Opsi ternekat yang pernah kuambil dalam hidup ini adalah tatkala aku memutuskan untuk menjadi buruh pabrik minuman di usia dua puluh dua. Merelakan diri mengabdi delapan jam sehari di depan mesin-mesin raksasa demi gaji yang tidak seberapa. Ditambah tekanan dari para sarjana yang menyebut diri mereka manajer, tetapi di mataku tidak berbeda dari sipir penjara. Setahun sudah aku menghamba. Hingga suatu hari, kuterima kejutan yang tidak pernah aku tahu. Sebuah tragedi yang seakan telah direncanakan Sang Pemilik Langit Ketujuh.
Akhir Januari. Saat membolos dari tugas kebersihan gudang rutin, seorang gadis berambut pendek menyelinap ke ruang karyawan, memergokiku sedang merokok. Matanya yang lebar menajam, dan dengan suara tinggi, dia mengancam akan melaporkanku pada supervisor. Harga diriku sebagai buruh terasa ditendang oleh gadis bertampang ABG SMP ini. Saat kutantang, dia malah balas membentak galak, membacakan aturan-aturan setan tentang larangan merokok dan lainnya.
Aku belum pernah bertemu gadis cerewet ini. Dia berambut cokelat dan bermata hitam. Bibirnya dipulas lipstik merah tipis, yang tetap tidak bisa menutupi tampang bocah-nya. Sebuah name tag tersemat di dadanya, bertuliskan Mirra Zulia. Magang. Aku merutuk, kenapa ada bocah magang berani mengancam buruh paling tempramental saentero PT.Mizu Sejahtera ini? Aku hampir-hampir melepas pukulan –atau minimal kontak fisik sedikit– ke arah bocah ini, tapi tiba-tiba saja dia menghentikan argumen berantainya, dan “ –Aku mau ke laboratorium kendali mutu!” Hah?
Kucoba berfikir positif, mungkin dia anak magang yang bekerja sebagai Quality Controller di lab. Tapi Laboratorium Kendali Mutu di pabrik minuman adalah ruang suci. Buruh sekasta diriku tak pernah diizinkan ke sana. Masih kuingat, gadis itu menggembungkan pipi dan berkata dengan nada merajuk, “Anterin! Ntar Aku nggak bakal lapor ke supervisor kalau ada pegawai ngerokok di sini.”
Antara merasa kasihan pada bocah magang dan was-was jika dilaporkan, aku pun membawa gadis ini menyusuri lorong dingin pabrik menuju sebuah pintu putih berplang “Quality Control Lab”. Tempat para sarjana kimia dan sejenisnya berkutat dengan hal yang tak dimengerti orang biasa.
Kemudian, petaka itu tercipta. Mirra membuka paksa pintu lab dan menyeretku masuk sebelum membanting pintu sekeras dia bisa. “APA-APAAN LO, SETAN!” makiku keras saat aku sudah ada di dalam. Tapi dia mendesis, memberiku isyarat untuk diam. Detik itu, mau tidak mau aku harus menyaksikan isi dari lab terdalam pabrik ini. Sebuah ruang serba putih dengan meja besar di tengah. Langit-langit ruangnya juga putih, membentuk lengkungan kubah. Di ujung sana, ada sebuah galon raksasa berisi air biru jernih yang bergelembung. Tempat ini kosong –dan sangat berbeda dengan apa yang kubayangkan selama ini. Kulirik Mirra, hendak meminta penjelasan. Tapi aku melihat wajah gadis ini menjadi pucat.
“Bahaya...” Mirra bersuara dengan ekspresi horor, “bahaya!”
Aku tidak paham. Tapi belum sempat aku bertanya, dia sudah berlari menuju galon besar dan menggeledah sebuah box kecil berlaci di sampingnya. “Woi!” seruku, mencoba menahan perilaku barbar ini. “Ngapain lo?! Rampok!”
“Lepasin!” dia memberi perlawanan, “Proyek ini bahaya! Harus distop sekarang!”
Aku mengerutkan kening bingung. Bocah ini bicara apa? Apa bocah ini gila? Tapi Mirra tidak peduli, dia mengacak-acak isi laci kecil itu sampai menemukan sebuah tabung langsing bertutup merah. Ada cairan biru di dalamnya, dan ditempeli label bertuliskan “Deadly Waterdrop”. Sebaris tulisan yang membuat merinding. Sedetik kemudian, lab hening. Aku hendak memaki lagi, tapi Mirra mendahului, “Direktur pabrik ini harus masuk penjara!”
Mataku melebar. Gadis itu mengeluarkan lempeng berukir bintang warna tembaga dari sakunya. Suara dan sikap cerewetnya mendadak menjadi lebih dingin dan berwibawa. “Sebenarnya aku agen dari organisasi anti kriminal, tepatnya bagian kejahatan kemanusiaan. Kau harus tahu kecacatan total pabrik ini!”
PT.Mizu Sejahtera tempatku menghamba selama setahun terakhir ini ternyata dicurigai melakukan eksperimen penyisipan senyawa berbahaya Deadly Waterdrop pada air yang digunakan untuk produk minumannya. Bukan racun yang mematikan, namun sebuah zat yang dapat merubah jiwa orang-orang yang mengonsumsinya. “Ini seperti Narcoanalysis. Zat yang masuk ke tubuh konsumen secara perlahan dapat menyusup masuk ke sirkuit otak. Daerah-daerah di Timur Indonesia sedang mengalami kekeringan. Mizu Sejahtera berencana mengirim produk minuman beracun ini secara gratis ke sana untuk meracuni orang-orang di sana.”
Mirra menjelaskan sederetan teori dalam bahasa biologi, yang intinya, obat ini dapat membuat manusia menjadi sangat mudah dikendalikan dengan sejenis subliminal message atau pesan tersembunyi yang sederhana. Ini adalah salah satu skenario zionis untuk menjatuhkan masyarakat dunia! Ini adalah cara yang dipakai para penjahat terselubung untuk menciptakan zombie-zombie hidup yang bisa mendukung kepentingan kejahatan mereka. Beruntung –senyawa itu belum sempat dipakai, dan Mirra berhasil mencurinya! “Ikut aku!” Mirra bersuara tegas, kemudian berlari ke arah pintu utama.
Celakanya –pintu itu tiba-tiba terbuka! Aku dan Mira mengerem mendadak saat supervisor-ku dan kepala lab sudah ada di depan pintu. Mata mereka melebar kaget. Dan tanpa aba-aba, Pak supervisor yang selama ini kutakuti mengeluarkan sebuah senjata api! Kenapa dia membawa senjata berbahaya? Otakku tidak sempat melakukan kalkulasi tatkala sebuah ledakan peluru timah terjadi! Mirra berhasil menghindar dengan luar biasa gesit, kemudian, dengan gestur terlatih, si ‘bocah magang’ ini menarikku untuk melarikan diri! Dia sangat cepat, menghindari muntahan peluru panas yang dengan brutalnya memburu kami. Sekejap, aku sadar, aku sedang berada di tengah sebuah tragedi.
Aku diseret keluar pabrik, dimasukkan sebuah mobil jeep dan dibawa pergi, “kita harus bawa ini ke markas pusat! Dan karena kamu sudah melihat semua ini, kamu juga harus ikut ke markas kami!”
Masih dalam seragam kerja, aku duduk kaku di jok depan mobil jeep Mirra. Sementara gadis ini menyetir dengan mata tajam, bermanuver dengan luwes di jalanan menhindari kejaran, menuju suatu tempat yang tidak pernah aku tahu. Kami memang dikejar, tapi kegesitan Mirra membuat kami lepas.
Aku dibawa ke sebuah gedung besar di pinggir kota, dan diintrogasi sebentar di sana. Atasan Mirra memuji betapa cepat dia bekerja. “..Kau juga membawa seorang saksi penting, Mirra,” ucapnya.
“Ya, saya tahu dia bisa menjadi saksi penting. Jadi saya berakting sedikit di dalam pabrik,” jawab Mirra sambil melepas name tag bertuliskan ‘magang’-nya. Dia tersenyum padaku. “Kau akan sibuk di pengadilan setelah ini sebagai saksi kami. Oh ya, aku belum tahu namamu?”
“Riki,” aku menjawab. Pasukan khusus kemudian diterjukan ke PT.Mizu Sejahtera. Keamananku dijamin. Tapi selama kasus ini belum beres, aku ditahan di markas pusat Mirra. Mirra banyak mengajakku bicara soal pekerjaannya, tetapi yang paling memikat adalah tentang kasus ini.
“Air adalah substansi penting di alam semesta. Itulah sebabnya orang-orang yang kelewat cerdas memanfaatkannya untuk kejahatan! Orang-orang menebang pohon, menghancurkan area resapan, mencemari badan air...dan ketika air semakin langka, orang-orang jahat memberikan air beracun demi kepentingan mereka. Negara ini butuh pengawalan ketat terhadap kejahatan-kejahatan tersembunyi seperti ini. Aku beruntung bertemu pegawai malas sepertimu saat tersesat, dan kamu bisa bawa aku langsung ke lab. Andai kita tidak bertemu, mungkin semua akan terlambat...”
“Oh...jadi aku pahlawan ya,” komentarku sambil tertawa kecil.
Setengah tahu berlalu sejak tragedi itu. Tapi kasus ini ditutup rapat dari media massa. Dan aku baru tahu, kalau sebenarnya Mirra adalah putri pemilik PT.Mizu Sejahtera sendiri. Nama Mizu diambil dari Mirra Zulia. Mizu dalam bahasa Jepang juga bermakna air, senyawa yang nyaris menjadi sebuah petaka.
Tapi semua berhasil dicegah oleh seorang agen bertampang ‘bocah’. Agen yang berhasil menyelamatkan orang-orang di negara ini, sekaligus menyelamatkanku dari kebosanan menjadi budak dunia industri. Beberapa bulan belakangan, aku baru sadar, dia juga agen yang sudah mencuri hati ini. Paska tragedi, aku tidak pernah bertemu Mirra lagi. Tapi, siapa yang tahu, kalau besok, atau besoknya lagi, kami bisa berjumpa. Entah kapan...entah dimana...