Aroma gurih dari bubur nasi yang baru saja matang itu menguar memenuhi dapur. Seorang wanita berusia akhir tiga puluhan itu langsung mematikan api. Mengaduknya sekali lagi untuk memastikan bubur nasi buatannya benar-benar sudah matang. Setelahnya, wanita itu menyuruh seorang asisten rumah tangga untuk melanjutkan pekerjaan, memasak lauk yang tadi sudah disiapkannya.
Mata berwarna coklat cerah itu sama sekali tak terlihat lelah meskipun seluruh peluh memenuhi tubuhnya. Raut wajahnya terlihat hangat dan ramah. Tubuhnya yang ramping itu kini sudah berdiri di depan anaknya. Anak perempuan yang sudah duduk di sana bahkan sejak wanita itu mulai memasak.
“Kamu nggak bilang dari kemaren kalo mau bawa bekal. Ibu belum belanja.”
Mendengar jawaban ibunya itu, Tasya sama sekali tak terlihat kecewa. “Bawain apa aja deh, Bu.”
Ibunya itu tertawa pelan. “Bubur?” Tasya menggeleng kuat-kuat. Ibunya mengerti. Dia juga hanya basa-basi menanyakannya. Dengan cekatan, wanita itu berbalik, memeriksa isi kulkas dan mulai menyiapkan bekal makan siang untuk anaknya.
“Memangnya makanan di kantin nggak ada yang enak, Sya?” Ayahnya yang baru saja menelan sesendok nasi goreng sarapannya itu bertanya penasaran.
“Enak-enak banget malah, Yah. Baksonya apalagi. Somaynya juga.”
“Terus?”
“Kantinnya ada di bangunan belakang, Yah. Dan sekarang udah mendung.” Bukan Tasya, melainkan Nata yang menyahuti. Laki-laki itu juga baru saja menghabiskan sepiring sarapannya.
“Kamu jangan coba ujan-ujanan, Sya.” Ayahnya itu memperingatkan. Kemudian ia tertawa pelan. Dia juga segera menghabiskan sarapannya, beranjak pergi. “Ayah duluan, ada kecelakaan pagi ini.” Pria itu mendekati Tasya, mencium keningnya. Lalu berjalan melewati Nata, mengusap kepalanya sekali sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
Tasya selalu menyukai rutinitas pagi harinya seperti ini. Dan bagian terbaiknya adalah saat ayahnya pamit untuk pergi bekerja karena pria itu selalu mencium keningnya. Rasanya? Hangat sekaligus malu. Rasa kagum akan ayahnya sendiri itu tak pernah sedikitpun berkurang, bahkan dari dulu.
Tak lama kemudian, ayahnya kembali muncul dari balik pintu. Menatap Tasya dan Nata yang masih duduk santai di meja makan.
“Itu, Pak Mul udah nungguin. Emangnya kalian nggak upacara?”
“Astaga! Ini hari senin!”
***
Pak Mul, sopir mereka itu menjadi bulan-bulanan Tasya dan Nata sepanjang jalan. Untunglah pria paruh baya itu sudah mengenal mereka bahkan sejak dalam kandungan. Jika tidak, mungkin Pak Mul akan langsung menepi dan memutuskan untuk menendang mereka keluar dari mobil.
“Pak udah telat nih!”
“Pak cepetan!”
“Pak buruan!”
“Pak!”
“Pak!”
“Pak!”
Pak Mul hanya bisa mengehela nafas, menebalkan telinga mendengarkan teriakan mereka yang bersahutan dan saling menimpali. Lebih baik konsentrasi pada jalan saja, pikirnya. Mau secepat apapun, mereka sudah terlambat sejak masih di rumah tadi.
Akhirnya penderitaan selama perjalanan bagi Pak Mul itu selesai sudah. Mereka sampai. Pria itu langsung menepikan mobilnya, dan belum sampai sedetik mobil itu berhenti, Tasya dan Nata sudah melompat turun, berlarian menuju pintu gerbang sekolah yang sudah terkunci.
Mereka berdua secara otomatis langsung berdiri di barisan murid terlambat lainnya. Ikut upacara di depan gerbang. Mendengarkan samar-samar suara pembina dari dalam sana. Dan menyesali mengapa mereka harus berlarian tadi.
“Gara-gara lo nih sarapannya kelamaan.” Tasya berbisik ke arah Nata setelah nafasnya cukup teratur. Sedangkan Nata yang membenci olahraga itu sudah kehilangan semua energinya, tidak lagi memiliki selera untuk meladeni ucapan Tasya.
Tasya menengadahkan kepala. Awan tebal menutupi langit di atas sana. Tak ada sedikitpun celah bagi matahari untuk menampakkan sinarnya. Tapi tetap saja, udara panas memenuhi tubuh Tasya yang tertutup sweeter tebal berwarna merah muda. Perempuan itu mulai mengibas-ngibaskan tangannya, berharap ada sedikit udara sejuk yang muncul dari sana.
Karena kibasan tangan itu sama sekali tak membantu, Tasya berniat membuka sweeternya. Tapi diurungkan saat dia menyadari membuka sweeter di barisan saat ini bukanlah hal etis. Apalagi hampir semua orang yang berdiri di dekatnya adalah laki-laki. Akhirnya perempuan itu memutuskan untuk merogoh tas, mencari karet gelang yang terselip entah dimana.
“Pegangin bentar.” Perempuan itu menyodorkan bekal makan siangnya kepada Nata yang berada di belakang tanpa menoleh. Dia mulai mengikat rambutnya, menggelungnya tinggi.
Tasya bisa bernafas sedikit lega karena lehernya yang mulai berpeluh itu mendapatkan sedikit udara. Membiarkan kesiur angin pelan membelai kulitnya. Perempuan itu hendak berbalik mengambil bekal makan siangnya saat dia menyadari siapa yang berdiri di barisan sebelahnya sedari tadi.
Warna.
“Eh, lo kapan datengnya?” Tasya mendekatkan sedikit tubuhnya ke arah Warna, berbicara dengan suara pelan agar tidak ketahuan oleh guru BK yang mengawasi di depan sana.
“Sebelum lo,” jawabnya singkat.
“Oh ya?”
Warna hanya mengangguk. Tasya menarik tubuhnya, kembali ke barisan.
“Anak kelas kita siapa lagi yang telat?” Tasya melanjutkan.
Warna menggerakkan kepala, ujung dagunya mengarah ke arah barisan paling sebelah kiri, barisan laki-laki. “Itu anak kelas kita.”
Mulut Tasya membentuk huruf-‘o’, mengangguk paham, senang. “Untung rame.” Sekarang perempuan itu tertawa, lupa bahwa awalnya dia kesal karena terlambat.
Tasya berjalan satu langkah ke belakang. Hendak mendekati Nata, berniat menggodanya. Sambil menatap ke depan, Tasya berbisik, “Gua tebak, kawan kelas lo pasti nggak ada yang terlambat.”
“Enggak kok, Dek. Itu di depan lo temen sekelas gua semua.”
Tasya langsung berbalik. Begitu pula dengan Warna dan beberapa orang lainnya yang berbaris di depan mereka. Nata yang berdiri dua baris di belakangnya itu menatap heran. Sedangkan laki-laki yang berbaris tepat di belakang Tasya itu sudah menarik kepalanya menjauh, tersenyum, mengangkat kotak makan siang yang tadi Tasya berikan.
Sejenak perempuan itu menahan nafas. Menyadari siapa laki-laki itu. Nuril, kelas 12-IPA-4.
Tasya masih ingat bagaimana kakak kelasnya itu selalu menjadi bahan perbincangan sejak masa orientasi sekolah. Dia adalah tipe laki-laki yang tidak akan bisa dilupakan karena keramahannya. Senyumnya? Jangan ditanya. Sangat memesona. Karena itulah, Nuril mendapatkan gelar sebagai Kakak Ter-Favorit, Kakak Ter-Ganteng dan Kakak Ter-Baik. Semua gelar yang diperebutkan panitia MOS saat hari terakhir itu dilibasnya.
“Maaf, Kak. Saya kira temen saya tadi.” Tasya tersenyum canggung sekaligus gugup. Malu sendiri. Buru-buru dia mengambil kotak makan siang itu. Sebelum berbalik, Tasya sempat memelototi Nata di belakang sana yang masih menatapnya dengan tak mengerti.
“Lo jangan galak-galak, Sya. Gua yang nyuruh tuker tempat tadi.” Nuril tertawa pelan, merasa lucu melihat tingkah perempuan yang tingginya hanya sebahunya itu.
Warna yang berdiri di samping Tasya itu tersenyum entah kenapa. Tentu saja dia akan bertukar tempat dengan Nata demi mendekati perempuan itu, pikirnya. Kemarin, saat hujan turun dan Tasya baru saja pergi bersama Nata, laki-laki itu datang dengan beberapa temannya. Ke tempat dimana Tasya berdiri sebelumnya, menunggu hujan reda.
“Yah, udah pulang duluan do’i,” ungkap kecewa Nuril melihat Tasya yang sudah pulang bersama Nata.
“Mereka berdua itu pacaran?” salah satu temannya itu terdengar penasaran, menatap Tasya dan Nata yang masih berjalan pelan di tengah lapangan.
“Nggak, mereka cuma tetangga. Yah, mau pacaran atau nggak pun, gua nggak peduli sih.”
“Berarti bisalah dideketin.”
“Coba aja lo deketin kalo mau bonyok ditangan gua.” Nuril berkata santai, masih tersenyum. Tasya baru saja masuk ke dalam mobil jemputannya di depan gerbang sana. Kemudian laki-laki itu memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, berjalan pergi menuju ruang ekskul.
Sepeninggalan Nuril, Warna ikut beranjak. Hujan sudah tidak sederas tadi. Hanya menyisakan butir-butir gerimis halus. Laki-laki itu sempat berdiri mematung, menatap langit sekali lagi.
Gua benci hujan.
***
Murid-murid yang terlambat itu baru saja selesai menuliskan nama mereka di buku keramat milik guru BK. Dua kali nama mereka tertulis di sana, maka kehadiran hari itu akan dianggap absen sepanjang pelajaran. Dan jika sudah mencapai tiga kali, maka siap-siap orang tua harus datang ke sekolah.
“Mengerti?”
Suara lantang yang dipaksakan itu menggema di lapangan. Menanggapi ucapan guru mereka yang marah besar karena jumlah murid yang terlambat hampir menyentuh angkat seperempat dari jumlah keseluruhan muridnya.
Tasya memilih berjalan sejajar dengan Warna dibandingkan Nata yang berjalan sedikit jauh di belakang mereka. Perempuan itu masih menggerutu karena Nata sudah mempermalukannya tadi.
“Tasya!”
Tasya berhenti. Menoleh. Begitu pula dengan Warna di sampingnya. Nuril yang baru saja memanggilnya.
“Lo tambah cantik dikuncit kayak gitu!”
Secara otomatis murid-murid yang baru saja bubar barisan dan masih berada di sekitar sana langsung ikutan menoleh. Gombalan yang diucapkan dengan lantang dan terang-terangan di tengah lapangan itu membuat semua yang mendengar menjadi tertarik. Beberapa bahkan sudah menyoraki. Kakak kelas yang tadi berdiri di belakangnya itu kembali tersenyum, tertawa saat teman-teman seangkatannya meninju perutnya karena ucapannya barusan.
Tasya menyentuh rambutnya yang masih dia ikat karena kepanasan setelah berlari tadi. Malu. Segera dia berbalik, berjalan secepat yang dia bisa. Meninggalkan Warna. Dan Nata yang baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Mangats muut
Comment on chapter PROLOG