“Vaford? Kenapa kita tidak ke Clarcton?” Seraphina mempertanyakan kota yang saat ini mereka tuju.
“Seraphina, ini sudah kedua kalinya kita mengunjungi kediaman para Proaxis...” jawab Camellia seraya melipat kakinya dengan anggun. “Kau tidak ingat apa yang terjadi padamu di dalam sana?”
“A-Aku ingat...”
“Lalu mengapa kau masih mempertanyakannya?”
“Apa maksudmu?”
Victor bahkan sampai menghela nafas karena mendengar pertanyaan dari Seraphina. “Seraphina, kau adalah satu-satunya orang yang mengetahui kebenaran di balik peristiwa gerhana merah itu. Tetapi kau tidak bisa melihatnya, karena ingatanmu terkunci. Setiap kedatangan kita ke kediaman Proaxis, kau selalu menghilang dengan sendirinya. Dan ketika kau kembali, sedikit demi sedikit ingatanmu terbuka.”
Seraphina akhirnya mengerti mengapa mereka akan pergi ke kota Vaford. Mereka akan mengunjungi kediaman Aired.
“Apa kau akhirnya paham, Otak Udang?” tanya Camellia dengan tatapan menyindirnya.
“Kau tidak perlu memanggilku Otak Udang!”
Seraphina berjalan ke tepi kapal dan menyandarkan tubuhnya di pagar tersebut seraya mengamati laut lepas di sekeliling mereka. Kediaman Aired yang berarti mereka akan bertemu dengan Achille, Nexis pelayan Aired.
Achille sangat pendiam. Dia tidak pernah mendatangi kediaman Proaxis yang lain jika tidak diperintahkan oleh Aired. Ditambah setiap pertemuan para Nexis, Achille jarang sekali menyuarakan pendapat. Pernah terpikir sekali oleh Seraphina bahwa Achille itu tunarunggu. Bukan hanya Seraphina, banyak orang dan bahkan Aired sekali pun.
“Mel...” panggil Seraphina pada Camellia yang berada di dekatnya. “Menurutmu Achille memihak pada siapa?”
Camellia tidak bisa menjawab pertanyaan Seraphina. Dia tidak pernah sekalipun berbicara pada Achille. Karena itu, Camellia tidak tahu apa yang Achille pikirkan sekarang. Hal itu pun menggelitik rasa penasaran Camellia.
“Apa kau dan Achille pernah berbicara? Seperti, berbicara mengenai... ya... tugas-tugas Nexis atau sebagainya?” tanya Camellia pada Seraphinya penasaran.
“Tidak. Aku bahkan sudah tidak ingat suaranya.”
“Aku baru tahu bahwa ada manusia yang kuat untuk tidak berkomunikasi dengan sesamanya untuk waktu yang lama. Manusia itu... mahluk sosial, bukan?”
“Entahlah, aku mulai meragukannya.”
Di hadapan mereka, mulai terlihat Pulau Gamcola, pulau paling Timur negara Heclary. Victory Ghost dilabuhkan di antara pulau kecil dan pulau besar tersebut. Dengan perahu kecil, Camellia, Kenneth, Seraphina dan Victor berangkat menuju Pulau Gamcola.
Tidak jauh dari tempat mereka tiba, kota Vaford sudah terlihat. Seraphina mulai memakai jubahnya kembali.
Tapi sungguh terkejutlah mereka ketika melihat para prajurit yang banyak sudah berjaga di depan gerbang.
“Kenapa mereka banyak sekali?” tanya Seraphina kebingungan dan waspada.
Mereka makin terkejut ketika ada beberapa prajurit yang datang dari belakang mereka. Seperti kedatangan mereka sudah diduga oleh kota Vaford.
“A-Apa ini..?” tanya Kenneth bingung seraya waspada pada sekelilingnya.
“Bersikaplah sewajarnya...” perintah Camellia dengan suara pelan.
Dari gerbang kota Vaford, seorang pria dengan rambut berwarna biru terang, pakaian dengan nuansa seorang Nexis dan memiliki sepasang manik mata berwarna jingga seperti kulit jeruk, berjalan ke arah mereka. Pedangnya bertengger di pinggangnya.
“Achille..?” gumam Seraphina bingung ketika melihat sosok tersebut.
Tatapannya yang datar serta bibirnya yang tak pernah tersenyum, sama sekali tidak berubah sejak tiga tahun yang lalu. Camellia dan Seraphina mampu mengenali wajah tersebut dengan mudah.
Namun mereka juga tahu bahwa Achille menentang mereka sama seperti yang lain.
Achille menyibak jubahnya yang tertiup angin. Tatapan dinginnya terarah pada Seraphina. Setelah bertatap-tatapan cukup lama, Achille berbalik dan berjalan menjauh.
Seraphina yang mengira bahwa suara Achille sangat lembut dan hangat, rupanya berubah menjadi tegas dan sangat dingin.
“Kabar itu benar. Tangkap mereka.”
Perintah dingin Achille dituruti oleh para prajurit. Sedikit demi sedikit, para prajurit mendekat ke arah Camellia, Kenneth, Seraphina dan Victor. Mereka masih diam dan berwaspada akan sekitarnya.
“Jika aku tak salah...” kata Victor pada teman-temannya. “Menembus kota Vaford, kita akan bertemu danau tiga warna, Danau Ellswin. Mereka tidak akan mengejar kita sampai sana karena danau tersebut memiliki banyak cerita.”
“Jadi kita melarikan diri?” tanya Seraphina pada Victor.
“Tentu! Kita tidak boleh terus-menerus menyakiti orang-orang tidak bersalah!”
“Tidak bersalah?!” Amarah Seraphina memuncak karena mendengarkan perkataan Victor. “Mereka menuduhku dan kau masih ingin membela mereka?!”
“Mereka dibutakan, Seraphina! Mereka hanya mengikuti perintah tuan mereka!”
“Jika kita memang ingin melarikan diri,” kata Camellia menengahi perdebatan Seraphina dan Victor. “Maka lebih baik kita lakukan sekarang!”
Camellia, Kenneth, Seraphina dan Victor mulai berlari ke arah kota. Camellia menciptakan beberapa Noefin untuk menyibukkan para prajurit.
Sesampainya di dalam kota, mereka kembali berpencar namun dengan satu tujuan tempat yang sama, Danau Ellswin. Camellia membuat ilusi prajurit-prajurit lain untuk membingungkan mereka.
Camellia dan Kenneth berlari di atas atap, sementara Seraphina dan Vicor tetap berlari menembus kerumunan orang-orang.
Warga kebingungan karena aksi kejar-kejaran yang dilakukan oleh para prajurit. Namun akhirnya beberapa dari mereka sadar bahwa orang yang dikejar oleh para prajurit adalah Seraphina Allemend, pengkhianat yang membunuh para Proaxis.
“Jangan biarkan mereka lolos!” seru prajurit-prajurit pada warga yang mempersempit jalan mereka.
Tapi kelincahan Seraphina dan Victor bukan tandingan masyarakat biasa. Dalam keadaan sempit seperti ini pun, mereka berhasil keluar dari keramaian dengan mudah.
Camellia dan Kenneth sudah keluar dari kota dan mengambil jalan sedikit memutar untuk menghindari para prajurit. Tapi hal itu berdampak buruk pada Seraphina dan Victor. Prajurit-prajurit yang kehilangan jejak Camellia dan Kenneth pun akhirnya mengejar Seraphina dan Victor pula.
“Kenapa semakin banyak?!” tanya Seraphina geram melihat para prajurit yang tidak lelah mengejar mereka. “Tidak ada yang mengejar Camellia dan Kenneth?!”
“Sepertinya mereka berhasil membuat para prajurit kehilangan jejak mereka... Dan akhirnya mereka pun mengejar kita,” jawab Victor dengan senyum santainya.
Di hadapan mereka, gerbang kota Vaford sudah terlihat. Walau begitu, para prajurit makin dekat pada mereka. Seraphina sudah mulai kelelahan.
Mendadak, Achille muncul di tengah-tengah gerbang kota Vaford. Ia berjalan dengan santainya untuk menghalangi jalan mereka.
“Achille...” gumam Seraphina melihat sosok di tengah-tengah gerbang tersebut.
“Menyerahlah,” kata Achille dingin seraya menghunuskan pedangnya.
“Tidak akan!” Seraphina mengeluarkan pedangnya dan menyerang Achille. Sementara itu, Victor menembaki para prajurit dengan peluru biusnya. “Achille, biarkan kami lewat dan aku akan melupakan perbuatanmu ini!”
Achille tidak menjawab ancaman Seraphina. Tapi ia terus meladeni tebasan pedang dari Seraphina. Karena terlalu lelah, Seraphina tidak mampu fokus dalam pertarungannya dengan Achille.
Pedang Seraphina pun terlempar oleh Achille. Senjatanya terlepas dari tangannya. Seraphina pun tidak memiliki senjata untuk melawan Achille.
“Menyerahlah dan kami tidak akan melukaimu,” kata Achille seraya menghunuskan pedangnya di dekat leher Seraphina.
Seraphina tahu bahwa ia masih memiliki satu lagi senjata. Tapi ia tidak ingin memakainya di hadapan Victor. Hanya kakaknya Raphaela dan Aminta yang pernah melihat senjatanya yang lain itu. Seraphina tidak berani untuk menunjukkannya pada orang lain.
“Seraphina!” seru Victor yang melihat Seraphina sudah terpojok. Salah seorang prajurit melihat Victor yang lengah. Ia memukul Victor dengan sangat keras menggunakan punggung pedangnya.
Victor pun jatuh ke tanah. Beberapa prajurit memeganginya dan mendekatkan pedang mereka ke leher Victor.
Mereka sudah terpojok. Seraphina tahu bahwa Camellia dan Kenneth tidak akan kembali dalam waktu dekat. Hanya dia yang bisa menyelamatkan Victor dan dirinya dari kekacauan ini.
Seraphina memegang pedang yang Achille hunuskan menggunakan tangan kirinya yang penuh dengan perban. Seraphina menggenggamnya dengan sangat erat. Seraphina mencoba mendorong pedang itu ke satu sisi. Achille yang menahannya pun mendorong pedangnya ke sisi yang lain.
Pedang itu pun patah menjadi beberapa bagian.
“Kau menyembunyikan niat bertarungmu, Achille...” kata Seraphina seraya melepas perban di tangan kirinya. Tangan kirinya yang hitam pekat dengan sedikit keunguan terlihat oleh orang-orang di tempat itu. “Kau tidak akan memakai pedang murahan itu jika kau berniat melawanku. Dimana pedang pemberian Tuan Aired?”
Achille hanya menatap Seraphina dalam diam. Seraphina mencoba mengatur nafasnya.
Perlahan, tangan kirinya diselimuti oleh aura ungu yang tampak mengerikan. Tangan kirinya perlahan berubah... membesar dan memanjang... bagai tangan seekor monster yang sangat besar dengan jari-jari tajam yang siap menerkam siapapun.
“Lepaskan pria itu dan aku takkan melukai bawahanmu,” kata Seraphina dengan tatapan dingin pada Achille. Seraphina sangat serius dengan perkataannya dan Achille sendiri tahu hal itu. Suara Seraphina bahkan membuat Achille sedikit merasa takut.
Achille melirik ke arah Victor. Para prajurit yang melihatnya pun melepaskan Victor. Victor segera bangkit berdiri dan belari ke sisi Seraphina. Sementara itu, Achille menyingkir dari tengah gerbang. Seraphina dan Victor pun langsung berlari keluar kota.
“Apa tidak apa-apa kita melepaskan mereka?” tanya salah satu prajurit pada Achille.
“Setelah melewati Danau Ellswin,” kata Achille seraya berjalan mendekati bawahannya. “Mereka akan sampai di Kota Pineshell. Lebih dari itu, hanya dataran tinggi. Mereka tidak akan bisa pergi dari Pulau Gamcola tanpa melewati Vaford.”
“Ide yang cemerlang seperti biasanya, Tuan Achille!” seru salah prajurit. “Tapi apa yang harus kita persiapkan untuk melawan tangan itu?”
Achille diam. Ia tidak menjawab pertanyaan prajurit tersebut dan hanya berjalan menembus kerumunan prajurit di hadapannya. Tapi langkahnya berhenti ketika ia mendengar prajuritnya yang lain mulai berbicara. “Ah! Aku dengar dari bawahan Tuan Ralph, setiap Nexis mendapat rangkaian sihir baru untuk menangkap Seraphina!”
Achille berbalik dengan tatapan datar. Para bawahannya melihat ke arahnya dengan tatapan penasaran. Ia pun mulai berbicara dengan suara yang tegas. “Ralph memberikanku rangkaian sihir anti-noefin. Segera kembali ke markas!”
“Baik!”
* * *
Camellia dan Kenneth segera bangkit berdiri ketika melihat kedatangan Seraphina dan Victor. “Kenapa kalian begitu lama?”
“Maaf Mel,” kata Victor yang kemudian terkekeh. “Tapi jika kalian tidak tiba-tiba menghilang, prajurit-prajurit yang mengejar kami tidak akan bertambah.”
“Benar juga... Aku tidak berpikir sampai sana...” kata Kenneth geli. “Maaf juga jika begitu.
Camellia melirik ke arah Seraphina. Perban di tangan kirinya tidak terpasang dengan rapi seperti sebelumnya. Camellia menyadari hal itu, tapi ia tidak peduli. “Ayo, kita harus melewati Danau Ellswin.”
“Aku dengar Danau Ellswin memiliki ceritanya sendiri,” kata Kenneth pada Camellia. Kenneth bercerita seraya berjalan melewati Danau Ellswin bersama teman-temannya. “Danau Ellswin adalah danau dengan tiga warna... walau danau itu terpisah...”
Danau Ellswin terdiri dari tiga danau yang dipisahkan oleh jalan kecil yang hanya bisa dilalui dua orang berdampingan. Danau besar berwarna merah di kiri, dua danau kecil berwarna hijau dan ungu di kanan yang juga dipisahkan oleh jalan sempit. Tidak ada pagar di jalan tersebut.
“Danau ungu, penyesalan. Danau hijau, harapan. Danau merah, hasrat...” lanjut Kenneth yang mendapat tatapan malas dari teman-temannya. “Kabut tebal yang sering membuat orang-orang yang melewatinya tersesat.”
“Tidak mungkin mereka tersesat...” kata Victor malas pada Kenneth. “Hanya ada satu jalan lurus di sini.”
“Mungkin bukan itu maksud Kenneth...” kata Camellia yang berhenti berjalan. Ia berbalik melihat ke arah Kenneth dan Victor. “Kabut ini mengandung sihir. Orang-orang yang tersesat itu pasti terjebak dalam kabut.”
“Pantas saja aku merasa sedikit tidak menyukai bau-bauan yang dihasilkan dari danau ini...” Victor pun mengelus dagunya pelan. Sebuah pertanyaan terlintas di pikirannya. “Bagaimana mereka bisa keluar dari kabut tersebut?”
“Dengan menyadarkan diri. Seperti yang Kenneth katakan, danau ungu menunjukkan penyesalan terdalam kita. Danau hijau menunjukkan harapan kita di masa depan. Lalu danau merah menunjukkan hasrat gelap kita yang terpendam. Cara keluar dari kabut itu adalah dengan menyadarkan diri kita sendiri bahwa yang kita lihat adalah ilusi. Dengan begitu kita akan keluar dengan sendirinya.”
Kenneth menyentuh pundak Camellia untuk menarik perhatiannya. “Bagaimana jika kita ingin masuk dengan sengaja?”
“Itu pertanyaan yang tidak masuk akal, Kenneth...” kata Camellia seraya melipat tangannya di depan dada. “Lagipula, akan sulit bagi kita pula untuk menolong orang-orang yang terjebak di dalam kabut. Untuk kasus ini, kita harus tahu penyesalan, harapan dan hasrat orang yang mau kita tolong. Tempat di dalam kabut ini sangat luas!”
“Kalau begitu kita harus pecahkan ketiga hal itu sekarang jika kita ingin menolong Seraphina!”
Camellia dan Victor tidak menyadari hal itu. Mereka tidak sadar bahwa Seraphina tidak ada bersama mereka.
“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?!” tanya Victor geram.
“Aku juga baru menyadarinya!” jawab Kenneth bingung. “Bagaimana kita menolongnya.”
Sementara itu, Seraphina terus berjalan menembus kabut dengan pikiran yang penuh dengan keraguan serta kekhawatiran. Dalam perjalanannya bertemu Kenneth dan Camellia, dirinya dan Victor sempat berhenti sesaat untuk menghilangkan tangan monsternya serta membungkusnya kembali dengan perban. Victor tidak mengatakan apapun mengenai tangan Seraphina.
Seraphina takut jika Victor berubah takut dan jijik pada dirinya.
Kaki Seraphina tidak menapak tanah. Ia hampir melangkah ke danau. Untung saja, dia tidak terjatuh ke dalam danau.
“Ah... Kenapa tidak ada yang menghentikanku?” tanya Seraphina sedikit malas seraya berbalik untuk kembali pada teman-temannya.
Tapi ketika ia berbalik, ia tidak melihat siapa pun. Ia sendirian di tengah kabut. Ia berdiri seorang diri di pertigaan yang membatasi danau merah, danau hijau dan danau ungu.
“H-Halo? Dimana kalian?” panggil Seraphina seraya melihat ke kanan-kirinya. Suaranya bergema ketika ia memanggil teman-temannya. “Ini tidak lucu...”
Suara air terdengar. Seraphina meraih pedangnya, namun ia tersadar bahwa ia meninggalkan pedangnya di Vaford. Seraphina melihat ke danau hijau, dimana asal suara itu terdengar.
Sesuatu keluar dari air. Sosok itu mulai terlihat dengan sangat jelas di mata Seraphina... bahkan sampai membuat Seraphina melangkah mundur karena syok.
Keenam Nexis terlihat. Mereka semua tersenyum ke arah Seraphina. Achille, Camellia, Terrence, Veilardi, Vivian dan Warren ada di hadapan Seraphina.
“K-Kenapa kalian ada di sana..? Camellia!! Vivian!!”
Seraphina ingin meraih mereka, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat bahwa mereka berdiri di atas air.
“Sephie, kemarilah! Kami tahu bahwa bukan kau yang melakukannya!” kata Vivian pada dirinya.
“Kita akan mengembalikan kepercayaan masyarakat Heclary, Sephie! Kita akan kembali bahagia!” seru sosok Warren.
“A-Aku...” Seraphina ragu untuk melangkah. Walau sambutan hangat akan menyambutnya, ia masih memiliki keraguan di hatinya.
Suara air kembali terdengar. Kali ini, sosok seseorang mulai muncul dari danau ungu. Seraphina melihat sosok itu dengan kedua mata yang terbelak kaget. Ia menutup mulutnya sendiri untuk menahan dirinya dari menjerit kaget serta takut.
Sosok dirinya sendiri dengan tangan monsternya. Darah membasahi tubuhnya. Sosok itu memiliki tatapan yang mengerikan serta tiada ampun.
“Aku tidak seperti itu!!” jerit Seraphina yang melihat cerminan dirinya sendiri.
“Sadari siapa dirimu sebenarnya! Kau seekor monster tanpa hati!!” teriak cerminan Seraphina dengan suara serak.
“Tidak!!”
“Jika kau sangat menyangkal keberadaanku, maka hapus diriku ini!!”
Seraphina ingin sekali mencabik-cabik cerminan dirinya di atas danau ungu tersebut. Tapi Seraphina tidak memiliki senjatanya. Ia juga tidak ingin menunjukkan tangan monster yang sangat ia benci itu. Hal itu hanya akan membuatnya sama dengan cerminan dirinya.
Lagi-lagi suara air terdengar. Seraphina bisa menebak bahwa suara itu berasal dari danau merah.
Kedua mata Seraphina terbelak kaget. Ia bahkan sampai terjatuh ketika ia melihat sosok tersebut.
Raphaela yang dipenuhi darah serta luka-luka, berdiri di atas air berwarna merah.
“Sephie... Rasanya begitu sakit...” Suara Raphaela bergema di pikiran Seraphina. Seraphina tidak bisa menahan tangisnya. Ia kebingungan. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
“Siapa yang akan kau selamatkan? Dunia? Dirimu? Atau kakakmu?”
“A-Aku tidak tahu!! Aku tidak tahu!!” Seraphina menutup kedua telinganya sendiri. Ia tidak tahu mengapa ia melihat hal ini. Seraphina berlari pergi dari tempat tersebut.
Tapi setelah berlari sejauh apapun, ia kembali bertemu pertigaan tersebut. Bahkan sosok-sosok yang keluar dari air masih ada di sana.
“Pergilah!! Kenapa kalian masih ada di sini!!” jerit Seraphina dengan tatapan horornya.
“Kau hanya bisa menyelamatkan salah satu, Seraphina... Hanya satu...”
“P-Pergi!!”
Seraphina ketakutan. Suara mereka terus bergema dalam pikiran Seraphina. Seraphina melihat ke jalan lurus di hadapannya. Suatu sosok mulai keluar dari kabut.
“Apalagi?! Kau akan menunjukkanku apalagi?!!” bentak Seraphina seraya melangkah mundur.
Sosok itu tidak seperti manusia. Tubuhnya rendah dan memiliki empat kaki. Ketika keluar dari kabut, Seraphina sangat mengenali sepasang mata berwarna biru hewan tersebut.
“Nieven!! Neinei!!” seru Seraphina seraya berlari ke arah serigala berbulu cokelat itu dan memeluknya. “Aku sangat merindukanmu! Kau kemana saja?!”
Serigala itu hanya menjilati wajah Seraphina. Ia juga tampak sangat senang menemui Seraphina kembali. Seraphina pun mengelus kepala serigala itu dengan lembut. “Benar... Aku diburu oleh para prajurit atas tuduhan palsu. Aku tengah menyari pelaku yang sesungguhnya... Dan sampai aku menemukan dalang dari semua musibah ini, mereka tidak akan menerimaku kembali.”
Keenam Nexis yang berdiri di atas danau hijau menghilang. Seraphina belum menyadari hal itu.
“Mereka akan semakin tidak menerimaku ketika mereka tahu... bahwa aku bukan manusia seutuhnya. Tubuh ini... kotor. Mereka pasti akan membenciku karena hal ini. Mereka pasti akan jijik padaku setelah tahu apa yang kusembunyikan di balik perban ini. Aku ini memang seekor monster mengerikan...”
Cerminan Seraphina di atas danau ungu berbalik dan menghilang.
Seraphina bangkit berdiri dari duduknya. Ia melihat ke sekelilingnya. Hanya tersisa sosok Raphaela yang tengah berdiri di atas danau merah. Seraphina melihat ke sosok tersebut.
“Aku sayang Kak Fael. Karena itu, aku akan membalaskan apa yang pernah ia perbuat padamu..! Aku akan membalas mereka! Mereka harus menerima akibatnya.”
Sosok Raphaela di hadapan Seraphina pun tersenyum. Lalu perlahan, sosok itu menghilang.
Seraphina kembali duduk dan memeluk serigalanya sekali lagi. “Betapa aku sangat merindukan bulu-bulu halusmu ini!”
Tapi perlahan, Seraphina mulai tidak fokus. Penglihatannya mulai pudar. Rasanya ia sangat mengantuk. Dan Seraphina pun pingsan di tempat. Serigala itu pun mengkaing-kaing ketika melihat Seraphina tidak sadarkan diri.
@SusanSwansh hahaha,, iya,,
Comment on chapter Penglihatan Masa Depan