mereka tak pernah lagi bertegur sapa. Setiap Anggi menyapa atau bertanya sesuatu Setya selalu mendiamkannya seakan Anggi adalah makhluk tak kasat mata. Dengan langkah lebar Anggi mendekati meja Setya.

Pletak!

“Apaan sih, Nggi?” sergah Setya tidak terima kepalanya ditimpuk menggunakan buku yang dibawa Anggi.

“Lo jadi cowok gak peka banget, bantuin! Berat nih.” Anggi menunduk, memberitahu Setya tumpukan buku tulis yang berada di dekapannya. “Bantuin bawain ke ruang guru.”

“Siapa lo nyuruh-nyuruh gue?”

“Astaga, lo seminggu ini makan apa sih, Setya? Kelakuan lo aneh tahu nggak?”

Setya hanya mengendikkan bahu, tidak perduli dengan ucapan Anggi. Anggi gemas dengan perlakuan aneh Setya. “Lo itu emang nye—“

Ucapan Anggi menggantung begitu menyadari tumpukan buku itu telah berpindah tangan.

“Biar gue aja yang bawa.” Itu bukan suara Setya melainkan suara Diki. “Gak baik cewek bawa berat-berat.” Diki menyunggingkan seulas senyum, lalu menoleh ke arah Setya yang masih sibuk mengetukkan jari di atas layar ponselnya.

“Eh, tapi ... tapi ....”

“Udahlah, biasanya lo juga nyuruh-nyuruh gue. Bentar ya!” Diki membalikkan badan membawa setumpuk buku tulis.

Ya, itu dulu. Sekarang, sejak gue tau perasaan lo, entah mengapa ada jarak tak kasat mata yang membuat gue nggak bisa seenaknya lagi sama lo, pikir Anggi.

Anggi memperhatikan punggung Diki hingga menghilang di ambang pintu. Nggak ada yang berubah dari Diki, dia masih sama seperti dulu. Kamu terlalu baik buat gue, Ki. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari pada gue, pikir Anggi.

Anggi melirik Setya yang masih mengutak atik layar ponselnya seakan benda itu lebih menarik dari pada dirinya. Setya dan Diki dua sahabat yang tak terpisahkan tiba-tiba menjadi dua orang yang asing seolah tak pernah mengenal satu sama lain. Sampai saat ini alasan dibalik retaknya persahabatan mereka terutama Diki dan Setya masih menjadi misteri tersendiri bagi Anggi.

 ***

 “APA?” pekik Novi, membuat semua pasang mata tertuju pada meja meraka. Sore ini mereka berada di salah satu cafe langganan mereka. Suasana cafe cukup ramai pengunjung. Selang beberapa detik semua pasang mata kembali fokus pada kegiatannya masing-masing seolah tak perduli pada Novi dan Anggi.

“Astaga, pelankan suara lo!” ujar Anggi setengah berbisik.

“Lo ... lo bercanda kan?” selidik Novi. “Jadi selama ini lo suka sama—“  

“Ssttt, diam Novi!” Anggi menyapu sekeliling, perasaannya was-was, takut kalau ada yang mendengar pembicaraan mereka. “Gawat tahu kalau sampai ada yang dengar.”

“Apakah lo sudah menjawab pertanyaan Diki?”

Anggi menggeleng pelan. “Gue belum ngasih dia jawaban,” ujarnya lirih.

Novi menghela napas pelan. “Kenapa harus ada segitiga diantara persahabatan kalian?”

“Maksud lo?”

***

“Lo kenapa sih?” cecar Setya setelah Anggi melepaskan tangan Setya. Mereka sekarang berada di ujung koridor yang terhubung dengan halaman belakang sekolah. Setelah bel berbunyi Anggi tergesa-gesa menarik perelangan tangan Setya menuju tempat yang sepi. Hari ini juga semuanya harus selesai, begitu tekad Anggi sejak menginjakkan kaki di sekolah pagi tadi.

“Harusnya gue yang nanya, lo yang kenapa?”

Diki menaikkan sebelah alisnya, terlihat bingung dengan ucapan Anggi.

“Lo aneh tahu nggak? Tiba-tiba lo diemin gue, lo berubah jadi cuek dan dingin sama gue. Kenapa? Apa gue ada salah sama lo? Apa susahnya sih lo bilang kalau misalkan gue ada salah sama lo?”

Setya tertegun. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Anggi masih menunggu jawaban Setya, sedangkan Setya hanya menatap Anggi dalam diam.

Anggi menghela napas pasrah, dengan langkah pelan ia mengambil tas ranselnya yang ia letakkan begitu saja di lantai.

“Karena Diki suka sama lo. Karena Diki sahabat gue,” ujar Seya.

Anggi refleks menghentikan tangannya yang hendak mengambil tas ransel miliknya. Ia menahan napas.

“Karena Diki nuduh gue suka sama lo. Padahal sebenarnya ...,” Setya sengaja menggantungkan kalimatnya lalu menarik pergelangan tangan Anggi, hingga gadis itu menghadap ke arahnya. “Sebenarnya gue memang sayang sama lo. Gue suka sama lo, Anggi.”

Anggi memejamkan mata, pengakuan Setya begitu mengejutkan buatnya.

“Gue menghindar dari lo karena gue benci diri gue sendiri. Harusnya gue nggak boleh suka sama lo, karena sahabat gue suka sama lo. Bagaimana bisa gue menyukai cewek yang disukai sahabat gue? Gue memang bodoh.”

"Lo nggak bodoh. Kita memang nggak bisa mengatur perasaan suka sama orang. Terkadang perasaan itu muncul sendiri tanpa kita sadari. Gue nggak benci sama lo. Lo berhak sayang sama siapapun. Tapi ...."

Tiba-tiba Setya melepaskan tangan Anggi. Dengan cepat Anggi mendongak. Raut muka Setya berubah tegang dan kaget. “Diki,” ujar Setya tertahan.

Anggi membalikkan badan, di depan sana berdiri Diki. Wajah cowok itu datar tanpa ekspresi, perlahan Diki berjalan mendekat. Diki menatap Anggi dan Setya secara bergantian.

Anggi memungut tas ranselnya, lalu berjalan melewati kedua cowok itu tanpa menoleh sedikitpun. Mendadak Anggi berhenti. “Sorry, harusnya gue emang nggak pernah hadir di tengah persahabatan kalian.  Gue nggak mau hanya karena gue persahabatan kalian hancur. Jangan sampai persahabatan kalian hancur hanya karena seorang cewek.” Anggi berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh. “Satu lagi gue hanya menganggap kalian berdua teman nggak lebih. Gue harap kalian berdua bisa mengesampingkan ego kalian masing-masing.” Usai berkata itu Anggi meninggalkan mereka berdua.

Derai air mata jatuh begitu saja, dengan kasar Anggi mengusap air mata yang bergantian jatuh dari kelopak matanya. Gue nggak boleh egois, batinnya. Gue memang sayang sama Setya dan ternyata cinta gue nggak bertepuk sebelah tangan, tapi gue nggak mau jadi perusak persahabatan orang. . Biarkan gue aja yang pergi, pergi jauh dari kehidupan mereka berdua. Sekarang gue tau maksud Novi, kenapa harus ada segitiga diantara persahabatan ini? Karena memang nggak ada persahabatan antara cewek dan cowok yang tulus, pasti ada yang menyimpan rasa lebih, rasa yang harusnya nggak boleh hadir, rasa yang terlarang. Ya, rasa itu adalah rasa sayang lebih dari sekedar sahabat.

 

END

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tsurune: Kazemai Koukou Kyuudoubu - Masaki dan Misaki dan Luka Masa Lalu-
95      58     0     
Fan Fiction
Klub Kyudo Kazemai kembali mengadakan camp pelatihan. Dan lagi-lagi anggota putra kembali menjadi 'Budak' dalam camp kali ini. Yang menjadi masalah adalah apa yang akan dilakukan kakak Masaki, Ren, yang ingin meliput mereka selama 3 hari kedepan. Setelah menjadi juara dalam kompetisi, tentu saja Klub Kyudo Kazemai banyak menjadi sorotan. Dan tanpa diketahui oleh Masaki, Ren ternyata mengundang...
Rumah Arwah
12      12     0     
Short Story
Sejak pulang dari rumah sakit akibat kecelakaan, aku merasa rumah ini penuh teror. Kecelakaan mobil yang aku alami sepertinya tidak beres dan menyisakan misteri. Apalagi, luka-luka di tubuhku bertambah setiap bangun tidur. Lalu, siapa sosok perempuan mengerikan di kamarku?
Tiba Tiba Cinta Datang
12      12     0     
Short Story
Cerita tersebut menceritakan tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis manis yang suka pada bunga mawar. Lelaki itu banyak belajar tentang cinta dan segala hal dari gadis dan bunga mawar
The Twins
86      50     0     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
Salju di Kampung Bulan
37      29     0     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Galang dan Refana
10      10     1     
Short Story
“Untuk apa kita diciptakan di dunia? “ seorang gadis yang sudah cukup lama ku kenal mengajukan sebuah pertanyaan. Ia melemparkan pandangan kosongnya ke sebuah dimensi ruang. Tangannya yang dipenuhi perban memeluk lutut seolah tangah melindungi tubuh dan jiwa rapuhnya
About love
31      27     0     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
Surat Terakhir untuk Kapten
371      303     2     
Short Story
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Kuharap semua pesanku bisa tersampaikan padamu.
Slap Me!
47      38     0     
Fantasy
Kejadian dua belas tahun yang lalu benar-benar merenggut semuanya dari Clara. Ia kehilangan keluarga, kasih sayang, bahkan ia kehilangan ke-normalan hidupnya. Ya, semenjak kejadian itu ia jadi bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia bisa melihat hantu. Orang-orang mengganggapnya cewek gila. Padahal Clara hanya berbeda! Satu-satunya cara agar hantu-hantu itu menghila...
Bulan dan Bintang
10      10     0     
Short Story
Bulan dan bintang selalu bersisian, tanpa pernah benar-benar memiliki. Sebagaimana aku dan kamu, wahai Ananda.