Mitha namanya. Sosok wanita muda. Aku tidak tahu apakah dia sudah pantas disebut seorang wanita karena sejujurnya dia terlihat sangat belia seperti anak baru lulus kuliah, dan… Polos! She’s so innocent, or at least, looks innocent. Aku tidak punya niat apapun saat berkenalan dengannya. Aku hanya bosan menunggu David yang sangat lama dengan terus-menerus sibuk dengan gadget dan hanya melihat pemandangan orang berenang. Syukurlah keberuntungan masih memihakku. Datanglah Mitha sendirian karena laki-laki yang bersamanya meninggalkannya berenang. Awalnya aku takut kalau dia akan menolakku duduk di sampingnya, tapi aku tetap memberanikan diri. Di luar dugaan, dia sangat welcome. Aku bahkan tidak menyangka bisa bercakap-cakap sebentar dengannya, yah, meskipun hanya basa-basi singkat.
Dari percakapan singkat kami itu, aku jadi tahu kalau dia belum lama bekerja di hotel dan dia memang tinggal di Jogja – aslinya memang dari Kota Gudeg ini. Oh ya, dia datang bersama seorang cowok yang boleh dibilang cukup tampan, tapi sungguh sayang dia bilang dia bukan pacarnya. Awalnya aku kira dia berbohong, tapi sorot matanya menunjukkan kejujuran saat dia mengatakannya. Sesekali mataku mencuri-curi kesempatan untuk melihat ke arah kolam renang. Bocah laki-laki itu sedang berenang, dan mencuri-curi pandang ke arah kami duduk, tepatnya ke arah Mitha.
Walaupun terbilang cukup singkat, dan obrolanku penuh basa-basi tak penting, rasanya aku benar-benar menikmati saat-saat singkat bersama bocah itu. Ada perasaan nyaman ketika bersamanya. Ini aneh. Dia sudah bisa kupastikan jauh lebih muda dariku, tapi herannya aku merasakan ada suatu kesamaan diantara kami, yang masih menjadi tanda tanya. Rasanya ada yang mengganjal, tapi aku tidak tahu apa.
Selain Mitha, ada satu hal lagi yang aku notice dari para pengunjung kolam renang ini. Seorang wanita muda yang mungkin seumuran dengan Mitha terus memperhatikan kami, aku dan Mitha. Seorang bocah yang duduk di pinggiran kolam renang. Dia baru saja berenang. Terlihat dari tubuhnya yang masih basah. Dia duduk beristirahat di pinggiran kolam memainkan kedua kakinya di dalam air sambil memerhatikan kami.
Percakapanku dengan Mitha harus berakhir karena David memberitahuku kalau dia sudah ada di lobi hotel. Sore ini aku dan dia berencana jalan-jalan ke Hartono Mall. Akhirnya aku dapat menghela napas lega karena dia sudah selesai dengan meetingnya. Inilah saat yang kutunggu-tunggu. Pergi berdua bersamanya. Menghabiskan waktu bersama-sama.
“Duluan, ya, Mit. Aku dah dijemput di lobi.” Begitulah akhirnya aku berpamitan dengan Mitha.
“Hati-hati, ya, Kak!” balasnya sambil mengangguk dan memberikan senyum perpisahan.
Aku memandangnya sesaat, dan segera berdiri, beranjak dari kurisku. Dalam hatiku, aku membatin dan berharap kami bisa bertemu lagi. Tapi, bagaimana caranya? Otakku langsung berpacu dan berpikir keras. Tidak sampai hitungan detik, aku langsung membalikkan tubuhku ke arahnya.
“Eh, boleh minta nomor WA kamu?” Aku bersyukur otak cerdasku langsung menemukan ilham brilian.
Mitha terdiam menatapku, sepertinya dia tidak mempercayai apa yang barusan didengarnya.
“Besok kalau mau tanya atau request sesuatu ke kamu jadi gampang. Nggak usah telpon ke resepsionis. Suka sibuk soalnya telponnya.” Begitulah aku berdalih.
“Tapi aku nggak pegang HP kalau kerja, Kak.”
“Oh, iya kah? Ya udah, nggak apa-apa, Mit. Pas kamu istirahat kan pegang HP,” paksaku. Paksaanku kali ini berhasil membuatnya bingung dan setuju untuk memberikan nomornya. Got it!
“Oke. Thanks, ya, Mit! Aku duluan!”
Dengan sekali lambaian tangan, aku berpisah dengannya. Ekor mataku menangkap wanita di kolam renang itu masih memerhatikan kami.
***
David terlihat sedang duduk di sofa lobi. Dirinya selalu terlihat gagah, tak pernah bercacat cela. Dia menengadahkan wajahnya dari gadget dan melihatku yang datang menghampirinya. Langkah kakiku terdengar mantap melangkah menghampirinya.
“Ayo!” ajaknya. Dia sudah berdiri, bersiap pergi. Aku mengusap pundaknya dan mengusap bagian bawah kaosnya yang agak kusut karena tertekuk saat duduk tadi. Seperti biasa, dia tersenyum karena kebiasaan lamaku yang tidak pernah hilang.
“Kaosmu kusut,” ujarku mengerti isi kepalanya. Dia menggandengku dan membawaku keluar dari lobi. Taksi pesanan kami sudah menunggu di pintu lobi ternyata.
“Nanti kita beli kaos couple, yuk? Nih, aku dah lihat-lihat di Instagramnya. Bagus, kan?” Begitu duduk di mobil, aku langsung menunjukkan akun Instagram toko baju couple yang cukup terkenal. David hanya manggut-manggut sambil tersenyum-senyum melihat tingkahku. Dia selalu mengatakan kalau aku mempunyai sisi kekanak-kanakan yang kuat, baik itu yang baik atau pun yang buruk. Dia selalu bilang di saat aku merengek seperti ini atau bersikeras untuk mendapatkan sesuatu darinya, aku terlihat menggemaskan karena sisi kekanakanku menjadi sangat dominan. Terlebih lagi ketika aku bermanja-manja dengannya.
Jalanan sore ini lumayan padat, apalagi jalur menuju mall yang kami tuju. Dengan motor kau bisa sampai dalam waktu yang lebih singkat. Tapi dengan mobil kau harus berlama-lama menunggu karena macet. Di sepanjang perjalanan David tidak terlalu banyak bicara. Aku sudah beberapa kali memancingnya untuk menceritakan hasil meetingnya tadi, tapi dia bilang tidak ada yang istimewa dan semua berjalan lancar seperti biasanya. Sebenarnya aku ragu. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Raut wajahnya berbeda, seperti sedang menanggung beban. Tidak biasanya dia bersikap begini, tapi aku juga tidak mau memaksanya. Aku selalu memberinya ruang untuk sendiri sampai akhirnya dia sendiri yang menceritakan masalahnya tanpa perlu kupaksa dan kudesak.
“Nanti jangan hedon-hedon, ya, Shar.” Kami sudah sampai dan dia mengatakan hal yang tidak pernah kuinginkan.
“Kenapa, sayang?” Aku berusaha untuk menjaga nada bicaraku tetap tenang dan tidak terkesan memprotes.
“Kamu tahu, kan, akhir-akhir ini bisnis lagi kurang baik. Daya beli turun. Dolar juga naik drastis. Aku banyak tanggungan dan keperluan lain.” Meskipun begitu, tangannya tetap menggenggamku dengan erat.
Pikiranku melayang kepada kejadian beberapa bulan lalu. Waktu itu aku tidak sengaja mendengar percakapannya dengan seseorang di telpon. Aku memang tidak mendengar jelas percakapannya dari awal, tapi yang jelas terdengar olehku adalah pembahasan soal kasus suap dan manipulasi pajak. Sejak saat itu, aku sebenarnya ingin menanyakan kepada David apakah dia sedang tersangkut kasus semacam itu, tapi aku tak punya cukup keberanian karena David biasanya hanya mengatakan tidak ada apa-apa dan meyakinkanku kalau semuanya baik-baik saja. Kadang, jika mood-nya buruk, reaksinya malah akan marah jika aku menanyakan hal semacam itu. Berbulan-bulan sejak kejadian itu, semuanya masih berjalan baik-baik saja. Namun, saat ini sepertinya ada masalah serius yang sedang dihadapinya. Aku tidak yakin kalau dia berkata jujur soal keluhannya tentang daya beli yang turun dan dolar yang naik drastis. Hatiku mengatakan kalau ada hal lain yang berusaha disembunyikannya. Dan aku curiga dengan masalah kasus itu. Aku pikir ini adalah saat yang tepat untuk memberanikan diri menanyakannya.
“Vid, ada yang mau aku tanyakan,” ujarku dengan hati-hati. Jantungku berdegup dengan lebih kencang kali ini. Kurasakan telapak tanganku menjadi dingin seketika, meskipun berada dalam genggaman tangannya.
Pandangan David yang tadinya lurus ke depan, kini diarahkan kepadaku. Dia menoleh melihat wajahku dengan tatapan yang agaknya menunjukkan sedikit ketakutan. Ada sebersit kewaspadaan di sorot matanya. “Apa?” jawabnya singkat, dan dingin.
Jantungku berdetak lebih kencang. Mulutku kubuka dan kukatupkan rapat-rapat berulang kali. Perasaan sesal sempat merasuk ke diriku. Kenapa juga aku harus berniat menanyakannya? Meskipun pandangan mataku manatap deretan counter mall di samping kami, aku dapat merasakan pandangan David yang menelisik ke mimik wajahku yang menjadi aneh dan gugup.
“Kamu mau tanya apa, Sharon?”
Aku menghembuskan napas panjang. “Kamu ada masalah apa? Ceritalah sama aku. Jujurlah, Vid. Please.”
Langkah kami memelan secara otomatis. Sepertinya David terkejut mendapati diriku yang ‘berani’ menanyakan masalahnya.
“Beberapa bulan yang lalu aku nggak sengaja dengar kamu telpon seseorang. Waktu itu udah malam. Sepertinya jam satu atau jam 2 dini hari. Aku dengar betul kamu bicara tentang suap dan manipulasi pajak.” Kurasakan ada getaran takut di dalam suaraku.
David diam saja. Tidak memandangku dan tidak berkomentar.
“David?” panggilku lagi. Mungkin saja dia tidak mendengarku.
“Hmm? Kamu mungkin mimpi,” jawabnya singkat.
Aku berhenti dan melepaskan gandenganku dari tangannya. Melihat reaksiku yang begitu rupa, dia juga berhenti. “Aku serius,” tukasku.
David mendengus malas. Terlihat dia mengacak-acak rambutnya. “Oke, aku akan ceritakan ke kamu, tapi nanti. Nggak sekarang, nggak di sini. Banyak orang. Nanti kalau udah sampai di hotel, aku janji aku akan cerita ke kamu. Tapi, please, keep di kamu aja, ya?”
Aku mengangguk. Perasaan dan dugaanku selama ini benar. David menggandeng tanganku kembali dan mengajakku untuk melihat ke salah satu counter baju kesukaanku. Dengan seluruh kepalsuannya, dia berusaha menorehkan senyum manis nan palsu kepadaku.
@KurniaRamdan39 waahh makasih yaa koreksinyaaa <3
Comment on chapter Episode 1