01 Mei 2015
Zea menatap nanar bendera kuning yang terpampang di depan rumah Dika. Lututnya melemas saat menyadari jika bendera itu lambang duka cita. Ia melangkah pelan menuju rumah itu untuk memastikan kebenarannya.
“Di-Dinda ....” panggilnya.
“Z-Zea ....” Perempuan yang dipanggil Dinda itu kaget melihat Zea ada di sana. Ia menghapus air matanya dan berjalan menghapiri Zea.
"Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu masih harus dirawat?” tanya Dinda berusaha tetap tenang. Zea menatap tajam dan meminta penjelasan kepada Dinda.
"Tidak perlu basa-basi, apa yang terjadi sama Dika?" tanya Zea. Ia berusaha menahan luapan emosi dan air matanya.
"Ka-Kak Dika, Kak Dika itu a-anu itu ...." Dinda gelagapan saat pertanyaan yang dilontarkan tepat sasaran.
"Dinda, aku tanya sekali lagi, Dika kenapa?" tanya Zea sekali lagi.
"Beri tahu saja yang sebenarnya kepada gadis sialan ini biar dia tahu kalau kehadirannya hanya menambah kesialan bagi Dika," ucap seseorang. Dinda dan Zea menoleh ke arah sumber suara.
"Bunda ...," pekik Dinda. Ia kaget melihat Tante Lani, sang bunda, berdiri tepat di belakangnya.
"Kasih tahu perempuan sialan ini kalau dialah penyebab kakakmu meninggal dunia." Dinda membulatkan mata mendengar tuduhan sang bunda. Tubuh Zea menegang mendengar apa yang diucapkan oleh Tante Lani. Lututnya melemas. Gadis itu terduduk di tanah. Air mata pun mengalir dari bendungan pelupuk matanya.
"Zea ...." Dinda membantu Zea berdiri dan memeganginya agar tidak jatuh lagi. Zea menepis tangan Dinda dan berusaha susah payah berdiri tegak tanpa bantuan dari Dinda.
"Ya, Zea Anastasya. Dika, putraku, meninggal karena kau." Tante Lani menunjuk wajah Zea. Zea bungkam. Ia tak percaya dengan apa yang diucapkan Tante Lani. Air matanya semakin tak terbendung.
"Saat putraku tidak mengenalmu, hidupnya baik-baik saja. Dan kau ... Kau membawanya pada kematian. Kau lihat anakku! Dia meninggal karenamu." Tangisan Zea semakin menjadi-jadi. Ia menggeleng tak percaya mendengar pernyataan Tante Lani bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab kematian dari sang kekasih.
Dinda mengepalkan tangannya mendengar tuduhan demi tuduhan yang Tante Lani tujukan pada Zea. "BUNDA, CUKUP!" bentak Dinda. "Kak Dika meninggal karena racun yang seharusnya disaring ginjalnya, tapi malah menyebar ke pembuluh darah, Bun. Bukan karena Zea," lanjut Dinda.
"Kamu tidak perlu membela perempuan pembawa sial ini. Sudah jelas-jelas kehadirannya membawa pengaruh buruk bagi Dika. Apa sih hebatnya wanita itu?" Tante Lani melipat kedua tangannya di dada menambah kesan angkuh pada dirinya.
"Cukup, Bun. Zea adalah wanita yang mendampingi Kak Dika semasa hidupnya. Zea yang menyemangati Kak Dika saat Kak Dika putus asa mencari keberadaan bunda. Zea yang mengurus Kak Dika saat bunda sendiri sibuk dengan butik. Zea yang merangkul Kak Dika saat Kak Dika terpuruk dalam kehidupan malam. Zea sudah mengorbankan nyawanya demi menyadarkan Kak Dika dari pergaulan bebasnya." Dinda mengatur napasnya yang mulai memburu karena emosinya. Zea mengenggam tangan Dinda mencoba menenangkan emosi Dinda.
"Lalu, di mana bunda selama sepuluh tahun kemarin? Bunda meninggalkan aku dan Kak Dika bersama ayah. Bunda memalsukan kematian bunda. Seharusnya bunda berterima kasih kepada Zea. Aku sendiri tidak bisa menangani kakakku. Tapi tidak dengan Zea. Dia mampu membuat Kak Dika berubah seperti Kak Dika yang bunda kenal saat ini. Dan bunda masih sebut Zea perempuan pembawa sial? Lebih baik bunda berkaca." Tante Lani membulatkan matanya mendengar omongan Dinda.
"Kalau bunda menyayangi Kak Dika, izinkan Zea melihat jenazah Kak Dika untuk yang terakhir kali. Zea berhak di sisi jenazah Kak Dika dan mengantarkan Kak Dika ke rumah barunya. Karena Zea-lah yang mendampingi Kak Dika hingga hembusan napas terakhirnya. Bun, sekali ini saja turuti kemauan Dinda. Dinda tidak meminta apa pun dari bunda. Dinda hanya ingin Zea bisa di samping Kak Dika. Please, Bun. Anggap saja sebagai penghormatan terakhir untuk Kak Dika." Dinda menurunkan nada bicaranya. Dinda menyatukan kedua tangannya di hadapan sang bunda. "Bun, aku mohon. Demi Kak Dika. Sekali ini saja biarkan Zea mendampingi jenazah Kak Dika." Tante Lani bergeming. Ia memalingkan wajah ke arah lain. Enggan untuk menatap Zea yang ia anggap sebagai penyebab kematian putranya.
"Baiklah! Tapi setelah itu bunda tidak mau kamu berhubungan lagi dengan perempuan pembawa sial ini. Ingat itu." Tante Lani beranjak meninggalkan Dinda bersama Zea. Dinda tersenyum lega karena sang bunda mengizinkan Zea melihat jenazah kakaknya untuk yang terakhir kalinya.
"Yuk, Zea." Dinda menuntun Zea masuk ke dalam rumah duka. Zea melangkah gontai mengikuti langkah kaki Dinda. Lidah Zea kelu. Berbicara pun tak lagi mampu. Zea terpaku menatap tubuh yang terbujur kaku di hadapannya. Air mata mengalir seiring kenangan kembali terputar indah di memorinya.
**
Lima bulan lalu
Seseorang berjalan mengendap-endap di belakang Zea dan menutup matanya.
"Jangan berteriak atau kau akan kubunuh," ancam orang tersebut. Zea kaget dan mencoba memberontak. Namun, ia merasakan sesuatu menempel di lehernya.
"Ka-kamu mau a-apa? Sa-saya akan berikan apa pun. Ta-tapi jangan sakiti Saya," pinta Zea. Orang tersebut hanya tersenyum mendengar ketakutan Zea. Ia meletakkan apa yang tadi ia pegang dan merogoh saku celananya.
"Tutup matamu jangan coba-coba mengintip," ancamnya dengan nada mengintimidasi.
"I-iya iya." Zea menutup matanya. Orang tersebut memakaikan sebuah kalung ke leher Zea. Zea mengernyitkan dahi saat merasakan ada sesuatu yang melingkar di lehernya.
"Sekarang buka mata kamu," suruh orang tersebut. Zea membuka matanya pelan dan mendapati dua puluh empat kuntum bunga tulip di hadapannya.
"Happy second anniversary, Zea," bisik orang tersebut. Zea berdiri dan membalikan badannya.
"Surprise." Zea membekap mulutnya. Matanya berkaca-kaca. Bagaimana tidak? Orang yang tadi mengancamnya adalah kekasihnya sendiri, Dika.
"Hei, apa ini?" Dika menghapus air mata Zea dengan lembut.
"Maafkan aku jika aku membuatmu takut, Sayang. Tapi ini aku lakukan untuk kamu." Dika menangkup pipi gembil Zea lalu mencium kening gadisnya itu. Ia menarik Zea dan mendekap hangat sang kekasih. "Selamat hari jadi yang kedua, Zea. Terima kasih sudah mendampingi aku dalam suka dukaku. Terima kasih sudah berada di sisiku saat aku sehat dan sakit. Terima kasih telah mewarnai hidupku yang kelabu ini. Love you more, Zea Anastasya," bisik Dika. Zea menyandarkan kepalanya ke dada bidang Dika.
"Love you too, Dika Pratama."
***
Tangan Zea gemetar meraih penutup jenazah yang ada di hadapannya itu dan membukanya perlahan. Air mata Zea semakin mengalir deras saat mendapati wajah pucat pasi orang yang ia cintai. Ia menangkup kedua pipi yang sudah kaku dan dingin itu lalu mengusapnya pelan.
"Dik, bangun. Aku di sini. Aku di samping kamu. Aku janji aku gak akan meninggalkanmu lagi. Aku mohon bangun, Dik," bisik Zea. Namun, tubuh itu hanya bergeming. Zea mencium kening jenazah Dika.
"Zea ...," panggil Dinda. "percuma kamu melakukan itu. Kak Dika tidak akan bangun. Dia sudah meninggalkan kita. Kamu ikhlaskan kepergiannya ya." Dinda mencoba menenangkan Zea. Namun, perkataannya tersebut justru dihadiahi tatapan sinis dari Zea.
"Kamu dengar kan, Dik? Mereka menyumpahi kamu meninggal. Hanya aku, hanya aku yang yakin kamu masih hidup. Aku mohon, Dik. Buka mata kamu untuk aku. Aku mohon." Dinda menghela napas beratnya. Ia bingung bagaimana menyadarkan Zea akan kenyataan.
"Din, semuanya sudah siap. Jenazah kakak kamu bisa dimandikan sekarang," ucap seorang bapak-bapak.
"Lakukan, Pak," jawab Dinda. Beberapa orang lelaki mendekati jenazah Dika dan mengangkatnya.
"Apa-apaan ini, Pak? Dika mau dibawa ke mana?" tanya Zea dengan penuh kepanikan. "Dika bisa jalan, Pak. Dia tidak lumpuh," lanjutnya. Zea menarik tubuh kaku Dika dan membuat kondisi kacau.
"Zea, lepas. Mereka mau memandikan jenazah Kak Dika." Dinda berusaha menenangkan Zea. Zea tidak menghiraukan ucapan Dinda. Ia terus menarik tubuh kaku Dika dan membuat beberapa orang tadi menyerah dan kembali meletakkan Dika di tempat semula. Zea bergegas memeluk tubuh kaku Dika dengan posesif. Ia tak mengizinkan siapa pun mendekati tubuh itu.
"Kalian gila? Kalian pikir dia mati? Tidak! Dikaku masih hidup. Dia hanya tidur. Sebentar lagi dia akan bangun. Kalian lihat saja." Zea berteriak histeris kepada orang-orang tersebut. Dinda hanya menghela napas beratnya.
"Nak Dinda, bagaimana ini? Sebentar lagi masuk waktu zuhur. Kami harus memandikan jenazahnya sekarang," ucap salah satu dari mereka.
"Bawa saja, Pak. Mandikan jenazahnya. Biar gadis ini Saya yang mengatasinya." Lelaki itu mengangguk cepat dan kembali mengangkat jenazah Dika bersama rekan-rekannya. Zea kembali histeris berusaha menggapai-gapai tubuh kaku Dika. Dengan sigap Dinda menahannya.
"Lepas, Din. Mereka mau bawa Dika pergi. Dik, Dikaaaa ... Kalian mau bawa Dika ke mana? Lepasin aku, Dinda." Zea mencoba memberontak dari dekapan Dinda.
"Dika, Dikaaaa ...." Dinda geram. Ia membalikkan badan Zea hingga mereka berhadapan sekarang.
"Adik macam apa kau ini? Kau membiarkan mereka memandikan Dika seolah-olah Dika tak mampu melakukannya. Kau menyumpahi Dika mati. Kau menyumpahi kakakmu sendiri. Kau tak layak dijadikan sebagai adik untuk Dika," maki Zea. Dinda mengepalkan tangannya menahan emosi yang akan meluap. Ia tak ingin menyakiti gadis kesayangan kakaknya itu.
"Hentikan mereka sekarang juga, Din. Atau aku yang akan menghentikannya," ancam Zea. Dinda masih bergeming di tempatnya. Ia tidak menghiraukan ancaman Zea.
"Oke baiklah, sepertinya harus aku yang turun tangan." Zea menghapus air matanya dan hendak beranjak pergi namun, ia ditahan Dinda. Dinda menariknya kasar sehingga Zea kembali berhadapan dengannya.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Zea membuat gadis itu membulatkan mata menyadari apa yang dilakukan Dinda. Semua orang berdiri setelah menyaksikan kejadian tersebut. Dicky dan Alvin mendekati Dinda dan Zea.
"CUKUP, Zea!" bentak Dinda. Ia sudah muak dengan kekonyolan gadis yang ada di hadapannya ini.
"Kamu pikir kamu aja yang kehilangan Kak Dika. Semua orang di sini sangat kehilangannya. Aku, bunda, Dicky, Alvin dan semuanya kehilangan Dika. Namun, kami tidak berlebihan seperti dirimu. Kami justru bahagia. Bahagia karena Kak Dika tidak lagi kesakitan. Dia sekarang bebas dari penderitaannya selama bertahun-tahun. Apa kau mau melihat Kak Dika menderita setiap waktunya? Apa kau tega melihat Kak Dika kesakitan sepanjang hari? Bukan hanya kamu yang menyayangi Kak Dika. Kami juga menyayanginya. Kalau kamu seperti ini sama saja kamu menyiksa Kak Dika." Dinda meluapkan emosi yang sejak tadi ia tahan. Dicky mengusap kedua pundak Dinda mencoba menenangkan adik dari sahabatnya itu. Dinda menghela napas berat. Ia menyesali atas perbuatannya tadi. Dinda menghapus air mata Zea dengan lembut dan menggenggam tangan gadis yang menjadi kesayangan sang kakak.
"Kalau kamu menyayangi Kak Dika, ikhlaskan dia. Doakan agar jalannya lurus di sana. Air matamu hanya memberatkan langkah Kak Dika. Ia gak akan tenang di alamnya kalau kamu seperti ini. Aku yakin kamu kuat. Kami semua ada untuk kamu." Zea tak mampu lagi berucap. Hanya isakan tangis yang terdengar lirih. Dinda, Dicky dan Alvin memeluk Zea.
"Maafkan aku, Din. Aku terlalu takut menyadari jika ini semua bukan mimpi. Aku hanya belum siap menerima kenyataan pahit ini. Maafkan aku, Din." Dinda hanya mengangguk.
"Aku yakin kamu bisa kuat, Zea. Kamu perempuan hebat. Aku ada untuk kamu, Zea," bisik Dinda.
***
01 Mei 2015
Zea menatap nanar bendera kuning yang terpampang di depan rumah Dika. Lututnya melemas saat menyadari jika bendera itu lambang duka cita. Ia melangkah pelan menuju rumah itu untuk memastikan kebenarannya.
“Di-Dinda ....” panggilnya.
“Z-Zea ....” Perempuan yang dipanggil Dinda itu kaget melihat Zea ada di sana. Ia menghapus air matanya dan berjalan menghapiri Zea.
"Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu masih harus dirawat?” tanya Dinda berusaha tetap tenang. Zea menatap tajam dan meminta penjelasan kepada Dinda.
"Tidak perlu basa-basi, apa yang terjadi sama Dika?" tanya Zea. Ia berusaha menahan luapan emosi dan air matanya.
"Ka-Kak Dika, Kak Dika itu a-anu itu ...." Dinda gelagapan saat pertanyaan yang dilontarkan tepat sasaran.
"Dinda, aku tanya sekali lagi, Dika kenapa?" tanya Zea sekali lagi.
"Beri tahu saja yang sebenarnya kepada gadis sialan ini biar dia tahu kalau kehadirannya hanya menambah kesialan bagi Dika," ucap seseorang. Dinda dan Zea menoleh ke arah sumber suara.
"Bunda ...," pekik Dinda. Ia kaget melihat Tante Lani, sang bunda, berdiri tepat di belakangnya.
"Kasih tahu perempuan sialan ini kalau dialah penyebab kakakmu meninggal dunia." Dinda membulatkan mata mendengar tuduhan sang bunda. Tubuh Zea menegang mendengar apa yang diucapkan oleh Tante Lani. Lututnya melemas. Gadis itu terduduk di tanah. Air mata pun mengalir dari bendungan pelupuk matanya.
"Zea ...." Dinda membantu Zea berdiri dan memeganginya agar tidak jatuh lagi. Zea menepis tangan Dinda dan berusaha susah payah berdiri tegak tanpa bantuan dari Dinda.
"Ya, Zea Anastasya. Dika, putraku, meninggal karena kau." Tante Lani menunjuk wajah Zea. Zea bungkam. Ia tak percaya dengan apa yang diucapkan Tante Lani. Air matanya semakin tak terbendung.
"Saat putraku tidak mengenalmu, hidupnya baik-baik saja. Dan kau ... Kau membawanya pada kematian. Kau lihat anakku! Dia meninggal karenamu." Tangisan Zea semakin menjadi-jadi. Ia menggeleng tak percaya mendengar pernyataan Tante Lani bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab kematian dari sang kekasih.
Dinda mengepalkan tangannya mendengar tuduhan demi tuduhan yang Tante Lani tujukan pada Zea. "BUNDA, CUKUP!" bentak Dinda. "Kak Dika meninggal karena racun yang seharusnya disaring ginjalnya, tapi malah menyebar ke pembuluh darah, Bun. Bukan karena Zea," lanjut Dinda.
"Kamu tidak perlu membela perempuan pembawa sial ini. Sudah jelas-jelas kehadirannya membawa pengaruh buruk bagi Dika. Apa sih hebatnya wanita itu?" Tante Lani melipat kedua tangannya di dada menambah kesan angkuh pada dirinya.
"Cukup, Bun. Zea adalah wanita yang mendampingi Kak Dika semasa hidupnya. Zea yang menyemangati Kak Dika saat Kak Dika putus asa mencari keberadaan bunda. Zea yang mengurus Kak Dika saat bunda sendiri sibuk dengan butik. Zea yang merangkul Kak Dika saat Kak Dika terpuruk dalam kehidupan malam. Zea sudah mengorbankan nyawanya demi menyadarkan Kak Dika dari pergaulan bebasnya." Dinda mengatur napasnya yang mulai memburu karena emosinya. Zea mengenggam tangan Dinda mencoba menenangkan emosi Dinda.
"Lalu, di mana bunda selama sepuluh tahun kemarin? Bunda meninggalkan aku dan Kak Dika bersama ayah. Bunda memalsukan kematian bunda. Seharusnya bunda berterima kasih kepada Zea. Aku sendiri tidak bisa menangani kakakku. Tapi tidak dengan Zea. Dia mampu membuat Kak Dika berubah seperti Kak Dika yang bunda kenal saat ini. Dan bunda masih sebut Zea perempuan pembawa sial? Lebih baik bunda berkaca." Tante Lani membulatkan matanya mendengar omongan Dinda.
"Kalau bunda menyayangi Kak Dika, izinkan Zea melihat jenazah Kak Dika untuk yang terakhir kali. Zea berhak di sisi jenazah Kak Dika dan mengantarkan Kak Dika ke rumah barunya. Karena Zea-lah yang mendampingi Kak Dika hingga hembusan napas terakhirnya. Bun, sekali ini saja turuti kemauan Dinda. Dinda tidak meminta apa pun dari bunda. Dinda hanya ingin Zea bisa di samping Kak Dika. Please, Bun. Anggap saja sebagai penghormatan terakhir untuk Kak Dika." Dinda menurunkan nada bicaranya. Dinda menyatukan kedua tangannya di hadapan sang bunda. "Bun, aku mohon. Demi Kak Dika. Sekali ini saja biarkan Zea mendampingi jenazah Kak Dika." Tante Lani bergeming. Ia memalingkan wajah ke arah lain. Enggan untuk menatap Zea yang ia anggap sebagai penyebab kematian putranya.
"Baiklah! Tapi setelah itu bunda tidak mau kamu berhubungan lagi dengan perempuan pembawa sial ini. Ingat itu." Tante Lani beranjak meninggalkan Dinda bersama Zea. Dinda tersenyum lega karena sang bunda mengizinkan Zea melihat jenazah kakaknya untuk yang terakhir kalinya.
"Yuk, Zea." Dinda menuntun Zea masuk ke dalam rumah duka. Zea melangkah gontai mengikuti langkah kaki Dinda. Lidah Zea kelu. Berbicara pun tak lagi mampu. Zea terpaku menatap tubuh yang terbujur kaku di hadapannya. Air mata mengalir seiring kenangan kembali terputar indah di memorinya.
***
Tiga bulan lalu
Seseorang berjalan mengendap-endap di belakang Zea dan menutup matanya.
"Jangan berteriak atau kau akan kubunuh," ancam orang tersebut. Zea kaget dan mencoba memberontak. Namun, ia merasakan sesuatu menempel di lehernya.
"Ka-kamu mau a-apa? Sa-saya akan berikan apa pun. Ta-tapi jangan sakiti Saya," pinta Zea. Orang tersebut hanya tersenyum mendengar ketakutan Zea. Ia meletakkan apa yang tadi ia pegang dan merogoh saku celananya.
"Tutup matamu jangan coba-coba mengintip," ancamnya dengan nada mengintimidasi.
"I-iya iya." Zea menutup matanya. Orang tersebut memakaikan sebuah kalung ke leher Zea. Zea mengernyitkan dahi saat merasakan ada sesuatu yang melingkar di lehernya.
"Sekarang buka mata kamu," suruh orang tersebut. Zea membuka matanya pelan dan mendapati dua puluh empat kuntum bunga tulip di hadapannya.
"Happy second anniversary, Zea," bisik orang tersebut. Zea berdiri dan membalikan badannya.
"Surprise." Zea membekap mulutnya. Matanya berkaca-kaca. Bagaimana tidak? Orang yang tadi mengancamnya adalah kekasihnya sendiri, Dika.
"Hei, apa ini?" Dika menghapus air mata Zea dengan lembut.
"Maafkan aku jika aku membuatmu takut, Sayang. Tapi ini aku lakukan untuk kamu." Dika menangkup pipi gembil Zea lalu mencium kening gadisnya itu. Ia menarik Zea dan mendekap hangat sang kekasih. "Selamat hari jadi yang kedua, Zea. Terima kasih sudah mendampingi aku dalam suka dukaku. Terima kasih sudah berada di sisiku saat aku sehat dan sakit. Terima kasih telah mewarnai hidupku yang kelabu ini. Love you more, Zea Anastasya," bisik Dika. Zea menyandarkan kepalanya ke dada bidang Dika.
"Love you too, Dika Pratama."
***
Tangan Zea gemetar meraih penutup jenazah yang ada di hadapannya itu dan membukanya perlahan. Air mata Zea semakin mengalir deras saat mendapati wajah pucat pasi orang yang ia cintai. Ia menangkup kedua pipi yang sudah kaku dan dingin itu lalu mengusapnya pelan.
"Dik, bangun. Aku di sini. Aku di samping kamu. Aku janji aku gak akan meninggalkanmu lagi. Aku mohon bangun, Dik," bisik Zea. Namun, tubuh itu hanya bergeming. Zea mencium kening jenazah Dika.
"Zea ...," panggil Dinda. "percuma kamu melakukan itu. Kak Dika tidak akan bangun. Dia sudah meninggalkan kita. Kamu ikhlaskan kepergiannya ya." Dinda mencoba menenangkan Zea. Namun, perkataannya tersebut justru dihadiahi tatapan sinis dari Zea.
"Kamu dengar kan, Dik? Mereka menyumpahi kamu meninggal. Hanya aku, hanya aku yang yakin kamu masih hidup. Aku mohon, Dik. Buka mata kamu untuk aku. Aku mohon." Dinda menghela napas beratnya. Ia bingung bagaimana menyadarkan Zea akan kenyataan.
"Din, semuanya sudah siap. Jenazah kakak kamu bisa dimandikan sekarang," ucap seorang bapak-bapak.
"Lakukan, Pak," jawab Dinda. Beberapa orang lelaki mendekati jenazah Dika dan mengangkatnya.
"Apa-apaan ini, Pak? Dika mau dibawa ke mana?" tanya Zea dengan penuh kepanikan. "Dika bisa jalan, Pak. Dia tidak lumpuh," lanjutnya. Zea menarik tubuh kaku Dika dan membuat kondisi kacau.
"Zea, lepas. Mereka mau memandikan jenazah Kak Dika." Dinda berusaha menenangkan Zea. Zea tidak menghiraukan ucapan Dinda. Ia terus menarik tubuh kaku Dika dan membuat beberapa orang tadi menyerah dan kembali meletakkan Dika di tempat semula. Zea bergegas memeluk tubuh kaku Dika dengan posesif. Ia tak mengizinkan siapa pun mendekati tubuh itu.
"Kalian gila? Kalian pikir dia mati? Tidak! Dikaku masih hidup. Dia hanya tidur. Sebentar lagi dia akan bangun. Kalian lihat saja." Zea berteriak histeris kepada orang-orang tersebut. Dinda hanya menghela napas beratnya.
"Nak Dinda, bagaimana ini? Sebentar lagi masuk waktu zuhur. Kami harus memandikan jenazahnya sekarang," ucap salah satu dari mereka.
"Bawa saja, Pak. Mandikan jenazahnya. Biar gadis ini Saya yang mengatasinya." Lelaki itu mengangguk cepat dan kembali mengangkat jenazah Dika bersama rekan-rekannya. Zea kembali histeris berusaha menggapai-gapai tubuh kaku Dika. Dengan sigap Dinda menahannya.
"Lepas, Din. Mereka mau bawa Dika pergi. Dik, Dikaaaa ... Kalian mau bawa Dika ke mana? Lepasin aku, Dinda." Zea mencoba memberontak dari dekapan Dinda.
"Dika, Dikaaaa ...." Dinda geram. Ia membalikkan badan Zea hingga mereka berhadapan sekarang.
"Adik macam apa kau ini? Kau membiarkan mereka memandikan Dika seolah-olah Dika tak mampu melakukannya. Kau menyumpahi Dika mati. Kau menyumpahi kakakmu sendiri. Kau tak layak dijadikan sebagai adik untuk Dika," maki Zea. Dinda mengepalkan tangannya menahan emosi yang akan meluap. Ia tak ingin menyakiti gadis kesayangan kakaknya itu.
"Hentikan mereka sekarang juga, Din. Atau aku yang akan menghentikannya," ancam Zea. Dinda masih bergeming di tempatnya. Ia tidak menghiraukan ancaman Zea.
"Oke baiklah, sepertinya harus aku yang turun tangan." Zea menghapus air matanya dan hendak beranjak pergi namun, ia ditahan Dinda. Dinda menariknya kasar sehingga Zea kembali berhadapan dengannya.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Zea membuat gadis itu membulatkan mata menyadari apa yang dilakukan Dinda. Semua orang berdiri setelah menyaksikan kejadian tersebut. Dicky dan Alvin mendekati Dinda dan Zea.
"CUKUP, Zea!" bentak Dinda. Ia sudah muak dengan kekonyolan gadis yang ada di hadapannya ini.
"Kamu pikir kamu aja yang kehilangan Kak Dika. Semua orang di sini sangat kehilangannya. Aku, bunda, Dicky, Alvin dan semuanya kehilangan Dika. Namun, kami tidak berlebihan seperti dirimu. Kami justru bahagia. Bahagia karena Kak Dika tidak lagi kesakitan. Dia sekarang bebas dari penderitaannya selama bertahun-tahun. Apa kau mau melihat Kak Dika menderita setiap waktunya? Apa kau tega melihat Kak Dika kesakitan sepanjang hari? Bukan hanya kamu yang menyayangi Kak Dika. Kami juga menyayanginya. Kalau kamu seperti ini sama saja kamu menyiksa Kak Dika." Dinda meluapkan emosi yang sejak tadi ia tahan. Dicky mengusap kedua pundak Dinda mencoba menenangkan adik dari sahabatnya itu. Dinda menghela napas berat. Ia menyesali atas perbuatannya tadi. Dinda menghapus air mata Zea dengan lembut dan menggenggam tangan gadis yang menjadi kesayangan sang kakak.
"Kalau kamu menyayangi Kak Dika, ikhlaskan dia. Doakan agar jalannya lurus di sana. Air matamu hanya memberatkan langkah Kak Dika. Ia gak akan tenang di alamnya kalau kamu seperti ini. Aku yakin kamu kuat. Kami semua ada untuk kamu." Zea tak mampu lagi berucap. Hanya isakan tangis yang terdengar lirih. Dinda, Dicky dan Alvin memeluk Zea.
"Maafkan aku, Din. Aku terlalu takut menyadari jika ini semua bukan mimpi. Aku hanya belum siap menerima kenyataan pahit ini. Maafkan aku, Din." Dinda hanya mengangguk.
"Aku yakin kamu bisa kuat, Zea. Kamu perempuan hebat. Aku ada untuk kamu, Zea," bisik Dinda.
***
Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)
Comment on chapter Mei Kelabu