Part 32
If you can't figure out where you stand with someone, it might be time to stop standing and start walking
- geckoandfly.com -
Elang masih terlelap ketika alarmku berbunyi nyaring di pukul 4.30 pagi. Aku memandangi wajahnya yang damai. Kami tidur satu tempat tidur, tapi Elang sama sekali enggak menyentuhku, karena dia sudah berjanji begitu.
"Aku enggak akan pulang! Aku enggak tenang ninggalin kamu sendirian di sini, Rei. Aku tidur bareng kamu, tapi aku janji aku enggak akan sentuh kamu sedikitpun!"
Itu yang dia katakan tadi malam, dibanding kembali mendebat dan enggak akan ada habisnya, makanya aku mengizinkan dia menginap. Setelah puas memandangi wajahnya, aku bergegas mandi dan bersiap-siap untuk ke kampus. Jam 5.30 ia sudah bangun dan juga bersiap-siap.
Ketika aku dan Elang keluar dari rumah, tetanggaku di sebelah melihat kami, dan ia menegurku, "Tamunya menginap ya mba? Sudah lapor sama Pak RT memangnya?" sindirnya, "ada peraturan kalau 'TAMU WAJIB LAPOR 1x24 JAM' lho mba," katanya sambil mengamati Elang dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
Elang berdecak pelan, "Tapi kan saya enggak sampai 24 jam! Enggak perlu lapor dong!" sahut Elang.
Ekspresi ibu itu terlihat tidak suka Elang menyahut, "Atau jangan-jangan kamu buka praktek prostitusi online ya?!" tudingnya tanpa berpikir. Tubuh Elang menegak dan wajahnya berubah, aku menarik tangannya dan menahannya untuk bergerak mendekat ke wanita itu.
Sedangkan aku hanya tersenyum dan menggeleng mendengar komentar tetanggaku itu. Kemudian datang lagi tetanggaku yang lain, "Iya, jangan sampai kita tetangganya kena azabNya nanti" timpalnya memprovokasi.
Aku menghela napas dan mengajak Elang pergi dari rumahku.
Elang terlihat sangat kesal, "Kamu lihat kan, Rei? Itulah kenapa aku bilang kalau kamu enggak cocok tinggal di sana!" gusarnya sambil menggerakkan tangannya.
Aku mengangguk berusaha tenang, "Tapi mereka ada benarnya, Lang. Memang seharusnya kamu enggak menginap. Enggak pantas laki-laki dan perempuan yang belum menikah berduaan di satu ruangan—"
"Bulshit!! Kita kan enggak ngapa-ngapain! Dan bukan urusan mereka juga!!" semburnya makin emosi. "Aku mau kamu pindah dari sana, Rei" ujarnya. Ia menatapku dengan mata yang lebar, "Menurut kamu aku bisa tidur, sementara kamu dikelilingi orang-orang yang berpikiran buruk dan rendah ke kamu, Rei?!"
"Lang, itu karena mereka belum kenal aku. Nanti lama kelamaan mereka pasti baik sama aku kok" ujarku berusaha meyakinkan diriku sendiri.
Elang berdecak sambil bergumam, "Bu Lurah keras kepala."
..
"Makan siang bareng aku ya, aku jemput kamu di kelas nanti..." cetus Elang sambil memisahkan diri menuju kelasnya.
Aku tidak menjawab. Tapi dia meraih kepalaku dan mencium puncak kepalaku dengan cepat tanpa aku bisa menghindar. Suara decakanku diabaikannya, ia malah menyeringai dan pergi. Sikapnya seperti kami kembali pacaran saja, padahal aku masih tidak yakin untuk kembali menjalin hubungan lagi dengan cowok rumit itu. Eh tapi, apa yang kulakukan semalam berarti bertentangan dengan prinsipku! Kami berciuman padahal tidak berpacaran? Ya ampun! Hiiih! Ini bibir pengkhianat! Makiku sambil memukul bibirku sendiri.
Jangan boleh terulang!!
Langkahku melambat ketika kulihat Bio berjalan ke arahku. "Kirei..." sapanya.
Aku menunjukkan gestur tidak suka bertemu dengannya, jadi aku berniat melanjutkan langkahku, tapi Bio menahanku, "Kirei, aku minta maaf!" katanya, "aku enggak tahan, karena kamu bersikap lain sama Elang, Rei. Dia berkali-kali nyakitin kamu, tapi kamu bisa memaafkannya. Sedangkan aku?" protesnya.
Bagaimana bisa dia membandingkan dirinya dengan Elang? Aku terdiam.
"Rei, tolong jangan diam aja, kamu boleh tampar aku lagi sekarang, pukul aku! Tendang aku Rei!" ujarnya dan meraih tanganku untuk dihantamkan ke pipinya.
Aku menarik tanganku cepat sekaligus menghela napas panjang, "Bio, aku enggak suka kamu manfaatin kesempatan! Aku memang putus dari Elang, tapi bukan berarti aku bisa melemparkan diri aku ke kamu begitu aja!! Jangan samain aku sama perempuan-perempuan kamu yang lain, yang bisa dengan mudahnya berpindah hati ketika kamu cium! Aku bukan mereka!" ujarku dan membuat Bio menunduk.
Dia mendongak lagi dan menatapku, "Maaf Rei, aku enggak bermaksud begitu, hanya saja—aku—bisa dibilang aku iri melihat Elang—bisa dapetin kamu" katanya.
Aku memberinya ekspresi aneh, "Pokoknya aku enggak mau itu terulang lagi!" tukasku keras.
Bio mengangguk pasrah. Aku melihat penyesalan di wajahnya yang terdapat beberapa lebam di bawah matanya, itu pasti akibat pukulan Elang kemarin. Hatiku jatuh iba lagi padanya.
"Mata kamu enggak apa-apa?" tanyaku akhirnya enggak tahan, karena sudut matanya masih terlihat merah.
Bio menggeleng sambil tangannya mengusap bagian bawah matanya, "Aku enggak apa-apa, aku memang sengaja membuat Elang marah dan aku layak mendapatkan ini" katanya.
Aku mengangguk setuju, "Iya, aku setuju"
Bio tersenyum kecil. "Maafin aku Rei, kita baikan ya..." ujarnya sambil mengangsurkan jari kelingkingnya mengajak berbaikan ala anak kecil.
Aku menautkan jari kelingkingku padanya dan tersenyum aneh, "Oke," sahutku.
Bio pamit menuju kelasnya setelah melakukan hal tadi dengan sumringah, sedangkan aku melanjutkan langkahku menuju ke kelas.
Kelas Manajemen Distribusi Logistik yang kumasuki terlihat sudah hampir penuh, hanya tersisa beberapa kursi saja. Tumben pagi ini kelas penuh banget, gumamku dalam hati sambil menuju kursi kosong.
Aku menduduki kursi kosong di barisan ketiga dari depan dan persis di pinggir. Mataku sempat mengedar sekilas mencari Ruth dan Ina, tapi aku tidak melihat mereka, mungkin mereka di barisan belakang. Ketika aku sedang megeluarkan buku dan peralatan tulis menulis, suasana kelas terdengar gaduh, kupikir dosennya sudah datang, tapi ketika melihat ke depan, aku melihat Elang dan dua orang temannya masuk kelas dan mencari kursi kosong. Kenapa Elang masuk kelas ini? Apa dia pindah kelas?
Elang melewatiku dan memilih duduk di kursi kosong di seberangku, tapi satu baris di belakangku. Beberapa mahasiswi lain terdengar berbisik-bisik sambil matanya tidak lepas menatap cowok berlesung pipi itu duduk di tempatnya. Aku menghela napas dan dengan gerakan lambat memutar kepalaku ke arahnya, dan benar saja, Elang sedang melihat ke arahku sambil tersenyum nakal. Dengan cepat kupalingkan lagi wajahku ke depan.
"Itu Elang! Ganteng banget kan? Katanya dia punya cafe lho—eh kok dia liatin ke arah sini terus ya?" bisik wanita di sebelahku pada temannya. Dan kepalanya enggak berhenti berputar ke arah Elang, hanya untuk sekadar melihatnya, sepanjang jam kuliah berlangsung.
Berisik!
Dua jam berlalu, dan aku sedang merapikan buku ke dalam tasku ketika Elang berdiri di sampingku. Dua wanita di sebelahku tadi heboh enggak jelas saling senggol memberitahu bahwa Elang ada di dekat mereka. Sepertinya aku baru melihat mereka atau mungkin aku yang kuper.
"Elang—" tegur salah satunya dengan suara bergetar, sepertinya dia benar-benar takut atau malu, entahlah.
Sedangkan Elang melihat ke arahnya dengan ekspresi datar dan bingung, tapi dia segera memalingkan lagi wajahnya padaku dan meraih tanganku, kemudian menarikku pergi meninggalkan dua gadis penggemarnya yang terbengong-bengong.
Setelah di luar kelas, aku menarik tanganku perlahan lepas darinya. Elang menatapku aneh, "Kenapa sih?"
"Enggak perlu gandeng tangan segala, kita enggak pacaran lagi..."
Elang berdecak, "Oh iya, kamu kan penganut ‘hanya orang pacaran yang boleh gandengan’ ya kan?" sindirnya.
"Terserah" jawabku.
"Enggak apa enggak gandengan, asal boleh ciuman kayak tadi malam..."
Aku memukul bahu Elang dengan tasku sampai dia mengaduh, mata coklatnya menatapku bulat-bulat, "Aku tahu kamu suka, Rei" ledeknya sambil menjauh menghindari pukulanku lagi.
"Hiish!" makiku dengan pipi yang panas.