Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika kantung plastik yang menutupi badannya terbuka. Lalu dia melihat siapa yang ada di depannya.
“Ji Na!”
“Hae Rin?” tanyanya pada dirinya sendiri, tidak percaya. Perasaan lega menghangatkan tubuhnya. Dia langsung memeluk Hae Rin erat-erat. Kemarin dia hampir saja kehilangan harapan ketika preman-preman itu tiba-tiba datang ke rumah nenek penyelamatnya. Melihat Hae Rin, seorang rival dan teman, bagaikan cahaya kecil di sepanjang jalanan gelap yang selama ini dia lewati.
“Ji Na,” panggil Hae Rin dari belakang kepalanya. Suaranya bergetar. “Maafkan aku telah meninggalkanmu dulu.”
Ji Na tak kuasa menahan air matanya. “Itu bukan masalah.” Katanya setengah terisak, begitu juga dengan Hae Rin. “Terima kasih telah menemukanku.”
Mereka melepas pelukan hangat itu. “Kau tahu? Aku mencarimu dari Taebaek bersama dengan Hong Soo dan Joo.” Ujar Hae Rin.
“Hong Soo?” tanya Ji Na dengan nada heran, sulit percaya.
“Ya. Kami bertiga mencarimu. Bukan hanya kami, nenek Jung dan Ah In juga mencarimu. Sekarang kita akan bertemu dengan mereka, oke?”
Ji Na mengangguk cepat dan tersenyum. Senyuman pertama dari waktu yang sangat lama. Hae Rin membantu Ji Na untuk berjalan. Badannya sangat kurus daripada terakhir kali mereka bertemu dan Ji Na terlihat sangat ringkih. Sambil menopang Ji Na yang sedikit lebih tinggi darinya, Hae Rin memperhatikan peta yang ada di ponselnya.
“Kita kemana?” tanya Ji Na.
“Kami sepakat akan bertemu di 7-Eleven di ujung jalan ini. Tinggal lurus aja. Sebentar lagi kau akan bertemu dengan Joo, Hong Soo dan Ah In.”
Ji Na tersenyum dan menitikkan air mata bahagia. “Terima kasih.” Katanya lirih.
“Kau tenang saja Ji Na. Kami tidak akan memulangkanmu pada ayahmu itu. Kita akan membalas ayamu.” Balasnya.
Ji Na mengangguk lagi. Hae Rin tidak akan bisa mengerti betapa senangnya dia bertemu dengannya hari ini. Bertemunya mereka hari ini telah menghapus dendam yang telah tersimpan di hati Ji Na setelah sekian lama. Hatinya menjadi sangat lebih ringan dari biasanya.
Tidak lama setelah mereka berjalan. Satu seruan di belakang mereka membuat sekujur mereka beku. “Oi! Lee Ji Na!”
Mereka berdua berhenti berjalan seketika. “Ji Na, jangan menghadap ke belakang.” Hae Rin bisa melihat wajah ketakutan Ji Na. “Kita jalan seperti biasa, kau tenang saja, oke?”
Ji Na mengangguk pelan. Hae Rin berhenti menopang Ji Na dan mereka berusaha berjalan sebiasa mungkin dengan langkah lebar-lebar. Keringat dingin tiba-tiba membasahi dahi Hae Rin.
“Berhenti di situ!” seru seseorang di belakang dengan nada santai dan mengintimidasi. Ji Na dan Hae Rin bisa mendengar tawa renyah dari belakang. Hae Rin melirik Ji Na di sebelahnya yang gemetaran hebat.
“Hei! Tunggu di situ.” Perintah orang-orang di belakang.
Hae Rin tahu kalau mereka sudah ketahuan. Dia mengambil tangan Ji Na. “Tempat berkumpul kita tidaklah jauh lagi, kau harus bisa berlari oke?!” kata Hae Rin dengan waspada.
“Kita lari bersama kan? Kau tidak akan meninggalkanku sendiri?”
“Tentu tidak. Aku sudah berjalan sejauh ini tidak untuk berpisah dengan kalian semua.” Ucap Hae Rin berusaha menenangkan Ji Na dan dirinya sendiri.
“Oi!”
Suara itu membuat gemetar Ji Na. Hae Rin melihat temannya di sebelahnya, merasa tidak tega. Lalu dia menguatkan pegangannya di tangan Ji Na. “Ji Na, jangan takut. Kita tinggal lari.”
Derapan langkah terdengar dari belakang. Hae Rin melirik ke belakang dan tenyata mereka mulai berjalan cepat ke arah mereka. Preman itu berada sekitar sepuluh meter di belakang mereka.
“Setelah aku beri aba-aba, oke?” ucap Hae Rin wasapada. Ji Na menganggung. “Baik..satu... dua... tiga....!” sentak Hae Rin.
Ji Na dan Hae Rin saling berpegangan tangan dan berlari. Hae Rin menguatkan pegangannya pada Ji Na karena dia bisa merasakan tangan Ji Na yang terlalu kurus dan bergetar karena ketakutan. Mereka berusaha berlari sekuat mungkin, tetapi Hae Rin sadar kalau jarak mereka dengan para preman itu tidaklah jauh. Terlebih, mereka berdua bukanlah tandingan para preman itu. Namun titik-kumpul mereka tidaklah jauh lagi.
Tiba-tiba sebuah mobil hitam berjalan di sebelah Hae Rin, jendelanya terbuka, preman dengan muka garang dan Hae Rin saling bertatapan. Hal yang ditakutkan Hae Rin menjadi kenyataan, mereka berdua tidak akan bisa menang dengan mobil. Preman itu menyeringai menyeramkan sambil menghunuskan sesuatu seperti pistol kepada Hae Rin sambil tertawa mempermainkan ketakutan Hae Rin.
Hae Rin tahu itu. Kejut listrik! Dia melepas pegangannya pada Ji Na. “Lari!” serunya pada Ji Na dan tepat setelah dia melepaskan genggamannnya, pistol itu mengenai punggungnya dan Hae Rin jatuh terkapar di jalan, kakinya terkilir.
Ji Na berhenti melihat Hae Rin, ketakutan kembali menyelimuti hatinya.
“Lari!” kata Hae Rin lirih kepada Ji Na.
“Mana mungkin aku meninggalkanmu!” tolak Ji Na.
Mobil itu berhenti dan preman itu turun dari mobil. Badan Ji Na mematung melihat orang itu. Seketika keberanian yang dia miliki menguap ketika melihat preman itu menyeringai ngeri kepadanya.
“Halo, Ji Na!” sapa preman itu sambil tersenyum dan melambaikan tangannya. Si Boss tampil dengan jas hitam dan bersih, tidak seperti preman-preman yang ada di belakang. Rambutnya panjang sebahu dengan hidung bengkok. Matanya kecil, sipit dan tajam. Senyumannya lebih mirip dengan mulut yang dirobek di kedua sisinya.
Ji Na menatap ngeri preman itu. Bagaikan adegan lama itu muncul di kepalanya. Untuk kesekian kalinya dia kembali merasa kalah. “Halo Ji Na sudah lama tidak ketemu. Aku sudah lama mencarimu dan itu sangat membuang waktuku, sekarang, kemarilah.” Ujaranya dengan suara datar dan ekspresi senang ganjil itu. Ji Na gemetar di tempat. meski Boss itu hanya berjalan lambat, kaki Ji Na bagai terkunci di tanah. Pikirannya kembali tidak stabil.
Hae Rin melihat preman itu dengan muak. Hae Rin melihat Ji Na yang ada lima langkah di depannya. “Lari!” mohonnya pada Ji Na. Tapi Ji Na tidak merespon. “Lari goblok!” hardiknya pada JI Na.
Ji Na tersentak, baru di sadar di sana juga ada Hae Rin. “Lari bego! Kau masih punya Joo dan lainnya, temui mereka!” hardik Hae Rin marah. Dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya sangat marah pada Ji Na saat itu.
Ji Na melihat Hae Rin dan preman bergantian. Hatinya diliputi dilema, akankah dia lari atau dia akan tinggal. Mereka sendiri tidak akan menang menghadapi mereka semua. Namun, tatapan Hae Rin itu yang seakan mengatakan “Semua akan baik-baik saja.”
Si Boss sudah sangat dekat. Terlebih, preman-preman yang mengejarnya sudah berkumpul di belakang.
Ji Na tahu Hae Rin bukanlah anak gadis sembarang. “Janjilah kau akan kembali.” Katanya dalam hati sambil melihat Hae Rin, bertelepati. Ji Na melihat Hae Rin untuk terakhir kalinya dan berlari sekuat tenaganya. Si boss sudah hampir menggapainya tetapi dia tidak berusaha lagi mengejarnya. Ji Na tahu ada yang tidak beres. Pikiran tentang Hae Rin melayang-layang di otaknya.
Hae Rin mengangguk melihat Ji Na yang berlari menjauh. Tanpa alasan yang jelas, tak ada rasa takut yang datang padanya. Dia sudah menemukan Ji Na, merupakan kelegaan baginya.
Si Boss menghentikan anak buahnya untuk mengejar Ji Na. Lalu dia mendekati Hae Rin yang masih tersungkur di jalan. “Halo kucing kecil.” Sapanya genit tapi menjijikkan.
Hae Rin merasa mual mendengar kata-kata itu. Tanpa menunjukkan rasa takutnya, Hae Rin memanggil preman itu tanpa takut. “Sampah!” kata Hae Rin sambil menyeringai, merasa puas ketika melihat senyuman menjijikkan itu luntur dari wajah preman itu. Lalu kejutan-kejutan listrik menghilangkan kesadaran Hae Rin.
***
Ah In menulusuri jalan dengan serius. Beberapa pedagang menyapanya menanyakan kabar. Ah In cukup terkenal di daerah ini, bahkan beberapa dari mereka mengatakan kalau Ah In akan sangat mungkin menjadi preman atau mungkin polisi di masa depannya. Ah In sendiri tidak begitu senang dengan dua pilihan itu, dia hanya ingin menjadi kaya dan mungkin menjadi informan para detektif, bermain peran di belakang layar akan lebih seru untuknya.
Ah In sudah berjalan cukup jauh. Lalu matanya menangkap sekumpulan motor besar di sudut jalan. Di dalam restoran itu banyak laki-laki besar yang sedang meminum bir dan makan siang. Dia langsung mengenali siapa mereka. Dia mendekati restoran itu dan bersembunyi di sebelah jendela kaca.
Entah kenapa dia merasa ditarik ke sana, lalu dia melihat koper besar dan tas punggung milik dua kakak asing yang pernah dia ambil uangnya. Haruskah aku mengambilnya lagi? Ah In mengingat lagi wajah malu dan kecewa nenek Jung. Dia mengepalkan tangan dan menyatukan tekad. Dia sudah pernah berada di situasi yang lebih buruk daripada ini, seharusnya ini bukan masalah besar untuknya. Tapi tentu bukan masalah kecil juga.
Ah In memberanikan dirinya masuk ke restoran itu, dia melihat keadaan sekitar.
“Bocah itu!” seru seseorang dengan perawakan besar dan suara serak.
Ah In mengalihkan perhatian mereka dari bir dan nasi. Semua berdiri menatapnya galak. Nyalinya tiba-tiba mengecil. Lalu, salah satu mereka mendekati Ah In dengan badan dan tatapan mengintimidasi. “Berani sekali kau datang.”
Ah In tahu kalau dia tidak akan bisa mengambil koper dan tas itu begitu saja. Harus ada pencair hati mereka yang terlanjur marah dengannya. Hanya satu cara yang bisa dia lakukan sekarang.
Dia berlutut dan mempersiapkan suara dan raut wajahnya. Bersiap-siap berubah menjadi aktor dadakan.
***
Hong Soo dan Joo tiba bersamaa di depan 7-Eleven. Keduanya berwajah lelah dan kecewa. Mereka berdua duduk sambil berkutat dengan pikiran masing-masiang. Pencarian ini bagaikan tak ada ujung. “Aku tidak pernah merasa seputus asa ini.” Keluh Hong Soo sambil mengusap wajahnya.
Joo mengangguk setuju sambil terus memperhatikan orang-orang lalu lalang. Lalu, dia melihat sahabatnya. “JI NA!” serunya dan melompat berdiri.
Hong Soo yang terkejut dibuatnya ikut melompat melihat Ji Na yang berjalan teratih dari jauh.
Joo dan Hong Soo berlari menghampiri Ji Na. “Ji Na!” peluk Joo erat di depan Hong Soo yang tidak berdaya. Yang bisa dia lakukan hanyalah tersenyum, meski dia sangat bahagia, dia tidak berani mendekati Ji Na lebih jauh lagi.
“Kami mencarimu kemana-mana.” Serunya bahagia dan lega. Senyumnya mereka begitu lebar melihat Ji Na telah kembali di depan matanya. Namun, Ji Na terisak di depan Hong Soo dan Joo. Lama-lama senyum Joo mengecil. “Hei, ada apa?” katanya, merasa ada yang tidak beres. Tapi, Ji Na tak sanggup menggapai kata-katanya.
“Di mana Hae Rin?” tanya Hong Soo. Sudah sadar kalau ada yang kurang.
“Kau, bagaimana bisa sampai ke sini? Apa kau bertemu dengan Hae Rin tadi?” tanya Joo. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat dan tidak akan pernah siap mendengar kalau Hae Rin ganti mengghilang.
Ji Na mengangguk.
“Lalu di mana dia?” tanya Hong Soo.
“Maafkan aku....” Jawab Ji Na menggantung. Joo dan Hong Soo menahan nafas mereka, takut kejadian yang sama terjadi pada Hae Rin. “Maafkan aku. Aku tahu seharusnya aku tidak meninggalkan...”
“Ji Na jelaskan.” ucap Joo tidak sabar namun berusaha tetap lembut.
“...mereka membawa Hae Rin.”
***
Mereka berlari lagi, sama seperti sebelumnya. Dada mereka sesak dengan amarah yang tak padam disiram kata-kata, ketakutan yang mencekik di setiap detiknya dan air mata yang selalu mereka bendung di setiap menitnya.
Hae Rin menghilang.
Hong Soo, Joo dan Ji Na bergegas ke kantor polisi dengan mata merah. Hong Soo dan Joo berjalan ke tempat lapor dengan gelisah, kantor polisi masih ramai, mencari anak pejabat yang hilang. Dan seperti yang mereka duga, laporan mereka ditunda.
“Aku saksinya Pak! Kami mohon dengarkan kami!” teriak Ji Na menghambur ke depan. Memohon sambil setengah menangis menjelaskan apa yang terjadi.
Muak dengan amukan Hong Soo dan desakan Joo akhirnya polisi perempuan itu kalah dan mengajak Ji Na masuk untuk memberikan keterangan. Hong Soo dan Joo menghempaskan badannya ke kursi dengan perasaan campur aduk.
“Hae Rin...” panggil Hong Soo lirih dan frustasi, rasanya baru kemarin dia bercanda dengannya dan sekarang nyawanya sedang terancam.
“Akhirnya kau mengerti.” Ucap Joo yang ada di sebelahnya, sama lirihnya.
“Apa yang kau bicarakan?”
Joo melirik Hong Soo yang masih memegangi kepalanya, “Aku bilang. Akhirnya kau mengerti betapa berharganya Hae Rin.”
Hong Soo ganti melihat Joo. “Apa maksudmu? Hae Rin selalu menjadi seorang yang berharga untukku.”
“Tidak. Dulu kau tidak pernah melihatnya seperti sekarang ini. Kau tidak pernah sekalut ini ketika kau dulu pernah hampir membunuhnya di gunung.”
Hong Soo tersenyum muak, “Di saat seperti ini masih mau mengungkitnya?”
“Kenapa Hong Soo?” balas Joo dengan datar, “Kenapa kau baru menyadarinya? Kau tahu Hae Rin sudah suka padamu dari dulu kan?”
Hong Soo merasakan paru-parunya semakin mengecil atau mungkin... kata-kata Joo terlalu benar untuk disanggah. “Hentikan, bukan saatnya kita bertengkar.”
“Tapi kau harus ingat Hong Soo. Aku selalu melihat Hae Rin lebih jelas daripada kau dan aku tidak akan melepaskannya begitu saja.” Ujar Joo dengan dingin dan nada ancaman.
“Kau sangat terobsesi dengan Hae Rin kelihatannya.”
“Ya, sama seperti kau dengan Ji Na. Tapi perbedaannya adalah aku selalu melihat dia sebagai yang pertama.”
“Kenapa kau berbicara seperti ini?” Hong Soo menatap Joo tidak percaya, Joo adalah orang yang dewasa dan tidakannya ini tidak biasa dia lakukan. “Ini bukan saat yang tepat untuk hal itu!”
“Ketika seseorang ketakutan, Hong Soo, dia bisa melakukan apa saja untuk menyelamatkan orang yang dia sukai. Sama sepertimu. Bukan begitu?” balas Joo dengan nada yang melembut tapi sangat mendalam. Hingga Hong Soo paham, kalau Joo hanya ketakutan. Sama seperti dia ketika Ji Na tiba-tiba menghilang seperti dulu.
Lalu Ji Na datang dua menit kemudian, di sebelahnya seorang pria berusia empat puluhan yang menggunakan jaket kulit dan tatapan tajam menghampiri mereka.
“Perkenalkan, namaku detektif Choi, aku akan membantu pencarian kalian.”