Bab 43
Akhir Pertemuan
(Kau keping terindah dalam puzel hidupku.)
🔹🔹⏳🔹🔹
Seakan semua yang ada di hadapan mata tak ubahnya setumpuk debu yang akan hilang sekali tiupan. Segala apa yang berdiri kokoh nyaris tak mampu menahan berat tubuhnya. Bagunan menjulang rata tanah. Pemandangan elok mendadak lenyap, seperti bola panas baru saja jatuh dari langit --menerjang lantas membabat habis. Langit-langit sisi lain mengguratkan cahaya kelam yang menyakitkan mata. Sebagian lainnya tetap benderang --seperti memberi nyawa baru bagi pasang mata yang tak sengaja bertemu pandang. Ya, Sang Khalik tengah menguji kadar keimanan bagi seluruh napas di muka bumi.
Kesadaran saya tersirap untuk beberapa saat. Betapa hati nyeri ditunggangi rasa sedih. Seliweran tangis ... tangis ... tangis, lalu bercampur baur bersama jerit ... jerit ... jerit. Melejitkan ketakutan di tengah carut marut kota.
Ya, Allah ... jika Allah berkehendak, semua binasa dalam sekali sapuan. Segala sesuatu yang sebelumnya menjadi sahabat, berubah layaknya petaka yang merenggut banyak nyawa.
"Embun, jangan melamun." Samantha mengalihkan pandangan saya dari runtuhan bangunan yang ada di sekeliling. Dia menepuk bahu saya pelan.
"Mau makan dulu, saya ambilkan roti yang kita beli tadi, ya?" tanyanya.
Saya menggeleng pasti. Perut seperti pekah akan kondisi. Tak mendemo seperti biasa jika saya terlambat memberinya sarapan. Haus pun tidak, apalagi lapar. Padahal matahari mulai bergeser naik, dan teriknya lumayan menyerap energi. Semangat hidup saya agaknya tertelan ke dasar kekalutan. Tujuan saya hanyalah menemukan Azan, tak terpikir lain sebagainya. Kami hanya bisa sampai di posko ketiga, jika ingin ke dua posko yang lain, mesti menunggu sampai jalan berhasil dibuka. Menuju kemari pun butuh perjuangan. Kami harus terjebak macet berjam-jam.
Di sini saya tak menemukan nama Azan dalam daftar nama para korban. Samantha pun tak menemukan rekannya di antara tubuh-tubuh lemas dan sedih yang kini mendiami tenda pengungsian.
"Mau coba cari lagi, Embun?" ajak Samantha.
"Menunggu Pak Hadi saja, ya?"
Pak Hadi tengah bertemu saudaranya yang secara kebetulan bertugas di pos ini. Dia mencari tahu daftar korban dari pos lain, atau pun rumah sakit yang menampung para korban.
Saya mendesah, kembali mengembarakan pandangan ke sekitar. Tanah lapang dengan banyak tenda. Berlatar puing bagunan dan sampah yang terbawa sampai daratan. Sebagian dari mereka yang masih bertenaga, membersihkan sampah. Menumpuknya menjadi gunungan tak terlalu tinggi. Dan, sebagian --yang didominasi wanita serta anak-anak, memilih beristirahat. Apa yang menjadi pemikiran di balik rambut itu, baru saja lepas dari bencana, baru saja Allah memberi hidup baru pada mereka.
"Embun!"
Saya tersentak. Biji mata langsung menyasar sosok pak Hadi yang berlari bersimba air mata. Di tangannya tergenggam secarik kertas. Tangan yang bergetar. Lajur kakinya seperti dipaksa untuk bergerak. Mendapati itu, tubuh saya menegang seketika. Saya bersiap menerima kabar yang bisa saja mencabik harapan saya.
Samantha berdiri dari duduknya, tapi saya tidak. Tubuh mendadak terpatri di kursi kayu ini. Terlalu lemas untuk menyangga berat badan sendiri.
"Pak, ada kabar apa?" Samantha buru-buru bertanya.
"Ya, Allah ... saya menemukan teman-teman. Kita harus pergi ke-RSUS Setia Budi." Suaranya terhambat tangis.
"Ayo, Pak ke sana, tunggu apa lagi?" ajak Samantha. Kakinya sudah berancang-ancang akan pergi.
Pak Hadi mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. Namun, tiba-tiba isakannya semakin terdengar dalam.
"Kabari, keluarga Sinar dan Bayu, ya, Tha. Suruh banyak-banyak ikhlas dan pasrah."
Samantha terdiam sejenak, mencerna berita dari Pak Hadi tersebut. Sebelum kemudian memekik, lalu menangis sejadinya. Dua nama itu pastilah Samantha kenali.
"Suruh siapin penyambutan juga, in sha Allah saya usahakan hari ini juga dibawa pulang."
Samatha yang berdiri di samping saya, terduduk lemas. Di sela tangisannya tasbih Allah terdengungkan.
"Mas Azan?" Saya hanya mampu menyebutkan namanya.
Pak Hadi mencari manik mata saya, mempertemukan dengan manik matanya yang mengerti segala kondisi tanpa harus diutarakan dengan kata.
Ah, bukankah apa pun yang terlihat oleh mata perlu terkonfirmasi. Sejatinya selain sebagai gerbang kejujuran, mata juga ratu yang pintar bertipu daya.
"Mas Azan ditemukan?"
"Jodoh, maut, rezeki hanya Allah yang tahu, Embun. Ikhlas, Embun harus mengikhlaskan Azan, ya. Setelah memastikan jenazanya, kita bawa pulang sama-sama."
"Azan!" Samantha berteriak.
Setiap bagian tubuh saya terpotong, tersisa mata yang menatap kosong. Jalinan syaraf yang menghubungkan setiap bagian dalam organ saya, satu persatu mati fungsi. Mendadak saya dihantam beban berjuta ton. Saya lenyap dengan bayang hitam menutup pandangan. Azan, bisakah saya ikut bersamamu saja?
***
Suara ombak, gulung menggulung. Tiupan angin, lalu hangatnya pasir pantai yang sejak tadi terbakar perkasa hari. Saya menikmati semua ini. Apalagi senja di sorot mata saya. Dia merangkak dari kasur empuknya. Bersemu perona pipi semerah darah. Cantik, ketika bertemu birunya selimut langit dan bulu domba keperakan.
"Maaf, lama."
Suara yang membuat saya rela melepas segala keindahan di bibir pantai, lantas menyambutnya dengan senandung cinta.
"Nggak apa-apa, Mas ... mana, keburu leleh ice creamnya?" Saya mengulurkan tangan kanan.
Dua tangannya menggenggam ice cream berbeda. Bukan memberikan ice cream milik saya, dia malah menjilatnya.
"Mas, kan sudah beli masing-masing," protes saya.
"Minta sedikit. Saya, kan nggak suka cokelat ... tapi, kalau makan yang vanilla terus lama-lama enek."
"Punyaku jadi berkurang."
Saya langsung memunggunginya. Kesal.
"Aduh, tukang ngambek." Dia duduk di samping saya, lalu menyodorkan ice cream cokelat pada saya.
"Nanti kalau kurang saya belikan lagi. Ini aja belum tentu habis."
Saya menyambar ice cream cokelat dari tangannya.
"Mas, ada hadiah buat kamu."
"Mana?" tanggap saya semangat.
"Sebentar." Azan berdiri lagi, lalu mengeluarkan benda kecil dari dalam sakunya.
"Wah, keong," pekik saya.
Azan menyodorkannya pada saya. Saya meminta dia mengambil alih sementara ice cream saya. Sementara!
"Namanya kelomang, Embun. Tadi nemu pas mau beli ice cream."
"Dulu saya suka beli beginian waktu SD, kalau dikasih napas keongnya bakal bangun." Saya lantas membuka mulut dan memberi uap pada tempat dimana hewan itu akan muncul. Beberapa kali, tapi hewan yang mendiami cangkang itu tak juga keluar.
Tiba-tiba Azan tertawa. Saya langsung melemparkan tatapan menuduh padanya.
"Itu sudah nggak ada hewannya, tinggal cangkang, doang."
Muka saya memerah. Malu campur kesal.
"Kok, nggak dikasih tahu, sih!"
"Sengaja, biar bisa ngetawain, Embun."
Saya mencebik, berpura-pura hendak menangis.
"Pulang aja, deh."
"Eh, jangan. Sebentar lagi mataharinya tenggelam. Sekalian salat di masjid deket sini, baru ke hotel. Saya sudah beli baju ganti, tadi. Kapan lagi, bisa begini. Belum tentu, kan, besok-besok bisa berduaan romantis bareng Embun seperti ini."
Saya terkesiap. Azan baru saja menggoda saya?
"Lihat, deh, Mas Azan?"
Tanpa sengaja saya menangkap sesuatu yang menarik perhatian. Keluarga kecil bahagia. Sang ayah menggendong putranya di bahu, dan sang ibu mengikuti mereka. Bermain di tepi pantai.
"Mas Azan pengin punya anak berapa?" celetuk saya.
"Kalau saya nggak punya anak gimana?" timpalnya cepat.
Saya menatapnya heran. Dia menghadiahi keheranan saya dengan gugusan giginya.
"Saya pergi!" timpal saya sekenanya.
"Kalau setelah, Embun pergi saya mati, gimana?"
Serta merta saya memukulinya beberapa kali.
"Ih, ngomong apaan, sih? Ucapan itu doa, loh, Mas!"
Mulut saya berdumal. Tangan kanan saya terus memukul sekenanya.
"Aduh, Ya Allah, sakit, sayang ... cuma bercanda. Iya ampun."
***
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter PRAKATAKUTU