Dalam sebuah hubungan pastinya tidak akan selalu berjalan mulus. Seperti hubunganku saat ini yang entah harus kudeskripsikan seperti apa. Aku kecewa, ingin marah, tapi tidak tahu bagaimana harus melampiaskannya.
Saat di sekolah tadi, Virgo, kekasihku sudah berjanji akan mengajakku pergi ke Bazar Seribu Buku di Balai Kota selepas pulang sekolah. Dengan semangat, aku berlari dari lantai tiga kelasku sampai tempat parkir ketika bel baru berbunyi. Virgo belum menampakkan batang hidungnya. Aku pun memilih untuk menunggu dirinya.
Senyum masih terpatri di wajahku. Sapaan demi sapaan dari temanku menemani kesendirianku. Lama menunggu, aku menjadi gelisah karena Virgo tidak kunjung datang. Berulang kali aku melihat jam di pergelangan tanganku, dan ya, tiga jam sudah aku berdiri bagai orang bodoh di parkiran yang sudah sepi.
Bosan. Itulah yang kurasakan. Aku menghentakkan kaki berulang kali sebagai bentuk kekesalanku. Kemana sebenarnya laki-laki itu? Tega sekali membiarkan kekasihnya menunggu tanpa kepastian seperti ini.
Lima menit berlalu, batas kesempatan yang kuberikan sudah habis. Namun, Virgo belum datang juga. Dengan amarah yang memuncak, tanpa berpikir jauh, aku mengempeskan kedua ban motornya. Setelah melakukan hal gila tersebut, aku segera meninggalkan area sekolah. Masa bodo bagaimana laki-laki itu akan pulang. Kesabaranku sudah habis sekarang.
Ini bukan pertama kalinya Virgo ingkar janji. Aku sudah sering menunggunya dan berakhir dengan aku yang berjalan kaki pulang ke rumah. Miris sekali nasibku ini. Satu dua kali masih bisa kutoleransi, tapi ini sudah yang keberkian kalinya. Jika memang dia ada acara mendadak atau apalah itu, seharusnya ia menghubungiku terlebih dahulu. Dia pikir menunggu itu enak? Menunggu adalah pekerjaan paling tidak berfaedah dalam hidupku semenjak mengenal dirinya.
Ponsel di sampingku terus saja berbunyi, menampilkan nama My Love di layar. Kubiarkan panggilan itu hingga berhenti sendiri. Tadi saja tidak ada inisiatif untuk menghubungiku. Sekarang aku pun juga bisa mengabaikannya. Hey, ponsel ditemukan bukan untuk pajangan. Selagi bicara itu gratis, apa susahnya dia memberiku kabar.
Tanganku terus menari di atas keyboard dengan lincahnya. Menuliskan berbaris-baris kalimat yang terangkum dalam otakku. Inilah yang biasa kulakukan ketika hatiku membutuhkan pencerahan.
Terkadang aku merasa lelah dengan semua ini. Inginku melepaskan, tapi ada bagian dalam diriku yang secara tegas menolaknya. Aku mencintainya, sangat. Virgo adalah cinta pertamaku. Pencipta bahagia dan sedihku. Aku selalu terjebak di dalam dua pilihan dan pada akhirnya aku juga yang harus mengalah menuruti dirinya. Teori bahwa wanita selalu benar memang tidak berlaku dalam kisahku.
“Keysa, makan dulu, Sayang.”
Panggilan mama dari bawah menghentikan pergerakan jariku. Aku menghembuskan napas pelan. “Iya, Ma.”
Kusimpan tulisan singkatku yang baru setengah jadi itu. Aku memandangi wajah tampan Virgo yang menjadi wallpaper laptopku. Bingung rasanya harus mengambil sikap seperti apa. Ketika pikiran ingin berhenti, tapi hati terus memaksa bertahan. Memang benar, hati dan pikiran kadang tidak sejalan.
Pada akhirnya, aku memilih keluar dari kamar untuk makan malam bersama mama dan papaku. Maaf Virgo, memikirkanmu membuatku lapar. Aku tidak menyangka bahwa cinta serumit ini.