Read More >>"> Koma (Perasaan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Jam istirahat. Lara mengajak Vanda dan Sesil ke kantin untuk membahas hasil seperempat ketikan naskah yang berhasil dirampungkan Lara semalam. Lara meminta mereka untuk mengkoreksi kalimat yang kurang pas maupun dialog yang tidak mewakili suasana hati para tokoh.

Mereka duduk di pojok kantin di meja panjang yang dapat memuat tiga orang pada masing-masing sisi meja. Mereka memilih bangku pada sisi meja yang menghadap ke dinding, duduk berjejer dengan Lara berada di posisi tengah.

"Aku tak tahu ini bagus atau tidak, tapi setidaknya aku sudah mencoba yang terbaik." Lara menyalakan notebook-nya, membuka file ketikan dan membiarkan Vanda dan Sesil membaca.

"Hm." Sorot mata Sesil bergerak mengikuti barisan kalimat.

"Wait!" Vanda mencegah Sesil menurunkan scroll. "Kita harus menyelami kalimat yang tertulis."

Sesil mengedikkan bahunya. "Oke."

"Selagi kalian membaca, aku akan pesan makanan." Lara beranjak dari duduknya. "Kalian mau apa?"

"Milkshake," kata Vanda tanpa melepaskan pandangannya dari layar.

"Kamu, Ses?"

"Aku lagi diet."

Lara memperhatikan bentuk tubuh Sesil yang kadung langsing. Mau seperti apa lagi, pikirnya, lalu beranjak ke konter makanan.

"Bagus," komentar Vanda.

"Bagus?" ulang Sesil dengan nada perlawanan. "Bahkan cerita ini belum menunjukkan konflik yang dialami para tokoh."

"Aku tidak menyebutkan spesifikasi penilaian."

"Lalu bagian mana yang menurut kamu itu bagus?"

"Entahlah. Menurutku ini bagus karena aku tidak mampu membuatnya."

"Yang beginian aku juga bisa."

"Faktanya tulisan kamu ditolak, bukan?"

"Itu karena Bu Konde tidak berkompeten menilai sebuah masterpiece."

Vanda memutar matanya. "Masterpiece, huh?"

"Pasti, dong."

"By the way, apa yang membuat sikapmu berubah?"

"Sorry, what?"

"Apakah ini trik?" Vanda menoleh ke samping, menatap Sesil penuh selidik.

Sesil gugup.

"Aku jahat. Memang. Tapi aku juga punya sisi baik yang perlu kauketahui juga."

"Jujur saja, aku tidak percaya padamu."

"Terserah kamu. Aku lebih menghargai penilaian Lara atas diriku daripada kecurigaanmu yang berlebihan."

Lara kembali sambil membawa nampan berisi sepiring gorengan, Milkshake dan dua botol softdrink, lalu duduk di seberang Vanda dan Sesil yang berubah canggung.

"Bagaimana?" tanyanya, menyadari perubahan sikap mereka. "Apa ada yang perlu diperbaiki?"

"Kurasa tidak," jawab Vanda.

"Yakin?" Lara tidak percaya begitu saja. "Menurut kamu, Ses?"

"Aku sependapat dengan Vanda."

Lara bingung menanggapi perubahan sikap mereka. "Oke." Hanya itu yang mampu ia ucapkan, selebihnya dia memilih menikmati bakwan dan menyesap softdrink.

"Ehem!" Seseorang berdehem di belakang mereka.

Vanda dan Sesil mengangkat wajahnya, memandangi orang yang berdiri di belakang Lara. Sello. Sesil segera memainkan ekspresi centilnya untuk menarik perhatian Sello. Lara melirik dari balik bahunya sekilas.

"Hei," sapa Sello. "Boleh aku culik Vanda sebentar?"

"Jika yang ingin kaubicarakan tentang naskah, sebaiknya orang yang pantas kau culik itu Lara. Bukan aku."

Lara nyaris tersedak mendengar namanya disebut-sebut. Ekspresi centil Sesil pun memudar, kecewa tepatnya.

"Oh, bukan. Bukan tentang naskah. Ini sedikit privasi. Boleh?"

Lara bisa menebak kemana arah pembicaraan mereka nanti, lalu dia mengedipkan mata kepada Vanda yang memandanginya dengan ekspresi tanya.

"Well," Vanda bangkit dari duduknya. "Sebaiknya kau menyediakan tempat yang nyaman buatku."

"As your wish." Sello menggandeng lengan Vanda dan membawanya keluar dari kantin.

"Aku tidak suka sama temanmu," beritahu Sesil, tak lama kemudian.

"Vanda?"

"Siapa lagi?"

"Yah, dia memang sedikit tomboy, tapi hatinya baik."

"Apa di matanya orang selalu jahat?"

"Um," Lara diam sejenak memikirkan kalimat yang tidak berpihak. "Kadang ada orang yang bersikap antipati terhadap kejadian buruk yang pernah dilaluinya. Tapi percayalah, Vanda tidak seperti itu. Dia bisa menerima perubahan."

Sesil  menghela nafas. "Aku harap juga begitu."

"Nah," desah Lara, menarik notebook ke hadapannya. "Sambil menunggu bel berbunyi, aku mau meneruskan cerita ini. Kamu?"

Sesil mengerutkan hidungnya. "Jika kau butuh bantuan, aku ada di sini."

"Terima kasih."

Ketika Lara dan Sesil berkutat dengan penulisan naskah drama, di bangku taman sekolah, Vanda dibuat bingung dengan pertanyaan konyol Sello.

"My dream?"

"Benar. Apa yang kau mimpikan semalam?"

"Apa itu penting?"

"Ya."

"Dengar, jika kau butuh uang aku bisa meminjamkannya padamu. Sebutkan saja berapa nominalnya, tapi, oh, please... aku tak mau mimpiku jadi alat untukmu berjudi. Kenapa tidak kau datangi saja dukun atau eyang sakti untuk mendapatkan nomor yang sakti pula?"

"Eh?" Sello melongo, lalu menepuk jidatnya.

"Apa?"

"Aku tahu kau juga ada rasa padaku. Kenapa tidak jujur saja, sih?"

"Wait, wait, wait. Tadi kau bicara soal mimpi. Sekarang soal perasaan. Apa maksudmu? Bukankah kita sudah sepakat untuk berteman?"

"Aku ingin mengubah pandangan persahabatan kita menjadi sesuatu yang lebih bermakna lagi. Aku ingin kau jadi pacarku. Kekasihku."

"Kau sudah tahu jawabannya."

"Aku sudah tahu. Jauh dari lubuk hatimu, kau ada rasa padaku. Hanya saja kau enggan mengakui perasaan itu karena terlanjur mengikat hubungan atas nama persahabatan."

"Bukankah itu lebih bagus. Kita masih muda. Banyak hal yang akan kita lalui dan kita tidak tahu apa yang terjadi di kemudian hari. Apakah hubungan kita terus berlanjut atau kandas di tengah jalan. Jika kandas di tengah jalan bukankah sebagai kekasih kau akan menjadi mantan dan hubungan kita akan berjarak dan canggung. Lain halnya dengan persahabatan. Hubungan kita akan mengalir seperti air. Tidak ada beban."

"Kenapa sih kamu keras kepala begini?"

"Aku tidak keras kepala. Aku hanya mempertahankan prinsipku saja."

"Itu bukan prinsip. Bagiku itu sebuah penolakan yang bikin nyesek."

"Kenapa kau jadi sentimentil begitu?"

"Kau tidak jujur."

"Aku berkata apa adanya."

"Tidak."

"Terserah."

Sello mengangkat tangannya seraya menghela nafas. "Baiklah, aku tidak memaksamu, tapi bukan berarti aku menyerah. Aku akan tetap begini sampai kau, hatimu siap menerimaku." Diam sejenak. "Sebelum bel berbunyi, dapatkah kau menceritakan mimpimu semalam?"

Vanda berdecak. "Aku tidak mengingatnya." Dia mengkernyitkan dahinya ketika mengingat mimpi mengerikan yang selalu menghantuinya akibat rasa bersalah yang mendalam karena telah melukai seseorang. Dan mimpi itu pula satu-satunya mimpi yang tak dapat dilupakannya.

"Ck. Sayangnya aku bukan Edward Cullen!"

"Dan aku bukan Bella Swan!"

Mereka membisu, membiarkan desau angin kian menggaduh.

Sampai jam sekolah bubar, Vanda masih memikirkan percakapan di taman sampai-sampai dia mengabaikan keberadaan Lara yang memperhatikan dirinya bergelut dengan kegalauan selama perjalanan pulang.

"Mendadak kau jadi pendiam. Ada apa?" Lara memberanikan diri bertanya.

Vanda menggeleng pelan. Pandangannya jatuh lurus ke depan, di antara kenderaan yang berseliweran.

"Bicara apa Sello padamu?"

"Dia menyatakan perasaannya padaku, lagi."

"Lalu?"

Vanda mengekeh. "Kau mengenal diriku."

"Mengapa tidak kau coba saja?"

"Aku tahu tapi bagaimana? Aku tidak ada rasa padanya."

"Kau bisa membayangi dirinya mengenakan make-up plus pakai wig dengan gaya bob yang dihiasi bando telinga kelinci."

Vanda mengekeh. "Ha, ha, ha. Nggak lucu!"

"Aku serius."

"Bagaimana denganmu?"

"Masih ada Idan dan Jujun. Perlu kau tahu, Idan pernah menyatakan cintanya padaku. Tapi aku menolaknya lantaran selera ngedate-nya yang payah."

"Oh, ya?"

"Mm-hm."

"Wah, kupikir tak seorang pria pun yang tertarik padamu."

"Jangan menghina."

"Sorry, tapi aku tetap tidak bisa menerima cintanya. Seandainya disuruh memilih, maka aku akan memilih dirimu."

"Itu takkan pernah terjadi."

"Aku tahu."

"Kusarankan kau mencobanya dulu. Sello bisa saja menjadi jalan bagimu untuk 'sembuh'."

"Aku tidak sakit."

"Kau sakit, sayang."

"Kok kamu ngotot begitu?"

"Karena aku peduli."

"Aku tak ingin mengorbankan perasaanmu padaku."

"Ini bukan soal perngorbanan. Ini soal cinta. Sello cuma mencintaimu. Bukan aku."

"Yakin?"

"Selama kamu mau menjalaninya, selama kamu mau berubah, selama kamu tidak jatuh cinta kepadaku, aku meyakini apa yang kulakukan adalah benar."

"Ok, akan kucoba demi kamu."

"Dan kita harus merayakannya hubungan kalian segera."

"Dan aku memintamu bernyanyi lagi untukku."

"Deal."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
R.A
82      52     0     
Romance
Retta menyadari dirinya bisa melihat hantu setelah terbangun dari koma, namun hanya satu hantu: hantu tampan, bernama Angga. Angga selalu mengikuti dan mengganggu Retta. Sampai akhirnya Retta tahu, Angga adalah jiwa yang bimbang dan membutuhkan bantuan. Retta bersedia membantu Angga dengan segala kemungkinan resiko yang akan Retta hadapi, termasuk mencintai Angga. - - "Kalo nanti ka...
Drapetomania
292      159     0     
Action
Si mantan petinju, Theo Asimov demi hutangnya lunas rela menjadi gladiator bayaran di bawah kaki Gideon, laki tua yang punya banyak bisnis ilegal. Lelah, Theo mencoba kabur dengan bantuan Darius, dokter disana sekaligus partner in crime dadakan Theo. Ia berhasil kabur dan tidak sengaja bertemu Sara, wanita yang tak ia kira sangat tangguh dan wanita independensi. Bertemu dengan wanita itu hidupnya...
Forestee
13      13     0     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
When Punkers Fall In Love
124      74     0     
Romance
Ric : Aku hanya seorang badboy dengan tangan kotor penuh noda. Apa mungkin dapat memetik mawar itu? Sekuntum mawar yang tumbuh di tepian jurang, dan tak seorang pun mampu meraihnya. Nai : Aku hanya seorang gadis buruk rupa. Apa mungkin pria tampan itu benar mencintaiku? Bukan sekedar menggoda, mengerjai, dan mempermainkan hatiku.
Black World
64      47     0     
Horror
Tahukah kalian? Atau ... ingatkah kalian ... bahwa kalian tak pernah sendirian? *** "Jangan deketin anak itu ..., anaknya aneh." -guru sekolah "Idih, jangan temenan sama dia. Bocah gabut!" -temen sekolah "Cilor, Neng?" -tukang jual cilor depan sekolah "Sendirian aja, Neng?" -badboy kuliahan yang ...
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
318      251     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
Sekotor itukah Aku
481      261     0     
Romance
Dia adalah Zahra Affianisha. Mereka biasa memanggilnya Zahra. Seorang gadis dengan wajah cantik dan fisik yang sempurna ini baru saja menginjakkan kakinya di dunia SMA. Dengan fisik sempurna dan terlahir dari keluarga berada tak jarang membuat orang orang disekeliling nya merasa kagum dan iri di saat yang bersamaan. Apalagi ia terlahir dalam keluarga penganut islam yang kaffah membuat orang semak...
Parloha
217      139     0     
Humor
Darmawan Purba harus menghapus jejak mayat yang kepalanya pecah berantakan di kedai, dalam waktu kurang dari tujuh jam.
After Rain [Sudah Terbit]
81      66     0     
Romance
Bagaimana rasanya terjebak cinta dengan tiga laki-laki yang memiliki hubungan saudara? Bilamana hujan telah mempertemukan kita berteduh di bawah payung yang sama, maka hujan juga bisa memisahkan apa yang sama-sama kita rasa, kemudian memulangkan kembali semua kenangan yang ada. Copyright ďż˝ 2018, Deka Lika
Melawan Tuhan
73      53     0     
Inspirational
Tenang tidak senang Senang tidak tenang Tenang senang Jadi tegang Tegang, jadi perang Namaku Raja, tapi nasibku tak seperti Raja dalam nyata. Hanya bisa bermimpi dalam keramaian kota. Hingga diriku mengerti arti cinta. Cinta yang mengajarkanku untuk tetap bisa bertahan dalam kerasnya hidup. Tanpa sedikit pun menolak cahaya yang mulai redup. Cinta datang tanpa apa apa Bukan datang...