Read More >>"> You Can (Satu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - You Can
MENU
About Us  

Awan kelabu yang menggantung sejak pagi, akhirnya tumpah menjadi hujan lebat. Tepat saat Kara baru tiba di depan sebuah bangunan tua dari kayu. Ada beberapa bagian yang mulai menjerit minta pensiun, tapi Kara tidak punya uang untuk melakukannya. Seorang gadis lulusan SMP, Marni, tersenyum dari balik jendela kaca buram itu. Kara membuka pintu dan aroma buku-buku menyerbu. Menyapa sekaligus menghibur.

"Selamat siang, Mbak Kara," sapa Marni.

Kara balas tersenyum sambil merapikan seragam putih-abunya yang sedikit kusut karena sempat berdesakan di angkot. Apes sungguh apes. Ban sepeda bocor, hujan, dan sahabatmu....

"Nggak diantar Mas Dennis?"

"Dia sibuk pacaran," Kara menjawab singkat, duduk di depan meja kasir sambil menonton rintik hujan menyapu hampir seluruh jalan. Bersama dengan beberapa benda asing masuk ke gorong-gorong depan toko. Semisal sampah plastik, kertas, kerikil, hingga sandal bolong. Di sebelah toko, tempat bangunan tinggi berdiri megah beserta para orangnya sibuk menyewa ojek payung yang kebasahan. Mereka, bocah-bocah tanpa alas kaki bolak-balik dari mobil ke depan apartemen hingga bibir membiru. Ada yang diam menunggu. Ada yang teriak-teriak menjajakan jasa.

Hujan bagi mereka rezeki. Bagi Kara, sebuah hambatan. Kalau hujan, tak ada yang akan datang ke toko buku kecil dan tua tak menarik ini. Orang-orang memilih meringkuk di dalam selimut sambil makan biskuit atau minum secangkir teh hangat. Berbagi canda bersama keluarga. Iya, keluarga kecil dan bahagia. Tapi, tak ada yang tahu rezeki seseorang. Meski hujan deras, Kara selalu yakin, akan ada pelanggan paling tidak satu orang yang mampir. Tuhan itu adil, kata Ayah.

Ayah pernah menunggu toko sehari penuh tanpa satu pelanggan pun dan berhasil tersenyum saat pulang. Padahal tidak hujan. Langit terang. Orang-orang lalu lalang di depan toko. Seolah dunia terus berlanjut meskipun toko buku kecil dan bobrok ini tak ada. Dennis pernah bilang toko buku suatu saat akan menghilang 20 tahun lagi. Digantikan buku digital yang serba instan. Kara tidak mau dengar. Toko buku milik ayahnya harus terus bertahan. Apa pun yang terjadi. Seperti janjinya pada Ayah.

Di depan pintu toko, bocah ojek payung berdiri menggigil. Tetesan air dari baju basahnya jatuh ke lantai kayu hingga membentuk bayang gelap. Kara berjalan mendekat dengan bingung. Bocah yang beberapa menit lalu ia awasi sekarang malah berdiri di depan toko. Membawa payung. Disandarkan di dinding kayu sebelah pintu masuk. Wajahnya mengundang iba. Kara tersentuh.

"Ada apa?"

"Saya mau beli buku, tapi saya basah," katanya. Suaranya bergetar.

"Masuk aja," Kara menyilakan. Membuka pintu lebar-lebar. "Cari buku apa?"

"Buku cerita yang banyak gambarnya," katanya lagi, tersenyum merekah hingga bibirnya membiru dengan jelas.

"Untuk siapa?"

"Untuk adik-adik saya."

Kara mengambil beberapa buku bercerita dan menunjukkannya pada bocah itu. "Adikmu suka?"

"Tentang apa itu?"

"Hewan dan petualangan."

Bocah itu merogoh uang di dalam saku, menyerahkan uang lecek dan basah itu ke tangan Kara sambil merebut buku. Tanpa permisi pun bocah itu keluar begitu saja meninggalkan jejak-jejak basah di lantai kayu.

Saat menghitung uang pemberian sang bocah, Kara baru tahu alasan bocah itu melarikan diri begitu cepat. Setidaknya, di tengah hujan lebat masih ada pelanggan mau masuk toko membeli buku. Itu sudah menjadi kebahagian kecil. Bagi Kara juga Ayah.

"Uangnya pas, Mbak?" tanya Marni.

Ayah pernah bilang pada Kara, ada dua jenis manusia di dunia ini. Orang punya uang banyak tapi jarang beli buku dan orang punya sedikit uang tapi gemar beli buku. Dulu, Ayah pun tidak pernah marah ketika ada yang membayar dengan uang kurang. Inilah alasan toko buku tua ini nyaris bobrok. Tidak adanya keuntungan lebih karena Ayah terlalu sibuk bederma.

"Kara!"

 

***

 

"Buku catatan?" tanya Kara.

Dennis masih berdiri di depan pintu toko. Basah sekujur tubuh. Ranselnya pun mungkin penuh air hujan. Menggelembung besar. Tampangnya sulit dibaca. Seperti biasanya. Rasanya lucu. Barusan Kara berdiri di depan bocah. Sekarang di depan cowok terganteng sejagat. Kata orang-orang. Bukan Kara.

"Iya," balas Dennis.

"Hujan-hujanan demi buku catatan?" ulang Kara, masih tidak percaya.

Dennis bersin untuk ketiga kalinya. Hidungnya pun mirip tomat. "Mau minjemin nggak, sih?" bentaknya.

Kara bergegas ke meja kasir. Menggeledah isi ransel dan menemukan apa yang dicari. "Ini." Kara membungkus buku catatannya dengan kantong plastik.

"Pinjem," katanya, masih ketus.

"Ini juga," Kara membuka telapak tangan Dennis. Dengan lembut menaruh tiga bungkus kecil yang dipilin asal. "Permen jahe ajaib."

Dennis hanya menatap tiga bungkus permen di tangan lalu menggenggamnya.

"Nggak nunggu hujan terang dulu?"

"Nggak usah. Telanjur basah."

"Oke."

"Ketemu nanti malam." Cowok tinggi dan ganteng itu pun pergi menerobos hujan tanpa takut efek buruknya.

"Ceweknya mana?" Marni ikut memandang ke seberang jalan, tempat Dennis menyalakan mesin motornya. Tidak pakai helm dengan ransel ditaruh depan dada. Sempat terlihat cowok itu terbatuk dan melirik ke toko Kara sebentar lalu melajukan motornya menembus hujan lebat.

"Nggak tahu."

"Mungkin udah putus," kata Marni.

"Iya, mungkin."

Jika orang lain, mendadak putus itu mustahil. Bagi Dennis mudah karena ia tidak begitu percaya akan cinta yang bisa memabukkan itu. Janji Dennis yang aneh itu sampai sekarang masih Kara ingat. Ngeri kalau mendengarnya. Mana ada manusia tidak percaya cinta?

Cinta?

"Marni, hari ini toko tutup setengah hari," Kara mematikan beberapa lampu terdekat sebelum memandangi satu persatu rak buku. Mendoakan mereka segera dipertemukan dengan pemilik baru yang menyayangi mereka. Bisa merawat dan menyimpan sampai beribu tahun lamanya.

"Ada tugas ya, Mbak?"

Kara mengangguk saja. Ada tugas, tapi bukan karena tugas sebabnya.

 

***

 

Seperti janji Dennis, malam ini cowok yang suka sekali mengenakan topi terbalik itu duduk di atas rumput basah di belakang rumahnya. Hanya dilapisi kardus bekas untuk alas duduk. Di depannya ada api unggun kecil untuk menghangatkan diri sambil bakar jagung manis bumbu rahasia. Iya, bumbu rahasia racikan Dennis. Kara tidak boleh tahu. Pelit, memang.

Setelah seharian hujan, langit malam tampak cerah menyuguhkan secuil bintang-bintang yang berkelip-kelip. Kara mendongak sambil duduk menghempaskan pantat ke kardus. Percuma, sih. Pantat Kara basah sesudah gagal melompati pagar kayu setinggi pinggang. Pagar pembatas antara rumah Kara dan Dennis. Pagar bersejarah pokoknya.

"Huah! Kalau habis hujan, entah kenapa aku merasa langit jadi bersih. Nggak kotor lagi. Lihat itu!" teriak Kara sambil menunjuk sesuatu di langit. Entah apa, tapi Dennis ikut mendongak seperti orang bodoh. Lalu berdehem ringan, lanjut makan jagung bakar. Mengabaikan terikan Kara.

Kara berhenti berteriak soal bintang atau benda langit apalah itu. Karena Dennis sudah pasti ogah mendengarkan. Sahabatnya lebih tertarik makan jagung sambil lihat laron mengerubungi lampu di atas kepalanya.

"Tadi beneran pinjam buku catatan, ya?" Kara masih penasaran. Aneh saja, gitu. Sampai-sampai Kara sakit kepala memikirkannya. Lebay, memang. Apalagi Kara baru ingat buku catatan yang dia kasih ke Dennis keliru, tapi Dennis masih tidak sadar. Apa sebenarnya memang tidak peduli dengan buku catatan yang dimaksud.

"Iya."

"Tapi kamu marah."

"Aku kesal kehujanan."

Kara terkekeh, "Nah, justru itu. Dennis yang kukenal nggak suka kehujanan. Nggak suka repot-repot kayak tadi siang."

"Kenal murid baru cewek itu?" tanya Dennis, tiba-tiba bikin hati Kara kesal saja.

"Yang cantik dan judes itu, kan?"

"Dia judes?"

"Nggak sadar judes?"

Dennis mengedikkan bahu. "Wajahnya memang gitu," katanya.

"Iya, sih. Tapi pas lihat dia beli risolnya Agus tanpa memandang aneh-aneh, kupikir dia baik," aku Kara, menyundut pinggiran api unggun dengan ranting kering. Setahu Kara, nama cewek itu Lala. Pindahan dari Jakarta. Anak orang kaya dan berbakat. Pintar main piano dan bernyanyi. Sempurnalah. Kara sampai iri.

"Masa?" tanya Dennis.

"Kenapa? Naksir dia?"

"Nggak naksir. Penasaran."

"Tari dikemanain?"

"Udah putus," jawab Dennis, enteng. Tanpa beban. Orang normal, putus cinta perlu waktu. Perlu galau. Perlu alay.

"Tadi siang masih pulang bareng, gitu."

"Terakhir."

"Gara-gara murid baru?" tebak Kara.

Dennis melirik Kara sekilas lalu kembali memusatkan perhatian ke api unggun. "Bukan."

"Tapi bakal ngejar dia, ya?" Kara prihatin. Bukan pada si Lala yang akan jadi target berikutnya, tapi pada Dennis. Sahabat sejak pakai popok bayi dan dot itu tak pernah menganggap cinta itu nyata. Cinta itu permainan. Selamanya. Kan, ngeri. Kara takut Dennis kena karma. Lalu karmanya nular ke Kara. Kara ngeri dua kali.

"Pasti," Dennis menjawab dengan mantap.

"Tanpa naksir?"

Dennis mengangguk. Bola matanya yang hitam pekat menerawang jauh. Pikirannya tak pernah ada di tempat. Berkelana ke mana-mana. Tidak mau diam. Kadang Kara merasa sedang duduk dengan raganya Dennis saja.

"Pernah liat aku naksir sampe gila?"

"Belum, tapi penasaran liat kamu gila," Kara tersenyum.

Dennis tersenyum getir, "Mau taruhan?"

"Taruhan kamu bakal naksir beneran sama Lala?"

"Bukan. Taruhan toko bukumu bakal balik ke awal-awal jaya."

"Gimana?" tanya Kara, ogah-ogahan. Balik ke awal jayanya toko buku itu mustahil. Apalagi pasar buku sedang sepi. Tidak seramai dulu. Orang lebih memilih beli beras dan ayam daripada buku. Buku cuma selingan, itu pun kalau ingat. Agak menyedihkan. Kalau tak ingat janjinya pada Ayah, Kara sudah memilih menutup toko. Seperti nasib toko buku di kota ini yang mulai banyak mengundurkan diri.

Dennis meraih kedua tangan Kara, membuka telapaknya. Membaca garis tangan Kara seolah peramal ulung. "Akan ada penulis hebat yang bedah buku di Toko Buku Makmur. Dialah malaikat penolongmu."

"Malaikatku bukan kamu?"

"Aku manusia, Bodoh!" Dennis menyundul kening sempit Kara.

"Dia juga manusia, Bodoh!" Kara meniru Dennis. Bedanya, Kara menyuduk perut Dennis sampai meringis. "Siapa penulis itu? Bukunya baru, ya?"

"Tunggu aja. Nggak lama lagi. Tapi sebelumnya aku kasih tahu rahasia biar dia mau bedah buku di tempatmu."

"Apa?"

"Jangan baca bukunya."

"Becanda, ya? Gimana aku bisa tahu dia penulis hebat atau nggak kalau baca bukunya dilarang."

"Penulis hebat punya penggemar banyak."

"Dia siapa, sih? Kamu kenal?"

"Kenal. Namanya Kelana Samudra."

"Ganteng?" Kara antusias. "Sebaya? Tahu nomor hapenya?"

"Jelek. Dia bukan tipemu."

"Bohong!"

Dennis tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Kara juga mendadak jadi bisu. Lupa cara ngomong.

 

 

Tags: TWM18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Telat Peka
18      13     0     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Mr. Kutub Utara
6      6     0     
Romance
Hanya sebuah kisah yang terdengar cukup klasik dan umum dirasakan oleh semua orang. Sebut saja dia Fenna, gadis buruk rupa yang berharap sebuah cinta datang dari pangeran berwajah tampan namun sangat dingin seperti es yang membeku di Kutub utara.
Warna Rasa
264      76     0     
Romance
Novel remaja
Zona Erotis
8      8     0     
Romance
Z aman dimana O rang-orang merasakan N aik dan turunnya A kal sehat dan nafsu E ntah itu karena merasa muda R asa ingin tahu yang tiada tara O bat pelipur lara T anpa berfikir dua kali I ndra-indra yang lain dikelabui mata S ampai akhirnya menangislah lara Masa-masa putih abu menurut kebanyakan orang adalah masa yang paling indah dan masa dimana nafsu setiap insan memuncak....
Distaste
70      32     0     
Romance
Menjadi bagian dari BEST di SMA Angkasa nyatanya tak seindah bayangan Stella. Apalagi semenjak hadirnya ketua baru, Ghazi. Cowok yang membuat Stella dikucilkan semua temannya dan selalu serba salah. Cowok humoris yang berubah menjadi badboy hanya kepada Stella. Keduanya menyimpan kebencian masing-masing di hati mereka. Dendam yang diam-diam menjelma menjadi sebuah rasa tatkala ego menutupi ked...
As You Wish
5      5     0     
Romance
Bukan kisah yang bagus untuk dikisahkan, tapi mungkin akan ada sedikit pelajaran yang bisa diambil. Kisah indah tentang cacatnya perasaan yang biasa kita sebut dengan istilah Cinta. Berawal dari pertemuan setelah 5 tahun berpisah, 4 insan yang mengasihi satu sama lain terlibat dalam cinta kotak. Mereka dipertemukan di SMK Havens dalam lomba drama teater bertajuk Romeo dan Juliet Reborn. Karena...
Lavioster
67      30     0     
Fantasy
Semua kata dalam cerita dongeng pengiring tidurmu menjadi sebuah masa depan
Kesya
163      80     0     
Fan Fiction
Namaku Devan Ardiansyah. Anak kelas 12 di SMA Harapan Nasional. Karena tantangan konyol dari kedua temanku, akhirnya aku terpaksa harus mendekati gadis 'dingin' bernama Kesya. Awalnya pendekatan memang agak kaku dan terkesan membosankan, tapi lama-kelamaan aku mulai menyadari ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Kesya. Awal dari ancaman terror dikelas hingga hal mengerikan yang mulai ...
My world is full wounds
8      8     0     
Short Story
Cerita yang mengisahkan seorang gadis cantik yang harus ikhlas menerima kenyataan bahwa kakinya didiagnosa lumpuh total yang membuatnya harus duduk di kursi roda selamanya. Ia juga ditinggalkan oleh Ayahnya untuk selamanya. Hidup serba berkecukupan namun tidak membuatnya bahagia sama sekali karena justru satu satunya orang yang ia miliki sibuk dengan dunia bisnisnya. Seorang gadis cantik yang hid...
My Sunset
142      93     0     
Romance
You are my sunset.