Lylianna terbangun tiba-tiba. Seketika kepalanya terasa pusing dan pandangannya mengabur. Ia juga merasakan kalau ia tidur di alas yang keras. Lantai, ia tidur di lantai.
Ia memegangi kepalanya sambil mengerjab berkali-kali. Perlahan matanya kembali normal. Kepalanya pun tak lagi pusing.
Lylianna terdiam dan menatap langit-langit. Seketika ia tersadar. Segera ia bangkit duduk dan menatap sekelilingnya.
Ruangan berukuran kira-kira tiga kali dua dengan cat merah marun polkadot. Hal yang paling melegakan adalah Samuel dan Alex berada dalam satu ruangan yang sama. Hanya saja mereka belum bangun.
Ruangan itu terasa dingin sekalipun Lylianna tidak menemukan satupun pendingin ruangan. Betul-betul ruangan itu hanya diisi mereka. Bahkan Lylianna tidak dapat mengetahui dimana letak jendela ataupun pintu.
Lylianna beranjak. Ia mulai mengguncang tubuh Alex.
"Lex, bangunlah."
Butuh usaha yang cukup lama sampai Alex terbangun. Alex menggeliat sebentar lalu mengerjabkan mata. Ia menatap Lylianna. "Anna? Apa yang kau lakukan disini?"
Dengan gemas Lylianna menjawab, "Kau ini! Lupa apa yang terjadi?!"
Alex melihat sekelilingnya. Lalu ia membelalak terkejut. Ingatan apa yang terjadi seketika merasukinya. Ia langsung bangkit duduk.
"Sial! Kita dimana?" tanyanya gusar.
Lylianna tidak memberikan jawaban. Ia hanya mendelik lalu berusaha membangunkan Samuel. Syukurnya Samuel bereaksi lebih tenang.
"Jadi, sekarang kita berada di tempat penculik kita?" tanya Samuel lebih kepada dirinya sendiri.
Samuel bangkit berdiri. Ia merapatkan diri kearah dinding. Lalu ia mulai meraba permukaan dinding.
"Apa yang kau lakukan?"
"Mencari pintu rahasia," jawab Samuel seadanya.
"Kau yakin? Pasti tidak mudah ditemukan. Pasti ada cara khusus," Lylianna menimpali.
Samuel mendengus sebentar. Lalu ia kembali pada kesibukannya. "Memang! Aku mencoba mencari celah pintunya—"
Ucapan Samuel terhenti. Tiba-tiba di salah satu sisi dinding muncul sebuah lingkaran dengan pentagran ditengahnya dan huruf-huruf rumit yang mendampingi. Lalu muncul sebuah pintu.
Samuel segera melangkah mundur. Alex sendiri langsung memasang postur defensif menyembunyikan Lylianna.
Pintu itu terbuka dan menampakkan sosok penculik mereka. Reifhner.
Samuel menggeram marah. Tanpa pikir panjang ia melayangkan tinjunya sekuat tenaga.
....
"Apakah masih jauh Ferdament?" tanya Nareisya. Bulir-bulir keringat menetes dari dahinya. Ia mulai lelah. Dari tadi mereka terus berjalan. Berjam-jam lamanya.
"Sedikit lagi, bersabarlah."
"Kau terus menerus mengatakan itu dan kita masih terus berjalan," keluh Nareisya kembali.
"Sedikit lagi. Sungguh sedikit lagi," Ferdament berhenti sebentar membantu Nareisya. "Lihatlah istana mulai terlihat. Bersabarlah, hanya tingggal sebentar lagi."
Nareisya mendongak. Memang ia sudah dapat melihat istananya.
Awalnya saat keluar dari penjara Azverdia mereka hanya berjalan di padang rumput dan hutan. Karena Nareisya tidak mengenakan alas kaki, Ferdament merapalkan mantra guna membuat telapak kaki Nareisya tidak luka nantinya. Beberapa kali mereka istirahat sementara matahari mulai menyongsong.
Setelahnya mereka baru bertemu penjaga perbatasan kota. Ferdament berbincang sebentar lalu mereka mulai menemukan perumahan yang cukup padat. Kota besar yang ramai. Ibukota Ethornasia, Davaneus.
Istana Ethornasia terletak di jantung kota Davaneus. Sementara penjara Azverdia memang masih berada di Davaneus tapi termasuk dalam daerah terlarang perbatasan dengan provinsi Elzefra.
Setidaknya itulah yang dijelaskan Ferdament. Nareisya tidak berani bertanya lebih. Yang penting sekarang ia sedikit tahu dimana ia berada.
Nareisya sempat terpukau melihat banyaknya orang berlalu lalang.Terik matahari siang itu tidak mengganggu aktivitas mereka. Ferdament sempat membelikan gaun yang pantas untuknya. Gaun selutut sederhana biru lembut polkadot. Gaun itu sengaja dibelikan yang berlengan panjang. Kaki Nareisya pun kini terbalut sepatu boot wanita berwarna coklat.
"Kenapa kau tidak menggunakan kendaraan saja?"
"Kuda maksudmu?" tanya Ferdament balik.
Nareisya mendelik, "Ya, apapun itu."
Ferdament menggeleng, "Kuda biasanya ditunggangi orang-orang kerajaan ataupun bangsawan."
"Bukankah kau termasuk dalam keriteria itu?”
"Terlalu mencolok. Lagipula mana ada bangsawan yang keluar rumah hanya mengenakan piyama tidur?" ucap Ferdament sambil mendengus geli.
Pipi Nareisya bersemu. Ingin berkata sesuatu tapi ia menahannya. Ia memutuskan untuk sekedar mengikuti langkah kaki Ferdament.
Mereka kembali berjalan. Tidak ada satupun yang bicara. Tiba-tiba sebuah pertanyaan terlintas di otak Nareisya.
"Perintah ratu adalah membawaku menemui dia bukan?"
"Ya."
"Kalau begitu, mengapa kau menjelaskan tentang Azverdia dan Ethornasia padaku? Yah, walaupun hanyan sedikit. Apa itu juga perintah dari ratu?" tanya Nareisya lagi.
Ferdament berbalik dan menatap dingin Nareisya. Seketika nada bicaranya menjadi tidak bersahabat.
"Entahlah, tapi ratu tidak memberi larangan padaku."
Bibir Nareisya membungkam. Dia ingin kembali bertanya tapi mellihat reaksi Ferdament tadi nyalinya menjadi ciut. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Memang tidak betul-betul murni berjalan kaki karena Ferdament beberapa kali merapal mantra untuk mempercepat tanpa disadari Nareisya.
....
Nareisya terperangah saat melihat kompleks istana. Ia tidak bisa memperkirakan seluas apa lahan yang digunakan.
Istana ini benar-benar kuat mengancam. Gerbangnya menjulang tinggi dilapisi emas dan dihiasi sedikit permata. Temboknya tampak kokoh dan kuat berwarnah putih bersih. Ada dua penjaga yang berdiri di sisi gerbang. Ferdament mengangguk pada keduanya. Lalu gerbang didorong mempersilahkan mereka masuk.
Nareisya kembali terkagum-kagum. Hal pertama yang dilihatnya adalah taman yang indah. Banyak tanaman berbunga yang bermekaran. Nareisya sempat ingin menyentuh tapi dilarang Ferdament.
Lalu ia melihat istana yang menjulang tinggi sekitar tigaratusan meter dihadapannya. Seketika Nareisya kembali cemberut. "Haruskah kali ini kita berjalan kaki lagi?"
Ferdament menggeleng dambil tersenyum geli. Lalu ia mengmit tangan Nareisya. Nareisya sempat menepis tapi Ferdament memiliki tenaga lebih kuat. "Ada cara lain tentunya."
Ferdament menggumamkan mantra, "Darfegas calecio." Lalu mereka melesat dan Nareisya berteriak kaget.
Mereka sampai tepat di depan pintu masuk istana. Ferdament melepaskan tangan Nareisya. Namun menangkapnya lagi ketika Nareisya hampir terhuyung jatuh.
"Kau tidak apa?"
Nareisya mengangguk kecil. Tapi sebenarnya ia masih pusing sekali. Perutnya terasa bergolak. Tadi cepat sekali. Rasanya seperti dibawa roller coaster berkecepatan tinggi.
"Baiklah, sepertinya kau sama sekali tidak terlihat baik-baik saja," ucap Ferdament sambil terkekeh kecil. Lalu ia merapalkan mantra sambil menyentuhkan tangannya ke kepala Nareisya. Seketika kepala Nareisya terasa lebih baik.
Ferdament melepaskan tangan Nareisya. "Apa kau sudah membaik sekarang?"
Nareisya mengangguk, "Ya. Yang tadi itu cepat sekali."
Ferdament tertawa kecil. "Maaf aku pikir tubuhmu secara otomatis sudah mulai terbiasa secara sebenarnya dari tadi dalam perjalanan kita menggunakan mantra ini. Memang dalam skala kecil sih. Jadi tadi aku tidak mengontrol kecepatannya."
Nareisya hanya menggerutu terang-terangan atas penjelasan Ferdament.
Ferdament tersenyum tipis lantas kembali mengangguk kepada kedua penjaga pintu utama. Kali ini Ferdament mempersilahkan Nareisya untuk masuk terlebih dahulu.
....
Nareisya terkagum-kagum melihat interior istana. Beberapa kali ia menyentuh takjub permata yang ada di beberap sisi dinding. Ia juga menyentuh ukiran bingkai-bingkai lukisan di lorong-lorong istana. Ferdament hanya terkekeh melihatnya.
"Ngomong-ngomong kau terlihat tenang sekali. Aku yakin Reif membawa kau secara paksa kemari."
Nareisya mendengus, "Panik tidak akan menyelesaikan masalah. Saat bangun di penjara itu jelas aku panik. Apalagi menemukan memar dan luka kecil di tubuhku. Tapi entah kenapa aku merasa tenang setelahnya. Entahlah aku tidak tahu. Entah mengapa aku merasa familier dengan tempat ini."
"Kau juga tidak terlalu banyak bertanya. Maksudku, kau menerima begitu saja penjelasan saya."
Nareisya menatap dalam manik zambrud milik Ferdament. "Lalu aku harus apa. Toh, belum tentu kau akan menjawab pertanyaanku lebih mendetail."
Lalu tiba-tiba saja, Ferdament berhenti membuat Nareisya hampir menabraknya. Nareisya mendongak. Mendapati Ferdament yang sedang berbicara dengan dua prajurit yang menjaga sebuah pintu besar.
Pintu itu menjulang tinggi. Gangganya dilapisi emas. Terdapat ukiran-ukiran rumit di pintu itu.
Nareisya masih diam sampai Ferdament mengguncang tubuhnya. Kesadaran Nareisya kembali.
"Kau tidak apa-apa?"
Nareisya mengangguk. "Disinikah?"
"Ya, kita sampai."
Lalu Ferdament membukakan pintu dan menuntun Nareisya. Nareisya melangkahkan kaki kedalamnya. Namun Ferdament tidak ikut. Merasa aneh ia berbalik mencegah pintu tertutup.
"Kau tidak ikut?"
Ferdament menggeleng, "Aku hanya prajurit biasa. Tidak diperkenankan masuk tanpa izin. Hanya kau dan ratu di dalam."
Raut wajah Nareisya mengkeruh, "Sayang sekali."
Lalu pintu tertutup. Tapi di momentumnya Nareisya sempat melihat mulut Ferdament masih berbicara tanpa suara. Nareisya memicingkan mata.
"Kadang kebenaran butuh dikubur dalam-dalam."
Pintu benar-benar tertutup. Meninggalkan Nareisya sendiri. Kali ini Nareisya mengamati sekeliling.
Nareisya tidak tahu ia dimana tapi ruangan ini benar-benar menampakkan kemewahan. Sayangnya tidak ada sepercik pun sinar matahari disini.
Nareisya mulai merasakan suhu dingin yang tidak wajar di sekitarnya. Ia mendekap tubuhnya sendiri sambil berjalan di karpet merah. Lalu setelah melangkah beberapa meter. Nareisya dapat melihat kursi mewah berlapis emas berhiaskan beberapa batu ruby dan permata lainnya. Seseorang duduk diatasnya.
Nareisya memicingkan mata tapi ia tetap tidak dapat melihat wajahnya. Dengan menggingil Nareisya kembali berjalan mendekat. Ketika sudah cukup dekat barulah Nareisya dapat melihat wajahnya. Nareisya terkesiap.
"Seraina?!