Read More >>"> Kamu, Histeria, & Logika (19. Jembatan Penghubung) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu, Histeria, & Logika
MENU
About Us  

Sudah empat kali Isabel menguap, padahal film itu baru saja dimulai. Masalahnya, bukan pada filmnya, pikirnya, tapi karena orang yang saat ini bersamanya. Adit. Kalau saja Isabel bisa memilih dengan siapa ia ingin pergi malam ini, ia tahu siapa orang yang ia inginkan. Tapi keadaan membuatnya tidak bisa memilih. Hanya Adit jembatan penghubung yang ia miliki sekarang, satu-satunya kesempatannya. Jadi, meskipun ia sudah jengkel setengah mati mendengar berisiknya suara Adit mengunyah popcorn juga menyeruput sodanya; setengah mati risi dengan gaya Adit yang senang berbisik-bisik ketika berbicara dengannya, Isabel harus bertahan.

Adit itu sebenarnya baik. Terlalu baik, malahan. Tipe yang akan memberikan apa saja untuknya, merelakan keinginannya demi Isabel. Tapi entah kenapa Isabel tetap tidak merasa nyaman jalan dengannya. Meskipun Adit bukanlah tipe cowok yang senang mengobral cinta atau senang merayunya dengan kata-kata norak, Adit tetaplah Adit bagi Isabel. Sebuah titik di lingkaran terluar. Sebuah titik yang hanya kadang-kadang saja ia masukan ke lingkaran dalam. Pada saat dibutuhkan.

Meski begitu, Isabel tahu, Adit tetaplah manusia. Seorang cowok yang memiliki perasaan dan ketulusan. Jika Adit sampai tahu apa yang sebenarnya terjadi, cowok berbadan besar itu pun pasti akan terluka. Dan ia belum siap menghadapi kemungkinan terburuk, menjadi kesatria tanpa kuda dan pelana. Adit adalah kuda hitamnya satu-satunya. Saat ini, tujuannya sudah jelas. Adit ingin menjadikannya pacarnya. Isabel tahu itu. Maka dari itu belakangan, setiap kali Adit berbicara mengarah kepada hubungan mereka, Isabel akan mengalihkan topik. Sebisa mungkin dilakukannya dengan tak kentara.

Adit mungkin terlihat sabar, buktinya hingga saat ini ia menerima apapun yang Isabel putuskan. Adit tidak mungkin tidak sadar bahwa Isabel belumlah siap dengan kenaikan hubungan mereka. Tapi Isabel tahu, pada satu titik, Adit tidak akan lagi berdiam diri.

Bom kesabaran Adit hanya soal waktunya saja akan meledak. Lagian, cowok mana sih yang tahan digantung begitu lama? Setelah pendekatan yang begitu intens, setelah lusinan kali kencan, setelah puluhan kali ucapan selama tidur yang terasa bermakna... batas kesabaran Adit betul-betul telah teruji.

Masalahnya, Isabel betul-betul memberikan Adit angin surga yang diidam-idamkannya. Disadari atau tidak, Isabel telah menjelma menjadi satu sosok yang diharapkan Adit sekian lama. Entah itu Adit yang menemukan semua sosok impiannya dalam satu orang, atau Isabel yang begitu cerdik paham akan kebutuhan cowok dengan tipikal seperti Adit. Yang jelas, bagi Adit, Isabel adalah gadis yang sempurna.

Adit meletakan popcorn-nya di tengah, agar memudahkan Isabel mengambilnya. Tapi sepanjang tiga puluh menit pertama, Isabel tidak juga memasukan tangannya ke dalam kotak itu. Gadis itu hanya memokuskan dirinya ke arah layar di hadapannya, masih menguap sekali-sekali, dan setiap kali gadis itu merasa begitu mengantuk, ia akan menyedot minumannya sedikit.

Sementara itu, Adit tampak merana dan putus asa. Sudah empat kali mereka menonton bioskop, tak sekali pun ia bisa menyentuh Isabel. Barang seujung kukunya, Adit tidak pernah mendapat secuil pun kesempatan.

Jika Isabel tidak bersedekap, gadis itu akan memegang cup minumannya kuat-kuat, meskipun tangannya memucat karena menggenggam wadah yang begitu dingin di ruangan ber-AC. Gadis itu tampaknya sadar betul bahwa ia tidak bisa memberikan kesempatan kepada cowok yang belum jadi pacarnya.

Maka, lima belas sebelum film berakhir. Adit mengambil dua langkah besar. Satu untuk mendekatkan wajahnya di pipi gadis itu, dan satunya untuk mengatakan kalimat yang sudah lama dipendamnya.

"Hei...," bisik Adit lembut di pipi Isabel. "Aku udah nggak kuat lagi nunggu. Gimana kalau hari ini saatnya kita resmiin hubungan kita?"

Isabel hampir saja mendorong kepala Adit kalau saja ia tidak ingat apa yang akan terjadi kalau ia melakukannya. Kesempatannya Kamis lusa untuk bertemu dengan pria itu akan sirna.

Isabel menolehkan kepalanya sehingga wajahnya dan wajah Adit hanya terpaut beberapa sentimeter saja.

"Bisa kamu kasih saya waktu?" bisiknya, ditatapnya sepasang mata dengan bulu mata lebat itu dengan sekelumit sorotan penuh pesonanya—yang sebetulnya tidak disadarinya.

Seolah tersihir dengan pesona gadis itu, Adit mengangguk lembut. Namun, ia tidak kuasa untuk tidak mengambil kesempatan itu. Dikecupnya bibir bagian atas Isabel dengan halus.

Terkejut. Kuat akan penolakan, Isabel tidak tahan untuk tidak bangkit dan menghambur dari dalam ruangan gelap itu. Namun, Adit dengan segera menahan pergelangan tangannya. Masih lembut, tapi sedikit menambahkan kekuatan.

"Maaf," Adit berkata pelan. "Tapi, aku udah berusaha bersabar. Sekarang aku sadar, kamu satu-satunya orang yang aku mau. Aku..."

"Pelan-pelan bisa, Dit?" hardik Isabel sambil mendesis. "Kalau kamu ambil langkah seperti itu lagi. Saya benar-benar bakal pergi dan nggak mau lagi ketemu sama kamu."

Adit otomatis mengangguk setuju. "Aku janji. Lain kali aku bakal bersabar. Aku bakal nunggu kamu membuka hati kamu."

Isabel menyentakkan kepalanya keras-keras ke sandaran kursinya. Dalam hati ia mengumpat keras-keras. Memaki Adit dengan kata-kata kasar dan pedas yang ia miliki. Dihabiskannya minuman dalam genggamannya dengan napas memburu. Kecupan Adit tadi membuatnya marah besar.

 

* * *

 

Dalam perjalanan pulang menumpangi taksi, Isabel tak henti-hentinya mengertakan giginya dengan geram. Ia belum pernah merasa begitu jijik pada dirinya sendiri. Ingin rasanya ia kembali ke gedung teater tadi dan melayangkan tamparan di pipi Adit kuat-kuat. Tapi ia masih harus sedikit bersabar. Nyatanya, bukan Adit yang bersabar, renungnya. Tapi kemudian, ketika taksi menepi di samping trotoar rumahnya, kemarahannya seketika itu juga sirna.

Isabel menemukan cowok itu, sedang duduk di trotoar rumahnya dengan sepiring nasi goreng di pangkuannya.

"Nasi goreng?" Cowok itu menyapa Isabel, dengan mimik polos favoritnya. Rasanya ingin sekali Isabel menghambur dan mengambil tempat duduk di sebelah cowok itu. Menceritakan segala kekesalannya, membagikan pengalaman buruknya. Cowok itu akan mendengarkan keluh-kesahnya dengan sepenuh hati, mengomentari seperlunya. Segalanya selalu terasa pas bersamanya.

Tapi, Isabel kemudian tersadar. Segalanya sangat tidak adil untuk Abriel. Ia sudah menyakiti Abriel berkali-kali. Bahkan jika cowok itu tahu apa yang ia lakukan dengan sahabatnya, tak akan ada lagi yang tersisa dari dalam diri Isabel. Ia akan mutlak menjadi makhluk yang paling dibenci cowok itu.

Akhirnya, Isabel hanya mengedikkan dagunya pada cowok itu, sebelum masuk ke dalam rumahnya.

Hatinya terasa tak menentu, dan seketika itu juga ia langsung menyesali keputusannya untuk tidak mengambil opsi pertama yang melintas di pikirannya tadi: duduk di sebelah cowok itu. Segalanya pasti akan berbeda.

 

* * *

 

Abriel melanjutkan makan malamnya dengan tidak begitu berselera. Nasi gorengnya mendadak saja terasa terlalu kesat di lidahnya. Ia merasa butuh segelas air untuk mendamaikan tenggorokannya. Tapi, sebelum ia ke dalam untuk mengambil air minum, ia teringat sesuatu.

Ditariknya ponsel dalam saku celananya. Dibacanya sekali lagi pesan masuk yang belum ia balas. Sekilas, ia memandangi jendela kamar Isabel yang lampunya baru saja dinyalakan, lahirlah desahan panjang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Seperti baru saja mendapatkan firasat buruk.

Benar. Itu memang firasat buruk, ia sangat yakin.

Tanpa aba-aba, gadis itu mendadak muncul di sana. Berdiri di ambang jendela yang membuka dan terang benderang. Kemudian, mereka hanya bertatap-tatapan. Tidak ada satu organ pun yang mengkhianati.

Seperti sebuah kesatuan, seluruh tubuh Abriel menghadap seutuhnya pada gadis dan cahaya itu. Hingga ia akhirnya sadar bahwa gadis itu terlalu sulit dijangkau. Meskipun dekat, gadis itu selalu jauh dari jangkauannya. Tak teraih: walaupun dengan sungguh-sungguh ia berusaha menggapainya. Bagaikan digelung dua gelombang yang berbeda, Abriel sedikit yakin sebetulnya mereka malah hidup di dua jenis dunia yang berbeda.

Tiba-tiba saja Abriel sudah memutuskan. Ia akan memberi kesempatan bagi masa lalunya. Untuk sementara, ia akan berpaling dari cahaya, gelombang, jendela, pintu dan segalanya di hadapannya. Ia akan membuka sedikit hatinya untuk rumah lamanya. Mungkin itulah yang terbaik...

Barangkali, ia akan tetap mengangumi Isabel. Barangkali, Isabel masih menjadi inspirasinya... Tapi, untuk sekarang, ada orang lain yang menunggunya. Abriel tahu, orang itu layak mendapatkan kesempatan...

Maafin aku ya, Angsa.... kayaknya aku harus pergi dulu. Entah sebentar atau selamanya. Kamu baik-baik ya, di singgasana kamu... Kalau hati ini milik kamu, seberat apapun jalannya ia akan pulang ke kamu...

Dengan piring dalam genggaman, Abriel memantapkan hatinya untuk masuk ke dalam rumahnya tanpa sekali pun berpaling ke arah Isabel yang masih memandanginya dari suar cahaya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (19)
  • Cassanouva

    Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini

    Kalau suda beres saya akan kasih review.

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ruriantysavana

    ka cek inbox ya aku ada pertanyaan2 tentang cerita ini
    mau di sini tp tkt spoiler hehe, thx

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ala_fifi

    baca karya ini jd pgn nulis yg bagus jg rasanya, pgn latihan banyak biar bisa gini

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Retha_Halim

    Good job, Author. On chaper41

    Comment on chapter 41. Dua Hati (TAMAT)
  • yurriansan

    diksinya mantep banget, kudu banyak belajar nih

    Comment on chapter 2. Pantomim Waktu
  • Andrafedya

    @firlyfreditha silakan dibaca sampai beres, kalau masih blm ketemu nanti kukasih tau deh :)

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • Andrafedya

    @ayuasha febby baik, cuma temperamental. Tapi dia juga punya sisi baik, kok :) terima kasih sudah membaca

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • firlyfreditha

    bersetting tahun brp kak?

    Comment on chapter 3. Pemantauan
  • ayuasha

    kesel sama Febby sumpah

    Comment on chapter 9. Tergelincir
  • Andrafedya

    @defreeya selamat membaca, jangan berhenti ya. Terima kasih banyak buat apresiasinya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
Similar Tags
Flower With(out) Butterfly
5      5     0     
Romance
Kami adalah bunga, indah, memikat, namun tak dapat dimiliki, jika kau mencabut kami maka perlahan kami akan mati. Walau pada dasarnya suatu saat kami akan layu sendiri. Kisah kehidupan seorang gadis bernama Eun Ji, mengenal cinta, namun tak bisa memiliki. Kisah hidup seorang gisaeng yang harus memilih antara menjalani takdirnya atau memilih melawan takdir dan mengikuti kata hati
Ocha's Journey
5      5     0     
Romance
Istirahatlah jika kau lelah. Menangislah jika kau sedih. Tersenyumlah jika kau bahagia. Janganlah terlalu keras terhadap dirimu sendiri.
ALVINO
46      21     0     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
Help Me
66      31     0     
Inspirational
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jika manusia berfikir bahwa dunia adalah kehidupan yang mampu memberi kebahagiaan terbesar hingga mereka bangun pagi di fikirannya hanya memikirkan dunia yang bersifat fana. Padahal nyatanya kehidupan yang sesungguhnya yang menentukan kebahagiaan serta kepedihan yakni di akhirat. Semua di adili seadil adilnya oleh sang maha pencipta. Allah swt. Pe...
Malaikat Hati
176      80     0     
Romance
Sebuah persinggahan dalam menjalin sebuah ikatan tidak lagi terasa dan bersemayam dihati. Malaikat hati yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah senyuman dan pelukan. Mengenalkan arti bahagia dan arti kenyamanan hati. Disaat itu, aku sadar bahwa hidup bukan untuk menentukan sebuah pilihan tapi hidup untuk menjalin sebuah kepercayaan.
Manusia
48      30     0     
Romance
Manu bagaikan martabak super spesial, tampan,tinggi, putih, menawan, pintar, dan point yang paling penting adalah kaya. Manu adalah seorang penakluk hati perempuan, ia adalah seorang player. tak ada perempuan yang tak luluh dengan sikap nya yang manis, rupa yang menawan, terutama pada dompetnya yang teramat tebal. Konon berbagai macam perempuan telah di taklukan olehnya. Namun hubungannya tak ...
Distaste
68      30     0     
Romance
Menjadi bagian dari BEST di SMA Angkasa nyatanya tak seindah bayangan Stella. Apalagi semenjak hadirnya ketua baru, Ghazi. Cowok yang membuat Stella dikucilkan semua temannya dan selalu serba salah. Cowok humoris yang berubah menjadi badboy hanya kepada Stella. Keduanya menyimpan kebencian masing-masing di hati mereka. Dendam yang diam-diam menjelma menjadi sebuah rasa tatkala ego menutupi ked...
The Past or The Future
7      7     0     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Astronaut
53      33     0     
Action
Suatu hari aku akan berada di dalam sana, melintasi batas dengan kecepatan tujuh mil per detik
You Are The Reason
21      14     0     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...