Read More >>"> SERENITY (RIVAL) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SERENITY
MENU
About Us  

“POLISI!” 

Semua anak berseragam putih abu-abu yang tadinya adu jotos di persimpangan jalan mendadak buyar sendiri-sendiri, seiring terdengarnya sirine kendaraan kepolisian yang meraung-raung memberi sinyal tanda bahaya. 

Hera, gadis berambut hitam yang berdiri di barisan terdepan SMA Pancasila tidak menghiraukan itu. Di tangannya masih tersimpan batu berukuran cukup besar yang dibungkus keresek hitam. Lalu dilemparkannya benda tersebut entah mengenai siapa. Dalam tawuran seperti ini tidak kenal kawan atau lawan, tidak ada yang bisa menjamin kau tak akan terkena pukulan oleh teman satu sekolahmu sendiri. Terlalu banyak orang di sini dan semuanya sibuk menyerang, entah siapa yang kena pukul tak ada yang peduli. Hal terpentingnya adalah; kelompokmu menjadi pemenangnya, perkara kau terluka itu jelas bukan urusan bersama.

Hera tidak menyediakan asuransi kesehatan untuk teman-temannya yang mukanya sudah mengalahkan korban kekerasan di televisi. 

“Her! Cabut!” Leo yang sudah nangkring di atas sepeda motor besarnya memanggil gadis itu. Dia menoleh sesaat lalu berlari secepat mungkin. Namun sayang, sepertinya Leo memilih lokasi yang salah untuk parkir. Polisi muncul dari arah berlawanan membuat massa kebingungan.

“LO BALIK DULUAN SAMA YANG LAIN!” teriak Hera berlari ke arah lain di persimpangan.

Jalanan macet total siang itu, di tengah sinar mata hari yang terik membakar kerongkongan, ratusan kendaraan terjebak macet. Tidak ada yang berani menghentikan perkelahian dua kubu; SMA Pancasila dengan SMA Perkasa. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi jika kedua sekolah yang sebetulnya bergengsi itu memiliki dendam pribadi.

Hera menyelinap, mengenakan jaket merah hitamnya rapat dan menutup kepalanya sambil berusaha bersikap tenang. Dengan langkah besar ia melewati barisan kendaraan dan para penumpangnya yang saking penasarannya sampai pada turun ke jalanan, tapi tidak berani mendekat. 

Mereka menyedihkan sekali, gumamnya.

Sebagian orang selalu saja bersikap memalukan. Mereka jauh lebih suka melihat perkelahian, memotret, memajangnya di sosial media tanpa berniat membantu menyelesaikan. Terkadang Hera suka mengamati keadaan di sekitarnya, berpikir dan menganalisa. Meskipun dia berandalan, pernah tidak lulus UN berulang kali, perokok sekaligus pemabuk berat tapi sebetulnya dia jauh lebih baik dari orang-orang yang memandangnya sebelah mata.

Setidaknya dia tidak harus berpura-pura baik, mengomentari tanpa memberi contoh atau kebanyakan menuntut seperti mereka. Dia hanya gadis biasa, menikmati masa muda sekaligus terjebak di masa lalunya. 

Semua yang Hera alami telah membentuk karakternya menjadi sosok yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Dia tidak akan pernah membiarkan dirinya sendiri kalah seperti dahulu. Dia tidak sudi menangisi orang yang salah atau malah menjadi orang yang terlalu lemah.

Dirogohnya sebatang rokok dari saku celana dan menyalakannya. Asap putih mengepul ke udara. Mungkin mengganggu, tetapi mas-mas di sebelahnya malah menatap gadis itu heran. Bukan karena anak sekolah merokok sebab itu sudah biasa, tetapi mungkin wajah cantiknya. Sejujurnya dia lebih cocok disebut model majalah dengan paras cantik dan tubuh seksinya, tapi Hera tak akan melakukannya. Usianya hampir dua puluh tahun ini, masih kelas XII SMA dan berkecekupan. Tinggal menggesek kartu, puluhan bahkan ratusan lembar uang seratus ribuan mengalir begitu saja. Hanya saja bukankah ada pepatah yang mengatakan jika uang bukan segalanya?

Jika ada yang mengatakan itu omong kosong, berarti kau adalah orang yang tak bahagia karena kekurangan dana. Tetapi Hera berbeda; mamanya kaya raya, tidak pelit apalagi melarangnya meminta. Hanya saja dia tak pernah merasakan apa itu yang kalian sebut keluarga. Semuanya sudah hancur sejak perceraian Salma dan Hardi ketika usianya menginjak tujuh belas tahun.

Menyiksa! Benar-benar melukai perasaannya.

“Polisi?”

Dia agak kaget ketika melihat beberapa orang petugas mencari dirinya. Hera jelas tidak mau masuk kantor polisi, bukan karena takut tetapi dia sudah bosan saking seringnya tertangkap ketika tawuran. Mending kalau setiap kali ditangkap langsung dipenjara dalam waktu lama, nah ini pakai acara dibela pengacara mamanya. Bahkan Salma sendiri seperti tidak memedulikannya.

Ia mempercepat langkah, membuang puntung rokoknya ke selokan lalu mencari tempat persembunyian namun sayangnya mereka melangkah terlalu cepat.

“Anda tahu anak berseragam SMA yang lewat sini?” Salah satu dari Polisi bertanya kepada orang di pinggir jalan.

“Tadi jalan ke arah utara, Pak.”

Sialan! umpatnya yang sedang berada tak jauh dari mereka.

Dia berlari, membuat mereka harus kucing-kucingan seperti dalam adegan film action produksi hollywood. Tetapi latarnya bukanlah jalanan indah di Eropa, hanya jalanan macet dan becek sisa hujan di kota Jakarta yang sumpek dan menyesakkan. Dan yang namanya melawan polisi, mereka sudah terlatih untuk menghadapi masalah seperti ini. Ujung-ujungnya dia ditangkap juga.

⸙⸙⸙⸙

Di dalam kantor polisi Hera duduk menunggu Bram yang datang dua puluh menit kemudian. Lelaki berambut tipis itu menenteng tas hitam di tangan kiri, menyalami Ibu Polisi lalu duduk di samping kanannya. 

Seperti biasa, setelah pembicaraan alot akhirnya Hera hanya ditahan dua malam di sel tahanan. Tidak lama, sebab masih banyak pertimbangan. Bram memang pengacara yang sangat handal dan bisa diandalkan.

Sebelum pulang dia mengantar Hera masuk.

“Kenapa kau selalu saja seperti ini, Hera?” tanyanya sudah kelelahan menghadapinya.

“Siapa yang memberitahumu aku ada di sini tadi? Dan dibayar berapa kau oleh Mama untuk membelaku?” Tatapan matanya tajam dan menusuk.

Lelaki itu terperanjat, dia jelas-jelas kaget mendengar gadis muda sepertinya bicara dengan kasar. Namun Bram tersenyum, dia paham apa yang Hera rasakan. Marah dan merasa tak dibutuhkan oleh Salma, ibu kandungnya.

“Aku membelamu bukan hanya karena uang, tetapi juga karena aku peduli kepadamu, Hera. Aku simpati melihat keadaanmu yang merusak diri sendiri macam ini setiap hari. Kenapa kau tidak berhenti saja membuat ulah, hidup tenang dan memikirkan ujian sehingga bisa lulus tahun depan?”

“Kau meledekku?”

Bram tersenyum lagi. “Tentu saja tidak, Hera.”

“Dengar ya, Bram! Kau boleh tidak membelaku jika sudah bosan karena aku tidak butuh rasa kasihan dari siapapun termasuk juga kau.” Wajahnya bersungguh-sungguh.

“Jangan bertindak seperti ini,” katanya. “Baiklah, aku akan pulang. Lusa aku akan menjemputmu keluar dari tempat ini. Jika kau butuh apa-apa jangan sungkan untuk menghubungiku, aku pasti datang secepat mungkin.”

Setelah Bram pulang Hera digiring masuk ke sel tahanan perempuan untuk menginap dua malam ke depan. Terhitung sore ini tentu saja.

Baginya ruang tahanan bukan lagi momok menakutkan karena dia sudah hafal hampir semua penghuninya. Mereka berteman baik, akrab dan tidak semenyeramkan yang dia pikirkan di awal ketika sudah berada di dalam. Hanya saja tindak kriminal seperti apapun tetap tak bisa dibenarkan meskipun berkelit dibalik sejuta alasan.

“Baru dua bulan lalu keluar sekarang sudah masuk lagi!” Bu Ita, teman satu selnya geleng-geleng kepala. Beliau masuk tahanan karena ketahuan mencopet untuk menghidupi anaknya yang masih kecil. Suaminya tidak bertanggung jawab dan lari dengan wanita lain. Dia jelas tidak mau melakukannya, hanya saja terpaksa.

“Berapa malam?” Yang di sebelahnya bernama Viona, dia mantan penyanyi jalanan yang entah kenapa juga digelandang ke ruangan ini. 

“Dua.”

Hujan turun lumayan deras, dia bisa merasakan udaranya yang dingin menusuk tulang. Lantai penjara terasa menyiksa dan ini bagian yang paling tidak dia suka. Tetapi kalau dipikir-pikir, bukankah selama ini dia memang terpenjara? Terpenjara dalam diri dan keputusasaannya sendiri. Lebih menyedihkan, bukan?

Mamanya di Jepang sejak bulan lalu, entah kapan akan pulang. Tidak ada yang tahu. Salma berhak melakukan apapun yang dia suka. Mungkin dia sudah lupa jika masih memiliki Hera. Itulah alasan kenapa Hardi menduakannya lalu memilih jalan perceraian untuk mengakhiri rumah tangga mereka.

Dia benci mamanya. Kenapa Salma tidak bisa bersikap seperti seharusnya seorang ibu? Paling tidak agar Hera merasa memiliki keluarga walaupun dia jelas-jelas sendirian. 

Dua malam di dalam sel terasa melelahkan dan akhirnya hari pembebasan datang juga. Bram menjemput dan mengantarnya pulang pagi itu. Di depan gerbang rumah, Mbok Mah menunggunya dengan cemas.

“Neng Hera kenapa gak pulang berhari-hari? Mbok khawatir banget,” katanya. 

“Memangnya Bram gak bilang?” Dia melirik mobil Bram yang melesat meninggalkan kediamannya. 

Mbok Mah menggeleng.

“Terus Mama telepon gak, Mbok?”

“Ibu sih gak telepon, cuma dua hari lalu orang kantor nyuruh Mbok menyiapkan kamar beliau. Katanya, Ibu pulang seminggu lagi.”

“Oh.” Wajah Hera kecewa sekali.

Dia tahu, berharap mengenai sesuatu yang jelas tidak boleh dilakukan sangat menyakitkan. Akan tetapi sebagai seorang anak, apakah salah bila dia mengharapkan sedikit saja perhatian dari orangtua kandungnya sendiri?

Setelah mandi, sarapan dan berganti pakaian Hera menuju meja makan. Mbok Mah sudah memasak telur dadar dan nasi goreng pedas kesukaannya. Dengan rambut basah dan dibungkus handuk warna biru dia duduk di kursi kayu menghadap piring.

Hidungnya mencium aroma makanan. “Kayaknya enak banget nih, Mbok.”

“Terima kasih.” Mbok Mah menaruh segelas teh manis di depannya. “Mau berapa banyak?”

“Banyak, Mbok. Aku lapar banget. Di kantor polisi masakannya gak enak.”

Mbok Mah kaget mendengar apa yang baru saja dia katakan, lalu menatapnya tak percaya. “Neng Hera ditangkap polisi lagi?”

Wajahnya berubah muram dan kecut. “Iya.”

“Ada masalah apa lagi, Neng?” Mbok Mah prihatin dan memilih duduk di sebelahnya.

“Biasa, Mbok. Memang apa lagi?”

“Berantem?”

Mbok Mah sendiri bingung kenapa anak majikannya yang sudah dia rawat sejak masih bayi itu berubah drastis semenjak naik kelas tiga SMA. Dia dulu pintar dan selalu menang lomba, tetapi entah kenapa bisa tidak lulus UN berkali-kali. Aneh memang, tetapi semua bisa berubah kan?

“Ya sudah. Kamu makan nasi gorengnya, biar Mbok buatkan pisang goreng dulu di belakang.”

“Gak usah, Mbok!” katanya menghentikan langkah Mbok Mah sebelum sampai di dapur. “Setelah sarapan aku mau langsung keluar. Ada urusan.”

“Baiklah, jika memang begitu maumu.”

Sarapan buatan Mbok Mah memang luar biasa. Tidak ada yang bisa mengalahkan masakannya. Bahkan mamanya saja yang katanya memiliki bisnis restoran paling besar di Bali tak ada apa-apanya. Salma hanya bisa berbisnis, tidak untuk keluarga.

Hera meminum segelas air putih menutup sarapannya, lalu mendorong kursi ke belakang. Ia akan menyisir rambut basahnya yang sudah agak mengering, berganti pakaian dan pergi secepatnya. Dia tidak betah berlama-lama di rumah.

Sejak kecil mamanya tidak pernah ada di sisinya, lalu apa salahnya jika dia juga memilih jalan yang sama? Mereka memang dua orang yang jauh berbeda dan tak seharusnya hidup  bersama.

Motor CB hitamnya meninggalkan gerbang dengan suara meraung-raung merusak telinga pendengarnya, hingga membuat beberapa sekuriti di depan gerbang perumahan hanya bisa geleng-geleng kepala. Mereka sebetulnya pernah menegur Hera, hanya saja tak dihiraukan olehnya. Lagipula mereka juga terlalu takut kepadanya. Hera pernah membuat salah satu dari mereka babak belur dengan sekali pukulan. Heran juga, sebetulnya punya ilmu apa dia.

Dengan kecepatan tinggi Hera melajukan motor kesayangannya di tengah hiruk-pikuknya kota Jakarta. Sejujurnya dia tidak pernah suka berkendara seperti ini, hanya saja semakin cepat dia mati akan jauh lebih baik. Setidaknya jika dia tewas karena kecelakaan maka akan sedikit lebih baik, daripada harus mengakhiri hidupnya secara langsung dengan racun tikus atau obat serangga.

Dia berhenti di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Tangan kanannya merogoh saku celana lalu menemukan sebatang nikotin nikmat. Ia menyalakan ujungnya, menghirup lewat mulut lalu membuang sisanya lewat hidungnya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari merokok tanpa ada yang melarangnya. Masa bodoh dengan kesehatan. Hera bahkan sudah tidak peduli apabila dia akan mati besok pagi.

“Hera, akhirnya datang juga lo.” 

Dia memandang Reza yang tersenyum kepadanya, lalu memutuskan duduk di depannya cuek. “Gak usah buang-buang waktu lagi. Mau lo apa?”

“Tenang dulu dong.” Reza benar-benar menyebalkan, batinnya. “Santai saja lah, Her! Jangan tegang begitu! Lo pesan minum dulu deh, nanti gue yang bayarin.”

“Memang lo kira gue butuh duit lo?”

“Jangan nyolot begitu dong, Hera. Gue gak punya maksud apa-apa kok. Beneran.”

Hera menghela napas kasar. “Intinya kenapa lo minta ketemu di sini? Langsung saja ngomong sekarang atau gue akan pulang.”

“Iya ... iya ....” 

Reza sendiri sebetulnya adalah anak SMA Perkasa. Pentolan mereka tepatnya, yang berarti musuh terbesar Hera. Rival.

Setahu Hera sejak masih kelas X sampai hari ini, Reza memang berambisi menjadi ketua kelompoknya. Dan akhirnya mereka bisa berhadapan sebagai lawan yang seimbang.

“Kemarin teman gue ada yang luka parah.” Reza menatapnya serius.

“Lalu?”

“Siapa teman lo yang bawa pisau kemarin? Dia terluka karena itu. Kalian sudah menyalahi perjanjian awal kita untuk tidak memakai benda tajam.”

Hera tersenyum mengejek. “Gak salah tuh?” Pandangannya sangat merendahkan. “Setahu gue pihak kalian sendiri yang selalu melanggar perjanjian kita. Bahkan tawuran kemarin juga gara-gara kalian mengeroyok Deo sampai masuk rumah sakit, kan? Za, masalah lo itu sama Deo. Masalah pribadi kalian yang rebutan Nia. Jadi selesaikan berdua, jangan main keroyokan. Lalu siapa yang salah di sini sebetulnya?”

Reza memanas, dengan tangan mengepal dia memandang wajah kaku Hera Almira. Kalau tidak mengingat ini tempat umum dan Hera masih berwujud perempuan, maka sudah dia pukul sejak tadi. Namun dia menahannya. Bagaimana pendapat masyarakat tentangnya jika mereka tahu ada seorang laki-laki berbadan kekar memukul perempuan?

“Lo jangan asal ngomong kalau gak tahu apa-apa. Harusnya lo bilang ke Deo, gak usah nyari masalah ke gue kalau gak mau berakibat fatal.”

“Lo berani memerintah gue?” Pandangan Hera menusuknya tajam. “Dengar ya, Za! Gue gak peduli! Dari awal kan gue sudah bilang kalau gue gak peduli sama urusan kalian, tapi gue gak suka sama sikap pengecut lo.”

Wajah Reza memanas dengan tangan membentuk kepalan siap menyerang.

Hera yang melihatnya hanya tersenyum sinis dan tenang. “Kenapa, Za? Emosi? Mau marah? Atau malah mau memukul gue? Silakan!”

Perlahan Reza mengendurkan telapak tangannya, lalu menarik napas berulang agar lebih tenang. “Awas saja lo, Her!” katanya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Hera di meja restoran cepat saji tersebut.

Hera terkekeh. Benar-benar konyol. Siapa yang mengundang tapi malah siapa yang pergi dengan emosi?

⸙⸙⸙⸙

“Her, gawat!” Dia yang sedang menonton televisi kaget ketika mendapat telepon dari Damar. “Gawat banget! Lo harus ke sini sekarang! Cepat, Her!”

“Lo kenapa, Mar?” tanyanya bingung. “Kalau ngomong yang jelas!” lanjutnya berdiri dari kursi, sambil memasukkan potongan buah mangga ke dalam mulut dan menelannya.

“Itu, Her ... pokoknya gawat deh.”

“Ck.” Hera menghela napas kasar, tidak habis pikir kenapa temannya itu bicara tidak jelas dan menjadi panik. Tapi secara teknis Damar memang selalu panik dalam menghadapi masalah. Namun yang perlu diacungi jempol adalah dia begitu setia kawan. Jangan-jangan dia berulah lagi. “Leo mana? Gue mau ngomong sama dia.”

Tidak lama kemudian terdengar suara Leo di seberang.

“Halo, Her. Lo dimana?” tanya Leo dengan suara yang jauh lebih enak di dengar ketimbang Damar.

“Gue di rumah,” jawabnya. “Ada apa? Kenapa Damar panik banget kayak begitu?”

Leo seperti sibuk berbicara dengan orang lain. Entah bagaimana suasana di seberang telepon benar-benar tidak baik. Hera bisa mendengarnya dengan jelas dari sini. 

“Yo!”

“Iya, Her. Suasana di sini kacau. Ada anak kelas X yang diculik sama anak Perkasa.”

“Apa?” Hera langsung naik pitam. “Kok bisa?”

“Mereka datang pas bel pulang sekolah. Reza menculik anak yang lagi menunggu jemputan di halte.”

“Kurang ajar, Reza!” umpatnya. “Ya sudah, sekarang lo kumpulkan anak-anak dan kita berangkat bareng dari markas. Gue ke sana sekarang.”

“Baik, Her.”

“Yo, yang diculik hanya satu anak kan?”

“Iya.”

Tidak ada yang tahu apa sebenarnya mau Reza. Dia benar-benar pengecut karena berani-beraninya menjadikan perempuan sebagai sandera. Dengar! Hera tidak akan pernah membiarkannya lolos kali ini. Dia sangat emosi.

Diambilnya kunci sepeda motor yang digantung di dinding, mengenakan jaket kulit warna hitam kesayangannya, sepatu bots senada, serta mengikat asal rambut panjangnya yang berantakan. Motornya melaju dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya menuju markas mereka. Ini tidak bisa dibiarkan. Lama-lama dia seperti dipermainkan. Seperti belum mengenalnya saja kau, Reza.

Seharusnya berpikirlah dahulu sebelum bertindak dan mengambil keputusan. 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • yurriansan

    Wow cewek tawuran?

    Comment on chapter RIVAL
  • dear.vira

    Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)

    Comment on chapter RIVAL
Similar Tags
Rasa Cinta dan Sakit
12      12     0     
Short Story
Shely Arian Xanzani adalah siswa SMA yang sering menjadi sasaran bully. Meski dia bisa melawan, Shely memilih untuk diam saja karena tak mau menciptakan masalah baru. Suatu hari ketika Shely di bully dan ditinggalkan begitu saja di halaman belakan sekolah, tanpa di duga ada seorang lelaki yang datang tiba-tiba menemani Shely yang sedang berisitirahat. Sang gadis sangat terkejut dan merasa aneh...
Ending
163      107     0     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
Aranka
129      99     0     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
How to Love
52      36     0     
Romance
Namanya Rasya Anggita. Sosok cewek berisik yang selalu penasaran dengan yang namanya jatuh cinta. Suatu hari, dia bertemu cowok aneh yang mengintip pasangan baru di sekolahnya. Tanpa pikir panjang, dia menuduh cowok itu juga sama dengannya. Sama-sama belum pernah jatuh cinta, dan mungkin kalau keduanya bekerja sama. Mereka akan mengalami yang namanya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tapi ter...
CLBK: Cinta Lama Belum Kelar
135      83     0     
Romance
Tentang Edrea Lovata, yang masih terjebak cinta untuk Kaviar Putra Liandra, mantan kekasihnya semasa SMA yang masih belum padam. Keduanya dipertemukan kembali sebagai mahasiswa di fakultas yang sama. Satu tahun berlalu dengan begitu berat sejak mereka putus. Tampaknya, Semesta masih enggan untuk berhenti mempermainkan Rea. Kavi memang kembali muncul di hadapannya. Namun, dia tidak sendiri, ada...
Menghukum Hati
9      9     0     
Romance
Apa jadinya jika cinta dan benci tidak bisa lagi dibedakan? Kau akan tertipu jika salah menanggapi perlakuannya sebagai perhatian padahal itu jebakan. ???? Ezla atau Aster? Pilih di mana tempatmu berpihak.
the invisible prince
1229      709     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
11      11     0     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
Special
76      56     0     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
TAKSA
8      8     0     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.