9
Upacara hari senin.
Senin yang malang, hari yang seharusnya dihormati ternoda citranya karena Kirania.
Semua anak sekolahan tahu jika senin adalah hari yang membutuhkan persiapan ekstra. Ini karena guru-guru yang telah mengistirahatkan diri pada hari minggu, mereka jadi memiliki mata yang lebih jeli pada hari senin daripada hari lain.
Dan kejelian itu tertuju pada busana siswa-siswinya. Topi dipakai lurus kedepan, ikat pinggang hitam berlambang SMA, sepatu hitam, dasi yang rapi, baju yang rapi, nametag dan semua hal sangat diperhatikan sekali.
Apalagi SMA Bangsa, sudah enam bulan tidak ada murid yang baris di tempat hukuman. Senin sangat terhormat di sekolah itu.
Dan Kirania malah tidak membawa topi. Tentu ini adalah malapetaka. Karena jika atribut tidak lengkap maka Kirania harus upacara terpisah dari murid lain, di tempat yang jauh lebih panas dan bisa dilihat oleh semua peserta upacara.
Mengetahui hal ini, banyak sekali laki-laki yang rela berkorban mendapatkan hukuman itu untuk Kirania dengan meminjamkan topinya. Tapi tentu saja Kirania tak mau, dia tidak tega, maksudnya apa iya dia bisa merasa tenang saja dengan mengorbankan orang lain?
Jadi dengan kesadaran penuh, Kirania melangkah sendiri ke tempat hukuman bagi murid yang pakaiannya tidak lengkap. Di bawah matahari pagi yang terik, mata coklat Kirania terlihat sangat bersinar dengan rambut panjangnya yang sesekali ditiup angin.
Ini pasti sangat memalukan karena Kirania adalah seorang wanita yang mana seharusnya lebih teliti, disiplin juga tidak teledor. Tapi Kirania tetap mengangkat kepalanya seolah dia bilang ‘aku bertanggung jawab penuh atas kesalahanku’
“Lihat, Kirania pasti bajunya akan basah karena keringatan, dia mengarah langsung ke matahari gitu” Kata Ayu yang sudah berada di barisan kelasnya
“Iya, kenapa dia sampai lupa ya?” Tanya Sela bingung
“Biasa, jomblo, nggak ada yang ngingatin”
Sela mengangguk setuju “Nanti habis upacara kita cepat-cepat beliin dia minum ya”
“Sipp”
Lima menit lagi upacara akan segera dimulai, guru-guru sudah beberapa yang memasuki lapangan. Dan barisan sudah mulai dirapikan ketua kelas.
Pito berjalan ke arah Kirania tanpa topi juga dasi dari arah barisan kelas dua. Jantung Kirania berdebar kencang, mungkin karena kemarin Pito mengatakan jika Pito sayang Kirania atau karena Pito datang dengan tersenyum menghibur.
Pito mengambil posisi di depan Kirania. Itu membuat Kirania harus mundur selangkah dari posisi sebelumnya.
“Kak” sapa Fadil yang datang dari barisan kelas satu tanpa ikat pinggang
Kirania hanya tersenyum tipis. Fadil memilih membuat barisan sendiri di sebelah kiri Pito.
“Kirania?” sapa Ivan yang datang dari barisan kelas tiga tanpa dasi. Kirania hanya mengernyit karena ini pertama kali Ivan menegurnya setelah mereka putus.
Ivan mengambil posisi pas di sebelah kiri Kirania yang berarti juga tepat di belakang Fadil.
“Lupa atau hilang?”
“Lupa, Kak” jawab Kirania sopan.
Berada di sebelah Ivan sekarang membuat debar jantung Kirania jauh lebih kencang daripada ketika melihat Pito berjalan kearahnya. Apa ini karena Kirania masih sayang dengan Ivan? Atau karena Kirania tak enak dengan Pito ?
Saat pemimpin upacara sedang berpidato. Kirania memandang lurus ke depan dan melihat baju Pito sudah mulai basah, untung saja Pito memakai baju kaos putih sebelum mengenakan seragam jadi tidak begitu terawang.
“Pito, tukar posisi yuk? Biar aku aja yang di depan” bisik Kirania pelan
“Nggak usah bentar lagi kelar, kok” kata Pito tanpa menoleh ke Kirania
Badan Pito yang lebih tinggi membuat tak sedikitpun sinar matahari mengenai Kirania. Sedangkan jika Kirania bertukar posisi untuk menggantikan Pito di depan, itu sama dengan percuma. Postur tubuh Kirania, meskipun berada di depan, itu akan tetap membuat Pito kepanasan.
Upacara selesai pukul 08.10 dan murid dengan pakaian tak lengkap, dipisahkan dari yang lain. Tidak diperbolehkan ke kantin ataupun ke kelas sebelum dihukum.
Untung saja Kirania memiliki teman seperti Sela dan Ayu yang sudah membelikan aqua dan menunggu di sekitar tempat pembagian hukuman.
“Kalian ini, mau jadi apa bangsa ini? Jika pemuda dan pemudinya seperti kalian?” Pak Edi selaku guru piket menunjukkan kekecewaan
Fadil, Ivan, Pito serta Kirania hanya menunduk.
“Ivan bukankah kamu ketua basket, seharusnya kamu bisa meminjam perlengkapan upacara milik anggota tim-mu yang pasti akan menurut. Pito, kamu ketua OSIS, kamu bisa saja izin ke guru dengan berbagai alasan supaya tak di hukum begini. Fadil, masih kelas satu tapi namamu selalu terdengar di kantor guru, kamu bandit sekolah kan? Bisa saja kamu merebut perlengkapan upacara milik murid yang lemah. Dan kamu….”
“Kirania, Pak” kata Kirania pelan
Pak Edi memang belum pernah mengajar di kelas Kirania, wajar jika dia tak kenal.
“Kamu perempuan, cantik, kamu bisa minta dengan siswa lain dan bapak yakin mereka pasti akan dengan sukarela melengkapi seragam upacaramu”
Fadil, Ivan dan Pito langsung mendehem dan membuat gerakan refleks mendengar ucapan Pak Edi.
“Bapak senang karena kalian bertanggung jawab atas kesalahan kalian, tapi tidak melengkapi perlengkapan upacara adalah hal yang tidak baik” tegas Pak Edi
“Ini karena pertama kali bapak lihat kalian tak lengkap berpakaian di hari senin. Jadi kalian tidak akan bapak suruh pulang” lanjut Pak Edi
Biasanya murid yang tak melengkapi pakaian di hari senin akan disuruh pulang dan dianggap alfa.
“Barisan ini bersihkan toilet” Pak Edi menunjuk barisan Fadil “barisan ini lap semua kaca kelas dan kantor” Pak Edi menunjuk barisan Pito. “Peralatan ambil di gudang, mengerti?”
“Mengerti, Pak” jawab mereka.
Pak Edi pergi masih sambil geleng-geleng kecewa.
“Kamu masuk kelas aja Kirania, biar aku yang lakuin tugas kamu” kata Ivan ke Kirania. Pito hanya melihat sekilas dan mempercepat langkahnya keluar gudang
“Nggak perlu, Kak” ucap Kirania meninggalkan Ivan.
“Ppssst… Kirania?” suara pelan itu sudah dapat dikenali, pasti Ayu
Kirania celingak-celinguk, ketemu “Kenapa?”
“Nih minum” Sela menyodorkan dua aqua gelas
“Seribu tuh, tadi pakde kantin nggak ada kembalian” kata Ayu mengingatkan
Kirania mengangguk “Nanti kuganti”
“Harus” kata Ayu
“Semangat lo, kita duluan” kata Sela menarik Ayu untuk kembali ke kelas karena pelajaran sudah di mulai.
Kirania berjalan sambil mencari kaca yang duluan akan dibersihkan. Di lantai satu, tempat yang dekat dari gudang, Kirania melihat Pito sedang duduk di depan kelas yang tengah di renovasi.
“Minum dulu” Kirania menyodorkan satu aqua gelasnya dan duduk di samping Pito sebelum meminum aqua gelas yang lain
“Kenapa nggak kasih Kak Ivan?” tanya Pito tapi sambil meminum aqua gelas itu dengan terburu-buru
“Emang kamu mau aku kasihnya ke dia?”
Pito membuang aqua gelas yang telah kosong “Udah habis hehe”
“Kamu nggak bawa apa-apa?” tanya Kirania, maksudnya nggak bawa dasi sama topi yang wajib untuk hari senin
“Bawa”
“Kok nggak dipakek?” nggak digunain
“Dipakek”
“Emang kamu bawa apa?”
“Hati, aku bawa hati. Mana tega aku lihat kamu berhadapan langsung dengan matahari gitu. Mana nggak pakek topi lagi”
Kirania diam. Jadi Pito sengaja berdiri di depan Kirania tadi supaya Kirania nggak kepanasan.
“Udah minumnya? Ayo mulai ngelap” ajak Pito mengingatkan
Kirania tersenyum tipis dan mengikuti Pito mulai mengelap kaca dari lantai satu sampai lantai tiga dan kantor. Rata-rata isi kelas jadi berisik mencagil dan merayu Kirania. Dan di saat begitu Pito akan berada di samping Kirania sambil bilang “Kirania lap-nya yang cepat”
Atau jika perlu Pito malah mencolek Kirania dengan kemoceng di tangan kirinya yang pasti akan dibalas Kirania dengan tersenyum dan mencolek Pito juga dengan kemoceng.
Dan di saat begitu seisi kelas jadi senyap bagai kondangan yang tidak ada dangdutannya.
***
Seharusnya Kirania merasa lelah karena dihukum tadi. Tapi yang terlihat malah Kirania senang dan mengumbar senyum kemana-mana ketika jam pulang berbunyi.
Itu bukanlah tindakan yang baik karena jika tersenyum begitu akan ada banyak siswa yang menawarinya pulang bareng. Tentu Kirania menolak karena dia setia dengan Pak Akinom.
“Kak?”
Kirania menoleh “Oh Fadil ya?”
“Iya, Kak, Kakak capek nggak?
“Hehehe nggak kok”
“Tadi sebenarnya aku bawa ikat pinggang, Kak”
“Lho? Trus kok nggak dipakek?”
“Aku mau nemenin Kakak aja, supaya kakak nggak malu sendirian”
Kirania diam, seolah tercenung dan menarik napas dalam.
“Lain kali jangan kayak gitu lagi. Fadil, kamu nggak harus sampai kayak gitu” nasehat Kirania
Fadil mengangguk lemas. Fadil berharap pengakuan atas tindakannya akan terkesan seperti heroik atau setidaknya Kirania berterimakasih untuk itu. Tapi nyatanya tidak, Kirania malah melarang dan menegur Fadil.
“Gara-gara lo ya, Kak Ivan sampai dihukum” Putri datang tiba-tiba dan mendorong Kirania sampai Kirania tergeser dari tempat berdirinya tadi.
Kirania memperhatikan Putri, Putri sendiri adalah salah satu simpanan Ivan ketika Ivan berpacaran dengan Kirania. Wajar muka Kirania langsung berubah datar.
Fadil dengan sigap berdiri di antara Kirania dan Putri atau juga sebagai pagar supaya Putri tidak melakukan kontak fisik lagi dengan Kirania.
“Minggir lo, adik kelas nggak usah sok jagoan” Putri memperingati, Kirania yang seangkatan dengan Putri mengerti jika Putri sudah membicarakan senioritas, Fadil sebagai adik kelas seharusnya tak boleh melawan lagi. Tapi nyatanya Fadil tak bergerak. Tak menurut.
Kirania menepuk bahu Fadil pelan menyuruhnya bergeser dengan isyarat mata.
“Biar kakak urus sendiri” jelas Kirania, Fadilpun sedikit bergeser ke samping.
“Dasat kecentilan” umpat Putri kesal “gara-gara lo ya Kak Ivan sampai dihukum tadi
“Maksud lo apa? Ngomong yang jelas!”
“Kak Ivan itu bawa dasi, tapi, dia taruh dasinya di tas supaya bisa nemenin lo dihukum.”
Kirania bingung dengan ucapan Putri. Tapi Kirania berusaha tampak biasa saja. Sedangkan Fadil yang mendengar itu langsung memasang wajah kaget.
“Gue nggak nyuruh”
“Lo itu ya,” Putri sudah terlihat begitu geram dengan tingkah Kirania yang datar-datar saja.
“Jangan libatin Kak Ivan lagi sama gue, kami nggak ada apa-apa” Kirania menyeringai “Bukannya lo ya simpanannya?” bisik Kirania
Sela dari jauh melihat jika Kirania sedang beradu mulut dengan Putri tampak santai dan lebih mementingkan telpon yang menempel di kupingnya. Mama Sela menyuruh pulang cepat saat ini dan untuk urusan Kirania, Sela tak perlu ambil pusing, karena dia tahu jika Kirania pasti bisa melawan jika ada yang mengganggu.
“Ngomong lo bisa dijaga nggak?” respon Putri
“Udh deh, jangan libatin gue dengan urusan kalian lagi” Kirania memperingati dengan wajah serius, lalu memilih pergi.
“Sekali lagi lo bikin Kak Ivan dalam masalah, awas lo” teriak Putri yang dibalas lambaian tangan oleh Kirania tanpa menoleh.
Sedangkan Putri tak bisa mengejar Kirania karena dihalangi Fadil.
***
ceritanya lucu juga, di save ah, lumayan buat bacaan sebelum tidur :D
Comment on chapter Keputusan terberat