Read More >>"> BALTIC (Lost in Adventure) (IV. Mit Dir 2 (Bersamamu 2)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - BALTIC (Lost in Adventure)
MENU
About Us  

 

Netra Sava semakin berbinar ketika melihat pemandangan di hadapannya, sebuah lapangan luas yang dikeliling bangunan kuno bernuansa gotik. Di tengahnya berdiri menjulang sebuah monument yang di ujungnya terdapat patung Bunda Maria berlapiskan emas - monumen Mariensaule, yang menjadi tanda berakhirnya penjajahan Swedia selama 30 tahun di tahun 1638 dan asal-usul nama Marienplatz. Selain itu, banyak café dan restaurant yang menyajikan makanan khas Jerman dan kopi untuk teman nongkrong sambil menikmati suasana pusat kota Munich yang tidak pernah sepi.

"Ini adalah salah satu atraksi paling menarik di Munich. Rathaus-Glockenspiel." Elbert membuka kembali lembar contekannya, membuat Sava menahan senyum.

Elbert berdeham, "jadi, Rathaus-Glockenspiel itu semacam pertunjukan boneka yang diiringi musik. Itu, kamu bisa melihatnya di sana, di atas Naeus Rathaus." Elbert menunjuk ke sebuah bangunan menara jam gotik di sisi kiri Sava.

Tepat ketika Sava menoleh, tepat di bawah jam yang menghiasi menara itu, beberapa boneka mulai bergerak - diiringi dengan musik perkusi selama beberapa saat

Tepat ketika Sava menoleh, tepat di bawah jam yang menghiasi menara itu, beberapa boneka mulai bergerak - diiringi dengan musik perkusi selama beberapa saat. Ada boneka yang sedang naik kuda, membawa pedang, dan mereka juga berpakaian layaknya prajurit perang.

"Rathaus-Glockenspiel ini sedang menceritakan tentang sejarah kota Munich. Kamu mau dengar sejarahnya?"

Sava kembali menggeleng - sejarah bukan favoritnya, tanpa melepaskan pandangannya pada boneka yang masih menari, layaknya boneka penari balet dari kotak musik yang dulu pernah dia miliki.

Selesai menyaksikan pertunjukan Rathaus-Glockenspiel, hari sudah semakin sore dan perut mereka sudah mulai minta diisi. Akhirnya Sava dan Elbert memutuskan untuk makan siang di salah satu restaurant di sekitaran Viktualienmarkt.

"Kamu mau makan apa?" tanya Elbert sembari matanya menelusuri daftar menu. Mereka sudah duduk di salah satu restaurant di sekitar Viktualienmarkt yang menjual makanan khas Jerman. Semula Elbert mengajak Sava ke restaurant Turki, namun ditolaknya. "Mumpung di Jerman, aku ingin merasakan makanan unik Jerman." Begitu tadi Sava bilang.

"Aku akan pesankan untukmu."

Sava mengangkat tangannya, "tidak perlu. Aku bisa sendiri. Aku juga sedikit mengerti makanan Jerman kok."

"O ya?"

Sava mengangguk, lalu kembali menelusuri deretan menu berbahasa Jerman di tangannya. "Aku sudah lapar sekali! Aku mau pesan sekarang. Entschuldigung (Permisi)." Ujarnya sembari mengangkat tangan memanggil pelayan.

"Ich möchte jetzt bestellen (Saya ingin pesan sekarang)." Sava tersenyum, kemudian seorang pelayan wanita segera mengeluarkan sebuah note kecil dari saku apron yang dipakainya.

Elbert bertepuk tangan dan mengacungkan ibu jarinya saat Sava mengucapkan satu kalimat sederhana dengan pelafalan sempurna - memujinya.

Sava berdeham, memandang penuh percaya diri pada pelayang di sebelahnya yang sudah siap mencatat pesanan Sava, "Ich möchte einen Apfelsaft. Ich möchte einen halve Hahn (Satu jus apel. Satu porsi 'setengah ayam'). Kamu ngga keberatan kan kalau aku pesen halve hahn? Aku sangat kelaparan!"

Elbert menggeleng cepat, senyuman kembali menghiasi wajahnya. "Apa kamu tahu makanan apa itu halve Hahn?"

Sava menggeleng, "tapi bukannya sudah jelas? Halve itu setengah. Hahn itu ayam. Jadi Halve Hahn itu adalah makanan dimana setengah porsi ayam utuh akan disajikan untuk disantap."

"Kamu memang pintar!" Elbert bertepuk tangan. "Ich möchte einen falscher hase und einen apfelsaft." Ujar Elbert pada pelayan kemudian. Setelah mengulangi pesanan Elbert dan Sava, pelayan itu kemudian undur diri.

"Jam berapa kita akan ke Allianz?"

"Pertandingan mulai pukul delapan malam. Kurasa setelah ini kita kembali ke hotel untuk bersiap, lalu langsung pergi."

Sava mengangguk.

"Sava." Panggil Elbert. "Kamu yakin pergi sendiri ke Baltik?"

Sava mengangguk sambil menerima jus apelnya yang dari pelayan café, kemudian meminumnya beberapa teguk. "Kamu adalah orang kedua yang meragukanku."

"Benarkah? Memangnya siapa yang pertama?"

"Sahabatku, Nina. Apa kamu khawatir?"

Elbert tidak menjawab, dia hanya mengehela nafas.

"Kamu mau menemaniku?"

Ini diluar rencana awal Sava yang ingin berpetualang sendirian. Tapi, dia masih ingin menghabiskan waktu bersama Elbert, belum ingin berpisah dengan lelaki di depannya ini, saat lusa - entah mengapa.

Elbert menegakkan punggungnya mendengar tawaran Sava. Tak perlu berpikir dua kali, memang pertanyaan itulah yang diharapkannya keluar dari mulut Sava sejak dia mendengar Sava akan melakukan solo traveling ke negara-negara Baltik.

"Tapi aku tidak bisa pergi bersamamu lusa nanti. Aku akan menyusulmu. Berikan aku nomor ponselmu." Elbert sudah bersiap mengetik nomor ponsel Sava, menyimpannya dengan nama koalaweibchen. Sava kemudian menyebutkan nomor ponsel yang digunakannya selama liburan ini.

Hati Sava seketika bersorak, Elbert tidak menolak tawarannya. Meskipun lelaki itu tidak akan pergi bersamanya besok. Elbert termasuk lelaki jerman yang sibuk. Dia bukan dokter hewan seperti om Hans, melainkan seorang dokter bedah di salah satu rumah sakit di pusat kota Memmingen.

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Satu per satu pelayan wanita tadi menyajikan makanan di meja. Seketika itu juga tatapan kosong Sava melayang menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Sungguh berbeda dari yang dibayangkannya. Setengah potong ayam berbumbu lenyap begitu saja dari angannya. Di seberang meja, Elbert berusaha menahan tawanya melihat ekspresi Sava, yang dalam kepalanya - Elbert yakin - banyak muncul pertanyaan di sana.

"Ini halve Hahn?" tanya Sava setengah percaya pada Elbert, jari telunjuknya mengarah ke sebuah piring di depannya yang menyajikan setangkup roti dan keju gauda.

 

Elbert tak lagi sanggup menahan tawanya, melihat Sava yang sebentar lagi pasti mengomel.

"Kenapa kamu tidak memberitahu aku, kalau isinya hanya keju dan roti! Aku kan sudah bilang kalau aku sangat lapar." Gerutu Sava. Kan?

"Kupikir kamu memang tahu seperti apa halve Hahn itu." Elbert masih terkekeh.

"Tadi waktu aku menjelaskan halve Hahn versiku, kenapa kamu malahan bertepuk tangan memujiku? Kamu sengaja mengerjaiku lagi?!"

"Maaf...maaf. Sudah jangan marah. Kamu bisa makan falscher hase." Ujar Elbert sembari menggeser salah satu piring kosong ke arah Sava yang masih manyun.

Masih menggerutu, Sava menerima uluran piring itu, kemudian menyendok dua potong falscher hase dari dalam pinggan panas di tengah meja

Masih menggerutu, Sava menerima uluran piring itu, kemudian menyendok dua potong falscher hase dari dalam pinggan panas di tengah meja.

"Makanlah dengan ini", Elbert meletakkan dua kentang ukuran sedang di piring Sava, kemudian mengambil kentang dan falscher hase untuk dirinya sendiri.

"Apakah ini benar-benar daging kelinci?" tanya Sava penasaran sambil membolak-balikan sepotong falscher hase yang ada di atas piringnya. Matanya sesekali memicing, berusaha memperhatikan setiap detail setumpuk irisan daging di hadapannya.

Elbert tergelak mendengar kesimpulan Sava, "bukan. Itu hanya nama saja. Ini bukan benar-benar daging kelinci." Jawabnya sembari meminum seteguk jus apelnya.

Sava memandang bingung pada Elbert, meminta penjelasan lebih lanjut.

"Ini terbuat dari daging sapi cincang yang dicampur dengan telur dan tepung, kemudian diberi bumbu. Cocok kalau kamu memakannya dengan kentang." Kali ini Elbert kembali menyendok sepotong falscher hase dari dalam pinggan panas di depannya.

"Hm...pantas saja rasanya seperti steak." Ujar Sava dengan mulut penuh. Elbert hanya tersenyum melihat tingkah Sava dengan pipi gembulnya yang mengunyah daging dalam mulutnya.

Mereka makan siang sambil menikmati atmosfer Viktualienmarkt yang tidak pernah sepi pengunjung. Baik itu penduduk lokal, dari luar Munich, maupun turis. Beberapa kali di kejauhan netra Sava menangkap rombongan turis dari Asia - sepertinya juga dari Indonesia, membuatnya teringat dengan keluarganya.

Setelah menyelesaikan makan siang, mereka bergegas kembali menuju hotel, bersiap untuk pertandingan nanti malam di stadion Allianz.

---------

"Sepertinya tante dan om ngga bisa ikut juga nih. Om masih sedikit pusing."

Sava merasa tak enak hati saat tante Ria memberitahu kondisi om Hans yang tidak bisa ikut menonton pertandingan. Malam ini terpaksa dia kembali menghabiskan harinya bersama dengan Elbert, berdua saja.

"Ya udah kita batalin saja, Tante."

"Jangan. Udah kamu berangkat aja sama El. Dia juga suka kok nonton bola." Tante Ria mengambil tasnya yang berada di nakas, kemudian memberikan dua lembar tiket pada Sava, "ini tiketnya. Bayern Munich lawan Juventus, ini pertandingan besar! Udah buruan sana berangkat. Di kereta pasti penuh. Hati-hati." Ujarnya sambil menggandeng lengan Sava keluar dari kamarnya.

"Tapi, om Hans kemana?"

"Ada, lagi di kamar mandi." Jawab tante Ria sembari menutup pintu kamar hotelnya, kemudian melangkah bersama Sava menuju lobi hotel. Di sana, Elbert sudah siap dengan setelan celana jins dan kaos jersey Bayern Munich miliknya, tidak lupa dengan topi yang juga berlogo klub sepak bola dengan sebutan all star team itu.

"Kamu sengaja bawa baju ini ya?" tanya tante Ria sambil menunjuk baju jersey Elbert. Dengan bangga Elbert membusungkan dadanya agar baju dengan garis putih-merah itu terlihat lebih jelas. Sava tertawa melihat interaksi antara Elbert dan tante Ria. Ia senang, meskipun Elbert belum sepenuhnya menerima tante Ria sebagai mama tirinya - atau itu hanya perasaan Sava saja - tapi mereka terus berusaha mengakrabkan diri.

"Ayo." Ajak Elbert, kembali menggandeng tangan Sava.

"Kita berangkat dulu, Tante." Pamit Sava sambil menyalami tangan tante Ria, kemudian melangkah menuju stasiun subway terdekat bersama Elbert.

"Mereka udah pergi, Sayang?"

Tante Ria mengangguk. "Udah, ayo sekarang kita jalan-jalan sendiri."

Om Hans menyerahkan tas tante Ria, kemudian malam itu mereka memutuskan untuk jalan-jalan di pusat kota dan makan malam romatis bersama.

Sedangkan Sava dan Elbert langsung menuju stasiun Marienplatz yang malam itu sangat penuh sesak karena dipadati The Bavarians dan Juventini (fans Juventus) yang bergerak menuju stasiun Fröttmaning - stasiun pemberhentian untuk tujuan Allianz Arena. Elbert sedikit memeluk Sava saat mereka berdiri berdesakan di dalam subway. Tinggi Sava yang hanya sebahu rata-rata orang Jerman, membuat gadis itu terlihat seperti liliput di tengah para raksasa. Beberapa kali tubuhnya terhuyung memeluk Elbert, karena seorang pria bertubuh gempal yang berada di belakangnya tanpa sengaja mendorongnya.

Setengah jam perjalanan berasa hamburger itu akhirnya berakhir, mereka tiba di stasiun Fröttmaning. Mengikuti the Bavarians berjalan menaiki tangga keluar, dan langsung disambut oleh langit yang sudah mulai gelap. Mereka melewati jembatan penghubung antara stasiun dan area stadion. Berlanjut ke area parkir kendaraan yang belum terlalu penuh, beberapa supporter meneriakan yel-yel dan menyanyikan lagu himne klub, tak ketinggalan Sava dan Elbert yang kini mulai ikut membaur bersama supporter lainnya.

Aiaiaiai,

FC Bayern Muenchen,

Wir singen und tanzen auf dem Fussballfeld,

Ein Schuss,

Ein Tor,

Die bayern...

Di kejauhan terdapat kincir angin raksasa yang sedang berputar pelan dan beberapa lampu penerangan yang berbentuk seperti balon udara. Tepat di depan pintu masuk utama, sebuah boneka maskot - Berni - berukuran super jumbo menyambut para Bavarians. Terakhir yang paling memukau adalah warna lampu kubah stadion yang berwarna biru menyala - dan berganti warna tiap jamnya, sangat berhasil membuat Sava melongo kagum - hingga Elbert membantunya menutup mulut.

 

"Ayo ikut." Elbert mendorong tubuh Sava menuju toko merchandise. Elbert langsung berjalan menuju bagian kaos jersey, diambilnya sebuah kaos dan menempelkannya ke tubuh Sava. "Hm...terlalu kecil. Sebentar." Dia kembali sibuk memilih ukuran jersey untuk Sava.

"Tidak usah."

"Jangan, kamu harus pakai juga. Ini, ukuran ini pas untukmu. Ayo." Elbert langsung membayar beberapa Euro, dan langsung menyuruh Sava untuk mengganti pakaiannya.

"Nah, kalau begini kan kita seperti pasangan."

Blush.

"Pasangan apa? Semuanya juga memakai baju yang sama di sini. Berarti aku juga pasangan mereka?"

"Tidak. Kamu hanya milikku."

"Hah? Apa maksudmu?"

"Hah? Apa? Yang mana?"

"Tadi kamu bilang aku adalah milikmu."

"Benarkah? Lupakan." Elbert kembali meraih tangan Sava, membawanya melewati kerumunan orang yang masih menunggu pertandingan dimulai.

"Kemana lagi?"

"Beli camilan." Elbert menggandeng Sava langsung menuju bistro yang memang disediakan oleh pihak Allianz Arena sebagai salah satu fasilitas untuk pengunjung. Biasanya bistro ini akan tutup jam 6 sore waktu Jerman, namun jika ada pertandingan, jam bukanya akan lebih lama. Elbert memesan tiga donat untai kepang, dua sandwhich, empat pretzel, dan dua minuman soda berukuran besar.

"Kita akan makan itu semua?" tanya Sava tak percaya saat pesanan Elbert sudah ada di depan mereka.

"Kita akan bawa ini kedalam. Aku yakin dengan nafsu makanmu, di pertengahan pertandingan, kamu akan kelaparan lagi." Ejek Elbert, membuat Sava melayangkan pukulan ke lengan kekarnya. "Kamu mau ke bar dulu? Di sini para supporter bisa berkumpul di sana sembari menunggu pertandingan dimulai."

Sava menggeleng, "pasti ramai sekali di sana."

Elbert menyedot minumannya dan mengangguk, "ya sudah kita langsung masuk saja."

Setelah menaiki tangga menuju tribun penonton, dan mencari beberapa saat, akhirnya mereka menemukan tempat duduk mereka yang berada di sisi kiri stadion. Sudah banyak Bavarians yang duduk sambil mengobrol, maupun mengemil camilannya. Seorang pria duduk di sebelah Sava, seketika membuat keningnya mengernyit.

"Elbert, bukankah ini kursi om dan tante?" tanya Sava.

"Oh, mereka mengerjai kita. Hanya ada dua tiket. Mereka ingin kita pergi berkencan." Jawab Elbert santai sambil membuka bungkus roti lapis isi tuna, kemudian memberikannya pada Sava, "makanlah."

"Apa kita sedang berkencan?" tanya Sava sembari menerima roti lapis pemberian Elbert.

"Pergi berdua, makan berdua, memakai baju sama, apa kita tidak seperti pasangan?" tanya Elbert dengan jarak wajahnya yang sangat dekat dengan Sava. Sava buru-buru memalingkan wajahnya, menatap ke depan, lalu memakan roti lapisnya. Elbert hanya tersenyum melihat Sava yang sudah salah tingkah.

Tak berapa lama terdengar pengumuman bahwa pertandingan segera dimulai. Dari tempatnya duduk, sambil sesekali melihat layar besar yang menampilkan para pemain Bayern Munich keluar menuju pinggir lapangan sambil melambaikan tangan, bersamaan dengan pemain Juventus. Kemudian sang komentator memperkenalkan satu per satu nama pemain, yang disambut bavarians dengan membeokan nama belakang para pemain Bayern Munich. Setelah itu, pertandingan berlangsung seru selama dua babak. Tidak ada perpanjangan waktu, dan berakhir dengan skor 1-0 untuk kemenangan Bayern Munich.

"Kencan yang sempurna." Ujar Elbert pelan di samping Sava, saat gadis itu masih terpukau dengan perayaan kemenangan klub bola favoritnya.

 

Bersambung...

 

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    Baru tau soal negaral baltic. :D

    Comment on chapter I. Leaving England
Similar Tags
Lusi dan Kot Ajaib
176      77     0     
Fantasy
Mantel itu telah hilang! Ramalan yang telah di buat berabad-abad tahun lamanya akan segera terlaksana. Kerajaan Qirollik akan segera di hancurkan! Oleh siapa?! Delapan orang asing yang kuat akan segera menghancurkan kerajaan itu. Seorang remaja perempuan yang sedang berlari karena siraman air hujan yang mengguyur suatu daerah yang di lewatinya, melihat ada seorang nenek yang sedang menjual jas h...
LUCID DREAM
6      6     0     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)
The Difference
189      89     0     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
Phased
17      15     0     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...
Kyna X Faye
51      25     0     
Romance
Keiko Kyna adalah seorang gadis muda pemilik toko bunga. Masa lalu yang kelam telah membuat gadis itu menjauhi dunia keramaian dan segala pergaulan. Namun siapa sangka, gadis pendiam itu ternyata adalah seorang penulis novel terkenal dengan nama pena Faye. Faye sama sekali tak pernah mau dipublikasikan apa pun tentang dirinya, termasuk foto dan data pribadinya Namun ketika Kenzie Alcander, seo...
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
105      43     0     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
(Can’t) Treat You Better
4      4     0     
Romance
Raydan cuma mau hidupnya yang lama kembali; papinya, maminya, adik kembarnya, dan kenangan indah tentang keluarganya. Dan yang dia dapat malah Lava, pacar yang sebenarnya tidak dia butuhkan sama sekali selain demi 'keuntungan dirinya sendiri'. Tapi who knows kalau ternyata satu-satunya penolong agar dia bisa mewujudkan keinginan besarnya itu hanyalah Lava, cewek yang di hari depan nanti akan dia ...
Tembak, Jangan?
5      5     0     
Romance
"Kalau kamu suka sama dia, sudah tembak aja. Aku rela kok asal kamu yang membahagiakan dia." A'an terdiam seribu bahasa. Kalimat yang dia dengar sendiri dari sahabatnya justru terdengar amat menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin, dia bisa bahagia di atas leburnya hati orang lain.
Simbiosis Mutualisme
7      7     0     
Romance
Jika boleh diibaratkan, Billie bukanlah kobaran api yang tengah menyala-nyala, melainkan sebuah ruang hampa yang tersembunyi di sekitar perapian. Billie adalah si pemberi racun tanpa penawar, perusak makna dan pembangkang rasa.
The Dark Woods
19      13     0     
Fantasy
Ini adalah kisah tentang pertempuran antara kaum PENYIHIR dan kaum KESATRIA yang selalu menjadi musuh bebuyutan. Sesibuk itukah kaum Penyihir dan kaum Kesatria untuk saling memerangi sehingga tidak menyadari kembalinya kekuatan jahat yang sudah lama hilang ?