Read More >>"> Kamu, Histeria, & Logika (22. Benalu Yang Limbung) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu, Histeria, & Logika
MENU
About Us  

Isabel memeluk kantong kertasnya dengan erat ketika ia duduk di bengkel menunggu Adit datang. Tidak seperti biasanya yang selalu on-time, kali ini Adit datang terlambat. Setelah memarkirkan mobilnya di antara dua mobil lain yang sama-sama kaya akan sentuhan modifikasi profesional, Adit buru-buru menghampiri Isabel.

"Maaf banget aku telat. Aku kira kamu bakal sampai agak nantian. Jalanan nggak macet, ya?" sembur Adit dengan mimik penuh penyesalan. "Barusan dengan begonya aku malah ngobrol dulu sama teman lamaku si Idung."

"Nggak apa-apa," sela Isabel tanpa intonasi, merasa tidak memerlukan penjelasan apa pun. "Jam berapa futsalnya mulai?"

Adit melirik jam tangannya yang persegi besar dan mengilat. "Harusnya bentaran lagi. Lapangan sih udah di-booking buat tiga jam. Kayaknya nunggu anak-anak ngumpul semua dulu."

Isabel mendadak terlihat kecewa. "Jadi belum pasti apa gimana, sih?"

Kontan Adit terkejut dengan nada Isabel yang terdengar marah itu. Bagaimana bisa gadis itu kesal hanya karena permainan futsalnya dengan anak-anak hari ini ada kemungkinan terlambat? Merasa tak enak, dengan segera ia bertanya pada Jay, salah satu temannya yang sedang merokok di dekat mobilnya. "Anak-anak pada ke mana? Jadi, kan?"

Jay mengapit rokoknya di antara jemarinya. "Si Oleh sama si Acong lagi di jalan katanya. Nggak tahu kalau yang lain. Kemarin sih bilangnya jadi."

Isabel masih menekuk alisnya. "Nggak bener banget."

Adit hampir saja nyengir melihat reaksi Isabel yang tidak disangka-sangka. Tapi ia berhasil mengendalikan dirinya dan segera berjongkok di sebelah kaki Isabel. Kedua tangannya yang dikepal diletakannya di lutut Isabel. Matanya menatap gadis itu dengan lembut.

"Jujur, aku nggak ngerti, Drey. Kenapa kamu harus marah," ujar Adit lamat-lamat, nadanya masih halus. Tidak biasanya ia berbicara sehalus itu pada orang lain, termasuk pada semua gebetan dan mantan pacarnya. Ia ingat pesan Abriel di kelas hari itu, bahwa gadis dengan karakteristik tak biasa seperti Audrey harus diperlakukan dengan ekstralembut dan supersabar. "Apa ada sesuatu yang lainnya? Alasan kamu ke sini nemenin aku?"

Isabel menggeleng. "Cuma nggak suka aja kalau nggak ada kepastian."

"Kepastian untuk... aku main?" tanya Adit tidak yakin bahkan dengan pertanyaannya sendiri. Tapi ia terlalu bingung untuk menebak arah pikiran gadis di hadapannya.

Isabel tampak bimbang sejenak. "Aku ke sini udah jauh-jauh..."

"Ya, udah. Kita nunggunya di tempat yang nggak akan bikin kamu bosen aja," cetus Adit sembari bangun dari jongkoknya. Ekspresinya membujuk.

"Di mana?" Isabel menyahuti, kejengkelannya belum menyurut.

"Nggak terlalu jauh dari sini juga ada restoran bagus, makanannya enak, layak disikat. Disajikannya prasmanan, piringnya dari tanah liat. Masakannya masakan Sunda. Nggak perlu sendok untuk makan, lalaban dan sambalnya bisa bolak-balik nambah sepuasanya. Pokoknya nikmaaat," ujar Adit menerangkan cepat layaknya sales kredit kendaraan. "Mudah-mudahan balik ke sini anak-anak udah datang semua."

Perut Isabel mendadak keroncongan mendengar tawaran Adit yang menggiurkan. "Kamu pintar banget bikin orang ngiler, ya? Nggak usah sekolah tinggi-tinggi, tempat kredit pasti pada mau nerima kamu kerja sama mereka."

Adit merasa puas melihat reaksi gadis di hadapannya. Dengan lebih percaya diri ia segera mengulurkan jemarinya yang kokoh dan besar pada Isabel. "Yuk. Jalan sekarang."

Dan kali ini, untuk pertama kalinya, dengan tulus Isabel menyambut sesuatu yang Adit tawarkan pada dirinya.

 

* * *

 

Dengan tampang kekenyangan usai menyantap paket ayam goreng dan teh manis di rumah makan sunda itu, Irena menghela napas. "Habis nganter aku pulang, kamu mau lanjut ke mana?"

"Kayaknya langsung balik. Ada yang mau aku kerjain," jawab Abriel.

"Komik, ya? Eh, eh, sampai mana si Axcel sama Tamaya sekarang?" cetus Irena dengan bersemangat. Axcel dan Tamaya adalah dua tokoh utama komik yang pernah mereka buat bersama dulu. Sebetulnya proyek itu milik Abriel, tapi karena Irena sering membantu dan menyumbang ide, Abriel menganggapnya proyek itu milik berdua.

Abriel tampak salah tingkah.

"Sebenarnya aku udah lama berhenti nerusin Axcel dan Tamaya," aku Abriel dengan hati-hati. "Sekarang aku lagi buat yang baru."

Irena diam sesaat. "Yah, kasihan mereka," komentarnya kemudian. "Tapi aku senang sih kamu bikin sesuatu yang baru. Sejak dulu aku juga memang agak meragukan nasib Axcel dan Tamaya, karena latar belakang mereka nggak pernah bisa matang banget. Selalu aja ada yang kurang pas."

"Bukan karena nggak mateng sebetulnya aku ngebekuin tokoh-tokoh itu, tapi karena setiap kali aku ngelanjutin sendirian, aku terus ingat kamu. Jujur, saat itu semuanya terasa salah kalau aku terus kebayang-bayang kamu. Di saat yang sama, aku lagi sama Febby. Semuanya terasa ngebingungin."

Kentara sekali diamnya Irena kali ini karena ia tidak menduga Abriel akan berkata selugas itu padanya. Dulu, Abriel tidak pernah berkata langsung ke sasaran. Ia bukanlah tipe lugas, lebih cenderung banyak tidak enaknya, selalu memikirkan perasaan lawan bicaranya mati-matian.

"Dan sekarang pun semuanya masih ngebingungin buat kamu?" tanya Irena seraya memilin-milin tisu dengan jemarinya. Tatapannya mengarah pada lilin kuning pengusir lalat yang berpijar di tengah mereka, yang bergoyang-goyang pelan seolah mengikuti tempo live music yang mengalun sayup-sayup dari bagian taman lesehan dalam restoran itu.

"Kalau kamu nanyanya kayak gitu, semua jawaban yang aku kasih nantinya akan dianggap salah. Karena kamu udah punya jawaban sendiri di kepala kamu. Na, kita harusnya ngejalanin semua ini seperti janji kita di telepon waktu itu, pelan-pelan, santai dan tanpa tekanan."

"Jadi, aku harus gimana supaya tetap bisa punya ruang gerak, nanya segala hal yang mau aku tanyain sama kamu, tanpa diprotes sama kamu karena aku kelihatan nggak rileks?"

Abriel belum punya jawaban untuk itu. Karena ia tahu, itulah bagian tajam dan sensitif dalam hubungan barunya dengan Irena, yang berusaha ia abaikan setengah mati sejak awal ia memilih.

Abriel menghela napas. Hanya sedikit yang keluar. "Kita kayaknya harus berhenti membandingkan hubungan kita yang dulu dan sekarang. Itu kayaknya satu-satunya jalan supaya kita bertahan."

Irena mengerjap. "Ngos-ngosan. Kayak gitu hubungan kita yang sekarang, El. Baru beberapa hari kita mulai lagi tapi kerasanya... rumit... asing."

Merasakan situasi yang memanas, Abriel berinisiatif menggenggam jemari Irena yang kini terjulur di atas meja.

Irena membiarkan jemarinya tetap berada di bawah telapak Abriel. Ia menautkan telunjuknya di sela jari telunjuk Abriel, hatinya kembali luluh.

"Besok kamu bisa jalan lagi nggak sama aku? Malam juga nggak apa-apa. Nanti aku bilang sama Papa kalau aku kerjain tugas."

"Kapan kamu mau ngomong sama Papa kamu?" tanya Abriel.

"Hmmm. Kalau ngerasa sudah waktunya. Aku yakin, bakal ada saat baik di mana Papa bisa nerima hubungan kita," jawab Irena, lagi, tidak memandang langsung Abriel. "Begitu pun sama Andre. Aku masih belum punya hati buat bilang ke dia. Meskipun aku dan Andre nggak pernah jadian, selama ini Andre selalu ada buat aku."

Abriel bisa mengerti dan menyimpulkan keadaannya. Tapi sebelum ia membuka mulut, Irena mendahuluinya. Berkata dengan ekspresi yang lain, yang seceria biasanya.

"Jadi, sekarang kamu buat cerita baru? Tentang apa? Kepingin lihat, dong... Pasti gambaran kamu udah berkembang banget, makin jago."

"Sebenarnya aku bawa bukunya. Ada di tas, di dalam mobil. Kalau kamu mau, aku kasih pinjam. Satu hari pasti cukup, soalnya memang belum begitu banyak isinya."

"Kamu dapet ide ceritanya dari mana?"

Refleks ujung kuku Abriel mengedut. Ia belum pernah kepikiran akan ada orang yang menanya-nanyainya soal komiknya. Sebenarnya, ia pernah berharap Isabel menjadi orang pertama yang membaca komiknya. Tapi semua kesempatan itu selalu datang pada waktu yang tidak tepat. Semua jawaban yang ia persiapkan untuk Isabel, tampaknya akan diberikan pada Irena.

"Aku dapat inspirasi dari tetanggaku. Kapan-kapan aku ceritain mulanya gimana."

Mereka pun memutuskan untuk pulang dan janjian akan jalan lagi besok sepulang sekolah. Ketika Abriel dan Irena sedang menuruni tangga keluar, Irena tiba-tiba berhenti karena melihat orang yang dikenalnya.

"El, kok ada si Adit?" Irena merenggut pergelangan tangan Abriel ketika mengarahkan pandangannya ke gerbang restoran.

Meski hanya dalam tempo beberapa detik, Abriel harus berkali-kali memokuskan pandangannya ke arah yang ditunjuk Irena. Ditekuknya keningnya dalam-dalam. Baginya sosok Adit langsung mengabur dari fokusnya sejak awal, cowok tinggi-besar atletis nan necis itu. Ia sudah hafal betul gerak-geriknya hingga cara berjalannya yang khas. Tak salah lagi, itu memang teman sebangkunya, sahabatnya sejak kelas sepuluh. Tetapi gadis di sebelahnya... Jantung Abriel terasa nyaris melompat dari rongganya, karena berhenti memudian berdetak terlalu keras. Sekujur tubuhnya refleks menolak dengan keyakinan penuh. Tetapi koneksi antara mata dan otaknya memberikan jawaban yang berkebalikan dari keraguan. Dalam sepersekian detik berikutnya, seluruh puzzle yang menyebar jauh-jauh terekatkan sudah.

Cepat, Abriel segera menarik pergelangan tangan Irena, membawanya kembali masuk ke dalam. Melewati serombongan keluarga besar yang akan meninggalkan meja mereka, Abriel terus menuntun Irena ke bagian belakang restoran itu, ke tempat lesehan yang senja itu tampaknya sudah terisi semua. Namun, mata Abriel dengan cepat menangkap satu saung terjauh yang kosong.

"El, kita ngapain?" tuntut Irena, meskipun ia sama sekali tidak membuat perlawanan, dan hanya mengikuti pemandunya dengan pasrah.

"Kita di sini dulu aja, ya," kata Abriel masih menggenggam pergelangan tangan Irena. Debaran dalam dadanya tidak memelan sedikit pun sejak tadi.

Irena masuk ke dalam saung lesehan itu lebih dulu, disusul Abriel kemudian setelah ia mencopot sepatunya.

Kali ini jelas ekspresi Irena tampak begitu resah. "El, jelasin. Kenapa kita mesti kabur segala ngelihat Adit?"

Abriel memejamkan matanya sedetik. Berusaha mengatur napas. Ia mendadak butuh segelas air. "Nggak apa-apa. Cuma malas aja," dustanya. Kemudian ia segera mengangkat tangan untuk memanggil pelayan yang berdiri tak terlalu jauh dari tempat itu, memesan segelas es teh manis. "Kamu mau pesan minum juga?" Abriel bertanya pada Irena yang masih memandanginya dengan air wajah curiga.

Irena menggeleng, diam seribu bahasa. Setelah pelayan itu pergi, barulah Irena menggeser duduknya mendekat pada Abriel. Ia kemudian mengusap pipi Abriel dua kali, dengan lembut. Wajahnya kali ini diliputi kecemasan.

"El, apa ada yang mau kamu jelasin sama aku sekarang? Menurutku ini aneh banget aja."

"Aku nggak kenapa-kenapa."

Irena yang begitu mengenal Abriel tidak begitu saja memercayai ucapan cowok itu. Abriel bukanlah orang yang mudah panik atau tertekan: selama ini pembawaannya lebih banyak tenang dan terukur. Tapi kali ini, Irena bisa merasakan lebih dari kepanikan sedang melanda orang yang amat disayanginya itu, kefrustasian begitu kental terpancar dari gestur dan ekspresinya.

"El. Kamu ini kenapa?" .

Abriel akhirnya mengangkat wajahnya. "Na, boleh nggak kita mengunci rapat-rapat mulut kita sebentar? Aku butuh sedikit waktu buat mikir..."

Perlahan, Irena berusaha membaca apapun yang tersaji di hadapannya. Tidak butuh waktu untuknya memaknai sesuatu. Keputusasaan. Irena tahu jenis perasaan seperti itu lebih buruk dari apapun. Meskipun ia tidak tahu pasti sebabnya, Irena tetap bertekad memberikan Abriel ruang.

Selama tiga puluh lima menit ke depan, mereka hanya berbicara dengan hati mereka masing-masing. Kepala mereka mungkin terasa dekat, tapi pikiran mereka terbang menjauhi satu sama lain.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (19)
  • Andrafedya

    @shalsabillaa semoga ga mengecewakan ya, terima kasih banyak buat apresiasinya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • defreeya

    Actually, It's not my typical genre. But, si author menceritakannya dgn indah sih *lanjut baca lagi*

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • shalsabillaa

    narasinya menarik. Membuat ikut hanyut dalam cerita. Ingin bisa menulis sebagus ini amin XD

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @Zeee terima kasih banyak udah ngingetin, sangat seneng ada yg apresiasi

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Zeee

    Luak atau luwak? *bertanya2

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @hijauoren tapi untunglah mereka sebetulnya saling menyayangi. terima kasih sudah comment

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @ysrsyd terima kasih untuk semangatnya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • dayana_putri

    Sakit itu ketika adik kita lebih belain pasangan kita daripada saudara kandungnya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ysrsyd

    Seruuu semangat

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
Similar Tags
Dialogue
76      35     0     
Romance
Dear Zahra, Taukah kamu rasanya cinta pada pandangan pertama? Persis senikmat menyesapi secangkir kopi saat hujan, bagiku! Ah, tak usah terlalu dipikirkan. Bahkan sampai bertanya-tanya seperti itu wajahnya. Karena sesungguhnya jatuh cinta, mengabaikan segala logika. With love, Abu (Cikarang, April 2007) Kadang, memang cinta datang di saat yang kurang tepat, atau bahkan pada orang yang...
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
5      5     0     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
Aleya
0      0     0     
Romance
Kau memberiku sepucuk harapan yang tak bisa kuhindari. Kau memberiku kenangan yang susah untuk kulupakan. Aku hanyalah bayangan bagimu. Kita telah melewati beberapa rute tetapi masih saja perasaan itu tidak bisa kukendalikan, perasaanmu masih sama dengan orang yang sama. Kalau begitu, kenapa kau membiarkan aku terus menyukaimu? Kenapa kau membiarkan aku memperbesar perasaanku padamu? Kena...
Ellipsis
34      24     0     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
Last Game (Permainan Terakhir)
8      8     0     
Fan Fiction
Last Game (Permainan Terakhir)
ARTURA
6      6     0     
Romance
Artura, teka-teki terhebat yang mampu membuatku berfikir tentangnya setiap saat.
Sibling [Not] Goals
27      23     0     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
Simbiosis Mutualisme seri 1
207      96     0     
Humor
Setelah lulus kuliah Deni masih menganggur. Deni lebih sering membantu sang Ibu di rumah, walaupun Deni itu cowok tulen. Sang Ibu sangat sayang sama Deni, bahkan lebih sayang dari Vita, adik perempuan Deni. Karena bagi Bu Sri, Deni memang berbeda, sejak lahir Deni sudah menderita kelainan Jantung. Saat masih bayi, Deni mengalami jantung bocor. Setelah dua wawancara gagal dan mendengar keingin...
Anything For You
32      21     0     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Ręver
35      34     0     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...