Read More >>"> BANADIS (Bos - Bos Banadis) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - BANADIS
MENU
About Us  

XXVI

Bos Jedeng,

Angan – angannya begitu besar, hingga nyaris tidak rasional.

Oportunis, Juga tukang tawar menawar.

Selalu menginginkan suatu hal lebih besar dari keadaan sebenarnya suatu hal itu. Padahal apa yang diinginkan hanya sebesar suatu hal itu.

Seperti keinginan Jedeng untuk menguasai distrik Banadis bagian timur hingga Jegrek, padahal urat – urat kepemimpinannya belum memungkinkan untuk mengatur daerah operasi yang luas.

 

Sambil Tayar melihat perkembangan pembukaan jalan yang dilakukan oleh Jedeng,

“Tuan,, Apa tuan yakin mau menyerahkan penguasaan daerah selatan Banadis hingga Jegrek kepada Jedeng?”

Termenung. Tuan Rakat tampak respek dengan semangat anak buahnya itu.

“Lha gimana lagi? Kalo tidak begitu Jedeng tidak mau melepaskan rute tenggara. Padahal jelas – jelas rute tenggara biayanya sangat tinggi. Belum lagi kalo karavan kita dihadang oleh Darmasih.”

“Lha trus apa yang harus kita lakukan, tuan?”

“Kita lihat dulu aja, Ini kan Jedeng juga baru membuka jalan 50% nya, kita lihat caranya dia mimpin bisa atau enggak?”

“Tapi omzet kita dari karavannya Jedeng terus menurun, tuanku,, Mungkin karena Jedeng tidak lagi fokus pada tugas utamanya.”

“Iyaa, aku juga tahu itu, Tapi ada baiknya pelan – pelan dulu kita berbincang dengan Jedeng, karena dianya kan gampang sakit hati.”

 

 

 

XXVII

Sungguh luar biasa,

Dedikasi Jedeng terhadap mimpi – mimpinya begitu nyata.

Juga semangatnya untuk meraih asa itu tampak berkobar – kobar.

Sikap positif Jedeng membuat Tuan Rakat menaruh harapan besar padanya.

 

Sambil Tuan Rakat menikmati cemilan manis. “Jedeng,, saya sangat tahu betapa kamu sangat bersemangat dalam hal ini. Namun semangat saja itu nggak cukup, Jedeng. Kamu harus berubah, kamu harus bisa memimpin, Kamu harus bisa menguasai segala hal yang ingin kamu kuasai, misalnya bagian selatan Banadis itu hingga Jegrek. Kamu harus tahu baik buruknya daerah itu apa?, Kelebihan dan kelemahan kamu itu apa?, Hingga kamu ingin bagaimana dengan anak buahmu nantinya kamu harus tau,”

Jedeng tampak sopan, dan mendengarkan.

“?? Banyak bener, tuan. Apa saya harus mempelajari itu semua?”

“Kalo kamu ingin semua hal yang ingin kamu kuasai bisa kamu dapatkan, kamu harus mau melakukannya.”

“Oh begitu, tapi bagaimana, tuan? Saya tidak ngerti.”

“Pertama – tama kamu pelajari daerah kekuasan kamu yang baru itu, Ada hal menguntungkan apa saja di sana? Juga hal yang bersifat merugikan?”

“Apa ya, tuan? Di sana tanahnya tandus tapi di sana sepi. Sedangkan di sini daerahnya subur tapi banyak penjagaan.”, jawab laki – laki itu.

“Trus kalo kamu harus melewati penjagaan saat tiba di sini bagaimana?”

“Yaa,, saya berusaha berjalan cepat atau lewat dengan sembunyi – sembunyi.”

“Misalnya bagaimana lewat dengan sembunyi – sembunyi?”

Jedeng tampak bingung hendak menjelaskan.

“Yaa, berjalan agak pelan sambil menunggu respon yang tepat saat berhadapan dengan penjaga atau menemui penjagaan, Gampangnya menunggu sampe penjagaan selesai.”

“Lha kira – kira itu efektif tidak kamu lakukan?”

“Yaa, kalo saya berangkatnya agak awal ya berhasil, Tapi kalo sudah siang kayaknya susah, selalu terburu – buru.”

“Lha kalo di tanah yang tandus itu bisa kamu kamuflasekan tidak karavan kamu itu?”

“Kayaknya tidak, karena daerah nya terbuka dan jarak pandangnya luas, Kalo di daerah seperti itu kecepatan memegang peranan penting.”

“Apa kamu bisa membawa kargo dengan isi yang banyak apabila mengandalkan kecepatan?”

“Yaa, kargonya harus yang kecil – kecil supaya bisa dibawa dengan ringan, tidak memberatkan karavan.”

“Lha kalo cepet – cepet merusak isi kargo atau tidak?”

“Yaa, kalo isi kargonya barang pecah belah ya bisa rusak, tuan.”

“Jadi kamu harus bisa memprioritaskan barang yang harus kamu bawa dengan cepat atau dengan jumlah yang banyak, Ngerti?”

“Oh ya, Ngerti, tuan.”, sahut laki – laki itu.

Tuan Rakat kembali meraih manisan sambil duduk santai pada sebuah sofa.

Sungguh laki – laki nomor satu di Banadis itu menikmati rasa nyaman di markas Jedeng.

 

 

 

XXVIII

Markas bos Nawang,

 

“Kamu sendirian, Yar? Nggak sama Tuan Rakat?”

“Enggak,, Aku sendirian.”

Tayar menempatkan raga di sebuah karpet beludru biru.

“Tumben,, Lha Tuan Rakat kemana?”

“Tuan Rakat lagi di markasnya Jedeng.”, jawab Tayar, tampak lelah.

“?? Ngapain di markasnya Jedeng?”

“Nggak tau, Katanya ada urusan penting.”

“Kayaknya tu Jedeng udah berhasil ngambil atinya Tuan Rakat.”

“Iya, gara – gara Jedeng berhasil nyelesaiin 50% pembukaan jalan ke Pelabuhan Sinter.”

Lalu Tayar meminum air gula jawa yang disajikan oleh pembantu Nawang.

Keheranan. “Udah selesai 50%? Hebat banget tu, Jedeng.”

“Hebat apanya? Ada udang di balik batu tuh,”

“Maksudnya?”

Sambil Nawang menikmati camilan.

“Ya biar dibantu terus gitu sama Tuan Rakat. Kalo Tuan Rakat turun langsung otomatis kan perdagangan di tempat itu terdongkrak.” Tayar meraih camilan kayu manis.

“Iya, sih,, Tapi memang si Jedeng perlu dibantu kok, Orang daerahnya kering gitu.”

“Yaa, Mungkin saja, Lha prospek kamu di Bengkolan gimana? Kabarnya pasar Sratu tambah rame ya?”

“Iya, sejak Banadis yang dulu bubar jadi rata semua perdagangannya.”

“Tapi aku akui keluarganya Tuan Rakat tu hebat – hebat og, Perdagangan yang resmi sampe yang gelap – gelapan bisa dimonopoli gitu.”

“Iya, ya,, the best deh pokoknya Tuan Rakat.”

 

 

 

XXIX

Pasar Sratu,

Luar biasa, besar dan ramai.

Seolah – olah orang – orang satu Nusantara berkumpul di tempat itu.

Pasar Sratu menjadi rujukan jual beli komoditas sandang, pangan dan papan terfavorit.

Lokasinya berada di perempatan Bengkolan,

Membuat pasar Sratu mudah diakses dari arah manapun.

Bahkan orang – orang dari Cilikan, termasuk Taragam bisa menjangkaunya.

 

Di sudut lokasi penitipan karavan,

“Gimana?”

“Untungnya pas rame,”

“Dapet banyak dong,”, sahut Damen.

“Iya lah, mesti,,”

“Lha kamu setor berapa?”

“Aku setor penuh lah,”

“Aku mau tak setor separo og,”

“Eh, jangan,, Ntar ketahuan bos Nawang mampus kamu.”

“Huh, biar aja,, Orang yang kerja aku, Dianya yang dapet banyak.”

“Baiknya jangan deh,”

Tampak tidak peduli. “Emang gue pikirin?!”

Tiba – tiba, “Braakk,!!” Bunyi suara tumbukan dari arah selatan lokasi karavan.

“!! Apa tuh,?!”, seru Yuro.

“Kita lihat yuk,”

 

TKP,

Tampak marah, “Bang, kalo ngasih aba – aba yang bener dong,!”

“Mas nya juga sih, makanya sambil lihat – lihat.”

“Lihat – lihat gimana? Katanya udah bisa mundur.”

Tukang karavan itu terus berkelit. “Tapi kan mas nya juga kira – kira dong mundurnya seberapa.”

“Ah, ngeles aja sih, Nama bos kamu siapa? Nawang kan? Suruh sini dia, Ditunggu Bantem.”

“Apa urusannya sama bos saya,?”

Menjadi emosi. “Kamu cuma tukang parkir nyolot ya,”, ucap pemilik karavan.

“Emang napa kalo tukang parkir?”

“Ahh,, capek ngomong sama orang susah,”

Pemilik karavan itupun berlalu dengan bersungut – sungut.

 

Yuro dan Damen menghampiri temannya.

“Napa, Ndil?”

“Itu karavannya ngunduri cagak.”

Melihat bagian belakang karavan lecet – lecet. “Kamu yang hati – hati dong Ndil kalo kerja.”, ucap Yuro.

“Iya, Ndil,, ntar kamu kena suspend lagi dari bos Nawang.”

“Lha orang kusir nya aja yang nggak bener lihatnya.”, kilah Brindil.

“Lha trus pemiliknya mana?”

“Tuh masuk ke dalem,”

“Minta ganti nggak?”, tanya Damen.

“Nggak tau tuh, Peduli amat,”

“Ati – ati lo, kalo orang itu kenal bos Nawang.”

“Udah, udah,, Mending kerja lagi aja,”

Brindil agak kepikiran dengan ucapan temannya barusan.

“Aduuhh, Piye iki?”, gumam tukang parkir itu.

 

 

 

XXX

“Copett,,! Copett,,!”, teriak bangsawan bertubuh tambun.

Tampak orang itu mengejar seseorang di lorong pasar.

Terus mengejar seorang anak laki – laki. “Copett,,! Copett,,!,”

Anak kecil itu tampak berbelok di sisi barat pasar, dan terus berlari.

 

Tidak terkejar.

Anak kecil itu hilang di dalam keriuhan.

Bangsawan malang itu menyumpah – nyumpahi anak pencopet tadi.

 

Di samping kamar kecil,

“Gimana? Dapet?”

“Dapet dong,” Menunjukkan sebuah kantong kain.

“Ndang kamu umpetin, kalo ada bang Jantor.”

“Iya, iya,,”, sahut anak kecil itu menjadi ketakutan.

Lalu kedua anak kecil itu berlalu ke arah timur.

 

Langkah kedua anak kecil itu sampai di samping kios baju.

Keheranan. Jalu melihat sepasang muda mudi menyandar pada meja kayu.

“Yon, mereka lagi ngapain tuh?”

Ikut melihat. “Ihh, mereka ciuman.”

Jalu semakin keheranan. Matanya melihat laki – laki itu sedang bersiap – siap.

“Ihh, mereka ngapain tuh,?”

“Aku pernah lihat Rombeng kayak gitu juga sama ceweknya.”

“Apaan sih kayak gitu itu?” Masih keheranan.

 

 

 

XXXI

Di belakang pasar dekat pembuangan sampah,

 

“Mana setoran kamu?”, tanya Jantor, tampak garang.

“Ini, bang,” Sambil menyerahkan sekantong koin emas.

“Kamu mana?”

“Ini, bang,”

Jantor melihat isi kantong kain itu.

“Kurang nihh, mana sisanya?”, tanya dirinya.

“Saya dapetnya cuma segitu, bang.”

“Bohong,!” Menjadi kesal. “Geledah, tu anak!”

“Siap, bang,!” Sontak kedua laki – laki kekar menyusuri pakaian anak itu.

Tampak pasrah anak itu juga digeledah kejantanannya.

“Nggak ada, bang.”, ucap pria bertato.

“Besok kamu cari kurangannya.”

“Iya, bang.” Berkaca – kaca.

“Kamu,” Jantor menunjuk seorang cewek montok.

Vinni menyerahkan kantong kainnya.

Membelalak. Saat Jantor melihat isi kantong.

“Nha gini dong kayak Vinni. Bisa dapet koin emas banyak.”

“Terang aja orang nyambi sama om – om.”

Vinni cuek saja mendengar cibiran itu.

 

Jantor menghitung kembali pasukan copetnya.

“Lha ini Jalu sama Yono mana?”

“Nggak tau, bang.”

“Udah pulang kali, bang.”

“Huuhh,,bener – bene tu anak copet,”

Menjadi marah. “Cari mereka,!”

“Siap, bang!”, sahut mereka.

 

 

 

XXXII

Suatu malam,

Angkasa tampak cerah, dengan pancaran sinar rembulan.

 

Sebuah karavan melaju tenang di antara persawahan.

Riuhnya menyatu dengan keheningan malam.

Berbaur dengan hamparan dunia nan luas.

Terasa menyenangkan, Juga membangkitkan kerinduan akan rumah.

 

Di dalam karavan. “Kamu nggak takut lewat jalan ini?”, tanya Harim.

Sambil menjatuhkan kartu. “Kenapa takut?”

“Bukannya Panji Gandrung sering muncul di sini?”

Gudam kembali menjatuhkan kartu.

“Haha,, udah minggat semua mereka.”

Sambil Dendi menimbang – nimbang kartunya.

“Minggat kemana?”

“Nggak tau, Katanya ke utara.”

“Untunglah,, Aku jadi bisa nyantai sekarang.”

 

Sesampainya di markas bos Jingkrak,

“Ayo, ayo,, bantu,!”

Segera beberapa orang menarik keluar kargo itu.

“Taruh di gudang belakang,!”

“Siap, bos,!” Dengan hati – hati mereka membawa beberapa kotak besar melalui pintu besar di sebelah kiri ruangan.

Para pengawal kargo menggeliatkan badan.

“Bagaimana perjalanan kalian?”, tanya laki – laki cerdas itu.

“Aman, bos. Lancar jaya,”

“Bagus,, Tampaknya orang – orang bodoh itu memang sudah pergi dari Gebyah.”

“Iya, bos,, Katanya mereka menuju ke utara.”

“He he,, Orang bodoh mana yang mau ke tempat primitif seperti itu?”, ejek Jingkrak.

 

 

 

XXXIII

Ruang kerja bos Jingkrak,

Tampak senang. Jingkrak sangat puas dengan bertambahnya keuntungan setiap minggunya.

Juga banyak testimoni positif yang didapatkannya dengan menyelesaikan permintaan secara sempurna.

“Kayaknya sebentar lagi aku bakal punya kerajaan bisnisku sendiri, Nggak tergantung dengan Tuan Rakat.”

 

Saat Jingkrak sedang membayangkan kerajaan bisnisnya yang luar biasa mewah, tiba – tiba,

“Lagi mbayangin cewek, Eng.”

“Astaga,!”, keluh laki – laki cerdas itu.

Jingkrak melihat seseorang berdiri di ambang pintu kayu.

“Ohh,, Kamu, Yar,, Masuk,, Masuk,,”

“Gimana kabarmu? Sehat?, Lancar kan semua?”

“Sipp, lancar jaya,, Sejak orang – orang bodoh itu pindah ke utara bisnis ku meroket.”

“Haha,, Good,, Good,, Aku seneng dengernya.”

Tayar duduk di sebuah sofa kain nan empuk.

“Lha ini kamu dateng sendiri, Yar?”

“Iya, aku kontrol sendiri.”

“Lha Tuan Rakat kemana?”

“Biasalah, dia kan punya murid baru sekarang.”

“Murid baru?”

“Iya, si Jedeng.”

“Ohh, itu,, Haha,, Iya lah,, Jegrek kan calon investasi barunya Tuan Rakat.”

“Lha gimana? Aku nggak disediakan camilan atau apa nih?”

“Haha,, Aku sengaja sebenarnya,, Bentar ya,”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Salendrina
40      30     0     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...
ALUSI
218      111     0     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
3600 Detik
87      53     0     
Romance
Namanya Tari, yang menghabiskan waktu satu jam untuk mengenang masa lalu bersama seseorang itu. Membuat janji untuk tak melupakan semua kenangan manis diantara mereka. Meskipun kini, jalan yang mereka ambil tlah berbeda.
Kala Saka Menyapa
335      176     0     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
Closed Heart
40      22     0     
Romance
Salah satu cerita dari The Broken Series. Ini tentang Salsa yang jatuh cinta pada Bara. Ini tentang Dilla yang tidak menyukai Bara. Bara yang selalu mengejar Salsa. Bara yang selalu ingin memiliki Salsa. Namun, Salsa takut, ia takut memilih jalan yang salah. Cintanya atau kakaknya?
Bulan Dan Bintang
118      81     0     
Romance
Cinta itu butuh sebuah ungkapan, dan cinta terkadang tidak bisa menjadi arti. Cinta tidak bisa di deskripsikan namun cinta adalah sebuah rasa yang terletak di dalam dua hati seseorang. Terkadang di balik cinta ada kebencian, benci yang tidak bisa di pahami. yang mungkin perlahan-lahan akan menjadi sebuah kata dan rasa, dan itulah yang dirasakan oleh dua hati seseorang. Bulan Dan Bintang. M...
Journey to Survive in a Zombie Apocalypse
27      25     0     
Action
Ardhika Dharmawangsa, 15 tahun. Suatu hari, sebuah wabah telah mengambil kehidupannya sebagai anak SMP biasa. Bersama Fajar Latiful Habib, Enggar Rizki Sanjaya, Fitria Ramadhani, dan Rangga Zeinurohman, mereka berlima berusaha bertahan dari kematian yang ada dimana-mana. Copyright 2016 by IKadekSyra Sebenarnya bingung ini cerita sudut pandangnya apa ya? Auk ah karena udah telan...
Begitulah Cinta?
342      195     0     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Petrichor
133      90     0     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Frasa Berasa
1556      500     0     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...