Kabar Bahagia
Kenapa harus galau cuma karena bingung milih makan buat doi? Tapi giliran nggak bisa jawab ulangan dan berkahir remidi, malah nyante aja.
Kita pelajar atau pembokat si dia?
Hari ini Anjani, Keiza dan Nayla duduk bersama di kantin. Memang sudah dua hari ini, Anjani dan Nayla menjadi dekat.
Ini karena Anjani menerima tawaran Nayla, waktu mereka bertemu di ruang kesehatan, senin lalu.
“Kak Jeni mikirin apa sih? Sedih banget.” Nayla menepuk-nepuk lengan Anjani.
“Mikirin kompetisi UOB Painting. Tiga minggu lagi pengumpulan karya, tapi belum kepikir mau ngelukis apa. Jadi ragu ikut atau nggak?" Anjani menjawab dengan desahan berat.
"Tapi mikirin yang lain juga sih." Lanjut Anjani dalam hati.
Raut wajah Nayla berbinar bahagia mendengar keresahan Anjani. Seakan mendapat rejeki durian runtuh. “Kabar bagus itu.”
Kalimat Nayla barusan mampu membuat Anjani dan Keiza serempak menatap bingung padanya. Buru-buru gadis itu menjelaskan.
“Kak Tristan pasti mau nemenin kakak nyari inspirasi. Beres pokoknya. Minggu besok pas lukisan yang aku minta jadi, kak Tristan siap menemani kak Anjani.”
Mendengar itu, Anjani hanya bisa memelototkan matanya. Dia emang mengagumi Tristan seperti dia mengagumi Keiza. Alasannya simpel. Mereka pintar.
Tapi untuk jalan berdua, rasanya dia tidak siap.
Sayangnya, Anjani tidak bisa menolak Nayla. Ada rasa tidak tega saat mengecewakan adik kesayangan Tristan.
"Kak Jen, bawain roti dan susu buat kak Tantan dong.” Nayla memerintah Anjani seenaknya sendiri. “Kak Tantan tadi pagi sibuk trus sekarang kumpul ketua kelas. Belum makan. Roti lumayan lah buat ganjel.”
Anjani keberatan dengan ide Nayla. Kali ini dia harus tega menolak. Ini terlalu jauh. Dia tidak ingin carper di depan Tristan. Itu bukan tipenya.
Sebelum Anjani menolak, Nayla menambahkan. “Kalo ntar malu, bilang aja titipan dari aku. Kak Tantan nggak bakal mikir aneh-aneh kok. Dia kan tau kita deket sekarang.”
Anjani sibuk sibuk menimbang-nimbang. Tapi Keiza sudah tidak sabar ingin balik ke kelas. Dia berseru. “Kalo mau beli, buruan beli. Kalo nggak ayo balik, kita ada ulangan. Jangan galau sekarang, ntar aja pas nggak bisa jawab ulangan!”
Didesak seperti itu, membuat kerja otak Anjani sedikit terganggu. Buru-buru dia membeli roti dan susu untuk Tristan.
Pesanan Nayla untuk Tristan. Mungkin itu alasan yang digunakan otaknya untuk memerintah si kaki berjalan ke stand makanan ringan.
<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Penghuni kelas XI IPA 4, sibuk membolak-balikkan buku. Ulangan harian Biologi tentang sistem pencernaan akan segera dimulai.
Sekalipun sebagian murid XI IPA 4, hobi ngerusuh di jam kosong atau sibuk sendiri saat guru menjelaskan. Tetapi sewajarnya seorang pelajar, detik-detik ulangan akan berlangsung, adalah waktu terakhir mereka untuk menyiapkan senjata tempur.
Tristan masuk kelas tepat ketika bel berbunyi. Dia berjalan santai ke tengah kelas.
“Minta perhatian bentar. Ada pengumuman bahagia.”
Fokus kawanan d’Papat langsung teralikan. Tidak lagi meratapi buku dihadapannya. Berganti memperhatikan Tristan.
Beberapa anak, sibuk menebak-nebak pengumuman yang akan dikabarkan captain mereka.
“Pengumuman bahagia apaan? Bu Retno nggak masuk? Trus dikasih tugas? Berarti nggak ulangan? Asik!"
“Alhamdulillah! Rejeki anak orang tua.”
“Ya Tuhan, kurang beruntung apa kita minggu ini kalo Bu Retno nggak masuk? Senin kemarin, Bu Indah nggak masuk, sekarang bu Retno. Sujud syukur woi! Dunia tanpa hapalan dan hitungan emang paling MANTAPPP!”
“STOP! STOP!” Tristan segera menghentikan ocehan tidak berguna yang saling bersautan satu sama lain.
“Bu Retno ada di ruang guru. Aku tadi izin minta waktu sepuluh menit buat nyampein pengumuman dari OSIS.” Komfirmasi Tristan.
Kelas kembali membaca materi ulangan. Mengabaikan Tristan yang tengah memberikan pengumuman penting.
“Seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam rangka memperingati hari jadi SMA Pembangunan, sekolah akan mengadakan rangkaian perayaan HUT Pembangunan.” Intro Tristanhanya didengar sebagian kecil teman-temannya.
Mungkin hanya Anjani yang menyimak dengan baik.
“Pertengahan Oktober akan diadakan lomba antar kelas. Kelas sepuluh lomba membuat film dengan tema Aku dan Sekolahku. Kelas sebelas wajib menampilkan drama musikal. Sedangkan kelas dua belas tidak mengikuti lomba apapun. Hanya menjadi penonton.”
“Penilaian dibagi dua, favorit penonton dan pilihan juri.” Papar Tristan. “Kabar bahagianya, pemenang lomba drama musikal kategori pilihan juri, bakal dikasi nilai diatas 85 untuk pelajaran kesenian dan bahasa Indonesia.”
“Dan karena ini acara wajib, jadi kelas kita harus tampil. Setuju?” Tanya Tristan diakhir penjelasannya.
Tidak ada yang bersuara.
Salah membahas lomba drama musikal ketika ada ulangan harian. Tentu saja, mempersiapkan ulang harian didepan mata akan menang telak jika disandingkan dengan mempersiapkan drama musikal kelas dua bulan lagi.
“OK, karna waktunya nggak tepat, masalah ini akan kita bahas lain ka-”
“Eh tunggu Tan, aku mau nanya.” Potong Dhika dari pintu kelas.
Dia, Raditya dan Keyra berjalan santai memasuki kelas.
Tidak heran jika orang-orang seperti Dhika tertarik membahas drama musikal. Dipikiran lelaki itu, lebih asik bernyanyi di lapangan hingga suaranya habis, daripada bersusah payah menjawab soal ulangan di kelas hingga otaknya panas dan berujung remidi.
“Tanya apa? Nanti ajalah tunggu kondusif. Daripada ngulang-ulang pembahsan yang sama.”
“Eh, urgent nih. Gating. Gawat dan Penting.”
“Apaan?”
“Apa soal ulangan Bu Retno hari ini?”
Harusnya dari awal, Tristan mengabaikan pertanyaan konyol manusia yang terkenal ke-sengklek-an ini.
Mana mugkin seorang Dhika serius?
“Yaudah siapin aja kertas buat ulangan, aku panggilin Bu Retno sekarang.” Perintah Tristan. "Biar kita semua tahu apa soal ulangan hari ini.
Kehebohan langsung terdengar memenuhi kelas XI IPA 4.
"Jangan ulangan sekarang. Ya ampun, please!"
"Tunda mingg depan aja sih. Nggak mau ulangan hari ini. Nggak bisa. Nggak bisa."
"Belum belajar nih, ntar mau jawab apa?!?"
"BELUM SIAP!!!!"
Tristan cuek saja berjalan ke arah pintu kelas. Tidak mungkin menuruti kepanikan Kawasan d'Papat. Mereka bilang tidak siap ulang hari ini?
Yang benar tidak akan ada kata siap untuk mereka, jika tidak dipaksa.
Jika ulangan diundur minggu depan, mereka akan kembali mengatakan tidak siap dan minta diundur lagi. Begitu seterusnya!
Langkah Tristan terhenti ketika seorang memanggilnya.
“Makan dulu nih roti. Kata Nayla kamu nggak sarapan. Jadi dia nitipin ini buat kamu.” Anjani berdiri menghadang jalan Tristan. Mengangsurkan plasik kecil.
Tristan mencerna kalimat Anjani. Hingga sebuah tangan lebih dulu menyambar kantong plastik.
“Kayanya Tristan nggak butuh. Aku sama Raditya aja yang makan. Masih laper kita.”
Siapa lagi orangnya kalo bukan Dhika. Lelaki paling mengesalkan versi Anjani.
“Dhika!” Seru Anjani ketika kantung plastik sudah berpindah. Berada di tangan Raditya.
Dengan muka tanpa dosa, Raditya memakan sebungkus roti hingga tandas.
“Makasih Anjani. Makin dermawan kalo bagi-bagi makan kaya gini.” Ucap Raditya tersenyum manis.
Mereka kembali ke bangku. Meninggalkan Anjani yang siap meledak.
Untung Tristan dengan sabar menenangkannya gadis itu.
"Udah Jen sabar, mending sekarang kita siapin kertas. Bentar lagi Bu Retno kesini."