Jam beker berdering membahana ke seluruh ruangan kamar tidur. Satu timpukan bantal guling menjatuhkan benda mungil hingga terkapar di karpet permadani Snoopy. Hembusan angin pagi menelusup di antara celah-celah jendela di balik tirai satin yang lembut.
Aku mengangkat kepalaku dengan malas. “Sudah pagi ya”, decakku melongo ke jendela yang terang benderang.
Jam beker di karpet masih berbunyi lagi. Aku angkat dengan takjub, “Alamaaak ... jam delapan?!”.
Handuk polkadot kusilangkan ke leher, melangkah menuju kamar mandi.
“Anak perawan gini hari baru bangun”, komen Ibu cuek membelakangiku. “Makanya kalau habis sholat subuh jangan tidur lagi”.
“Hehehe ...”, cengir kudaku beraksi.
“Udah gak sedih-sedih lagi kan?”, Ibu mengelus pipiku.
“He eh!”, kepalaku mengangguk-angguk.
“Keliatan tuh matanya bengkak”, Ibu menyentuh kantung mataku yang gembil.
“Masak apa Bu? Sayur asem ya? Enak gak Bu ... cicipin ya sedikit”, tanganku mencomot tempe di piring sebelah Ibu yang baru saja diangkat dari wajan panas.
Satu tepukan mendarat keras di tanganku.
“Waduh sakit!”, aku meringis.
“Mandi dulu, jorok belum sikat gigi”.
“Ya-ya-ya”, aku ngeloyor masuk kamar mandi.
Usai berhanduk, aku kembali ke kamar menyalakan tipe recorder mendengarkan lagu Where you go milik Fort Minor. Buru-buru aku menuju meja untuk sarapan. Wah enaknya sayur asem, tempe goreng, dan sambal terasi. “Mantaaaaaaps!”.
Ditemani Ayah dan Ibu sarapan jadi tidak kesepian. Hari minggu Ayah libur kerja. Kuliahku juga libur.
“Bagaimana kuliahmu Rara?”, tanya Ayah.
“Baik Ayah, lancar”, jawabku.
“Ayah bayar kuliah kamu mahal-mahal, kamu kuliahnya yang benar. Harus rajin belajar”.
“Iya Ayah”.
“Ayah juga sudah lama gak jemput kamu ya ... maaf ya nak, Ayah sibuk”, kata Ayah.
“Iya Yah, gak apa-apa”, kataku memelas.
“Kamu gak apa-apa kan pulang sendiri? Bisa?”, tanya Ayah lagi.
“Iya bisa!”, jawabku singkat.
Aku tak pernah membayangkan kalau Ayah akan bertanya siapa pacarku saat ini, dan aku tidak akan pernah berharap kalau pertanyaan itu akan terlontar dari mulut Ayah. Untungnya tidak! Karena, sampai saat ini tidak ada laki-laki yang menyatakan rasa sukanya padaku.
“Muka kamu sedih banget?”, Ayah bertanya.
Ibu menyikut Ayah. “Sudah jangan di bahas, semalam, Ibu kan sudah ceritakan ke Ayah”.
“O ya ya ... Ayah lupa”.
Aku tidak menghiraukan kata-kata Ayah. “Makan saja ... sampai kenyang!”.
Usai sarapan bersama keluarga, aku pamit lebih dulu meninggalkan meja makan pada Ibu dan Ayah. Aku kenakan cardigan ungu dan warrior armi putih. “Ayah, Ibu, Rara mau jalan-jalan dulu”, teriakku dari pintu utama. Aku melihat Ayah menenteng koran lalu mengangguk pelan.
Cafe Gaul Bougenville, sudah lama aku tidak ke sana dan rasanya rindu sekali. Sekaligus melupakan kesedihan kemarin. Berjalan kaki di pagi hari seperti ini sangat menyenangkan. Rasanya bebas tanpa beban. Menelusuri jalan komplek yang luas, untukku tidak lelah. Walau matahari menyorot dengan terik sejak pagi.
Pukul sepuluh, Cafe Gaul Bougenville telah terlihat.
Aku sedikit bersyukur kalau ternyata cafe sudah buka. Cafe ini mengingatkanku saat pertama kali ke sini. Mengantarkan surat Andrew yang nyasar ke alamat rumahku sampai akhirnya aku berkenalan dengan Andrew.
Aku memasuki cafe dan duduk di tempat, di mana ... di situlah pertama kalinya aku duduk memperkenalkan diri ini di cafe gaul.
Seorang pelayan wanita datang dan menyapa kehadiranku. “Mau pesan apa?”, tanyanya.
“Yogurt rasa strobery”.
Pelayan itu berlalu dan kembali membawakan pesananku.
Aku mulai membuka-buka bacaan yang ada di rak samping meja duduk. Sibuk membaca, tidak memperdulikan orang-orang yang ada di sekitarku.
“Di sini juga! Sendirian? Sudah lama?”, suara seorang pria, sangat familiar di telingaku.
Saat aku menatap wajah itu aku terkejut, Andrew.
“Serius banget bacanya”, kata Andrew.
Aku tersenyum. “Kamu ada di sini?”, tanyaku balik.
“Saya memang suka sekali ke sini, ini tempat favorit saya”, kata Andrew. “Kamu??” .
“Aku baru dua kali ke sini dan tempat ini begitu nyaman buatku”.
Andrew duduk di depanku, menatapku aneh. “Eh eh eh sebentar, wajah kamu sedih banget, kamu habis nangis?”.
“Nangis, dua hari dua malam”, kataku sambil mengaduk-aduk Yogurt strobery.
“Kenapa? Ada masalah?”, tanya Andrew penasaran.
Aku geleng-geleng. “Adik kelas aku meninggal”.
“Kapan?”
Aku menceritakan kejadian malam itu. Setelah Andrew menelepon sampai kejadian mengantar teman yang sekarat dari kampus ke rumah sakit dan meninggal dunia. Tak terasa air mataku menitik lagi.
Andrew mengambil tisu lalu mengelap air mataku yang sudah keburu mengalir melewati dagu. Andrew mengalihkan pembicaraan agar aku tak sedih-sedih lagi.
“Di sini ada menu yang enak banget lho dan rugi kalau belum mencoba”
“Oh ya?”
“Iya namanya Aple Pie”, Andrew menunjuk ke daftar yang ada di atas meja. “Mau coba?”.
“Boleh!”, jawabku meng-iya-kan.
Tidak lama kemudian Andrew memanggil pelayan.
“Ada yang bisa saya bantu?”, kata pelayan
“Aple Pie dua”, Andrew megacungkan dua jarinya ke pelayan. “Jus Alpukat, dan kamu mau apa?”, Andrew bertanya padaku.
“Gak, aku Aple Pie aja”, kataku.
Pelayan itupun pergi, tidak lama kemudian membawakan pesanan yang menggiurkan.
“Waaah porsinya besar sekali”, aku memandangi piring, ada Aple Pie di atasnya yang disajikan dengan saus madu secara terpisah.
Andrew makan dengan cara menikmati setiap suapanya. Ternyata selera makannya sungguh elegan seratus depan puluh derajat dari aku. Aku memang punya hobby makan, tapi kalau makannya di depan makhluk tampan macam Andrew, sikapku akan berubah menjadi gadis pemalu ala-ala putri keraton.
“Enak kan?”, tanyanya.
Aku manggut-manggut.
“Bagaimana kabar keluarga kamu?”, Andrew membuka topik pembicaraan.
“Alhamdulilah baik, semuanya sehat”.
“Hari ini kamu libur?”, mata Andrew menatapku.
Aku mengangguk.
“Bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan, saya juga tidak ada kegiatan hari ini. Kamu mau kan?”.
“Kemana?”, tanyaku.
“Kemanapun, anggap aja saya yang menemani kamu jalan-jalan. Kamu mau kemana saja aku ikut, oke!”.
“Sepertinya menarik”.
“Bagaimana, mau kan?”.
“Oke-oke!”.
Aple Pie di atas piring mulai ludes. Andrew kembali memanggil pelayan dan mulai berhitung. Andrew membayar semua pesanan.
“Yang ini biar aku yang bayar”, aku menunjuk gelas Yogurt yang telah kosong.
“Sudah, sekalian saja saya yang bayar”.
Aku tersenyum melihat tingkah Andrew yang baik sekali hari ini. Setelah itu kami pun beranjak pergi meninggalkan Cafe. Berjalan kaki sampai muka komplek tidak terlalu jauh, kemudian Andrew memanggil Taxi Blue Bird dan membukakan pintu mobil untukku. Tangan Andrew mempersilahkan aku masuk lebih dulu ke dalam Taxi.
“Terimakasih”, ucapku.
Taxi berhenti di depan Taman Gunung Agung. Aku dan Andrew berjalan-jalan di sekitaran Kwitang Senen. Tepatnya di kaki lima buku-buku loakan.
Sebuah buku berhasil aku raih dari tumpuk-tumpukan buku yang lain. KRITIK SASTRA. Aku sudah lama mencari-cari buku ini dan tidak disangka aku mendapatkannya dengan mudah di sini dan harganya pun lebih murah.
Mataku mencari-cari Andrew di antara pengunjung-pengunjung yang lain. Andrew berjongkok membaca komik di ujung jalan, ternyata Andrew juga suka membaca komik seperti diriku.
Aku mendekati Andrew yang sedang asyik membaca. “Haloo ... dapat komik jadi lupa deh sama aku”.
Andrew mendongak lalu cengengesan. “Dapet buku apa?”, tanya Andrew.
Aku mengacungkan buku berwarna hitam ke hadapannya.
Andrew pun beranjak dari tempatnya.
“Kamu suka jalan-jalan ya?”, kataku.
“Kalau lagi libur ya begini ... lebih enak jalan-jalan, refresing, cari suasana baru yang tidak didapat di hari-hari biasa”.
Aku meng-oh-kan kata-katanya. “Sama! Kalau begitu kita sama-sama suka jalan-jalan dan tempat favorit yang paling sering kukunjungi adalah Kwitang, Blok-M, Kuningan, Cikini, dan Bogor. Tempat-tempat ramai yang ada buku-buku bekas, soalnya, harganya lebih miring dibanding yang baru, kan isinya sama aja”.
“Kamu suka berburu buku-buku bekas ya?”, Andrew mengangsurkan air mineral.
“Sebenarnya bukan hanya buku saja yang aku buru tapi makanannya juga”.
“Makanan?”
“Iya, aku suka mencoba tempat-tempat makanan yang baru dan belum pernah aku coba”
“Makanan favorit kamu apa?”
“Asinan, he ... he ... he”, aku mengembalikan botol air mineral kepada Andrew.
“Sudah dapat tempat makan asinan yang paling enak?”
Aku mengangguk cepat.
“Di mana?”.
“Di rumah! Yang buat Ibuku sendiri”, aku tertawa.
“Dasar! Ngapain juga jauh-jauh pergi cari asinan kalau bisa didapat di rumah sendiri”.
“Nah itu dia masalahnya, kalau makan asinan setiap hari ya ... dimarahi sama Ibu. Jadi aku cari asinanya di tempat lain, walau rasanya tidak seenak buatan Ibu”.
Jalan Kwitang sudah terlewat sejak satu kilometer yang lalu. Kaki kami masih menelusuri trotoar jalan kota yang sumpek dan panas. Kami menuju terminal senen. Naik bus sampai Cikini. Kami turun tepat di depan TIM (Taman Ismail Marzuki).
“Ini tempat apa?”, tanya Andrew.
“Kamu belum pernah ke sini ya?”, tanyaku heran. Masa sih orang kayak Andrew, kuper sama tempat ini. “Ini Taman Ismail Marzuki, kalau sore makin rame di depan situ”, kataku.
Kami menghampiri orang-orang yang berkumpul di tengah lapangan TIM. Ada podium kecil. Di atas podium itu, ada orang yang sedang membacakan puisi.
“Orang-orang ini sebagian besar adalah mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Mereka menampilkan kebolehan dan karyanya di tempat ini pada hari-hari tertentu saja, di hari lain ada juga lho yang menampilkan teater jalanan”, kataku menerangkan.
Orang-orang bertepuk tangan saat orang yang di podium itu selesai membacakan puisi.
“Jadi bertepuk tangan ada aturannya juga lho. Boleh bertepuk tangan jika orang yang akan tampil akan memulai dan sudah mengakhiri penampilannya”, aku antusias dengan yang ada di sekitarku.
Andrew mengangguk-angguk tanda mengerti.
Aku mengajak Andrew masuk ke gedung Garda Budaya. Di tempat ini aku bisa memperlihatkan pameran lukisan dari pelukis terkenal kepada Andrew. Kebetulan hari ini, saat kami datang, ada pameran lukisan dari negeri tetangga. Sebelum masuk, Aku dan Andrew mengisi buku tamu di lobby gedung. Mba-mba yang jaga meja tamu itu, memberikan beberapa lembar jurnal tipis yang isinya mengenai lukisan-lukisan dan patung-patung yang di pajang. Dimaksudkan, apabila tidak ada guide atau penerjemah bahasa, pengujung sudah bisa membaca sendiri cerita dari lukisan-lukisan dan patung-patung tersebut. Jurnal yang aku pegang ini, sudah diterjemahkan ke dalam tiga bahasa. Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab.
“Lukisannya bagus-bagus”, kata Andrew.
“Tentu saja, laaa wong yang ngelukis sang Maestro kok”, kataku dengan logat-logat jamet alias jawa metal.
Di tiap lukisan sudah ada harganya juga, di ujung bingkai lukisannya, kecil sekali tulisannya. Menggunakan mata uang negeri tetangga, bukan mata uang rupiah. Jadi kalau ada pengunjung yang berniat ingin membeli lukisan, sudah bisa memilih sendiri, lukisan yang akan dibelinya sesuai dengan badget yang dimiliki.
Selain lukisan, ada juga seni patung yang dipamerkan. Biasanya, patung yang dipajang disesuaikan dengan tema lukisan yang ada didekatnya, seperti sepaket ya. Kalau mengunjungi pameran lukisan, kita juga akan disuguhkan dengan pameran dari para pematung.
Puas lihat-lihat lukisan. Aku mengajak Andrew ke gedung di belakangnya.
“Ada perpustakaan HB. Jassin. Perpustakaan ini merupakan Pusat Dokumentasi Sastra. Nah, anak sastra suka banget ke sini, kayak aku”, aku cengengesan. “Karena di sini ... para mahasiswa dan mahasiswi sastra akan menemukan apapun mengenai sastra yang dicari, apabila perburuan sejarah sastranya tidak diperoleh di tempat manapun”.
“Berarti kamu sering ke sini?”, tanya Andrew penasaran.
“Setiap hari jumat aja sekitaran jam tiga”, kataku memberitahu. “Tapi jumat kemarin aku gak ke sini karena aku capek abis kamping ke Gintung”.
“Kenapa hari jumat?”
“Setiap hari jumat, jam tiga sore, di sini ada bedah buku. Buku sastra, baik yang terbitan lama maupun baru. Nah, hari jumat itu, kita pun bisa, temu penulis. Kita kan selama ini taunya hanya dari nama buku-buku yang diterbitkannya saja kan? Nah di sini, kita bisa bertatap muka, sekaligus beli buku dan tanda tangan penulisnya langsung”.
“Wah asyik dong!”, Andrew takjub.
“Iya ...”, kataku.
“Sudah pernah ketemu penulis siapa aja”, tanya Andrew.
“Saking banyaknya kayaknya aku lupa deh ... yang aku ingat banget sih waktu bedah buku, pengarangnya dari negeri China namanya Yho Jhien. Dia mengadakan bedah buku sekaligus bagi-bagi buku gratisan. Trus minta tanda tangannya, ngantri banget! Sampai-sampai pak Satpam yang ngawal, kewalahan”, aku tertawa.
Peserta yang hadir dalam bedah buku biasanya tidak hanya teman sesama sastrawan, ada juga wartawan, pekerja seni, mahasiswa dan mahasiswi sastra dari berbagai Universitas. Aku jadi kenal dan berteman dengan sesama Mahasiswa dan mahasiswi dari jurusan Sastra berbagai bahasa.
Sudah lihat-lihat perpustakaan, aku mengajak Andrew ke gedung belakangnya lagi. Gedung ini mirip rumah kaca.
“Kalau ada acara workshop seni, baik melukis, menggambar, fotografi. Nah, di sini tempatnya”. Kali ini ada pameran karya dari mahasiswa dan mahasiswi dari IKJ sendiri, berupa seni lukisan dan seni patung. Karya mahasisiwa seni ini indah-indah ya ... walaupun aku tidak begitu mengerti lukisan tetapi aku sangat menikmati keindahan lukisan-lukisan yang aku lihat. Warnanya, siluetnya, dan lain-lain.
Seorang mahasiswi menghampiri kami lalu memberikan selebaran berupa brosur jadwal workshop fotografi beserta biayanya. Kami mengucapkan terimakasih dan meninggalkan tempat itu.
“Udah cape belum?”,tanyaku kepada Andrew.
“Belum”, jawab Andrew bersemangat.
Aku berjalan lagi. Di sudut blok ada toko buku kecil yang di dalamnya menjual buku-buku sastra lama maupun baru. “Di sini semua buku-bukunya masih baru”, kataku berbisik pada Andrew.
“Tapi tahun terbitnya lawas”.
“Iya itu ... keren kan, walaupun terbitan lama tapi masih baru. Beda sama yang di Kwitang tadi”, kataku membandingkan.
Jadi toko ini bukan toko buku bekas tapi baru, walaupun buku tersebut diterbitkan di tahun yang kita belum lahir sekalipun. Di sini ada, khusus buku seni sastra. Harganya tidak jauh berbeda dengan buku yang jual di toko buku besar.
Mataku tertuju pada poster di gedung teater koma. “Sudah pernah nonton Teater belum?”, tanyaku kepada Andrew.
Andrew geleng-gelang.
“Sama! Aku juga belum pernah”
Andrew mengernyitkan dahi. “Kirain udah”.
“Nonton bioskop aja lah daripada nonton Teater. Mahal!”, kataku memelas.
Buat para pecinta seni teater. Nah, di sini bisa nih nonton teater. Pemainnya? Tentu saja bukan orang sembarangan. Mereka adalah pemain teater profesional. Tiketnya saja ratusan ribu. Yang paling murah, tiketnya seharga lima puluh ribu. Itu pun harus menunjukkan kartu mahasiswa.
Melipir ke gedung bioskop 21 di sebelah gedung teater. Aku tertarik dengan mahasiswi IKJ yang sedang menjaga meja.
“Silahkan mba”, katanya ramah kepadaku.
“Iya ...”, aku membaca yang ada di atas meja. “Ini film?”, tanyaku.
“Iya, sudah di mulai, baru tiga puluh menit kok”, dia menyerahkan brosur tentang jadwal film khusus studio satu. Oh ... jadi studio satu gedung 21 ini di peruntukan para mahasiswa dan mahasiswi dari jurusan perfilman untuk menampilkan film-film dokumenter hasil karya mereka. Tiket masuknya gratis. Cukup isi buku tamu saja dan kamu bisa masuk dan menonton sepuas dan selama film-film itu di putar, karena filmnya terlalu banyak. Aku dan Andrew tidak sampai selesai menyaksikan film karya para mahasiswa dan mahasiswi ini seluruhnya, karena mata kami sudah lelah.
“Wah ... seru banget sih jurusan kamu Ra, ada tempat khusus begini”, Andrew tersenyum puas.
“Udah capek?”, tanyaku lagi.
“Masih ada?”, tanya Andrew keheranan.
Aku menunjuk ke pintu keluar. “Sebenarnya ada satu gedung lagi yang kita lewatin tadi. Paling depan itu gedung Planetarium. Mau lihat bintang gak?”, ajakku.
“Hayuuuk mumpung masih di sini, kapan lagi”, Andrew menggandeng tanganku.
Spichless. Inikah yang disebut dengan ketidaksengajaan. Andrew tidak menyadari kalau tangannya tiba-tiba menggandeng tanganku dan aku membiarkannya. Andrew membeli tiket di loket. Saat tangannya ingin merogoh kantung celananya, dia memandangku dan melepasakan genggamannya.
“Eh, maaf ya”, katanya salah tingkah.
Aku tersenyum lalu dia mengacungkan dua tiket.
Kami masuk dan apa yang ku lihat? Wow! Pemandangan malam hari dengan bintang bertaburan. Aku dan Andrew duduk di kursi. Ini seperti menonton bioskop. Hanya saja layarnya berada di langit-langit membentuk bola bumi yang bulat. Kami seolah-olah dibawa ke alam semesta dengan benda langitnya yang indah. Aku begitu takjub karena di sini aku bisa melihat planet, galaksi dan sebagainya. Membuat mataku tidak ingin berpaling.
Menonton bintang selesai, ada yang jual buah di depan gedung Planetarium.
Aku membeli buah pepaya dan melon. “Kamu mau apa?”, tanyaku pada Andrew.
“Pepaya aja”, katanya.
“Mang, pepaya dua, melon satu”, kataku pada pedagang.
Lalu kami duduk di tangga depan gapura pintu masuk TIM. Duduk sambil makan buah disajikan dengan pemandangan atraksi dari anak-anak yang main sepatu roda dan skateboard.
“Mereka ahli ya”, celotehku.
“Habis ini kita kemana Ra?”, tanya Andrew.
Aku menunjuk, “Stasiun, naik KRL”.
Andrew membeli dua tiket menuju Stasiun Bogor. Kami pun menaiki Kereta Api Listrik.
“Punya tujuan yang lebih oke?!”, tanya Andrew.
“Lihat saja nanti, katanya kamu mau mengikuti aku kemana pun aku pergi”, ceracauku.
“Iya-iya”.
Suara pengamen dengan kecrekan di tangannya melantunkan lagu SMS.
Bang, SMS siapa ini bang
Bang, pesannya pake sayang-sayang
Bang, nampaknya dari pacar abang
Bang, hati ini mulai tak tenang
Aku memperhatikan pengamen kecil yang bersenandung itu dan tersenyum kecil mendengarkan suaranya yang lantang dan keras. Dia lebih mirip baca puisi, ketimbang menyanyi, kemudian dia menghentikan nyanyiannya.
Pengamen kecil itu mulai mengangsurkan amplop-amplop kecil yang bertuliskan ‘Mohon bantuannya untuk bayar SPP sekolah’. Aku pun kemudian menyelipkan uang beberapa lembar seribuan ke dalam amplop tersebut.
Kereta masih melaju kencang. Di luaran awan mengiringi perjalannku dengan Andrew. Pemandangan nan hijau, menakjubkan setiap aku menaiki kereta Jabodetabek.
Stasiun Lenteng Agung. Kereta berhenti, tak banyak penumpang yang turun di stasiun ini, termasuk wanita lansia yang duduk di hadapanku yang kemudian ikut turun. Tidak lama kursi di depanku kosong. Kini ada penumpang lain yang memanfaatkan kursi itu untuk ditempati.
Wanita dewasa yang lumayan style mengikuti mode tahun dua ribuan. Walau rambut indahnya ditutupi kerudung tapi kecantikannya tidak berkurang. Tidak banyak cakap antara aku dan Andrew. Kami saling menikmati keadaan di sekeliling kami.
Sekejap suasana menjadi tegang saat tiba-tiba seorang lelaki berkemeja berteriak ‘copet’ pada lelaki yang tadi berada di sebelahnya yang kemudian dengan cepat berlari lalu menabrak-nabrak penumpang yang berdiri di tengah. Kericuhan pun terjadi, kejar mengejar tak terhindarkan. Tidak semuanya memperhatikan dan menaggapi, cuek seperti aku.
“Wah asyik ya, ada pertunjukan gratis barusan”, kataku berceloteh.
“Kamu gak kaget sama kejadian barusan?”, tanya Andrew.
Aku geleng-geleng. “Sudah biasa, gak di mana gak di mana adaaa ... aja yang cari perhatian”, aku mengutak-atik ponselku.
“Tapi itukan sesuatu yang tidak di sengaja”, pendapat Andrew.
“Apanya yang tidak di sengaja, pencopet itu yang ngambil dengan sengaja dompet laki-laki berkemeja biru tadi dan pastinya sudah direncanakan sebelumnya, kalau dia mau nyopet”.
Kasihan ya orang yang di copet.
“Iya kasihan, gak punya ongkos pulang”.
Kereta berhenti di stasiun Depok Baru.
“Stasiun Depok nih! Turun yuk?”, ajak Andrew.
Aku geleng-geleng. “Aku mau ke Bogor”.
“Oh ya udah!”
Aku kembali mengutak-atik ponsel digenggaman, main game dan mendengarkan musik. “Lapar lagi nih!”, kataku.
Andrew mengeluarkan air mineral dari ransel hitamnya.
“Aku lapar bukan haus”.
Tidak lama kemudian pedagang makanan lewat. Onde-onde kacang hijau. Waw bulat-bulat menggiurkan lidahku.
“Beli-beli”, aku teriak pada Andrew.
“Pak Onde-ondenya”, Andrew memanggil tukang onde-onde itu. “Berapa sebungkusnya?”, tanya Andrew.
“Sepuluh ribu, isi sepuluh”, jawab pedagang.
Mata Andrew menatapku.
Aku pun manggut-manggut.
Andrew merogoh saku celananya. “Nih pak!”.
“Terimakasih. Laris manis tanjung kimpul”, teriak tukang onde-onde itu tidak lama setelah menerima uang dari Andrew.
Kulahap Onde-onde dua buah.
Andrew tersenyum melihat caraku makan. “Kamu cocok deh kalo di panggil Miss Eating”, ledek Andrew.
“Biarin! Yang penting gak kelaparan”, aku mengangsurkan Onde-onde pada Andrew. “Lima-lima, adilkan?”, tawarku.
“Enak aja, kan, saya yang beli”.
Aku melotot.
“Kamu udah dua aja, sisanya delapan buat saya”, kata Andrew.
Aku pun menyodorkan kantong Onde-onde kepangkuan Andrew. “Plastiknya aja!”, cibirku.
“Wah dasar, emangnya tazmania??? Saya disuruh makan plastiknya”, Andrew cemberut.
Kami pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah masing-masing.
“Ternyata kita sama-sama gak mau kalah ya?”, kata Andrew lagi.
“Kamu yang harusnya ngalah, kan kamu cowok!?”, cercaku.
“Gak bisa gitu dong, saya kan juga lapar, emmm ... enak!”, Andrew mencomot satu Onde-onde lalu dimasukan ke mulutnya bulat-bulat.
Kereta pun berhenti di Stasiun Bogor. Kami berjalan menuju pintu keluar.
Andrew memberikan dua lembar tiket kereta ke petugas, merobek dua tiket tadi kemudian menyerahkan kembali sisa sobekan tiket kepada Andrew.
“Jam berapa sekarang?”, tanyaku pada Andrew.
“Sudah jam empat nih, kita mau kemana?”.
Aku menunjuk jalan ramai yang dilalui banyak orang, masih di kawasan Stasiun Bogor.
Di sekeliling kami banyak pedagang yang menjajakan dagangannya. Pasar Bogor biasa disebut Pasar Anyar. Aku dan Andrew menelusuri trotoar-trotoar kecil penuh dengan pedagang buah. Keluar dengan susah payah menuju Taman Topi. Sesampainya di Taman Topi aku duduk di kursi taman menyandarkan punggungku di kursi panjang.
“Leganya ...”, kataku panjang. “Adeeemmm ...”.
Andrew ikutan duduk, aku beranjak menghampiri tukang Ice Cream di seberang.
“Pak, Ice Vanillanya dua”, kataku berpesan pada bapak tua, tukang Ice Cream.
Bukannya aku sendiri yang menunggu antrian membeli Ice Cream di sini, tapi ada anak-anak lain yang masih A. Be. Ge ikut mengantri. Setelah aku mendapatkan Ice Cream kesukaanku. Aku membayar dan tak lupa mengucapkan terimakasih kepada si Bapak tukang Ice Cream. Aku kembali ke tempat Andrew yang sedang asyik membaca komik. Aku mengangsurkan satu Ice Cream Vanilla pada Andrew dan Andrew menerimannya dengan senang hati.
“Terimakasih”, ucap Andrew.
“Kamu ingat gak? Waktu pertama kali kita ketemu?”, aku mencoba mengingat kembali memori indah waktu itu.
Andrew berpikir. “Ya ... waktu itu kamu mengantar surat ke rumah saya kan?”.
“Sebelum itu kan kita juga pernah ketemu”.
“Di mana?”, tanya Andrew.
“Kok kamu lupa sih!”
“Kayaknya saya lupa deh”
“Oke deh, aku ingatkan kembali. Waktu itu kita kan ketemu di sini, di kursi ini?! Pertama kali aku ketemu sama kamu. Bola basket yang kamu lempar, mengotori bajuku dengan lumpur Ice Cream”, ceritaku.
“Rara? Oh iya ... saya ingat dan kemudian kamu marah-marah terus bentak-bentak saya karena baju kamu kotor”.
Aku manggut-manggut menahan tawa, sungguh pertemuan yang mengesankan.
“Sumpah! Kamu tuh dulu galak banget”, Andrew cekikikan.
Aku melotot, Oh My God, kok Andrew bisa berkomentar aku galak sih.
“Jangan melotot gitu dong!”, kata Andrew lagi. “Bercanda”.
Aku pukul bahunya, aku cubit pinggangnya sampai dia mengaduh kesakitan dan memohon ampun atas ucapannya. Kami saling tertawa mengingat masa silam yang terlihat konyol bila di ceritakan.
“Aku masih ingat kemeja kotak-kotak hijau yang kamu pinjami waktu itu”, aku menikmati Ice Cream yang mulai lumer kelamaan didiamkan.
“Sudah, simpan aja buat kenang-kenangan”, kata Andrew.
Udara kota Bogor begitu sejuk menginjak sore hari, matahari senja nampak terlihat tertutup rindangnya pepohonan di kawasan Taman Topi ini. Bersenang-senang, itulah yang bisa kulakukan dan kupikirkan saat ini. Hariku penuh canda dan tawa.
“Pulang yuk!”, ajakku mulai kelelahan terlalu lama duduk di Taman.
Andrew mengangguk dan mulai membereskan barang-barang miliknya.
“Kita pulangnya ke rumah Tante saya dulu ya, minggu lalu saya meninggalkan motor saya di sana karena kehujanan”.
“Memangnya rumah Tante kamu di mana?”, tanyaku.
“Gak jauh kok, ayo cepet nanti kesorean”.
**
Kami memasuki komplek kawasan elite di Bogor kota. Sebuah rumah dua lantai, komplit dengan Satpam penjaga rumah. Andrew memang terlahir dari keluarga kaya raya. Lihat saja rumah Andrew juga tidak kalah besar dengan rumah Tantenya ini.
“Sore pak!”, sapa Andrew pada pak Satpam.
“Selamat sore Den Andrew, mau ketemu Bu Jihan ya?”.
Andrew mengangguk. “Ada gak?”.
“Wah sayang sekali, di sini semuanya sedang berlibur ke Puncak”.
“Dasar, ke puncak gak ngajak-ngajak”, mata Andrew menatapku. “Masuk aja yuk”.
Aku hanya dapat meng-iya-kan lalu duduk di kursi teras.
Andrew membuka pintu garasi sambil mendorong motor besarnya.
“Kita susul aja mereka ke puncak”.
Aku melotot. “Ke puncak?!”, aku berdiri. “Sore-sore begini? Nanti kalau kehujanan bagaimana?”.
“Jangan khawatir, kan ada saya, saya yang tanggung jawab”, Andrew kemudian menghampiri Satpam.
“Pak, saya ambil motor ya, saya mau pergi lagi”.
“Monggo-monggo, hati-hati di jalan”, kata pak Satpam ramah.
Aku membonceng di belakang Andrew.
“Pake helmnya”, pesan Andrew.
“Iya udah!”
“Duduknya yang benar”
“Udah kok!”
“Pegangan yang kenceng biar gak jatuh”
“Iya”. Aku meletakkan tanganku kepundaknya
“Belum ... emangnya saya tukang ojek! Pegangannya begitu”.
“Terus gimana?”, teriakku.
Andrew menarik kedua tanganku ke pinggangya. “Pegangan yang kenceng karena saya mau ngebut”.
Aku mengangguk.
“Anak pinter ...”, ledek Andrew.
Aku cubit pinggang Andrew sampai mengaduh kesakitan padaku, tapi aku cuek.
Motorpun melaju, menerobos paksa senja di sore hari. Mengejar matahari tenggelam yang mulai tak terlihat. Laju motor seperti kilat di jalan raya mengalahkan kendaraan lain. Tubuhku bersandar di punggung Andrew, meminta perlindungan lebih dari kecepatan. Tubuh Andrew hangat, punggungnya bidang, dan membuatku merasa aman dan nyaman.
Aku peluk pingangnya, mengikuti gerak tubuhnya mengendarai motor besar. Aku tidak pernah membayangkan, kalau aku bisa membonceng motor Andrew, dan bisa duduk sedekat ini. Posisi ini sangat dekat, sehingga aku dapat mendegar deru nafas dan detak jantungnya.
Motor tidak berhenti, jalan menanjak dan berliku-liku mengikuti bentuk jalan melingkari gunung yang terhampar hijaunya kebun teh yang indah. Hari hampir petang, motor berhenti di sebuah Masjid Agung Raya Atta-Awun karena adzan maghrib telah berkumandang. Lantunan suara adzan yang merdu, indah menggetarkan hati, memanggil seluruh umatnya untuk beribadah, di petang yang dingin. Andrew memarkirkan motornya di depan masjid. Kakiku melangkah menuju keran air tempat untuk berwudhu dengan air suci. Sholat Maghrib berjamaah, aku pun dapat melihat punggung Andrew di shaf bagian depan. Khusyuk.
**
Motor berhenti di sebuah Villa besar yang berada sedikit di atas bukit menanjak. Motor Andrew di pakir di garasi. Samping garasi ada tangga dari batu alam tersusun rapi. Kami menanjak, tangga itu berliku berbentuk huruf ‘S’, di kelilingi tanaman pagar yang hijau. Hari sudah gelap, lampu taman sebagai pengganti penerang jalan setapak tampak remang-remang. Sesampainya di atas, pemandangan berganti dengan halaman luas yang ditumbuhi rumput Peking.
Daun pintu terbuat dari kayu jati. Tangan Andrew meraih panel pintu lalu di ketuk-ketuk. Pintu terbuka, sosok anak laki-laki berambut ikal berteriak, kemudian lari menghampiri Andrew minta di gendong.
“Om Andrew datang, Om Andrew datang”, teriak anak itu, suaranya membahana keseluruh ruang yang berada di Villa.
Andrew mendekap anak tadi lalu menurunkannya di ruangan setelah mata kami melihat wanita berusia tiga puluh tahunan datang menghampiri.
“Andrew??? Sampai juga kamu ke sini”, Tante Andrew kaget lalu mencium pipi kiri dan pipi kanan Andrew, baru kemudian menyalamiku.
Jihan adalah Tante Andrew. Berkulit putih, berambut pirang agak ikal, tubuhnya tinggi ideal.
“Dulu, Tante saya ini model lho Ra!”, kata Andrew memperkenalkan.
“Saya Rara, senang berkenalan dengan Tante”
“Rara???”, Tante Jihan agak kaget dan heran. “Terus, mana yang namanya Monika? Kata Papa kamu ... kamu telah dijodohkan dengan gadis yang namanya Monika”, Tante Jihan berbicara sambil berlalu ke dalam dapur.
Aku melongo. “Monika? Siapa itu?”, kataku sedikit berbisik.
Andrew salah tingkah. “Em ... hemmm ... dia, dia baru sebulan di Indonesia, tadinya dia tinggal di Amsterdam tapi karena ...”.
“Ayo diminum dulu, cape kan dari Bogor langsung ke sini”, Tante Jihan masuk sambil membawakan nampan berisi dua cangkir teh hangat.
Aku duduk di sofa menunggu Andrew berkata-kata lagi.
“Eh iya, di mana Monika sekarang? Katanya dia melanjutkan studinya di sini, apa bersama Andrew di UNPAK?”, tanya Tante Jihan.
Andrew geleng-geleng. Sekali lagi Andrew menoleh menatapku.
Aku hanya bisa tersenyum getir mendengar topik pembicaraan ini.
“Orangtuamu sudah pulang Dre ...?”, tanya Tante Jihan lagi.
Andrew mengangguk. “Sudah Tante, kemarin sore mereka tiba”.
“Terus gimana? Mereka sudah membicarakan perjodohanmu dengan Monika?”
Andrew mengangguk lagi. “Saya belum bisa jawab Tante”.
“Kenapa?”, tanyaku. “Apa Monika itu jelek?!”, aku cengar-cengir.
“Monika itu cantik kok, menurut Tante ... cuma sifatnya saja yang sedikit manja, nanti juga kalau kamu sudah kenal lama-lama biasa kok. Jujur saja ya ... tante juga kurang setuju dengan pilihan orangtuamu itu”, Tante Jihan menjelaskan.
“Kalau cantik ya gak apa-apa lagi”, aku pura-pura cuek. “Punya istri cantik kok ditolak, payah!”.
“Saya kan belum bilang apa-apa Ra ...”
“Kalau begitu jawab iya aja”
“Kamu gak ngerti perasaan saya”
“Memangnya perasaan kamu kenapa? Deg-degan ya? Itu sih biasa kalau orang mau nikah, pasti deg-degan”.
Andrew beranjak, pergi ke dapur.
Aku duduk terpaku di sofa merasa tidak enak dengan keadaan sekitar. Om Andrew pun tak terlihat. Tante Jihan sepertinya tidak begitu memperhatikan keberadaanku di sini, karena sejak aku datang yang dibicarakan hanya Monika terus. Sebenarnya Monika itu gadis seperti apa? Cantikkah? Kata Tante Jihan Monika itu memang cantik, tapi secantik apakah dia?.
Andrew kembali dari dapur lalu menghampiri Omnya yang sedang di teras belakang.
Hari makin malam, aku masih berada di Villa ini. Aku perhatikan jam tanganku, sudah menunjukkan pukul 21.05 aku melihat Andrew yang sedang asyik menatap keluar jendela memandangi kerlap-kerlip lampu di malam hari.
Aku beranjak dari duduk, berdiri di balkon. Wow! Pemandangannya indah. Lampu-lampu temaram di malam hari. Aku baru melihat yang seperti ini. Malam hari di atas puncak. Karena malam, jadi hijaunya pemandangan tak terlihat, namun tergantikan dengan pemandangan lampu-lampu beraneka warna yang cantik.
“Sudah malam, tidak mungkin aku bermalam di sini kan?”, aku sentuh bahu Andrew.
Andrew memperhatikan jam yang tergantung di dinding. “Makan malam dulu ya? Dari tadi siang kita belum makan”.
“Tidak usah, nanti malah merepotkan Tante kamu aja”.
“Tante sedang menyiapkan makan malam untuk kita”.
Mataku menuju dapur, menghampiri Tante Jihan yang sejak tadi sibuk bolak-balik menata meja. “Aku bantu ya Tante”.
Tante Jihan tersenyum dan sibuk kembali. “Ayo duduk, sudah selesai kok. Andrew panggil Om kamu di belakang sama Dewa dan Dewo”.
Andrew berjalan menuju teras belakang, tidak lama kemudian Om Andrew dan anak kembarnya muncul di hadapan kami. Ternyata anak itu kembar, duh! Lucu-lucunya, jadi kepengen punya anak kembar, he... he... he.
“Maaf ya Rara, Tante tidak bisa menyiapkan yang lebih enak dari ini, karena kalian datangnya tiba-tiba sih”.
“Tidak kok Tante, ini sudah lebih dari cukup. Apapun sajiannya kalau dinikmati bersama-sama akan terasa nikmat”.
Tante Jihan dan Om tersenyum.
Tiba-tiba aku sedikit terkejut dengan celotehan anak kecil ini. “Tante Rara”, suara Dewa terdengar di samping. “Tante pacarnya Om Andrew ya?”, celoteh si anak kembar berbarengan.
Aku tersenyum mendengar perkataan mereka barusan, sedikit kaget, mungkin itu pujian. “Bukan. Tante Rara temannya Om kalian”.
**
Aku diantar pulang dengan mobil Jaguar hitam milik Om-nya Andrew. Andrew menyetir, aku duduk di sampingnya. Lantunan lagu dari Letto, Sandaran Hati membuatku terlena dan ingin tidur di bahu Andrew. Oalaaah...
Mataku terpesona memandangi bulan sabit di malam yang sungguh indah ini. Ditemani kerlap-kerlip bintang, sungguh langit begitu cerah. Jalanan menurun tampak lengang, di sisi kiri pohon-pohon berjajar menyaksikan dengan penuh kebisuan. Mereka berbisik, desiran angin membuat gesekan antara ranting pohon dengan daunnya. Mendengarkan dengan suara nyanyian angin yang berhembus. Lirih.
Di sisi kanan toko-toko, restoran dan warung remang-remang tampak tutup karena hari telah menginjak tengah malam. Lampu-lampu tampak temaram di berbagai sisi.
Aku dan Andrew terlalu lelah untuk bercakap-cakap, yang ada di benakku saat ini adalah hanya satu. Andrew pria modern di mataku, telah dijodohkan dengan gadis bernama Monika.
Hatiku kini terasa membara. Sedih terasa amat sangat. Galau luar biasa. Begitu resah dan gelisah. Panas dingin menjalari tubuhku di dalam mobil ber-AC, sampai-sampai aku tak bisa membedakan rasa dingin dari AC ini atau dari reaksi tubuhku yang menolak untuk mendengarkan kata-kata Tante Jihan yang terus teriang-ngiang di telingaku. Kupejamkan mata mencoba untuk menahan rasa tak karuan yang tiba-tiba muncul dari dalam hatiku. Rasanya sangat tidak nyaman, tidak enak, benar-benar aku tidak ingin perasaan seperti ini.
Yang aku lihat dari Andrew saat ini, begitu pendiam. Tak ada canda tawa yang membuatku tersenyum atau pun tertawa seperti tadi siang yang dia lakukan kepadaku. Matanya tertuju pada satu arah, yaitu jalanan yang ada di hadapan. Yang ditelusuri dengan dikendalikan oleh stir mobil. Sebenarnya aku ingin berkata-kata, tapi ... apa daya? Tak ada kalimat yang melintas di otakku saat ini. Kosong, sangat kosong, sampai mataku ingin terpejam selamanya dan bangun dengan kondisi tak seperti ini lagi. Aku ingin pergi ke alam yang hanya dapat kunikmati sendirian.
Kece ceritanya berasa kenal sama kotanya
Comment on chapter Cowok Pelempar Bola