Deru kereta yang hendak bersiap meninggalkan stasiun malam ini mengusik lamunanku. Ku lemparkan pandangan ke luar jendela. Tak ada yang menarik. Cahaya dari lampu-lampu stasiun mulai lenyap, digantikan pekat yang menerobos malam.
Dingin menyergap tubuhku. Sepertinya akan turun hujan. Aku mencari-cari apa saja yang bisa menghentikan dingin ini. Gerakan tanganku terhenti sejenak, menatap sebuah sweater beludru cokelat yang berada di balik tasku. Ingatan akan hari itu tumpah lagi.
Pada hari itu juga langit terlihat mendung seperti akan turun hujan, meski pada hari-hari sebelumnya cukup cerah.
Dia masih duduk di kursi kafe tepat di hadapanku. Ia terus saja memutar sendok di cangkir espreso miliknya, entah apa tujuannya. Bola matanya menatap keluar jendela, memperhatikan segerombolan anak kecil yang berlarian saling mengejar di luar sana, tanpa senyum.
Rangkaian gerbong kereta semakin jauh membelah gelap, memecah kesunyian malam. Roda kereta berderit-derit menggilas rel, menelan orkestra jangkrik yang baru saja didendangkan. Barangkali jangkrik-jangkrik itu sudah lari lintang pukang, jeri mendengar bunyi rel bising.
Tak seperti bunyi roda kereta ini yang berderit-derit, dia justru berkutat dalam diam, asyik tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak seperti kebanyakan pengunjung yang rebut berbagi cerita atau sekedar bersenda gurau; dia hanya terdiam di hadapanku. Ekspresi wajahnya kosong tanpa ekspresi.
Tetapi matanya menerawang. Jauh. Seolah-olah dia hanya duduk sendiri di ruangan itu. Pengunjung di kanan-kirinya hanyalah radio-radio tua yang terus menceracau, tak ia hiraukan. Bahkan aku yang sejak tadi mencoba mencairkan suasana pun tak ia gubris.
“Dingin, ya, bu. Coba mendekat sedikit, biar selimut ini cukup untuk kita berdua.” Penumpang di samping kananku—sepasang suami istri berusia paruh baya—saling berbagi selimut, bersiap untuk tidur. Perjalanan ini memang menghabiskan waktu yang panjang.
“Kenakan sweater-mu,” katanya pelan. “Aku tidak menduga cuacanya akan seburuk ini.”desahnya lagi.
Aku tercekat, gerakan tanganku terhenti .Aku belum mengenakan sweater-ku, terus memandanginya lekat-lekat. Apa yang baru saja dia katakan? Bukan, bukan isi ucapannya. Entah mengapa, kurasa ia tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Ekspresi wajahnya mengatakan itu. Pikirannya melayang jauh, berada di tempat yang tak aku ketahui.
Tapi aku terlalu malas untuk menerka-nerka, mengijinkan angin menelisik ruangan ini, mengembalikan kesunyian kembali di antara kami.
“Kami masih punya selimut kecil, mau pinjam, nak? Malam ini pasti dingin sekali. Kita masih lama berada di sini sampai kereta tiba.” Penumpang wanita di sebelah kananku bertanya. Aku tersenyum, menggelengkan kepala. Jam di tanganku menunjuk angka sepuluh. Sudah setengah jam sejak kereta meninggalkan stasiun.
Sudah setengah jam pula berlalu sejak espreso di cangkirku tandas tak berbekas.
“Kau sendiri tak mengenakan baju hangat,” Aku membalas sarannya tadi.
Dia menggeleng, memaksa senyum. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela lagi. Akhir-akhir ini, ia bahkan tak menatap mataku saat sedang berbicara padaku. Ia menghembuskan napas berat, membuatku membeku dalam kesunyian ini. Memikirkan hal buruk yang tak seharusnya terpikirkan.
Aku tahu, di setiap hembusan napasnya yang berat, satu serpihan perasaannya untukku turut pergi bersama napas itu. Dadaku tersengal memikirkannya.
Ponselku bergetar. Aku menyingkap tasku, mencari-cari letaknya. Ah, hanya pesan tidak penting.
Ia juga meraih ponselnya yang bergetar di meja. Entah apa yang ditampilkan di sana, lama sekali ia memandangi layarnya. Sepintas, kudapati wajahnya menyungging senyum, tanggung karena ia segera menghapusnya ketika aku memergokinya.
Di luar kafe, awan kelabu menguak terbuka, semakin lebar dan semakin lebar, dan hujan gerimis mulai turun. Anak-anak yang tadi bermain di jalanan segera berlarian, mencari tempat berteduh. Beberapa memilih berlindung di halte yang jaraknya dua puluh meter dari kafe ini, beberapa yang lain memilih berlindung di emperan kafe ini. Pada mulanya hujan turun perlahan dan lirih, hingga akhirnya berubah menjadi guyuran besar. Kasihan anak-anak itu, kedinginan. Tubuh mereka tampias kena hujan.
Tapi tak ada yang lebih dingin dari pertemuan kami.
“Apa lagi yang sedang kau lamunkan, dik. Tidur lagi, ini sudah larut.” Wanita itu menasihatiku lagi, dan lagi-lagi kubalas dengan senyum patah-patah.
“Apa kita sebaiknya pulang saja, ya? Hujannya sudah agak reda. Aku mengantuk.” Aku juga bertanya padanya.
Dia tetap sibuk dengan ponselnya.
“Siapa itu?” ujarku sambil memegang lengannya.
“Bukan apa-apa.” jawabnya dingin sambil melepas genggamanku.
Di balik jendela di gerbong kereta ini, malam menuang pekat bersama rintik hujan. Tetesan air hujan meleleh di kaca jendela, serupa ingatan yang sekarang sedang meluber di kepalaku.
“Apa besok akan turun hujan lagi, ya?” Aku mencoba mencairkan suasana lagi.
Dia tetap diam, matanya tak mau lepas memandang layar kecil ponselnya itu. Ia tidak merasa harus menjawab pertanyaanku.
Aku yang dari tadi berpikir seribu cara bagaimana memulai percakapan ini menghela napas, mengeluh dalam hati. Ini akan jadi jauh lebih sulit.
“Kita hentikan saja,” tanyaku.
“Maksudmu?” Ia menghentikan pergerakan tangannya.
“Aku lelah dengan semua ini.” Aku menyandarkan punggung ke kursiku, memandangi langit-langit kafe yang muram.
“Maafkan aku. Akhir-akhir ini aku sibuk.” jawabnya pendek.
“Sibuk apa!”
Hilang sudah kesabaranku, lenyap bersama kata-katanya yang menguap ke langit-langit ruangan ini.
Kereta terus bergerak, menerobos malam, menembus pekatnya ingatan. Aku hanya terdiam, tak bergerak, tak memejamkan mata. Sementara itu, seluruh penumpang gerbong yang aku tumpangi sudah terlelap.
Hujan di luar kafe semakin menggila. Kilat menyambar menembus jendela, disusul bunyi petir yang memekakkan telinga. Di seberang meja kami, seorang gadis kecil bersembunyi di balik pelukan ibunya, gentar dengan gelegar petir yang marah. Belum genap kuperhatikan gadis itu karena bunyi petir kedua menyusul, lebih keras dari petir pertama. Gadis kecil itu berteriak, menangis ketakutan di pangkuan ibunya.
“Tolong dengarkan aku. Aku minta maaf kalau akhir-akhir ini semua tidak berjalan dengan baik. Aku yakin aku bisa—“
“Omong kosong.” potongku.
Dia kehabisan kata-kata, gemetar meraih cangkir, menghabiskan isinya sekali teguk. Ponselnya bergetar lagi. Tangannya hendak meraih ponselnya di meja, namun kalah cepat dari tanganku.
“Tolong jangan melibatkan orang lain lagi.” ujarku gusar.
“Orang lain siapa—” bantahnya.
“Aku tidak peduli siapa,” Aku memutus bantahannya.
Anak-anak yang berteduh di emperan kafe sudah lenyap, kurasa orang tuanya sudah menjemput mereka. Hujan juga menunjukkan tanda-tanda mereda, bergegas hendak pergi, membasuh kota lain.
Mungkin ia juga mencoba pergi dari kisah ini. Dia memang tak pernah cocok dengan kisah ini. Judul kisah kami tidak pernah sesuai. Aku sudah tidak peduli dengan akhir yang bahagia.
Tetesan embun dari atas kereta ini jatuh menembus pergelangan tangan kemejaku. Aku terkesiap, cepat-cepat menarik tanganku, menggesekkannya satu sama lain. Jendela gerbong ini seolah membeku seperti es. Malam berlalu dengan cepat. Aku melirik jam. Sudahlah, aku memutuskan tidur.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan.
‘Sayang, di sana dingin, ya? Jangan lupa pakai baju hangat.’ Begitu isi pesannya.
Demi membaca pesan itu, aku mengalah, memaksa diri mengenakan sweater yang sejak tadi berada di pangkuanku. Aku tak peduli dengan segala kenangan yang melekat di serat-seratnya.
Tapi, ada potongan kisah yang tidak pernah kuketahui. Di luar sana, di balik jendela kamarnya, dia melemparkan pandangan ke ujung jalan yang tampias, menyeka pipinya yang basah.
selamatkan rahma!
268
203
0
Short Story
kisah lika liku conta pein dan rahma dan penyelamatan rahma dari musuh pein
IF ONLY....
10
10
0
Romance
Pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta sepihak…
Perasaan yang berakhir bahkan sebelum dimulai…
Merasa senang dan sedih seorang diri, benar-benar seperti orang bodoh.
Ada penyesalan besar dalam diriku, padahal masih banyak hal yang ingin kuketahui tentang dirinya.
Jika saja aku lebih berani bicara padanya saat itu, kira-kira apa yang akan terjadi?
Meja Makan dan Piring Kaca
1900
611
0
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Memories The Series - Pandora Box
46
33
0
Action
Kanaya, ahli forensik yang mengelilingi dunia hanya untuk mencari penjelasan dari setiap mimpi buruk yang hadir disetiap tidurnya. Hari-hari dilaluinya tanpa penjelasan yang pasti, langkahnya kini terhenti di kota SEOUL, tempat yang menorehkan setitik petunjuk.
Dalam perjalanannya Kanaya terjebak dalam cinta yang membuatnya rapuh dan ingin menyerah. Park Minwo seolah menjadi magnet bagi Naya un...
Rain, Coffee, and You
314
249
3
Short Story
“Kakak sih enak, sudah dewasa, bebas mau melakukan apa saja.”
Benarkah?
Alih-alih merasa bebas, Karina Juniar justru merasa dikenalkan pada tanggung jawab atas segala tindakannya. Ia juga mulai memikirkan masalah-masalah yang dulunya hanya diketahui para orangtua.
Dan ketika semuanya terasa berat ia pikul sendiri, hal terkecil yang ia inginkan hanyalah seseorang yang hadir dan menanyaka...
Akhi Idaman
14
14
0
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.
Akhir yang Kau Berikan
7
7
0
Short Story
\"Membaca Novel membuatku dapat mengekspresikan diriku, namun aku selalu diganggu oleh dia\" begitulah gumam Arum ketika sedang asyik membaca. Arum hanya ingin mendapatkan ketenangan dirinya dari gangguan teman sekelasnya yang selalu mengganggu ia.
Seiring berjalan dengan waktu Arum sudah terbiasa dengan kejadian itu, dan Laki Laki yang mengganggu ini mulai tertarik apa yang diminati oleh Arum...
The War Galaxy
343
190
0
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi.
Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Simplicity
282
165
0
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka.
Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.