Read More >>"> Catatan 19 September (30 : Blokir) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan 19 September
MENU
About Us  

Perasaan kita sama, hanya saja memiliki tujuan yang berbeda.

 

***


Ulangan semester sudah berlalu lewat, banyak sekali yang terjadi dengan hidupku beberapa waktu belakangan ini. Kak Felix yang sekarang mulai menjauh dariku membuat aku mendadak merasa tak enak hati. Padahal kami masih baik-baik saja saat di taman belakang sekolah waktu itu.

 

Lalu Gilang yang sudah menghilang dari kehidupan dan pandanganku membuat aku merasa sedikit kehilangan, ah, tidak sedikit. Aku sepenuhnya kehilangan sosok Gilang.

 

Aku memeluk boneka panda pemberian Jerry ketika aku SMP dulu, ya, aku masih saja menyimpannya. Alasannya adalah agar aku selalu bisa memeluk Jerry walaupun cowok itu sudah tidak lagi hidupku. Itu alasan yang aku pakai dulu, lain lagi dengan sekarang. Aku hanya menganggap boneka panda ini sebagai temanku berpelukan, aku sudah terbiasa.

 

Ini adalah libur panjang yang aku jalani setelah ulangan semester, tidak lama lagi sekolah kembali masuk. Itu artinya aku harus bertemu lagi dengan orang itu, cewek itu juga. Aku harus melihat mereka lagi.

 

Aku mengangkat rambutku ke atas seraya bergerak mencari jepit rambut. AC di dalam kamarku mati, sudah sejak kemarin padahal. Tapi Kak Rigel tidak kunjung mendatangkan tukang servis AC. Aku menggeram tertahan sambil tanganku bergerak menjepit rambutku. Aku kepanasan, padahal aku sudah memaki tanktop dan hotpants saja. Secepatnya aku harus ke kamar Kak Rigel untuk mencari kesegaran di sana.

 

AC mati yang sialan!

 

“PANAS!!” teriakku saat sampai di kamar Kak Rigel, langsung saja aku merebahkan diri diatas kasur dan mengganti suhu AC menjadi yang paling dingin.

 

Aku bernapas lega, akhirnya.

 

“Panas banget di kamar aku Kak. Katanya janji mau bawa tukang servis AC buat benerin AC di kamar. Tapi sampai sekarang gak dateng-dateng juga orangnya. Atau kalo enggak gitu beliin yang baru aja AC buat di kamarku, Kak. Jangan kayak orang susah,” gerutuku.

 

Kak Rigel sudah berdiri di hadapanku setelah berhenti dari permainan PS nya, aku merasa ada sesuatu yang janggal di kamar ini. Sejak kapan ada cowok lain yang menghuni kamar ini selain Kak Rigel?

 

“Kamu ini lagi ngapain? Lagi numpang nyejuk atau ngomel?” sarkas Kak Rigel dengan wajah mengerikannya.

 

“Sekalian aja biar irit. Nyejuk sambil ngomel-ngomel sama Kakak,” balasku. Tatapanku tertuju pada seseorang yang meletakkan stik PS ditangannya seraya berbalik.

 

 

Detik berikutnya aku menelan saliva saat sadar dengan kondisiku sekarang. Pakaian yang terlalu minim membuatku menatap Kak Rigel was-was. Beruntung Kak Rigel gerak cepat dan melempar jaketnya kepadaku, dengan pipi yang memerah aku mengenakan jaket yang diberi Kak Rigel dengan secepat kilat.

 

Kak Felix sialan!

 

“Se—sejak kapan Kak Felix di sini?” tanyaku gugup.

 

Cowok itu tampak menahan tawanya. Membuatku geram dan tambah malu.

 

“Sejak kamu rusuh ke sini dan teriak kepanasan,” jawabnya santai.

 

“Makanya kalo mau masuk kamar orang itu ketuk dulu, jangan asal nyelonong kayak maling. Untuk yang di sini cuma Felix, bukan temen-temen Kakak yang lain yang mesumnya gak tertolong,” omel Kak Rigel. Aku meringis. Ceroboh!

 

Aku nyengir salah tingkah sambil mengeratkan jaket yang membungkus tubuhku, dengan gerakan sedikit cepat aku bangkit dari kasur Kak Rigel. “Ya udah, deh, aku keluar aja. Nyari angin di tempat lain aja aku. Kalian lanjut main aja, maaf menganggu. Hehe.” kemudian aku langsung berlari cepat keluar dari kamar Kak Rigel.

 

Sampai di ruang tamu, dengan napas yang terengah aku  menghempaskan tubuh di sofa. Untung AC di ruangan ini menyala dan seharusnya aku langsung menemukan penyejuk di sini saja. Tidak perlu masuk ke kamar Kak Rigel dan malah mempermalukan diriku sendiri.

 

“Katanya mau nyari angin,” ucap seseorang.

 

Suara itu membuatku refleks menoleh ke arah sumber suara, Kak Felix bergerak duduk di sofa yang jaraknya tak jauh dari tempat dudukku.

 

“Kan di sini gak ada angin,” sambungnya.

 

“Astaga aku kaget. Sedikit sih. Tapi aku tetap bisa napas, kok,” ujarku.

 

“Kamu napas karena ada udara, di sini cuma ada udara. Gak ada angin,” tutur Kak Felix.

 

Aku berdeham, “Angin adalah bentuk lain dari udara yang dibesarkan. Jadi udara dan angin itu beda tipis,” kataku asal.

 

Kak Felix tertawa dan itu menular padaku walau hanya dengan wujud cengiran lebar. Syukurlah Kak Felix masih bersikap seperti dulu.

 

“Ehm... ngomong-ngomong akhir-akhir ini kita jarang ketemu ya, Kak. Ke mana aja?” tanyaku menyuarakan yang ada dalam pikiranku tadi dan sekarang.

 

Yang aku dapat justru kerlingan nakal Kak Felix yang mengarah padaku. Bahkan cowok itu menyeringai menatapku. “Kenapa? Kangen karena lama gak ketemu?”

 

Aku berdecak, bukan begitu. Hanya saja Kak Felix kini jarang main ke rumah dan tidak terlihat di sekolah.

 

“Pede banget sih, Kak. Aku nanya gitu iseng aja karena Kak Felix akhir-akhir ini emang jarang main ke sini. Di sekolah juga kita gak ketemu. Sibuk, ya?”

 

Dia mengangguk. “Iya, sibuk. Kan waktu itu kita ulangan dan gue harus fokus belajar. Sekalian membiasakan diri juga buat gak deket-deket lo lagi,” jawabnya santai.

 

Aku jadi merasa tak enak.

 

“Kakak mau menjauh dari aku?”

 

“Enggak, bukan gitu. Pengen deket lo terus malah. Tapi kan sebentar lagi gue lulus, harus kuliah dan kita gak satu sekolah lagi. Kemungkinan kita buat ketemu makin sedikit. Selain itu juga karena lo emang gak akan pernah bisa nerima gue, kan? Salah satu alasannya itu,” kata Kak Felix. Ia membasahi bibirnya, “gue gak mau maksa lo buat suka gue. Jadi gue pikir cara ini cukup buat menekan perasaan gue biar gak makin dalam cinta sama lo.”

 

Aku menggigit bibir bawah, ternyata sejauh itu perasaan Kak Felix padaku. Tapi perasaanku pada Gilang juga sudah sejauh itu.

 

Perasaan yang tidak bisa berbalas aku mengerti bagaimana rasa sakitnya. Aku dan Kak Felix sama-sama merasakannya. Tapi, lebih dari itu hubungan yang terjalin dengan perasaan yang masih tetinggal dengan orang lama jauh lebih menyakitkan. Itu sama saja dengan mempermainkan dengan menjadikan Kak Felix penampung sakit hatiku karena Gilang. Aku tidak mau.

 

“Kita berada dalam posisi yang sama, Kak. Kalo Kakak pikir yang tersakiti di sini cuma Kakak, Kakak keliru. Aku juga tersakiti di sini, Kak. Perasaan kita sama, tapi gak ditujukan buat kita. Simpelnya... Kakak sayang aku dan aku sayang dia,” ungkapku. Aku berbicara kenyataan, kan?

 

Kak Felix mengangguk paham. Satu tangannya mencengkram bahuku. “Percayalah, Li, gue jauh lebih sakit daripada lo. Gue sakit melihat orang yang gue sayang disakiti oleh orang lain.”

 

Aku tersenyum kecut. Kenyataannya memang begitu. Sekuat apapun aku merasa baik-baik saja dengan perasaan sakit ini rasanya tetap saja sama, tidak berubah sedikitpun. Sebaik apapun cara penolakankh atas perasaan Kak Felix tetap saja dia merasa tersakiti dengan keadaan yang seperti sekarang ini. Aku tidak pernah ingin menyakiti Kak Felix, tapi aku juga tersakiti di sini. Bagaimana bisa aku menutup luka orang lain sementara lukaku sendiri tidak terobati.

 

Anggukanku membaut tangan Kak Felix turun dan menjauh dari bahuku. Ia menghela napas dalam sebelum menghembuskannya kasar, ini menyesakkan. Aku tahu itu.

 

Kak Felix melepas sweater yang ia kenakan, lalu memberikannya padaku. Aku mengernyit tak mengerti.

 

“Buat nutupin paha lo, gak enak aja lihatnya. Belum hak soalnya,” jelasnya seraya terkekeh.

 

Pipiku memanas karena perkataannya. Lalu dengan gerakan pasti aku menutupi pahaku dengan sweater Kak Felix. Aromanya segar dan tenang, setidaknya mencium aroma Kak Felix yang tenang bisa membuatku juga ikut tenang.

 

“BTW itu gak panas?” tanyanya menunjuk jaket yang melekat di tubuh atasku.

 

Aku mengedikkan bahu. “Kan ada AC.”

 

***

 

Libur sekolah sudah berakhir kemarin. Hari ini kegiatan belajar mengajar sudah kembali dilaksanakn seperti biasa. Jam pelajaran pertama sudah berhasil kami lewati, sekarang aku dan sahabatku berada di kantin. Menyantap makanan yang bisa membaut cacing di perut kami berhenti berteriak lapar.

 

Retna dan Tata banyak mengoceh, sesekali aku menimpali dan tertawa karena lelucon yang mereka lontarkan. Dengan iseng aku membuka ponsel dan membuka aplikasi WhatsApp, banyak nomor tidak dikenal yang masuk meminta berkenalan. Aku hanya mengabaikannya. Palingan itu hanya perbuatan usil dari playboy SMA Tunas Harapan.

 

Oke. Aku berusaha mengatur napas saat melihat strory WhatsApp yang tanpa sengaja aku tonton. Rasanya panas saat melihat video itu ditambah lagi dengan kuah bakso yang panas dan pedas rasa gerahku semakin menjadi. Aku meneguk air putih untuk membuatku sedikit lebih tenang.

 

Di video itu terlihat Seli yang bertepuk tangan di depan sebuah kue dan dekoran indah di belakangnya, dibalik kamera terdengar suara berat yang menyanyi. Aku hafal suara berat itu, itu suara Gilang. Rupanya kemarin ulang tahun Seli, heh?

 

“Suara itu kayak gue kenal, deh,” celetuk Tata yang menghentikan kegiatan makannya.

 

“Emang,” balasku seraya menyodorkan ponselku padanya. Sontak saja Retna memanjangkan lehernya untuk mengintip sesuatu yang sedang Tata tonton.

 

“Nyesek ya, lihat story mantan gebetan sama gebetan barunya,” ujar Tata menatapku dengan senyum geli setelah mengembalikan ponsel padaku.

 

“Iya, nyes gitu rasanya.” aku menyingkirkan mangkuk bakso dari hadapanku. Nafsu makanku sudah hilang.

 

“Makan, Li. Cukup hati lo ajak yang sakit, fisik lo jangan. Apalagi otak. Jangan bodoh nyiksa diri kayak gitu cuma gara-gara orang yang gak pernah bisa menghargai lo,” seloroh Retna. Aku hanya mengangguk patuh, kembali menguapkan bakso ke dalam mulut. Retna benar sekali. 

 

“Santai aja ngomongnya, Ret. Gak usah keras-keras ah,” lerai Tata.

 

“Gimana caranya sih supaya gak terlalu ngerasa sakit kayak gini? Ini udah berlalu hampir satu bulan loh, gue masih aja nyesek kayak masih anget gitu lihat kemesraan Gilang sama Seli,” keluhku. Helaan napas kasar keluar dari bibirku. Memang rasanya se-menyesakkan itu.

 

“Block wa dia,” cetus Tata.

 

Alisku terangkat. Sepanjang pengalamanku memakai ponsel aku tidak pernah memblokir orang tanpa alasan yang jelas.

 

“Gue gak punya alasan yang jelas buat main blokir-blokir wa orang.”

 

“Ck, itu udah jelas alasannya. Dia nyakitin lo karena story dia,” cetus Retna.

 

“Atau lo bisa bisukan story dia,” saran Tata.

 

Opsi pertama lebih baik.

 

“Kerjain deh, gue gak tega.” aku menyodorkan ponsel pada Tata.

 

Ponselku kembali dengan satu nomor telepon yang diblokir dan kontak WhatsApp yang mengalami nasib yang sama.

 

Aku harus menata hati untuk yang kedua kalinya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Cemplonkisya

    @penakertas_ paham kok wehehe

    Comment on chapter Prolog
  • YourEx

    @Lightcemplon
    Sulit dimengerti prolog nya ????

    Comment on chapter Prolog
  • Cemplonkisya

    awal yang dalem:(

    Comment on chapter Prolog
  • Alfreed98

    Wow

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Teman
17      11     0     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
Power Of Bias
3      3     0     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Kumpulan Quotes Random Ruth
46      23     0     
Romance
Hanya kumpulan quotes random yang terlintas begitu saja di pikiran Ruth dan kuputuskan untuk menulisnya... Happy Reading...
Unknown
6      6     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
I'il Find You, LOVE
57      32     0     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
Reach Our Time
131      35     0     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
Gagal Menikah
41      31     0     
Fan Fiction
Cerita ini hanya fiktif dan karanganku semata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter dan kejadian, semua itu hanya kebetulan belaka. Gagal Menikah. Dari judulnya udah ketahuan kan ya?! Hehehe, cerita ini mengkisahkan tentang seorang gadis yang selalu gagal menikah. Tentang seorang gadis yang telah mencoba beberapa kali, namun masih tetap gagal. Sudut pandang yang aku pakai dalam cerita ini ...
Pesona Hujan
16      10     0     
Romance
Tes, tes, tes . Rintik hujan kala senja, menuntun langkah menuju takdir yang sesungguhnya. Rintik hujan yang menjadi saksi, aku, kamu, cinta, dan luka, saling bersinggungan dibawah naungan langit kelabu. Kamu dan aku, Pluviophile dalam belenggu pesona hujan, membawa takdir dalam kisah cinta yang tak pernah terduga.
Love Never Ends
153      73     0     
Romance
Lupakan dan lepaskan
the Overture Story of Peterpan and Tinkerbell
6      6     0     
Romance
Kalian tahu cerita peterpan kan? Kisah tentang seorang anak lelaki tampan yang tidak ingin tumbuh dewasa, lalu seorang peri bernama Tinkerbell membawanya kesebuah pulau,milik para peri, dimana mereka tidak tumbuh dewasa dan hanya hidup dengan kebahagiaan, juga berpetualang melawan seorang bajak laut bernama Hook, seperti yang kalian tahu sang peri Tinkerbell mencintai Peterpan, ia membagi setiap...