Esok hari akan menjadi ajang pertemuan dan pamer bagi mereka yang sudah sangat menanti-nanti acara esok begitu lama. Ketika kabar ini tersiar, seluruh tamu undangan mempersiapkan segalanya dengan sesempurna mungkin.
Ya, mereka harus terlihat sempurna di mata kawan dan lawan mereka terdahulu.
Sejak semalam hotel cabang milik keluarga Leo yang berada di Bali, sudah ramai dengan kedatangan rombongan dari para tamu undangan. Hotel tersebut dipilih untuk melaksanakan acara reuni yang akan dilaksanankan esok. Reuni megah ini sudah dirancang setahun lalu oleh Hazen, seorang ketua BEM di masanya kuliah yang sekarang menjadi seorang arsitektur handal di sebuah perusahaan ternama di Jakarta.
Untuk mengadakan acara tersebut Hazen meminta pada pihak hotel untuk tidak menerima tamu lain. Dia ingin pihak hotel fokus melayani para tamu undangannya.
“Sempurna.” Ujar Fani yang berdiri disamping Hazen, menatap sekeliling ballroom yang akan di gunakan untuk esok hari. Ballroom tersebut sangat megah, dengan dekorasi berwarna emas dan merah maron.
“Sudah aku bilang, aku bisa melakukannya. Ini sangat mudah.” Sahut Hazen tersenyum bangga dengan hasil kerja EO yang bekerjasama dengannya.
“Kau sangat hebat!” Puji Leo yang berjalan mendekat, setelah puas berkeliling melihat isi ballroom.
“Bolehkah aku ikut di acara kalian besok?” Tanya Fani begitu antusias. Dia menduga, jika acara esok akan sangat meriah. Para tamu undangan yang berlalu lalang di sekitar hotel terlihat penuh pesona.
“Tentu saja boleh. Bukankah aku yang merancang ini semua! Siapa pun boleh menghadirinya atas izinku.” Jawab Hazen menyombongkan diri.
“Perfect!” seru seorang wanita secara mengejutkan.
Semua pandangan langsung mengarah pada sumber suara. Mereka menemukan seorang wanita yang menggunakan pakaian kantor berdiri di ambang pintu. Wanita itu tersenyum dan perlahan melangkah mendekat.
“Rona” Leo berkata sangat pelan, karena melihat dari penampilannya, dia tidak yakin jika wanita tersebut adalah Rona, teman sekelasnnya semasa kuliah.
“Rona Amandini Putri, benarkah ini kau? Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Perubahan yang membanggakan?” Hazen terpesona dengan wanita tersebut, dia menelusurinya dari atas hingga bawah. Hazen bahkan mengacukan jempolnya, saat sadar rambutnya kini sudah berubah. Hitam menjadi kuning pirang.
Mendapat pujian dari Hazen, Rona semakin melebarkan senyumannya dengan penuh kebanggaan. Ini pertemuan pertama mereka secara fisik setelah 6 tahun dinyatakan lulus dari universitas. Meski begitu, komunikasi mereka tidak pernah terputus.
Pandangan Rona mengarah pada Leo. Dia menatapnya dengan begitu bangga. Tidak ada yang berubah dari gayanya sejak dulu. Sikap dan caranya tersenyum, masih sama. Hanya saja, dia semakin mempesona dengan penampilannya kini. Tak beda dengannya, Leo juga masih mengenakan pakaian formalnya. Mungkin dia juga baru tiba.
“Kenapa kau memandang ku seperti itu?” Ujar Leo risih.
“Kau semakin mempesona Leo.” Jawab Rona tertawa kecil.
“Kau tertarik padaku? Jangan memujiku berlebihan seperti itu.” Canda Leo tersenyum miris. Rona sering sekali mengatakan hal itu padanya ketika masa kuliah. Mungkin dulu dia senang, namun sekarang dia jengah. Untuk apa banyak orang berkata seperti itu, jika pada akhirnya dia tidak bisa mendapatkan gadis yang disukainya.
“Aku yakin, seperti biasa, semua mata akan tertuju padamu. Apalagi, pengemar berat mu, Seina dan Silvi. Kira-kira bagaimana kabar mereka sekarang? Aku sudah tidak sabar menunggu besok.”
Sesaat, Leo terpaku mendengar perkataan Rona. Bayangan Seina dan Silvi muncul di kepalanya, bagaimana saat keduanya saling sindir-menyindir, saat Silvi pura-pura sakit dan minta diantar pulang, dan ketika Seina mengobati luka dilututnya karena terjatuh saat bermain bola. Kedua gadis itu selalu memperebutkan dirinya dan perhatiannya.
Leo selalu berusaha untuk membagi rata perhatiannya. Hal itu dilakukan agar mereka tidak semakin bertingkah yang aneh-aneh, meski pada akhirnya dia tidak bisa membagi rata perhatian tersebut. Sebab, salah satu di antara kedua gadis itu, sudah mengisi hatinya.
Dia juga masih sangat ingat, tentang sosok Seina yang pintar dan menjadi pujaan mahasiswa di kampus. Lalu, Silvi yang enerjik dan selalu terdepan dalam setiap kegiatan kampus. Banyak hal yang di ingat Leo tentang mereka. Mereka sangat ceria dan bahagia dengan hidup mereka.
“Apa kau teringat pada mereka berdua?” Tanya Rona menyikut pelan bahu Leo, sehingga membuyarkan lamunannya.”Kau sudah bertemu kedua orang itu?”
Leo tersenyum.”Untuk apa membahas mereka, kalau disini banyak yang perlu dibahas. Bagaimana bisa kau merubah warna rambutmu? Itu terlihat seperti tumpukan jerami. Rok mu juga terlalu pendek. Lipstick mu terlalu merah.”
“Leo!” Rona melotot kesal lantaran penampilannya di protes.
Pria itu sengaja mengalihkan topik pembicaraan, bukan karena dia tidak penasaran dengan keadaan Seina ataupun Silvi, saat ini. Tetapi, dia tidak ingin membahas kedua gadis itu dengan Rona. Sebab, dia paham, jika pembahasan itu akan membuat mereka ribut, seperti saat kuliah dulu.
Mungkin bisa jadi, rasa ingin tahunya terhadap kedua gadis itu lebih besar dibanding Rona. Dia ingin tahu segala tentang kedua gadis itu. Bagaimana kabar mereka? Apa mereka sudah menikah? Punya anak? Seperti apa sikap mereka saat ini? Apa yang mereka lakukan saat ini? Atau apakah mereka masih seperti yang dulu? Enerjik, seria, dan suka tersenyum. Bagaimana jika keduanya bertemu besok? Apa dirinya masih menjadi topik utama mereka?
Nice.
Comment on chapter 1 : Rencana