Read More >>"> RARANDREW (Sahabat dan Luka) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RARANDREW
MENU
About Us  

Bunyi “Kring ...”, suara telepon membahana ke seluruh ruang tengah rumah berlantai dua milik orangtua Andrew. Wanita setengah abad dengan kebaya dan kain batik yang melekat di tubuhnya jalan tergopoh-gopoh menghampiri suara telepon yang berbunyi.

“Haloo, selamat pagi. Rumah keluarga Danu di sini”, sapa wanita berkebaya tadi ramah.

“Pak Danunya ada?”, jawab orang yang menelepon tadi.

“Punten ini dari siapa?”

“Saya Chandra mau berbicara dengannya sekarang”.

“Sebentar saya panggilkan”, wanita berkebaya tadi meletakkan gagang telepon di atas meja dan berlari ke arah teras belakang rumah.

Pak Danu sedang mengelap stik golfnya. Pak Danu dengan nama lengkap Danuarta adalah Papa dari Andrew Muhammad Nicosaputra. Seorang pengusaha Tekstil terkemuka di Jogjakarta. Rumahnya di jalan Bougenville merupakan rumahnya yang ketiga, yang kini ditempati Andrew yang sedang berkuliah di Universitas Pakuan Bogor.

Danu memiliki hobby bermain golf. Partner golfnya ya Chandra, yakni Papanya Monika. Dua sahabat ini sudah lama merencanakan untuk menjodohkan anak-anak mereka. Dengan menjadi sahabat kelak mereka pun akan menjadi besan. Sayang Andrew tidak berminat menjadi bagian dari keluarga sahabat Papanya yang kaya raya itu.

“Punten Bapak, ada telepon dari Bapak Chandra”, wanita berkebaya memberitahu.

“Baik, terimkasih”.

Wanita berkebaya kemudian berlalu.

Andrew muncul di tangga dan bertanya kepada wanita berkebaya. “Telepon dari siapa?”.

“Itu Den, dari Pak Chandra, mau bicara dengan Bapak!”, wanita berkebaya itu menjelaskan.

 Danu menerima teleponnya. “Halo Chandra apa kabar, tumben sekali pagi-pagi begini telepon. Ada apa?”, Papanya Andrew menjawab.

“Danu, Monika mengalami kecelakaan tadi malam, sekarang ada di Rumah Sakit”.

Telepon dimatikan dan Papanya Andrew meletakkan gagang telepon itu ke tempat semula dengan shok. Merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Ada apa Pa?”, Andrew mendekati Papanya dan bertanya.

“Monika kecelakaan tadi malam, sekarang ada di Rumah Sakit. Kita harus kesana sekarang”.

Andrew ternganga, Papanya sudah memanggil Sopir dan Mamanya untuk segera naik ke dalam mobil, lalu mobil itu meluncur ke rumah sakit.

**

Rumah Sakit, ruangan ICU

Monika terbaring di antara tubuh-tubuh orang lain yang ikut terbaring di dalam ruangan itu. Seorang wanita berusia empat puluhan menangis di sisi tempat tidur Monika.

“Jeng, saya turut prihatin apa yang terjadi sama Monika. Monika sudah saya anggap anak saya sendiri. Yang sabar ya Jeng”, Mama Andrew mendekati Mama Monika sambil mengelus-elus pundaknya.

Mama Monika mengangguk dan menangis. “Terimakasih yang Jeng”.

“Bagaimana keadaan Monika sekarang?”, tanya Mama Andrew lagi.

“Dia masih belum sadar”.

“Ada yang parah dari luka-lukanya?”, tanya Mama Andrew lagi.

“Kata Dokter, Monika mengalami trauma hebat dan untunglah luka di kepala dan lengannya tidak ada yang serius”, jelas Mama Monika.

Andrew melihat keadaan Monika dari balik kaca. Dia merasa kecelakaan yang dialami Monika adalah salahnya. Andrew menolak Monika, itu yang terjadi. Lalu andrew mengeluarkan ponselnya dan menelepon Rara.

“Halo Rara, sekarang saya ada di  Rumah Sakit. Monika kecelakaan”, Andrew berbicara dengan bingung.

“Astagfurullahalaziim ... bagaimana kejadiannya? Kenapa bisa sampai begitu”, Rara cemas.

“Saya juga tidak tahu”

“Kalau begitu aku ke Rumah Sakit sekarang ya?”

“Saya tunggu”

Klik. Telepon dimatikan.

Andrew menunggu dengan cemas.

Aku menaiki bus, setengah jam kemudian aku tiba di Rumah Sakit. Langsung minta berhenti di depan gedung rumah sakit. Kakiku menginjakan rumah sakit ini lagi. Memoriku langsung teringat akan malam itu. Yuli. Seketika dadaku berdegup kencang. Aku meraba dadaku. “Tenang Rara”, kataku berbisik pada diri sendiri sambil mengelus dadaku yang deg-degan.

Lorong ini, aku duduk di sini. Aku menangisi kepergian sahabatku, Yuli. Dinding ini, aku bersandar di sini. Menatap jenazah sahabatku di dorong berbalut kain putih, kain kafan.

Aku berjalan lebih cepat. Aku tidak mau berada di lorong ini lama-lama, karena kesedihan itu muncul kembali.

Andrew berdiri terpaku menantiku. Wajahnya menyiratkan kasihan, kebingungan dan kemarahan, atas yang dialami Monika.

“Andrew, Monika di mana?”, aku bertanya.

“Di dalam dengan orangtuanya dan orangtuaku”.

“Bagaimana keadaanya?”.

Andrew geleng-geleng. “Sejak tiba di sini, saya belum melihatnya”.

“Kamu bagaimana sih! Bukannya di tengokin ke dalam”, aku bergegas melangkah masuk.

Tangan Andrew menahan lenganku agar tidak beranjak kemana-mana. “Di sini saja”, pinta Andrew. Mata Andrew menatapku.

Aku hanya bisa menuruti kata-katanya untuk menemani di sisinya.

Orangtua Monika dan orangtua Andrew keluar ruangan lalu memindahkan Monika ke privat room. Air mata masih terlihat di wajah Mamanya Monika didampingi suami tercinta yaitu Papanya Monika.

Kami menunggu di luar kamar rawat. Kedua orangtua Andrew menatapku dengan penuh tanda tanya. Aku pun bersalaman dengan mereka, memperkenalkan diri sebagai teman Andrew. Tidak banyak cakap antara aku dengan keluarga Andrew, karena inilah pertemuan yang pertama kalinya dengan mereka.

“Ini Rara?”, Mamanya Andrew bertanya padaku.

Aku pun mengangguk.

Mamanya Andrew membelai rambutku dan menyentuh pipiku.

“Rambut Rara indah ya”, kata Mamanya Andrew lagi.

“Terimakasih Tante”, jawabku singkat. Sumpah! Aku salah tingkah di hadapan orangtuanya Andrew. Aku berusaha bersikap sebaik mungkin di hadapan mereka.

Kedua orangtua Monika keluar, setelah melihat keadaan Monika terbaring di tempat tidur kamar rawat setelah dipindahkan dari ICU.

Aku mendekat, diikuti Andrew di belakangku. Perban membalut di kepala dan lengan kanan Monika. Monika terbaring dengan tenangnya di tempat tidur. Aku menyentuh tangan Monika. Ikut merasakan derita yang dialami oleh Monika.

Tangan Monika bergerak.

Aku terkejut sekaligus senang karena Monika sudah mulai sadar dari komanya. “Andrew, Monika sadar”, kataku.

Andrew pun menghampiri Monika, ikut menyentuh tangan Monika dengan lembut. “Monika, kamu sudah sadar?”.

Mata Monika membuka, sedikit demi sedikit membuka. Melihat siapa di sampingnya. Monika tersenyum pada Andrew dan aku pun ikut tersenyum berharap Monika sudah dapat melupakan apa yang terjadi antara kami semalam.

Monika menatapku dengan tajam. Senyumku tidak dibalas olehnya. Monika bangun dari tidurnya dengan susah payah. Aku berusaha membantunya untuk bangun namun secepat itupun dia mendorongku hingga aku terjatuh ke lantai.

“Monika! Apa yang kamu lakukan?”, Andrew membentak kemudian membantuku berdiri.

“Aku benci wanita ini. Aku benci! Aku benci!”, jerit Monika mengobrak-abrik meja di sisi tempat tidurnya. Kegaduhan pun terjadi. Monika melepaskan selang infus di pergelangan tangannya hingga darah dari tusukan jarum menetes ke lantai.

Aku menatapnya dengan iba. “Monika tenanglah, aku akan jelaskan masalahnya tapi coba tenang dulu ...”, aku mendekati Monika setelah berhasil berdiri dibantu Andrew.

“Jelaskan apa hah!?”, Monika turun dari tempat tidur dan mendekatiku. “Kamu mau jelaskan, kalau kamu juga mencintai Andrew dan ingin merebutnya dariku. Begitu?”, Monika sempoyongan dan jatuh ke lantai.

Melihatnya seperti itu aku menjadi teramat kasihan dan membantunya berdiri.

Monika menolak untuk aku bantu. “Kenapa sih! Aku harus kalah dengan kamu Ra!”, Monika menjerit.

Aku berusaha menghampiri dan tidak lelah mencoba untuk menenangkannya. “Monika aku tidak ...”.

“Kami saling mencintai, restui hubungan kami”, tangan Andrew menyentuh tanganku.

“Andrew!!!”, aku melepaskan tangan Andrew, yang kupikir apa yang dilakukan Andrew barusan hanya memperburuk keadaan Monika.

Monika marah melihatnya, dia berdiri dan berlari ke arah meja di sudut ruangan. Mengambil benda di antara buah-buahan di atas meja. Berusaha bunuh diri dengan menyayat pergelagan tangannya yang sudah berdarah karena lepasnya jarum dari selang infus.

“Monika ... Monika ... jangan!”, teriak Andrew.

“Andrew lakukan sesuatu untuk mencegahnya, agar dia tidak menyakiti dirinya sendiri”, aku cemas.

“Tunggu di sini, saya akan panggilkan orangtuanya”, Andrew berlari keluar dan menghilang di balik pintu.

Aku cemas melihat Monika, aku menghampiri dan mendekatinya. Mencoba meminta benda tajam itu darinya. “Monika, jangan terlalu banyak bergerak dulu nanti lukamu bisa ...”, aku ternganga melihat apa yang dia genggam saat Monika menatapku dan mengacungkan benda yang dia pegang.

Benda itu begitu runcing dan berkilat, cahayanya menerpa ruangan yang pada saat itu hanya ada aku dan Monika.

“Kembalikan Andrew padaku”, mata Monika menyorot tajam. Benda itu diarahkan padaku.

Aku melangkah mundur, menyadari apa yang akan dilakukannya padaku. Aku menjauhi benda itu yang semakin lama semakin mendekat ke leherku. Kilat pisau itu seperti ingin merampas jiwaku jauh-jauh.

“Monika jangan! Kumohon lepaskan benda itu dari tanganmu. Bahaya!”, aku berusaha mundur, karena Monika melangkah maju seakan ingin mendekapku dan tak ingin melepaskanku.

“Bahaya? Bahaya ini bukan untukku, tapi untukmu”, tawa Monika membahana. Menyeringai, menakutkan.

Aku semakin takut oleh keadaan. Posisiku terjepit hingga sadar di belakangku sudah tidak ada ruang. Aku berlindung pada dinding. Mataku mengawasi gerak Monika.

Tangan kiri Monika menerkam leherku lalu mencekiknya. Hingga aku tidak dapat bernafas. Yang aku rasakan hanya sakit dari cengkramannya. Aku berusaha melawan Monika tapi nyaliku langsung ciut saat pisau itu diacungkan ke wajahku. Aku melawan dan berusaha melepaskan cekikan tangannya. Leherku sudah sakit. Aku sulit untuk bernafas dan kuku Monika menghujam kulit leherku hingga berdarah.

“Monika lepaskan”, suaraku lirih. Dengan susah payah aku bicara.

Kakiku lemas, tak bisa menahan tubuhku lagi. Aku merasakan wajahku memanas, tubuh bagian atasku sudah tidak bernyawa lagi. Mati rasa, karena penglihatan mataku semakin redup.

“Tidak akan aku lepaskan”, senyum Monika seperti Harimau mendapatkan mangsa, begitu gembira, kesenangan terpancar dari sorot matanya yang berbinar.

Satu ayunan dalam sekejap akan mengakhiri hidupku. Aku merasakan bahu kiriku terasa perih teramat sangat, tergores pisau. Mata pisau yang sempat menghujam meninggalkan noda darah segar berwarna merah. Darah dari bahu itu mengalir ke lenganku dan menetes ke lantai. Membuat lantai putih itu bernoda warna merah dari darah segar.

Aku tak berdaya, rasa sakit langsung menjalari tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku tak kuat menopang tubuhku lagi dan jatuh terjerembab di lantai putih Rumah Sakit. Aku tidak suka tempat ini, aku tidak suka lantai ini, aku tidak suka berada di rumah sakit. Tempat ini hanya membuatku merasakan kesedihan, kesakitan. Aroma tempat ini ... aku tidak menyukainya. Tempat ini hanya menyisakan kedukaan yang dalam untukku ... untukku ... untukku. Aku sekuat tenaga tidak terpejam. Aku menunggu, menunggu ada yang datang membantuku bangun dan meninggalkan ruangan ini.

Saat itulah aku mendengar suara pintu di buka dan kegaduhan dari orang-orang yang datang. Monika dipegangi banyak orang. Pisau itu diamankan Papanya Monika.

Sekejap itu pula dunia ini begitu sunyi, tak terdengar lagi kegaduhan itu. Aku masih belum mau menutup mataku. Aku masih ingin melihat dunia. Aku belum mau mati saat ini juga. Aku menunggu Andrew yang kini kulihat berdiri di pintu dengan wajahnya yang sedih.

Andrew berlari menghampiriku, tangannya mendekap tubuhku, menguncang-guncangkannya. Andrew berkata banyak, tetapi aku tidak bisa mendengar ucapannya. Yang kutahu, Andrew menyampaikan sesuatu kepadaku.

Aku hanya bisa tersenyum dan ingin kusampaikan, bahwa aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Aku mau pulang.

Andrew memelukku dengan erat.

Kini aku bisa lega dan aku ingin memejamkan mata sejenak, karena aku terlalu lelah untuk ini. Duniapun semakin sempit, sunyi dan gelap.

**

“Jangan-jangan ... tolong, jangan bunuh aku, tolong-tolong ... jangaaaaaan!!!.”, aku terbangun.

Seperti mimpi yang mengganggu tidurku. Pemandangan yang tidak asing lagi di mataku. Ruang tidur dengan jendela yang bertiraikan bunga-bunga. Meja belajarku, tempat tidurku. Aku berada di rumah, di kamarku. Nafasku masih sesak, jantungku berdebar, keringat dingin membasahi piama.

Aku merasakan sakit dan perih menjalari tubuh bagian kiriku. Aku sentuh bahuku. Ada perban tebal melingkar di bahu dan lenganku. Aku meraba leherku, ada luka. Ini bukan mimpi, ini nyata. Aku mencoba mengingat kembali apa yang terjadi kepada diriku, ya ... aku mengingatnya.

Aku berusaha semampuku untuk bangun dan turun dari ranjang. Kulihat ada buket bunga Mawar merah, pink dan putih di atas meja belajarku. Aku menciumnya sebentar, merasakan aroma wangi yang dikeluarkan oleh mawar-mawar itu dengan alami. Aku mengambil mawar merah setangkai dari buket itu. Membuka pintu kamar. Aku mendengar suara gemericik air mengalir dari ruang dapur. Kulihat wajah Ibu yang tersenyum dan menghampiri.

“Sudah bangun anak Ibu”, Ibu membantuku duduk di ruang tengah depan Televisi.

“Maaf Bu ...”, aku menatap wajah Ibu.

Ibu mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang dan aku pun memeluknya dengan erat. Ibu memeriksa kain kasa yang membalut di bahu kiriku. Ibu mengusapnya. “Sudah kering lukanya, sebentar lagi juga sembuh”.

Terdengar suara pintu di ketuk dan salam dari seorang pria.

“Sebentar Ibu buka pintu dulu”, Ibu melangkah dan membuka pintu.

“Pagi Tante ...”, Andrew menyalami tangan Ibu. “Bagaimana keadaan Rara Tante?”.

“Masuk. Rara sudah bangun, ada di ruang tengah”

Andrew masuk dan melihatku.

Aku tersenyum padanya. “Pagi banget udah main”, kataku.

Andrew menghampiri dan duduk di sampingku. Melihatku mengenggam mawar merah. “Kelihatannya kamu udah sembuh”.

Aku memukulnya dengan mawar merah ke hidung Andrew.

“Aduuuh wanginya ...”, mata Andrew merem-merem.

Ibu tertawa melihat tingkah kami. “Andrew sudah sarapan?”.

“Sudah Tante”

“Rara belum, temani ya ...”, kata Ibu.

“Dengan senang hati Tante”

Ibu masuk ke dapur lalu kembali membawakan bubur santan dan susu vanilla untukku.

Aku mengambil susu lalu meminumnya setengah. Menaruh mangkuk bubur di pangkuanku dan memakannya. “Mau?”, tawarku.

Andrew geleng-geleng. “Lukamu?”, Andrew melirik ke bahu kiriku.

“Kata Ibu sudah kering, tapi masih terasa sakit pegel-pegel gitu”, aku meraba bahuku yang tebal oleh perban.

“Bagaimana perasaanmu, sudah jauh lebih baik?”

“Perasaanku gak kenapa-napa, yang sakit hanya lukaku tapi hatiku tidak”

“Kamu gak dendam sama Monika?”, tanya Andrew.

Aku menghela nafas panjang. “Sudah nasib aku dianiaya sama dia”, kataku sambil melucu lalu tertawa pasang muka melas-melas malas.

“Kamu itu ... di saat begini masih bisa bercanda”, Andrew ikut tersenyum. “Itulah yang membuat aku jatuh cinta padamu”, telunjuk Andrew mencolek hidungku. “Hati kamu, yang membuat aku klepek-klepek,” mata Andrew menatapku.

“Suapin”, kataku manja.

Andrew mengambil mangkuk yang ada dipangkuanku dan mulai menyuapiku. “Enak?”.

“Enak, bubur Ibu number one”, kataku mengacungkan jempol kananku.

“Makan yang banyak, biar cepet sembuh. Biar kita bisa jalan-jalan lagi”, kata Andrew sambil menyuapiku.

“Jalan-jalan sama kamu?”, tanyaku.

“Iya sama siapa lagi ...”, kata Andrew. “Jangan berjalan di depanku, karena aku tidak bisa terus mengikutimu. Jangan berjalan di belakangku, karena aku tidak bisa terus memimpinmu. Berjalanlah di sampingku, dan jadilah teman hidupku”.

“Sekarang aku, yang di buat kamu klepek-klepek”, kataku senang.

Setelah makan bubur dan menghabiskan susu di gelas. Aku beranjak pergi ke kamarku. Kutinggalkan Andrew menonton film kartoon di TV.

“Mau kemana?”, tanya Andrew.

“Mandi”.

“Saya bantu?”, tawar Andrew.

“Ya enggaklah”, tawaku.

Aku masuk kamar dan kembali dengan kaos tangtop pink dengan outher abu-abu garis vertikal pink, untuk menutupi perban di bahu. Mengenakan celana jins pendek berwarna putih. Rambut hitam panjang, kubiarkan terurai.

Terdengar suara pintu diketuk dan salam seorang wanita.

Ibu muncul dan membuka pintu, tidak lama Ibu kembali bersama teman-temanku. Merry, Ida, Ronnie, dan Nandar.

Aku langsung takjub dengan kedatangan mereka berempat.

Merry membawakan buah apel dan pear kesukaanku. Lalu memberikannya kepada Ibu.

“Ayo-ayo silahkan duduk”, kata Ibu.

“Gimana keadaan kamu Ra?”, tanya Merry.

“Kalian ceritanya jenguk aku?”, tanyaku penasaran dari mana mereka tahu kalau aku sakit? Sampai bawa buah segala.

“Ya iyalah, ngapain lagi?”, jawab Ida.

“Tahu dari mana kalau aku sakit?”, tanyaku lagi penasaran.

“Ibu yang kasih tahu teman-teman kamu sayang”, jawab Ibu menghampiri, sambil membawakan minuman untuk teman-teman yang baru datang.

“Nih ya ... untung kemarin Merry telepon ke hape kamu, yang jawab Ibu”, Ida menjelaskan.

“Makasih ya teman-teman”, kataku bahagia

Kami semua berkumpul di ruang tengah, bersama dengan Andrew juga.

Merry, Ida, Ronnie dan Nandar melihat Andrew.

“Siapa ini Ra”, tanya Ida.

“Oh ya, kenalin ini Andrew”, kataku sedikit gugup.

“Kok kita gak pernah lihat dia di kampus ya”, tanya Merry.

“Iya, saya kuliah di UNPAK”, jelas Andrew.

“Oh UNPAK, jauh ya”, ledek Merry.

Kami mengobrol di ruang tengah bersama Merry, Ida dan aku. Sedangkan yang laki-lakinya mengobrol di teras depan rumah, Ronnie, Nandar dan Andrew.

Aku terkaget saat mendengar ribut-ribut di teras. Nandar mengacungkan tinjunya ke Andrew. Ronnie ke buru memegangi Nandar agar tidak memukulnya, namun Nandar dengan wajah marahnya menghardik Andrew yang ada di hadapannya.

Aku, Merry dan Ida buru-buru keluar dan melihat apa yang terjadi.

“Kamu kalau tidak bisa menjaga Rara jauhi dia”, teriak Nandar. “Saya gak mau lihat Rara sampai terluka gara-gara kamu”, Nandar marah. Wajahnya benar-benar marah.

Aku baru melihat kemarahan Nandar yang sampai begitunya hanya gara-gara tidak ingin ada yang menyakitiku, apalagi sampai terluka begini.

“Sabar Ndar sabar!”, kata Ronnie melerai di antara dua pria ini.

“Ndar ... aku gak apa-apa”, kataku pelan kepada Nandar.

“Dan aku gak mau kamu kenapa-napa lagi”, Nandar menatapku.

“Saya janji, saya akan jaga Rara”, kata Andrew.

Aku mengangguk. “Ndar ini kecelakaan, bukan Andrew yang salah”, kataku lagi. Merry memegangi pundakku.

Sebenarnya Nandar ada rasa malu kepada Rara karena tidak bisa menahan amarahnya. “Sorry brow, emosi!”, Nandar menyalami Andrew.

“Sama-sama brow”, Andrew memeluk Nandar.

Aku senang melihat mereka bisa berbaikan. Teman-temanku adalah orang yang menyayangiku, memperhatikanku, mengasihiku. Selain orangtuaku. Mereka tidak ingin aku terluka, aku sedih, karena kami adalah sahabat. Sahabat adalah orang yang akan menjadi garda terdepan apabila sahabat lainnya dalam masalah. Seperti yang aku alami. Aku maklum kenapa Nandar tiba-tiba bersikap begitu, karena dia menyayangiku sebagai sahabat, karena dia perduli kepadaku. Dia hanya ingin aku tetap baik-baik saja, tidak sedih apalagi terluka.

“Jadi hari ini aku absen dulu ya Merr ... aku akan cuti kuliah untuk beberapa hari”, kataku kepada Merry.

“Iya gampang ... nanti aku izinin”, kata Merry lagi.

“Ya udah kita pamit dulu deh, barangkali Raranya mau istirahat”, kata Ida mengajak yang lainnya untuk pergi. Ida lalu ngeloyor ke dalam rumah untuk Pamit pada Ibu kemudian di susul Merry.

“Titip Rara brow, jagain dia”, kata Nandar kepada Andrew.

“Sip brow”, Andrew pun menyalami Nandar dan Ronnie.

“Sampai ketemu lagi”, pamit Ronnie kepada Andrew.

Teman-temanku pergi, aku menatap Andrew. “Maaf ya ... teman-temanku”.

Andrew menggeleng. “Mereka sayang sama kamu”, tangan Andrew membelai rambutku. “Kamu istirahat ya di rumah?”, pesan Andrew. “Aku pulang dulu”.

Aku mengangguk, tersenyum dan melambai, melihatnya berlalu dengan motor besarnya.

Ibu menghampiriku, “Teman-temanmu sudah pulang semua?”.

“Sudah”. Aku melihat mobil sedan hitam berhenti lalu memarkir di depan pagar rumah.

Seorang wanita turun dari dalam mobil, itu Mamanya Monika.

“Selamat siang”, Mamanya Monika menyapa di luar pagar.

Ibu menghampiri lalu kembali bersama Mamanya Monika.

“Rara, bagaimana kabarmu?”, Mamanya Monika mengelus pipiku.

“Alhamdulilah baik Tante”, jawabku.

Ibu mempersilahkan Mamanya Monika masuk ke dalam rumah. “Silahkan duduk”, kata Ibu.

“Terimakasih”, lalu Mamanya Monika duduk.

 “Saya buatkan minum dulu”, Ibu beranjak.

Tapi tangan Mamanya Monika menahan Ibu agar tidak pergi. “Jangan jeng! Saya tidak akan lama. Saya ke sini hanya ingin menengok Rara. Saya senang melihat Rara baik-baik saja. sekaligus saya ingin meminta maaf kepada Ibu dan Rara. Atas perbuatan Monika yang sudah melukai anak Ibu. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Ayahnya Rara, karena sudah mau, tidak membawa kejadian ini sampai ke ranah pelaporan kepolisian. Saya tidak tahu lagi apa yang akan terjadi kalau Ibu dan suami Ibu sampai melaporkan anak saya ke Polisi”, Wajah Mamanya Monika terlihat sedih lalu menyeka air matanya dengan tisu.

Ibu merasa iba melihatnya.

“Atas nama Monika ... saya meminta maaf kepada Ibu, karena perbuatan anak saya ... Rara jadi terluka”, Mamanya Monika menatapku. “Maafkan Monika ya Rara”.

“Ini sebenarnya urusan anak-anak, tapi saya selaku Ibunya Rara sudah memaafkan, Bagaimana pun juga kita sama-sama memiliki anak perempuan yang harus kita jaga bersama. Saya hanya berpesan, kelak di kemudian hari, kejadian ini tidak terulang lagi”, kata Ibu.

“Terimakasih banyak, terimakasih, karena keluarga ini mau memaafkan. Mungkin Monika bisa belajar dari Rara arti kesabaran dan kebaikan. Minta doanya agar Monika cepat pulih dari depresinya”, Mama Monika menangis.

Ibu memeluk Mama Monika. “Yang sabar, semoga ujian ini tidak akan lama dan Monika cepat pulih”, kata Ibu menenangkan.

“Semoga Monika bisa berubah menjadi gadis yang baik”, kata Mama Monika lagi.

Mamanya Monika pamit dan pulang.

Aku lelah, aku ingin istirahat. Aku kembali ke kamarku dan berbaring di ranjang empukku. Langit-langit kamar ini begitu putih. Aku memejamkan mata, membayangkan, ada awan yang berwarna putih mirip kapas. Ada matahari yang bersinar cerah kekuningan. Ada burung yang terbang melintasi langit kebiruan. Aku mendengar pintu di buka dan ada langkah yang mendekati. Kubuka mata dan melihat siapa yang datang.

“Lusi!” pekikku melihat Lusi yang tau-tau ada di kamarku. Aku bangkit dan terduduk di ranjang.

“Haloo Rara ...”, jeritnya. “Tadinya mau ngagetin eh ... udah bangun duluan. Gagal deh”, katanya. “Kabar gimana”, tangannya refleks mendarat di pundak kiriku sampai aku mengaduh-aduh kesakitan. “Eh eh eh kenapa?”, tangan Lusi membuka cardiganku.

“Luka? Ach!”, tangannya langsung menutup mulutnya.

“Stttthhh!”, aku mengkodenya agar tidak menjerit. “Sakit”.

“Kamu jatoh? Kecelakaan? Ditabrak mobil? Terjun dari loteng?”, ceracau Lusi seperti burung kehabisan makanan.

“Lebih parah!”, jawabku. Aku menceritakan kronologi apa yang terjadi padaku.

Wajah Lusi menampakan ketidakpercayaan bahwa apa yang terjadi padaku itu benar-benar hal yang mustahil di alami oleh Rara, si Jelek Kuper. Itu katanya. Ha ... ha ... ha biarlah!.

“Oh ya ada apa? Apa yang membawamu ke sini?”, tanyaku pada Lusi.

Lusi merogoh tas hitamnya lalu mengeluarkan kartu berwarna ungu berbalut pita yang cantik.

“Undangan?”, tanyaku keheranan.

Lusi mengangguk.

“Menikah?”, tanyaku lagi.

Lusi mengangguk lagi.

“Kamu?”, jeritku.

“Aaaaaaaccchhhhhh!!!!”, kami berpelukan.

“Masyaallah Lusi ... subhanaallah ... kabar gembira ... bentar-bentar, aku buka dulu”, aku membuka undangan, membuka pitanya satu persatu. Mataku tambah terbelalak lagi saat aku membaca mempelai prianya. “Dedi???”, jeritku lagi.

Kami berpelukan lagi.

“Selamat Lusi”.

“Terimakasih Rara, jangan lupa datang bersama siapa itu namanya? ... Andrew ...”, kata Lusi sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

“Aku belum jadian sama dia”, kataku lagi.

“Tapi dia sudah menyatakan cintanya sama kamu. Udah jangan lama-lama jawab ke Andrewnya. Jangan sampai dia pergi darimu Rara”.

“Lusiii”

“Raraaa”

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (22)
  • Nukita

    Kece ceritanya berasa kenal sama kotanya

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @MajidNito Terimakasih

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • MajidNito

    makasi kak inspirasi baru ini hehe

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @Ardhio_Prantoko Terimakasih koreksinya 😊

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • Ardhio_Prantoko

    Tanda bacanya.

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @AjengFani28 Makasih sudah mampir

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @Archimut Hehe

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • atinnuratikah

    @Gladistia Terimakasih kembali.

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • Archimut

    Pakai POV 1 dan terasa ngalir gitu aja cara penyampaian. Ini namanya rara kayak authornya 😂

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
  • AjengFani28

    Mantap ceritanya kak

    Comment on chapter Cowok Pelempar Bola
Similar Tags
Run Away
146      68     0     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
53      34     0     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Enigma
150      92     0     
Romance
enigma noun a person or thing that is mysterious, puzzling, or difficult to understand. Athena egois, kasar dan tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Baginya Elang itu soulmate-nya saat di kelas karena Athena menganggap semua siswi di kelasnya aneh. Tapi Elang menganggap Athena lebih dari sekedar teman bahkan saat Elang tahu teman baiknya suka pada Athena saat pertama kali melihat Athena ...
Kasih yang Tak Sampai
6      6     0     
Short Story
Terkadang cinta itu tak harus memiliki. Karena cinta sejati adalah ketika kita melihat orang kita cintai bahagia. Walaupun dia bahagia bukan bersama kita.
IMPIAN KELIMA
262      226     3     
Short Story
Fiksi, cerpen
WEIRD MATE
25      9     0     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...
The Accident Lasts The Happiness
333      252     9     
Short Story
Daniel Wakens, lelaki cool, dengan sengaja menarik seorang perempuan yang ia tidak ketahui siapa orang itu untuk dijadikannya seorang pacar.
love like you
10      10     0     
Short Story
Coldest Husband
44      28     0     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
Secret Love Story (Complete)
236      120     0     
Romance
Setiap gadis berharap kisah cinta yang romantis Dimana seorang pangeran tampan datang dalam hidupnya Dan membuatnya jatuh cinta seketika Berharap bahwa dirinya akan menjadi seperti cinderella Yang akan hidup bahagia bersama dengan pangerannya Itu kisah cinta yang terlalu sempurna Pernah aku menginginkannya Namun sesuatu yang seperti itu jauh dari jangkauanku Bukan karena t...