Saat kembali ke Furai dengan sisa ksatria yang masih hidup, Adruin kembali dengan membawa bukan tangkapan, melainkan jasad kawanannya. Ia merasa remuk, bukan hanya fisik melainkan juga harga dirinya. Seorang ksatria, bila gugur di tangan ksatria dari kerajaan lain karena alasan perebutan daerah kekuasaan akan merasa amat terhormat di alam selanjutnya, harga yang pantas dengan nyawa.
Namun baru saja ini, Adruin menjual nyawa kawannya hanya untuk mengejar bajingan pencuri! Itupun diakhiri dengan kegagalan!
Secepat mungkin setelah Adruin tersadar, ia segera mengubur nyawa teman-temannya. Jika saja ia punya waktu lebih dan tidak dikejar dengan ketentuan serta buruan yang mungkin saja sampai di Furai, ia pasti membawa mayat itu dan kembali ke Furai, memberi penguburan yang lebih layak. Sebelum pergi, Adruin berdoa kepada teman-temannya yang gugur dan memberikan salib di kuburan, sebagai pengganti batu nisan.
“Akan aku ingat tiap dari kalian dan begitupun dengan sejarah yang nanti terukir setelah ini!” batin Adruin dengan geram. Dengan langkah hati yang berat dan gusar, ia bertekad untuk memburu pencuri yang berhasil lolos tadi.
Sesampainya di Furai, ia bergegas memberikan laporan kepada anggota lain yang menjaga barak, menyampaikan berita duka. Semua orang tertunduk sementara, mendoakan temannya yang gugur. Salah seorang dari mereka yang paling tua datang ke Adruin, menepuk pundaknya seraya berkata, “tidak apa anak muda. Jika memang dibutuhkan pengorbanan untuk kerajaan ini, kami merasa terhormat dengan tugas mulia itu.”
Dalam hati kecil Adruin, ia bertanya, apa memang sebuah kehormatan ksatria seperti itu?
Adruin lahir dan dibesarkan dari kalangan biasa, malahan kalangan rendahan. Dalam sepanjang hidupnya, ia tidak tahu siapa kedua orangtuanya. Selama ini ia diasuh oleh pamannya sendiri, Paman Nism. Orang tua itu sudah berusia tujuh puluh taun saat mengasuhnya. Tanpa diberkahi anak maupun cucu, hanya ada Adruin seorang yang ia asuh. Pekerjaannya hanya sebagai penjual makanan di salah satu kios di Furai. Tidak ada yang spesial.
Meskipun tidak tahu kedua orang tuanya, tetapi Adruin mengetahui kedua nama orang tuanya. Si Ayah bernama Kasn, sesuai dengan namanya sendiri, Adruin ibn Kasn, dan si Ibu bernama Sarah yang ia ketahui dari Paman Nism. Hanya itu yang ia ketahui. Untuk wajah serta alasan utama keduanya meninggalkannya tanpa satu patah kata apapun ia belum tahu. Jika ia memiliki kesempatan untuk tahu meskipun itu kecil, maka ia tak ragu sedikitpun untuk melepas gelar ‘ksatria’-nya ini.
Dalam The Eagle’s sendiri, hanya Adruin sajalah yang bukan siapa-siapa. Setidaknya, anggota yang lain memiliki kehebatan yang bukan isapan jempol belaka, atau paling tidak memiliki darah keturunan bangsawan. Adruin hanyalah orang biasa yang lahir dan besar di daerah kumuh Ibukota Furai. Alasannya terpilih hanyalah karena Innocencia memilih dirinya, tidak ada yang lain.
Tapi Gils Neuer memiliki pandangan yang lain. ‘Untuk menangkap serigala, kita perlu anjing’, itulah prinsip yang dipegang teguh Gils. Analoginya, ia perlu seseorang seperti Adruin, orang yang hidup di lingkungan kaum proletar, sehingga tahu seluk beluk seperti alasan, latar belakang, metode, jalan pikiran, hingga trik kotor yang digunakan. Beruntung untuk Adruin, hanya karena latar belakangnnya itu, statusnya menjadi terangkat jauh.
Bagai anjing yang gagal, ia menunduk sepanjang waktu, tak berani mengangkat dagunya kepada majikannya. Namun ia memberanikan diri, jika ia tak memberikan laporan kepada Gils sama saja dengan menginjak harga dirinya sendiri.
Dengan langkah yang lesu, ia berjalan ke koridor sayap kanan. Dalam pikiran yang berkalut, ia melihat salah seorang anggota The Eagle’s berjalan dengan terburu-buru sembari menggendong seseorang. Jika Adruin mengamati sekilas, ia tahu dari baju yang dikenakan orang itu robek, kusut, serta ternodai darah. Adruin mengamati sekali lagi, ternyata sosok yang dibopong adalah musuhnya tadi.
Adruin bergegas ke Maxiel. Tanpa menyapa atau memberi hormat seperti biasanya, Adruin menghentikan Maxiel, mencegahnya berjalan lebih lanjut. “Baru kali ini saya melihat Anda sedang tergesa-gesa, memangnya kenapa?” tanya Adruin sembari menahan amarah. Tadi, ia kalah telak di pertarungan yang penuh trik kotor itu. Sekarang, tangkapannya sudah berada di depan mata. Hasrat untuk melampiaskan dendamnya mulai naik, perlahan tangannya mengepal dan kontur wajahnya berubah tegang.
“Dia terluka, aku harus merawatnya,” tukas Maxiel sembari menghindar, mencari celah. Kontan saja, Adruin bergerak, mencegah Maxiel bergerak lagi. Maxiel menatap Adruin dengan tegas, berusaha mengintimidasi dan balasannya ia mendapat sorot mata amarah dengan dendam yang terbakar di balik mata Adruin.
“Anda tahu siapa dia bukan?” tanya Adruin dengan nada dingin, “dia adalah pem—”
“Buka matamu, Adruin. Hanya dialah yang masih hidup…” Maxiel meredupkan sorot matanya, mengamati gadis yang ia gendong itu, “dia kehilangan temannya. Di depan matanya sendiri, semua temannya dibantai habis. Apa kau tidak punya hati? Hingga kau masih ingin melampiaskan dendammu kepadanya?”
Adruin terdiam sementara, tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Maxiel. Emosinya tak stabil, itu wajar di usianya sekarang. Jika ia lihat dari sudut yang lain, ia juga pernah merasakan kehilangan dan bahkan tak memiliki. Hanya satu orang yang ia miliki dan ia percaya: pamannya sendiri.
“Dinginkan kepalamu, Adruin.” Maxiel meninggalkan Adruin yang masih membeku tak menjawab itu. Setelah beberapa langkah, ia berhenti sebentar, “jika sudah, aku mau menraktirmu minum kalau kau mau.”
Suara langkah Maxiel semakin kecil, meninggalkan Adruin yang masih berdiri termenung di sana. Dalam hatinya yang berkalut, ia tidak bisa memaafkan gadis itu dengan membunuh selusin ksatria itu, tapi ia juga merasa iba dengan gadis itu. Tadi, sosok gadis yang tampak tangguh dengan seringai yang licik itu kini tampak rapuh sorot matanya yang berapi-api kini tampak terbenam di balik pelupuk, tangannya yang lincah mengayunkan belati kini tampak lunglai lemas, seperti tak bernadi.
Ia bimbang, namun kali ini ia tak bisa begitu. Langkah kakinya selama ini telah menuntunya ke sini. Untuk ragu di saat ini sudah terlambat, apapun langkah yang ia ambil, ia tak boleh ragu sedikitpun. Dengan itu, ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja milik Gils.
Dua orang pengawal tampak menjaga pintu raksasa bilik milik Gils itu. Seperti biasanya, mereka menanyakan perihal kedatangan tamu yang mau menemui Gils di ruangan itu. “Aku hanya memberikan sebuah laporan dari tugas yang telah kujalankan. Apakah beliau tidak mau ditemui saat ini?”
“Benar, dan beliau tak ingin diganggu sampai nanti siang. Beliau sedang melakukan meditasi,” jawab salah seorang dari mereka dengan cepat dan singkat, tak memberi informasi lain.
Baiklah, batin Adruin. Ia tak bisa mengganggu gugat meditasi Gils. Jika orang sekelas Willem Maxiel saja tidak bisa menginterupsi meditasi Gils walaupun membawa berita darurat sekalipun, maka Adruin tidak bisa melakukan apa-apa, karena ia dari awal memang bukan apa-apa. “Apa nanti beliau ada rencana?” tanya Adruin sekali lagi.
Kedua penjaga itu saling pandang sebentar, lalu mengangguk serempak. Melihat jawaban singkat itu, Adruin paham bahwa keberadaannya diusir secara halus. Langsung saja, ia balik kanan, memunggungi bilik itu sembari melangkah tegap.
***
Pandangan pertama kali yang terpapang di depan Marie adalah warna coklat dari langit-langit serta bau lilin dan sumbu terbakar di sebelah kanannya, yang terletak di atas sebuah meja kecil dengan corak kuno yang diimitasi mirip—mata Marie mengenali corak itu, corak yang berasal dari salah satu usaha mebel yang dibawahi Niels untuk memainkan aliran uang untuk menguntungkan organisasinya. Di sisi lebih jauh dari kirinya, terlihat sebuah jendela berukuran sedang dengan corak kusen jendela berwarna abu-abu, tampak lenyap di titik buta Marie, membiaskan sinar mentari hangat yang menerjang melalui kaca-kaca yang sebagian berlubang, sebagian lagi tampak kusam. Daun pintu di sisi yang berlainan terbuka sedikit, memberikan kesan misteri tentang keberadaan Marie di sini, menambah hasratnya untuk segera bangun dari ranjang tempat tubuhnya berbaring ini.
Kepala Marie terasa pening, mencoba berpikir kenapa ia di sini, di sebuah ruangan —mungkin— penginapan yang terasa nyaman. Ingin sebenarnya Marie menikmati ini, tapi ia harus bangun untuk menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin.
Kring! Saat ia mencoba untuk bangun, sebuah rantai yang menahannya, tepatnya melingkar di tangan kirinya, membuatnya tetap di ranjang. Mata Marie beranjak berputar, mengamati tangan kirinya yang tertahan. Saat menemukannya, ia menahan napas tertahan, terkejut.
Biasanya, rantai yang digunakan untuk menahan atau menangkap seseorang memiliki bentuk dan wujud berupa rentetan logam besi hitam atau coklat—berkarat. Tapi kali ini, apa yang ada di depan mata Marie ini sangat berbeda dari sewajarnya. Sebuah rantai tak kasat mata tampak membelenggunya, bukan hanya di tangan kirinya saja. Rantai itu seperti tidak tampak, tapi berat serta kuatnya cengkraman rantai itu nyata menekan tubuh Marie, plus ketika Marie bergerak, rantai itu mempererat cengkramannya, seolah-olah ia hidup.
Dari situlah akhirnya Marie menyimpulkan bahwa sekarang ia sudah tertangkap di tangan para ksatria. Hmm, sebenarnya Marie tak ingin melompat ke kesimpulan itu karena ia sekarang berada di sebuah kamar tidur, bukan sel penjara. Sayangnya, cengkraman yang ia rasakan memang benar adanya.
Derit pintu terdengar, Marie kontan saja membenamkan pandangannya, menutup kembali matanya dengan cepat, berpura-pura tidur. Nafasnya dan degup jantungnya sempat melompat ketika ia panik dan menyadari bahwa ia berada dalam cengkraman ‘rantai’ tak kasat mata ini, namun ia mengaturnya dengan baik. Ia yakin bahwa kemampuannya untuk memanipulasi ekspresi tubuhnya selama ini sudah terasah baik.
Sebuah langkah terdengar berat. Dari nada serta alunannya, Marie tahu bahwa seorang pria masuk ke bilik itu. “Hmm, jadi ia belum siuman ya,” gumam pria itu. Tangannya mengelus wajah Marie, mengecek tiap detil wajah, mencari tanda kehidupan.
Marie berusaha tenang, mengatur napasnya juga mengatur degup jantungnya. Setelah beberapa detik, belaian halus tangan itu terhenti. “Kau bisa membuka mata. Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu sama sekali,” ucap halus sosok itu.
Awalnya Marie ragu, tapi ketika ia benar-benar yakin bahwa tak ada rasa haus darah dan niat tersembunyi, ia membuka mata. Sosok pria terlihat. Wajahnya ramping, otot tubuhnya menandakan bahwa ia seorang petarung, belaian jemarinya tadi kasar, gerakan tangannya cepat, tegas, serta lentur. Jika ditilik dari warna iris matanya yang masih jernih dan memberikan sebuah pancaran atas wawasan yang luas itu serta warna rambut yang masih belum beruban, Marie memerkirakan bahwa usia sosok di depannya ini sama seperti kakaknya, kurang lebih 22 tahun atau lebih. Sorot mata teduhnya itu menjelaskan bahwa ia adalah orang yang bersahabat, namun di baliknya memiliki perwatakan yang serius.
Maxiel menarik kursi di dekatnya, duduk di sebelah kiri ranjang, menatap Marie dengan sorot bersahabat. “Bagaimana, apa sudah lebih baik?”
“Jauh lebih baik bila tidak dikekang dengan ‘rantai’ ini.” Marie menatap datar. Ia menyunggingkan senyum kecil, namun bukan maksud untuk menjawab keramahan, melainkan menyindir. Tapi mau bagaimana lagi, ia adalah musuh dari sosok didepannya, wajar saja bila ia dikerangkeng dengan rantai tak kasat mata ini.
“Marie Jay, hmm, seorang yang tak pernah kudengar sekalipun bahkan dalam kedai minum manapun. Kau dari organisasi mana?” perlahan, raut wajah bersahabat Maxiel berubah menjadi tegang dan serius, “membunuh satu lusin serdadu, lalu menikam salah seorang ksatria terbaik milik kerajaan, dan hampir kabur dengan luka selebar itu… kau bukan orang biasa, kan?”
“Aku hanyalah tikus yang senang mencuri untuk menghidupi satu koloni penuh. Hanya itu saja, kau tidak perlu tahu identitasku lebih jauh.”
Maxiel mencabut belati dari pinggang kirinya, memainkan gagang belati dengan luwes. “Aku memang tidak mencari identitasmu, tapi yang kucari adalah senjata itu!” sring, sebuah kemilau cahaya terpantul cepat, Marie tak menghindar—memang pada dasarnya ia tak bisa. Tepat sebelum ujung belati itu menggores, belati itu terhenti. Dengan tawa kecil, Maxiel mengangkat belatinya lagi, “kau memang bukan orang biasa. Normalnya, orang akan menghindar, atau setidaknya bergeliat. Kau tidak. Rasanya kau siap untuk mati saja.”
Marie terdiam, melihati sorot mata orang itu. “Kau tidak membunuhku? Tadi kau punya kesempatan emas untuk membalaskan dendam temanmu yang mati…”
“Membunuhmu tidak akan menghidupkan mereka kembali,” jawabnya singkat. “Lagipula, aku tak punya dendam padamu. Mereka bukan temanku.”
“Oh, dingin sekali. Seorang petarung penyendiri yang tak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Seorang yang hanya peduli dengan dirinya sendiri…”
Maxiel diam, memilih untuk tidak menjawab, ia membuka topik yang lain. “Lagipula, kami butuh ucapanmu. Sekarang kutanya lagi, di mana senjata itu?”
Marie memicingkan pandangannya, bertanya-tanya tentang senjata apa yang dimaksud. Setelah berpikir cepat, Marie akhirnya paham apa yang dimaksud Maxiel. “Tersembunyi, tepat sebelum kalian membantai kami!” Marie berani bertaruh, Rio dan Ria pasti menyembunyikan dokumen itu sebelum mereka dihabisi, itu pasti. Itu merupakan kode etik universal dalam pekerjaan mencuri. Untuk letak di mana dokumen itu disembunyikan, itu masih misteri. Mungkin dipendam dalam tanah, terselubung di antara batuan, pasir, dan tanah, atau disimpan aman dalam sela-sela dinding Menara Romero, menunggu dengan tenang di sana, tanpa hambatan, atau disembunyikan di atap-atap, tempat di mana tikus berkerumun dan membangun sarangnya—berharap dokumen itu tidak dimakan kerumunan tikus. Karena mereka tahu, tikus memiliki kehormatan, mereka tak memakan makanan milik sebangsanya sendiri.
“Senjata macam apa yang kalian sembunyikan, huh?” tanya Maxiel dengan nada datar dan sedikit mengancam.
“Senjata yang dapat meruntuhkan kerajaan! Kalian beruntung menghentikan kami tepat sebelum sampai di Furai! Tertawalah sekarang selagi bisa! Jumlah kami ratusan! Kematianku tidak mengubah fakta bahwa kemenangan sudah berada di jangkauan kami!”
“Demokratio Alliance,” desis Maxiel. “Kau percaya apa yang mereka lakukan benar?”
“Tidak peduli. Yang kami pedulikan sebagai pencuri hanyalah bagaimana cara mengisi perut kami di saat krisis seperti ini! Tawaran yang diajukan Demokratio Alliance amat menjanjikan. Bayarannya pas, malahan kurang jika dibandingkan dengan pekerjaan yang kami terima.”
“Memangnya apa yang mereka tawarkan kepada kalian? Hei, Demokratio Alliance amat miskin untuk membayar kelompok pencuri handal sepertimu! Kami bisa membayarmu berkali-kali lipat kalau kau mau bekerja sama kepada kami.”
“Nah, itulah yang mereka tawarkan,” jawabnya singkat. “Mereka juga menawarkan bayaran yang berkali-kali lipat juga, tapi bukan itulah yang membuat kami menyetujui kontrak kerja kami. Kami menyetujui karena hakikat kebebasan yang dijanjikan.”
Kening Maxiel tampak berkerut. Gadis ini benar… bayaran setimpal untuk kerjasama nekat seperti ini adalah janji kebebasan.
“Cengkraman monarki telah membuat rakyat sengsara! Kami tidak bisa bergerak bebas! Maka itulah kami menuntut kebebasan serta keadilan!” seru Marie.
Maxiel berpikir. Posisinya memang hanyalah bidak yang dikendalikan oleh Gils. Tapi ia manusia, ia memiliki pola pikir sendiri. “Dialog seperti ini tidak akan mengubah apapun, Marie. Kau tahu itu kan. Satu-satunya cara untuk mengubah fakta adalah tindakan. Dan sekarang kau di sini, terkekang dengan keadaan terhimpit dan tertekan, tidak bisa melakukan apapun.”
Maxiel beranjak pergi dari kamar itu, meninggalkan Marie sendirian. Sebelum Maxiel pergi dari ruangan itu, Marie berkata, “ingat, jumlah tikus lebih banyak dari kucing, ataupun anjing sekalipun.”
Maxiel tahu maksud Marie, dan ia menjawab dengan santainya, “kualitas selalu menang melawan kuantitas.”
***
Gils berjalan cepat melalui koridor. Diiringi dengan dua pengawalnya, mereka melintasi koridor, taman, lalu sampai ke pelataran depan. Di sana, sebuah kereta kuda sudah siap, Gils bergegas berangkat. “Tuan kenapa Anda sedang tergesa-gesa?” tanya sang kusir yang menyiapkan kereta mewah itu.
“Kami sedang tergesa-gesa. Urusan kami amat penting,” ucap Gils sembari naik ke kereta mewah itu. Kedua pengawalnya tadi naik ke kursi kusir. Hanya berbekal kereta mewah serta dua penjaga setianya, Gils berangkat menuju Anirietta. Berdasar informasi dari si tikus, informan terpercayanya, ia mendapati bahwa sekarang ujung tombak perjuangan Demokratio Alliance berada dalam tampuk perjuangan komplotan pencuri bernama Dieb di Kota Anirieta.
Sebenarnya, ia dapat menyuruh bidaknya untuk bergerak, itu lebih mudah dan lebih aman untuknya. Tapi, kali ini ia harus ke sana. Sebuah informasi dari si tikus mengatakan bahwa ponakannya Ren berada di Demokratio Alliance. Itu sebuah informasi penting sekaligus tidak terduga! Gils tersenyum licik, semua bahan dalam rencananya sudah tersedia, tinggal menjalankan roda rencana.
Bagai menajalankan kereta kuda, ia menjalankan rencananya ini dengan yakin…