Refleks, mataku terbuka saat suara tawa meledak-ledak diselingi gurauan terdengar dari luar rumah. Menggeliatkan tubuh pelan, aku sedikit terkejut saat menyadari terlelap dalam dekapan Ibu, yang bersandar di dinding dengan mata terpejam dan mulut menganga, memangpangkan gigi kecil-kecil yang rapi.
Pelan, kupindah tangan Beliau ke sisi lain, lalu mengambil bantal untuk menyandarkan tubuh agar tidurnya lebih nyaman.
“Jangan sangka buruk, tak boleh!”
Aku hafal betul, itu suara Yanto. Teman Mas Candra yang sempat iseng memberi kerlingan usai perkenalan beberapa minggu lalu.
“Wajar dia curiga, Broo, istrinya sudah tak perawan! Tak perawan!” timpal Arman. Lelaki bertubuh tinggi yang saat berkenalan denganku lebih banyak diam.
“Hahahaha!” Arman dan Rudi tertawa.
Dengan perasaan berkecamuk kuselimuti Ibu yang mendengkur halus lalu menyaruk kaki menuju kamar mandi, tanpa membuang waktu langsung mengguyur tubuh sambil menangis. Suara teman-teman Mas Candra kembali memecah sunyi.
“Kalian ini, jangan terus mengipas-ngipasi! Perawan janda tak ada bedanya.”
“Hahahahaha!”
“Tak perawan tak masalah kan, ya, Can, kan, shalihah. Hahahaha!” kekeh Rudi. Saat perkenalan, ia lebih banyak diam. Mengapa sekarang tabiatnya berubah? Aku menggeleng pedih.
“Hahahaha.” Arman dan Rudi lagi-lagi tertawa kompak.
“Hahahahaha!”
“Kalian bisa diam, gak?”
Hanya mendengar suaranya, aku langsung tahu Mas Candra sangat kecewa. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskan pelan. Andai waktu bisa diputar mundur ... ah, sepertinya walau diputar mundur, tekad ini tetap tidak goyah. Bukankah aib tak boleh diumbar?
Hatiku berdenyut sakit. Sengalan-sengalan kecil yang membuat bahu kanan-kiri terus bergerak sungguh membuat dada tak nyaman, seolah ditindih benda berat. Mas Candra tidak bersalah. Mungkin, memang sepatutnya sebelum menikah, tidak ada yang ditutup-tutupi kepada calon pendamping hidup. Apa pun yang terjadi di masa lalu, sebaiknya diungkapkan.
Tapi, bagaimana jika calon pasangan kecewa lalu memilih mundur? Bukankah salah satu pihak dirugikan? Lalu, bagaimana dengan makna yang terkandung dalam surat Al Hujarat tentang keharusan menyimpan aib serapat mungkin?
Aku menarik napas, panjang. Beberapa hari sebelum menikah, sebenarnya terbesit keinginan berterus-terang. Namun, setiap hendak mengatakan, peristiwa menyesakkan itu langsung terpampang jelas di pelupuk mata, membuat prasaan sakit, pedih, menyesal, benci, juga hasrat ingin membunuh berdesakkan menjadi satu di dada, terasa penuh berdenyut-denyut seakan hendak meledak.
Aku sama sekali tak punya firasat buruk saat Zain yang biasanya bersikap menyebalkan, hari itu meminta maaf dan memohon agar berkenan melantunkan doa untuk sang adik yang sedang ulang tahun.
Aku menyanggupi, lalu tanpa secuil pun prasangka mendatangi rumahnya yang telah ramai oleh suara tepuk tangan dan nyanyian riang anak-anak kecil. Sementara ibunya yang rabun dan mulai pikun, hanya duduk diam di samping sang putri yang nampak sangat bahagia. Usai acara, aku yang sudah berniat pulang malah luluh oleh rengekan Nana agar tinggal lebih lama. Akhirnya, kami bercakap-cakap di teras sementara ibunya memilih tidur.
Sebelum kejadian itu, pandanganku tentang Zain tak begitu buruk walau sebagian tetangga sering mendesiskan hal-hal jelek. Lelaki yang tinggal beberapa rumah dari pesantren Bapak itu, amat menyayangi keluarga, pengganti sosok ayah yang telah meninggal. Namun, kejadian sekejap langsung mengubah segalanya—Zain nyaris menusuk orang karena berebut wilayah kekuasaan. Sejak itu, umpatan-umpatan pedas selalu mengiringi langkah lelaki tegap berwajah manis itu. Tak jarang, orang-orang selalu bergidik ngeri bila berhadapan dengan Zain. Tak terkecuali aku.
Rasa takutku pada Zain kian menjadi saat tiba-tiba ia menghadangku sepulang dari sekolah, tanpa basa-basi mencium lalu meminta dijadikan pacar. Gila! Tak bermoral! Bagaimana bisa ia melecehkan perempuan berhijab? Yang rambutnya tertutup rapat dan lekuk tubuh tak kentara. Tanpa pikir panjang, aku menamparnya. Zain tak putusasa. Saban hari, ia menunggu di tengah jalan sampai akhirnya terjadi peristiwa itu. Tahu-tahu, aku terbangun di sisi lelaki yang sebelumnya nampak tulus mengucap maaf dengan kepala pening dan mata sangat mengantuk.
Pelan, aku mengusap wajah. Usaha yang sia-sia karena dalam sekejap, air yang terus meleleh dari mata langsung membaur dengan air yang terus mengucur, membuat lenyap tak berbekas, kemudian kembali timbul. Sementara isakan-isakan yang mulanya pelan, kini semakin kencang. Air dingin yang sedari tadi jatuh memerciki tubuh, sama sekali tak memberi rasa nyaman. Perasaan ini tetap sama; sedih, marah, merasa hina, menyesal.
Mengapa ini terjadi padaku, Tuhan ...? Aku meratap. Tersengal. Bahu berguncang hebat. Terus menangis tak peduli terkadang air yang terus mengucur tertelan lalu membuat tersedak-sedak, membekas rasa panas dan sakit di tenggorokan. Membuat kepala pening berputar seakan hendak terserang flu.
Kumatikan shower lalu menarik jubah mandi.
“Hahahahaha!”
“Jangan dengerin setan-setan ini, Can! Kalian, berhenti mengipas-ngipasi!”
“Candra yang menyesal, bukannya gadis sok suci berjilbab panjang itu! Sok suci, tapi tak perawan!”
Tak sangka, Rudi bicara seperti itu. Padahal, ia pernah memujiku gadis santun. Begitu hinakah perempuan tak perawan di matanya?
“Hahahaha!” Rudi dan Arman terbahak.
“Diam, kalian!”
Mendengar suara Mas Candra, air mata kembali turun. Tanganku perlahan mengusap perut, yang dulu pernah dirawat sangat hati-hati agar tak menyesal. Bapak yang berpengalaman, selalu mewanti-wanti agar jangan menggaruk perut, biar tetap mulus, katanya.
Jadi, walau rasa gatal kian menyiksa seiring bertumbuhnya janin, tetap kutahan tidak terbuai. Namun, jika sudah sangat tak tahan menghadapi gatal, maka menyisirinya agak keras, terkadang memberi asam jawa yang dicampur beras, kencur, lalu ditumbuk kasar. Ketelatenan pun menuai hasil, perut ini tetap putih mulus. Hanya ada segaris stretch mark tak jelas.
***
Ternyata, baru jam dua. Aku menyegerakan menjalankan shalat tahajut lalu membaca Alquran, mencoba mengusir berbagai kecamuk dengan mendalami makna yang terkandung. Namun, pada akhirnya terbawa suasana dan membaca sambil terisak.
“Hahahahaha!”
“Hahahahaha!”
“Lagi! Lagi! Sekali lagi! Cepat!”
Itu suara Mas Candra. Aku memejamkan mata.
“Ar-rahmaan. Allamal-kur’aan.” Aku mulai membaca.
Di ranjang, Ibu menggeliat, memicingkan mata, membenarkan kondenya, lalu kembali terpejam. Aku terus membaca. Membaca sambil menangis.
“Khalaqal-insaan.”
Braak!!
“Astaghfirullah hal adziiiiim!” pekik Ibu sambil serta-merta duduk. Beliau menarik hembuskan napas dengan mata terpejam, serta tangan bergerak turun-naik mengusap dada.
Aku menoleh ke belakang. Di ambang pintu, Mas Candra menatap dengan mata merah dan wajah pucat, nampak kurang tidur. Aku mendekatinya dengan langkah ragu.
“Maaas,” panggilku, berusaha bersikap tenang saat tatapan Mas Candra yang dingin menusuk tepat di ulu hati. Aroma yang pernah tercium dari mulut Si Preman pasar, kini menguar kuat dari mulut Mas Candra. Aku hafal betul, ini ... bau alkbaul.
Kece ceritanya berasa kenal sama kotanya
Comment on chapter Cowok Pelempar Bola