"Geurae nan neo hanaman saranghanigga. I just can love with you. Karena aku hanya mencintaimu."
-
-
-
-
Jayu masih belum tahu apa-apa ketika ada yang mengikat kedua tangannya. Satu-satunya yang dia ingat, adalah bahwa beberapa orang menyerangnya saat sedang lari pagi. Salah satu pria dengan bekas luka di wajahnya terlihat begitu puas melihat keadaan Jayu yang sekarang tak berdaya.
"Pantas saja Prasetya menempatkan Satria di sisi anak ini. Dia benar-benar tidak berguna rupanya," ujar Raka pada anak buahnya. Pria dengan luka di wajah, yang sempat berseteru dengan Satria ketika dirinya sedang mengejar seorang wanita yang berusaha kabur.
"Tapi sekarang dia jadi sangat berguna untuk kita, Bos. Satria pasti akan melakukan apa saja untuk anak ini, termasuk menyerahkan nyawanya," jawab pria itu dengan senyum penuh kemenangan.
"Kamu benar. Sudah saatnya aku membalas dendam untuk kematian ayah. Anak tidak tahu diri itu harus membayar harga untuk setiap tetes darah yang mengalir dari tubuh ayahku." Raka memasukkan beberapa butir peluru pada pistol yang ada di tangannya. Matanya memancarkan kebencian, dan juga dendam yang sudah dipendam selama bertahun-tahun.
"Aku akan menghabisinya dengan tanganku sendiri."
"Lalu apa yang akan kita lakukan pada anak ini, Bos?" tanya anak buah Raka, saat Jayu terlihat bergerak kecil. Sepertinya dia mulai mendapatkan kesadarannya kembali.
"Prasetya mungkin tidak akan tinggal diam kalau tahu kita menyandera anaknya. Segera habisi dia setelah aku melenyapkan Satria, lalu buang mayatnya ke sungai."
"Tapi bagaimana kalau Satria tidak datang?"
"Maka aku yang akan mendatanginya, sekalipun harus mengobrak-abrik markas Prasetya. Kalau saja aku tahu ternyata dia yang menyelamatkan Satria, aku pasti sudah menghancurkan mereka semua."
Samar-samar, Jayu mendengar perbincangan mereka. Kepalanya terasa berat ketika dia berusaha bergerak, pandangannya masih belum berfungsi sempurna. Siapa Prasetya dan Satria yang sedang mereka bicarakan? Jika Prasetya yang sedang mereka bicarakan adalah ayahnya, lalu apa hubungannya dengan Satria? Pemuda kemayu yang selalu berada di sisinya itu, mungkinkah dia adalah Satria yang sama dengan yang mereka bicarakan? Otaknya kesulitan menyimpulkan semua itu. Satria yang dia kenal, hanya seorang pria kemayu yang selalu membawa kipas, mana mungkin dia bisa mengangkat senjata dan membunuh orang seperti yang mereka bilang? Apa mungkin sebenarnya sekarang orang-orang itu sedang salah paham? Jayu masih belum menemukan jawaban, sampai dua pasang kaki itu terlihat menjauh. Hanya ada dua orang lain yang berdiri seperti patung di sampingnya.
"Kak, haruskah kita membalas dendam dengan membunuh Satria? Apa itu yang ayah inginkan?" Galuh menghentikan langkah mereka. Gadis dengan pakaian serba hitam dan pistol di sisi kanan dan kiri pinggangnya itu terlihat kurang setuju dengan ide balas dendam kakaknya.
Raka menaikan sebelah ujung bibir, menatap adiknya penuh cibir. "Kalau kamu berani menghalangiku, aku akan melupakan fakta bahwa di tubuh kita mengalir darah yang sama. Jangan coba-coba menyelamatkannya, atau kamu sendiri tidak akan selamat," ucapnya memperingatkan.
"Tapi, Kak ...." Lagi-lagi Galuh menghadang langkah Raka, memaksanya untuk mendengarkan pendapat gadis itu. "Kalau kita membunuhnya, itu tetap tidak akan membuat Ayah hidup kembali. Lagi pula, ayah kita juga bersalah karena sudah memanfaatkan Satria untuk tujuannya sendiri, membohonginya, dan mengatakan kalau Prasetya lah yang sudah melenyapkan orang tuanya. Wajar kalau dia marah setelah tahu yang sebenarnya."
"Dan menurutmu wajar, dia membunuh orang yang sudah membesarkannya? Memungutnya dari jalanan, dan memberikan dia segalanya? Cinta sudah membuatmu kehilangan akal, tapi kalau kamu berani menghalangiku, aku juga pasti akan kehilangan akal dan melenyapkanmu."
Raka meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Galuh yang masih belum sanggup, sekedar untuk memikirkan bahwa Satria akan tiada di tangan kakaknya. Dia sudah pernah kehilangan pria itu delapan tahun lalu, dia tidak ingin kehilangannya lagi untuk ke dua kalinya. Jika hari ini dia tidak mendengarkan Raka, mungkin dia tidak akan selamat, tapi jika mendengarkannya, Galuh yakin, dia pasti akan menyesal seumur hidup.
Mungkin cinta sepihaknya tidak akan pernah berakhir. Dulu Satria hanya menganggapnya seorang adik, meski berkali-kali Galuh mengatakan bahwa dirinya mencintai pria itu. Sekarang bahkan, dia menganggapnya sebagai musuh. Meski begitu, perasaannya tidak pernah berubah. Hatinya masih milik Satria.
"Satu-satunya cara agar kakak tidak bisa menghabisimu, adalah dengan mencegahmu datang kemari." Galuh sudah bertekad, apa pun yang terjadi pada dirinya nanti, Satria harus hidup.
Galuh memasuki ruangan di mana Jayu disekap. Dua orang penjaga yang mengawasi Jayu segera merapatkan diri ketika Galuh berusaha mendekati tawanan mereka.
"Bos Raka melarang siapa pun mendekatinya," ucap salah satu anak buah Raka.
"Aku adiknya, kalian tahu itu."
"Tapi kamu tetap tidak boleh mendekat."
"Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi."
Galuh bergegas meninggalkan ruangan itu, tapi baru beberapa langkah, dia kembali memutar tubuh, dan melesatkan timah panas pada dua penjaga itu. Mereka terkapar di lantai. Brgitu keduanya tumbang, Galuh segera membebaskan Jayu.
"Hei, bangun. Kamu harus segera pergi dari sini." Galuh menepuk-nepuk pipi Jayu yang masih belum sepenuhnya sadar. Dia menyerahkan satu pistolnya, dan membuat Jayu menggenggam senjata itu.
"Selamatkan dirimu, dan begitu keluar dari sini, kamu harus segera menghubungi Satria agar dia tidak datang kemari."
Belum sempat Jayu melangkah pergi, teriakan Satria terdengar gaduh di luar. Dia terus memanggil nama Raka dengan suara lantang. Jayu terperangah, baru kali ini dia mendengar suara Satria segarang itu.
"Satria?"
"Sudah terlambat. Sepertinya dia sudah sampai di sini." Galuh menundukkan kepala, menyesal atas kelambanan otaknya. Andai dirinya membebaskan Jayu sejak tadi, Satria tidak perlu datang hanya untuk menyerahkan nyawanya seperti sekarang.
"Aku tidak mengenalmu. Aku juga tidak tahu, apa bahkan kamu tahu bagaimana cara menggunakan senjata api, tapi aku mohon, apa pun yang terjadi, jangan biarkan Satria terluka," pintanya pada Jayu kemudian.
Jayu melihat senjata di tangannya sendiri. Baru kali ini dia menyetuh senjata api sungguhan. Sebelumnya dia hanya pernah memegang pistol mainan saat berperan di dalam layar.
"Raka! Keluar kamu! Hadapi aku sekarang!" teriak Satria di depan pintu masuk ruangan Raka. Sepertinya dia bukan baru datang, seluruh anak buah Raka yang berjaga di lorong penyimpanan sudah tak ada yang bernyawa. Wajahnya penuh luka lebab, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Super hero kita sudah datang rupanya."
Raka keluar bersama anak buahnya sambil bertepuk tangan.
"Di mana Jayu? Kalau kamu berani menyakitinya, aku tidak akan mengampunimu!"
"Apa kabarmu? Kenapa kamu baru mengunjungi kakakmu setelah bertahun-tahun, apa kamu tidak merindukan tempat ini?" cibir Raka sambil memerkan senyum sinis.
"Tenanglah, dia akan baik-baik saja. Aku tidak akan menyentuhnya sampai kamu menyerahkan nyawamu sebagai gantinya."
"Sayangnya kamu tidak akan mendapatkan apa pun," jawab Satria sambil melangkah lebih dekat dengan Raka. Tidak ada sedikit pun ketakutan tergambar di wajah pria itu.
Enam orang di belakang Raka sudah siap menyerangnya, tapi Raka menghentikan.
"Biarkan aku yang menyelesaikan semua ini."
"Berhenti!" teriak Jayu yang keluar dari ruang sekap sambil menodongkan pistol di kepala Galuh.
"Kalau kamu tidak meletakan senjata, aku akan menembak gadis ini," lanjutnya dengan suara lantang.
"Boskuuuh?" Satria tidak percaya melihat apa yang dilakukan Jayu. Bagaimana bisa dia memiliki keberanian untuk menyakiti seseorang? Dan lagi, Galuh bukan gadis yang lemah seperti dulu, kenapa dia terlihat tidak berdaya dalam tekanan Jayu?
"Kak, selamatkan aku," rengek Galuh dengan wajah ketakutan.
Raka hanya terenyum miring. Dia tahu persis seperti apa adiknya, dan bagaimana gadis itu sudah menjadi bodoh karena perasaannya pada Satria.
"Dasar, Bodoh! Kamu pikir aku akan tertipu dengan dramamu?" Raka mendekat ke arah Jayu dan Galuh. "Kamu membuatku hampir tidak percaya bahwa dirimu adalah adikku." Raka terlihat mengangkat pistol di tangannya. "Sekarang, lihatlah akibat dari perbuatanmu ini. Tadinya aku ingin bermain-main dengan pujaan hatimu itu, tapi kamu membuat kesabaranku semakin tipis," lanjutnya sambil membalik tubuh dan menodongkan senjata ke arah Satria
"Satria!" Galuh melepaskan diri dari Jayu, dan segera berlari menghalangi peluru yang melesat ke arah Satria. Timah panas yang dilepaskan Raka, menembus kulit lengen gadis itu.
"Galuh!" teriak Satria ketika melihat gadis itu mengorbankan dirinya. Galuh tersenyum ke arah Satria, seiring peluru ke dua yang dilesatkan Raka dan bersarang di punggungnya. Darah muncrat dari mulut Galuh, tapi dia terus berusaha tersenyum untuk pria yang dicintainya.
"Aku sudah memperingatkamu utuk tidak menghalangiku," ucap Raka seolah tanpa penyesalan meski dia tahu, perbuatannya mungkin akan membuat nyawa Galuh melayang.
Melihat tubuh Galuh yang mulai limbung dan perlahan ambruk, Satria berusaha meraihnya. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia mengambil pistol di pinggang gadis itu dan menembakkannya ke arah Raka dengan membabi buta. Bukan hanya Raka yang menjadi sasarannya, tapi seluruh anak buahnya juga tumbang tanpa bisa melawan. Satria memang penembak yang sangat handal, itu sebabmya ayah Raka selalu membanggakannya semasa hidup. Dia selalu membanding-bandingkan Raka dengan Satria, yang membuat Raka mulai menumpuk kebencian di dalam hatinya untuk Satria.
Raka ambruk seketika saat peluru yang diarahkan padanya mengenai bagian dada sebelah kiri. Pria itu tak kuasa memegang kendali atas senjatanya, pistol di tangannya terpelanting ke lantai. Saat tubuhnya sudah benar-benar terjatuh, dia masih berusaha untuk meraih senjata dan ingin menghabisi Satria. Saat tangannya hampir berhasil meraih pistol, Jayu menginjaknya dan mengambil senjata itu, lalu menodongkannya ke kepala Raka.
"Sebenarnya aku tidak pernah berniat untuk terlibat dalam urusan kalian, tapi aku masih butuh dia untuk menjelaskan semua ini. Jadi aku tidak bisa membiarkanmu membunuhnya begitu saja." Jayu mendekati Raka sambil menodongkan pistol. Dia mengambil ponsel di sayku Raka, lalu menghubungi polisi. Ponselnya sendiri entah di mana. Padahal terakhir dia menggunakan benda canggih itu untuk mendengarkan musik sambil lari, tapi sekarang bahkan earphone putih kesayangannya juga entah di mana.
Galuh tak berdaya di pangkuan Satria. Darah mengalir dari lengan, dan tangan Satria yang menyangga tubuhnya juga berlumuran darah yang mengalir dari punggung gadis itu. Dia masih sanggup tersenyum di sela rasa sakit yang terus menggerogoti kesadarannya.
"Aku menyelamatkanmu," ucap gadis itu, lebih terdengar seperti gumaman. Tangannya berusaha membelai wajah Satria yang masih mempertahankan ekspresi tak tersentuh. Pria itu masih saja bersikap dingin meski Galuh baru saja mengorbankan hidupnya untuk kehidupan Satria.
Satria tidak membuka suara, membuat Jayu yang memperhatikan mereka berdecih kesal.
"Bagaimana bisa dia bersikap sedingin itu pada seorang wanita? Rupanya dia sudah menipuku selama ini."
"Sat, dulu kamu selalu mengejekku sebagai gadis manja. Sekarang gadis manja ini bahkan bisa menggunakan dua pistol sekaligus. Sejak kepergianmu, aku selalu belajar untuk melindungi diri karena pelindungku sudah tiada. Walau begitu, aku selalu yakin kalau kita akan bertemu lagi." Galuh batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya, tapi Satria masih terlihat dingin meski tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir yang mulai memyerang sebagian hatinya.
"Kamu juga selalu membenciku karena mengatakan sesuatu dengan bahasa yang tidak bisa kamu mengerti. Kamu mengatakan kalau aku ini gadis bodoh yang hanya bisa berhayal sambil menonton drama. Kamu benar," napas Galuh pendek-pendek, dia berbicara dengan terbata, tapi masih mempertahankan senyum di wajahnya. "Kamu benar, aku hanya bisa berhayal, kalau rasa cinta sakitku padamu akan terbalas suatu saat nanti. Aku berhayal, kisah cintaku akan berakhir seindah drama korea yang kutonton. Dan sekarang, sekali lagi, aku ingin mengatakan sesuatu yang kamu benci." Galuh menggerak-gerakkan jarinya di wajah Satria yang masih menopang tubuhnya.
"Geu-rae nan neo ha-na-man sa-rang-ha-ni-gga," ucapnya dengan sedikit napas yang masih tersisa. Gadis itu masih sempat tersenyum sebelum tangannya benar-benar jatuh terkulai saat selesai mengatakan kalimat terakihrnya. Kalimat menyebalkan yang selalu dibenci Satria sejak Galuh masih gadis manja yang belum bisa memegang pistol. Kalimat menjengkelkan, yang akan terus menjadi misteri, karena dia tidak akan pernah mendengar penjelasan tentang apa makna dari kalimat itu. Galuh mengembuskan napas terakhirnya, di pangkuan orang yang sangat dia cintai.
"Maafkan aku, karena sampai saat ini pun, aku masih belum bisa membalas perasaanmu."
***
Venus terlihat sangat khawatir, dia berjalan mondar-mandir di ruang tengah sambil terus berusaha menghubungi Tisna. Gadis yang sedang dimabuk asmara itu, sudah memutuskan hal besar yang mungkin tidak pernah dia sadari, akibat seperti apa yang akan terjadi atas pilihannya itu.
"Tisna, aku mohon angkat teleponnya," gumam Venus sambil melihat layar ponsel. Berdering, tapi tidak diangkat. Entah sudah ke berapa puluh kalinya dia berusaha menghubungi nomor Tisna.
"Aku tidak bisa hanya menunggu begini. Aku harus memastikan kalau dirinya baik-baik saja."
Venus mengambil tas dan bersiap untuk pergi ke rumah Arjuna. Mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sana. Dia berusaha menghubungi nomor Jayu, tapi tidak tersambung. Kecemasannya bertambah berkali-kali lipat, saat dia juga tidak bisa menghubungi Satria.
"Ya, Allah, apa yang sedang terjadi sebenarnya. Kenapa mereka semua membuatku khawatir?"
***
Tisna duduk bersimpuh di lantai dengan air mata yang terus membanjiri wajah. Di dekatnya ada sebuah peti dengan jasad Clarissa yang diawetkan. Arjuna berdiri di hadapannya, pandangan pria itu tertuju pada jasad wanita yang selama hidupnya dia panggil mama.
"Juna, kenapa kamu melakukan semua ini padaku?" isak Tisna dengan tubuh yang terasa gemetar.
"Karena aku mencintaimu. Aku ingin cinta kita benar-benar abadi, bukan hanya sesuatu seperti bunga yang akan mekar, kemudian layu, setelah itu gugur."
***
Hallo, hai, semuamyaaaah. Satria is comming. Kali ini bareng ama Galuh dengan cinta sepihaknya yang belum juga terbalas, bahkan sampai gadis itu mengembuskan napas terakhir.
Heuheuuu, nulis bagian ini ngingetin aku ama Asrul yang mati tertembak buat ngelindungin Jea. Syeddih akutuuu.
Bagian Tisna ama Venus, ini cuma sekilas tentang gambaran apa yang akan terjadi di bagian selanjutnya. Kayak iklan di drama koreya yang muncul bareng ama tulisan merambat di layar, yess. Wkwk
Don't forget to votte, comment, and share this story, yess.
Jeongmal gamsahamnida, chingudeul readers yang tercintaaaah.
Best Regards,
Yang lagi kesengsem ama Do Kyung Soo
MandisParawansa
Dapat rekom cerita ini dari teman, dari awal udah bikin baper. Author suka banget ngelelehin hati adek hihihi. Tapi pusing juga kalau baca dari hp. Semoga kedepannya bisa baca versi cetaknya ya.
Comment on chapter PROLOG