Sore itu, hujan telah mengguyur Kota Furai selama sa tu jam lamanya. Niels hanya memandangi tiap rintik hujan yang turun menghujam bumi dari balik jendelanya yang separuh terbuka. Di sebelahnya, Marie sedang mengasah belatinya dengan batu asah yang selalu ia kantongi di dalam tas kecil berwarna coklat miliknya. Dalam kantong itu, ia tidak hanya membawa batu asah saja, ia juga membawa beberapa batu permata sihir serta obat-obatan dan tak lupa beberapa botol racun.
Di lain kantong, ia juga menyembunyikan beberapa bubuk mesiu dan peluru sebagai isi sepasang pistolanya. Ia terdiam, terlalu fokus dengan pekerjaannya. Mata ungunya yang tampak gelap itu memandangi bilah-bilah belati yang terasah. Kadang, ia mengangkatnya sedikit, memandangi pantulan dirinya yang ada di belati itu. Setelahnya, ia berganti ke pisau lempar miliknya. Pertama, ia membuka jubahnya, lalu mengeluarkan sabuk-sabuk dan kantong rahasia yang berisi pisau lempar, lalu menghitung jumlahnya.
“Dua puluh enam, hei, Niels berapa pisau lemparmu?” tanya Marie sambil menoleh ke Niels.
“Empat puluh,” jawab Niels tanpa mengecek pisaunya sedikitpun dan tetap merenung melihati hujan yang membasahi wajahnya itu.
Marie dongkol melihat ekspresi kakaknya itu. Bagaimanapun, ia ingin setidaknya berbicara dengan Niels dalam konteks sebagai saudara, bukan rekan kerja. Jika ia ingat lagi, ia sudah lama tidak berbicara dengan Niels selaiknya adik berbicara dengan kakaknya. Sebenarnya, ia ingin menghabiskan masa itu sekali lagi, tapi apa mau dikata, Niels tidak berpendapat sama.
Dalam hatinya, Marie tahu bahwa Niels masih memiliki dendam terhadap semua biang permasalahan semua ini. Dan kali ini, takdir menuntun Niels sampai di titik yang bahkan Niels tidak pernah bermimpi untuk mencapainya, yaitu menjadi tangan kanan dari Gils. Dengan menjadi tangan kanan Gils, Niels dapat dengan mudah membunuhnya, mengakhiri dendam yang selama ini ia pendam.
“Marie, apakah kemarin kau berhasil mengirim pesan yang ke Lauren?” tanya Niels tiba-tiba dalam hening dengan pandangan tajam khasnya. Mata Marie beradu sesaat dengan sorot mata Niels, membuatnya merasa asing dengan sosok Niels dulu.
“Tidak, tapi aku punya jalan lain untuk menyampaikan pesan. Aku mengirimnya melalui pisau lemparku.”
Niels mengangguk perlahan, paham dengan maksud Marie. Dalam pekerjaan yang ia geluti, perlu diperhatikan cara berkomunikasi ketika misi pengintaian. Komunikasi seperti gerakan tangan, ketukan, atau siulan halus sudah terlalu sering dijadikan media komunikasi. Maka dari itu, serdadu kerajaan pun memperlajari dan mengkaji media komunikasi semacam itu. Alhasil, para pencuri rendahan mudah ditangkap karena hal semacam ini, padahal mereka yakin mereka telah menggunakan siulan sehalus angin, ketukan sehalus langkah rubah, serta gerakan tangan secepat kilat.
Jujur saja, sebenarnya Dieb masih saja menggunakan cara semacam itu, namun lebih dikembangkan lagi. Mereka dilatih mampu bersinkron dengan tiap anggota. Niels sendirilah yang melatih semua anggotanya itu dengan ulet dan penuh kesabaran. Pertama mereka dilatih untuk memahami perintah sederhana melalui gerakan tangan, lalu raut wajah, dan yang terakhir hanya dari sorot mata saja.
Itu sudah cukup, namun Niels punya cara sendiri. Jika para ksatria dapat mengirim pesan yang tertaut anak panah, maka Dieb punya ciri khas tersendiri, yaitu menyisipkan pesan pada pisau lempar. Hal itu merupakan perkembangan yang cukup brilian menurut Niels. Meskipun sederhana, tapi itu cukup memudahkan pekerjaan.
Contohnya saja, ada dua pencuri yang berjarak tiga atap rumah. Satu pencuri, katakan saja Niels ingin mengirim pesan kepada rekan kerjanya, katakan Marie. Namun, ada seorang pemanah yang berjaga di antara mereka. Maka, untuk jaminan keamanan, Niels dapat melempar pisau lempar tersebut dengan cepat, saking cepatnya sehingga mata pemanah itu tidak menyadari pisau lempar yang lewat. Itu cara yang lebih aman daripada menggunakan siulan atau gerakan tangan. Lebih aman, namun juga tetap berisiko. Jika saja si penerima pesan tidak konsentrasi penuh dan cekatan dalam menangkap pisau tersebut, maka nyawa bisa menjadi taruhannya. Oleh karena itu, teknik pesan ini hanya diketahui di kalangan pencuri yang telah handal.
Hanya beberapa orang handal di Dieb. Sebut saja Marie, Angelo, si Kembar Rio dan Ria, semua dari mereka ahli dalam mempermainkan belati serta trik pisau lempar. Sayangnya, hanya Marie sajalah yang benar-benar beruntung sehingga bernafas sampai detik ini. Omong-omong Marie sudah melakukan penelusuran untuk mencari dokumen penting yang ia antarkan saat itu. Dan hasilnya, nihil, dokumen itu tidak ditemukan di manapun di Menara Romero. Dinding, atap, bahkan ia mengotori tangannya dengan mengeduk tanah, mengharap dokumen itu aman bersama timbunan batu dan pasir, namun tetap nihil.
Sebaliknya, Niels dengan santai berkata menyimpulkan, “Gils sudah membuangnya. Lagipula, ia punya informan dari pihak kita. Jadi setiap langkah kita akan terbaca.”
“Kau yakin sekali, Niels.”
“Justru itulah kuncinya, Marie. Aku dan dia sekarang sedang beradu taktik seperti bermain catur atau bermain kartu. Tapi, dia tidak mengerti niatanku, sementara kita mengetahui niatannya. Sebaliknya, ia memiliki informan sementara kita tidak. Itu kelebihan dan kekurangan dari diriku dan dia. Dia punya bidak yang ahli, The Eagle’s. Aku akui itu, aku tidak punya anggota sehebat The Eagle’s. Tapi kita punya Dieb dan semua pencurinya, Marie. Mereka menunggu perintah untuk mengakhiri pekerjaan ini.”
Sekarang, yang bisa Niels lakukan hanyalah menunggu, tidak lebih. Karena memang aturan permainan papan yang paling utama adalah giliran. Nah sekarang bukan giliran Niels yang menggerakan bidak atau mengeluarkan kartu, sekarang adalah giliran Gils. Niels hanya bisa merencanakan dan memilih langkah yang tepat selanjutnya, sembari tetap mengawasi Wild Card dalam permainan papan ini, Democratio Alliance.
Sebenarnya, Democratio Alliance tidaklah mengancam dan mengganggu setelah mereka dibekukan, tapi gerakan mereka amatlah tidak terduga. Contohnya saja penyerangan Shateu Dif. Itu benar-benar di luar dugaan dan prediksi Niels. Oleh karena itu ia menjulukinya Wild Card, karena sulit diprediksi. Niels mengambil langkah yang lain, yaitu mencoba menjinakkan Wild Card dengan berbicara langsung. Untuk tempat dan waktu sudah Niels tentukan, dan pesan itu juga telah disampaikan dengan pisau lempar Marie.
Niels tetap terdiam hingga suara burung elang terdengar mengeok di atap penginapan. Niels mendongakkan kepala, mendapati setitik coklat dengan bintik putih datang menyergap cepat. Niels kontan saja menjulurkan tangannya, membuatkan elang itu tempat berpijak. Elang cerdas itu akhirnya mendarat di lengan kiri Niels. Ia berkeok ramah sembari memamerkan sepasang sayapnya yang berbulu coklat muda, hampir serupa warna dengan paruhnya yang tampak kokoh meskipun tua itu. Di kakinya, tertaut sebuah selongsong kecil yang terbuat dari batang bambu, di sana Niels menemui bahwa sebuah kertas yang terselubung. Itu pesan melalui perantara burung.
Kertas itu hanya berukuran separuh telapak Niels dan hanya berisi pesan yang amat singkat di sana. “Berkumpul kembali!” hanya itu saja pesan yang tertulis di sana. Melihat itu, Niels berdiri, melepas sang elang yang melayang kembali menyongsong langit di atas. Langit masih mendung, namun hujan sudah berubah menjadi gerimis. Niels bangkit, disusul Marie. Keduanya berangkat menuju markas The Eagle’s.
Jalanan yang mereka lalui masih sepi dan amatlah lenggang, semua orang masih berlindung dari tikaman jarum air di luar, terkecuali Nield dan Marie yang berlarian kecil menerjang gerimis. Tidak sampai lima menit, mereka sampai di depan gerbang Kastil Asvir. Mereka menyapa beberapa penjaga yang tampak tak asing, berbicara sebentar, lalu bergegas kembali menuju ruang markas The Eagle’s.
Niels dan Marie adalah orang terakhir yang datang di sana. Saat sampai, Niels dan Marie memberi salam bungkuk pada semua orang di sana dan mendapat balasan berupa anggukan. Niels memilih duduk di salah kursi kosong, tepatnya di antara Maxiel dan Adruin, sementara Marie memilih berdiri di belakang kursi Niels.
Semua orang telah datang, kecuali Auria yang kabarnya masih dalam keadaan koma setelah pertarungan di Shateu Dif. Melihat itu, Gils mengangkat tangannya lalu membuka pembicaraan, “kita akan mundur untuk sesaat.”
Biasanya, Helena lah yang langsung berkomentar tentang keputusan yang diambil, tapi kali ini Maxiel yang berkomentar, “kenapa? Mereka sekarang tersudutkan, Gils. Bukankah itu kesempatan emas untuk menumpas Democratio Alliance?”
“Memang, tapi perhatikan bahwa ini adalah perangkap, Max. Masih banyak di luar sana simpatisan serta pihak yang mendukung Democratio Alliance. Jika kita diserang, mungkin kita akan bernasib sama seperti Auria. Banyak yang masih belum kita ketahui dari mereka, Max. Orang-orang ahli seperti Penyihir Remnants menjadi halangan besar bagi kita.”
Maxiel mengangguk pelan, perlahan paham dengan pemikiran Gils, begitu pula yang lain. Setelahnya, Gils membahas tentang Shateu Dif kemarin. Ia menanyakan bagaimana pertarungan yang terjadi. Adruin dan Niels serta Marie menjawab dengan gamblang bahwa mereka bertarung di area lapang, sementara Maxiel berjaga di menara dengan Ephmortal.
Tidak ada yang lain selebihnya itu, Gils menyuruh mereka bubar, kembali ke kehidupan seperti biasanya serta menunggu panggilan darinya. Niels dan Marie undur diri terlebih dahulu, diikuti Helena dan Adruin, menyisakan Gils dan Maxiel yang masih duduk di kursi.
“Sekarang waktumu, Max. Kau bisa bukan?”
“Mengintai adalah keahlianku, Gils. Tenang saja, aku akan mengawasi kedua orang itu dengan bahkan bila itu tidak tidur sekalipun. Kau bisa mempercayakan punggungmu padaku, Gils.” Maxiel beranjak keluar dari ruangan itu, meninggalkan Gils sendiri. Namun, ia tak benar-benar sendirian.
Di balik bayangan, sepasang mata sedari tadi mengamati dengan tenang dan senyap tanpa suara. Gils tahu siapa pemilik mata itu, Si Tikus.
“Keputusan yang bijak, Tuan Gils. Anda amat bijak dengan mengambil inisiatif memanggil mundur bidak-bidak penting dan Anda juga bijak untuk memilih mengawasi Niels.”
“Ada beberapa alasan mengapa aku separuh mempercayainya dan separuhnya lagi tidak. Pertama, ia punya informasi yang tidak kau miliki. Kedua, ia adalah orang yang handal dalam bertarung. Tapi, tetap saja ia bukan orang yang kukenal, Tikus. Aku hanya ingin melakukan hal yang aman saja.”
“Baiklah kalau begitu, Anda dapat beristirahat tenang malam ini. Aku akan mengeduk informasi lagi.” Setelah itu, Si Tikus undur diri, menghablur di balik bayangan.
***
Terhitung dua hari sudah Niels dan Marie tinggal di kota raksasa serupa Kota Furai ini. Selama dua hari itu pula, mereka tinggal di sebuah penginapan murah yang mau dibayar sepuluh keping perunggu per malamnya. Jika akan makan, Niels dan Marie pergi ke pasar terdekat, memilih salah satu kios, lalu menawar harga semurah mungkin. Itu sudah menjadi kebiasaan mereka dari muda guna bertahan hidup. Berkat kebiasaan semacam itu, keduanya memiliki kemampuan bicara yang tinggi.
Hingga pada hari ketiga, keduanya memilih untuk berhenti di salah satu kedai minum. Setelah tanya di sana-sini, Niels dan Marie akhirnya menemukan tempat minum yang direkomendasikan. Ada yang terletak di distrik 20, di mana dikatan bahwa minuman di sana terlalu keras, ada juga yang merekomendasikan di distrik 15, di mana setiap orang yang dapat menjawab tantangan pemilik kedai maka mendapat segentong anggur spesial, ada juga yang bilang di distrik 5, di mana rasanya khas karena anggur di sana dicampur serta diolah dengan madu yang menghangatkan jiwa dan raga.
Terlalu banyak rekomendasi untuk Kota Furai. Semua orang punya seleranya masing-masing, jadi maklum saja banyak rekomendasi yang ada di Furai. Tapi, Niels tidak memilih tempat-tempat terbaik yang menjadi rekomenadasi. Keduanya tidak memilih Kedai Juns yang terkenal karena campuran anggur dengan harumnya rasa buah beri atau Kedai Yulian yang diolah oleh seorang mantan pembunuh, yang konon anggurnya adalah ekstrak dari korbannya terdahulu ataupun kedai Mord yang menyimpan minuman unik dari anggur yang difermentasi selama dua dekade, tidak, mereka tidak memilih keduanya.
Mereka malahan menyambangi kedai yang tidak terkenal dan bahkan tidak masuk dalam daftar rekomendasi. Tapi, ada satu alasan utama yang membuat Niels mampir ke sana bersama Marie, dan itu menjadi bagian dari rencana Niels. Kedai itu terletak di lingkar luar Furai, namun masih dalam wilayah Furai. Kedai itu kecil dan tampak lusuh.
Pintu kedai yang rapuh dan terkoyak itu mencerminkan pemiliknya yang juga tua bangka dan ingin mati saja daripada hidup terus mengurusi kedai yang tak pernah ramai ini. Namun, seculas senyum bahagia tampak terpapang di bibirnya karena melihat setidaknya ada dua orang pelanggan setia yang selalu datang menghabiskan uang mereka di sana.
Niels kenal pemabuk berat itu. Sosok bertubuh besar itu ia temui saat perjalanannya ke Furai, itulah Beeg. Saat Niels dan Marie datang, sosok itu sudah membenamkan kepalanya dalam dekapan tangannya sendiri. Niels berjalan ke sana, lalu memukul pundak kenalannya itu teramat keras hingga sosok besar Beeg tersungkur jatuh.
“Demi seribu babi hutan! Kau ingin bertengkar di si—apa mataku tidak salah melihat? Tuan Loreo!” Beeg membelalakan matanya, tak menyangka akan menemui Jeans Loreo—Niels— di tempat kumuh seperti ini dan dengan penampilan yang tak kalah kumuh dan lusuh.
“Kau memang suka mabuk ya, Beeg. Hei, kau bahkan tidak ganti baju sejak kapan, kawan?”
“Yah ini memang sudah menjadi tabiatku, Tuan Loreo. Omong-omong, kenapa orang seperti Anda mendatangi tempat seperti ini? Saya rasa Anda salah memilih tempat, Tuan Loreo. Apalagi anda mengajak seorang gadis cantik bersama Anda, oh maafkan saya. Anda pasti Nona Loreo bukan?”
Marie mengangguk pelan, tidak menjawab lebih.
“Beeg, aku punya permintaan tolong padamu, kawan. Ada seseorang yang membuntuti kami sedari kemarin, bisakah kau membuatnya sibuk barang beberapa menit saja?”
Beeg menatap air muka Niels yang terlampaui serius jika semuanya ini gurauan semata. Maka dari itu, ia yakin dan menganggukan kepalanya. “Beri tahu aku siapa orangnya, sobat.”
Niels menundukan kepalanya, lalu melirik ke jendela luar, “orang itu di luar, kawan. Kau akan langsung tahu siapa yang kumaksud ketika kau keluar. Sekarang, orang itu mengawasi kita dari seberang jalan.”
Beeg langsung berdiri. Sebelum pergi, ia ditahan oleh Niels, “kawan, jangan mati.”
“Hah, kau kira aku siapa hah? Aku adalah The Big Beeg! Aku tidak akan kalah dengan penguntit pengecut seperti itu!” dengan semangat membara dan sebotol anggur di tangan kirinya, Beeg berjalan keluar melalui pintu depan kedai itu.
Nah sekarang, masalah utama selesai. Niels berhasil menyingkirkan pengganggu utama dari rencana pertemuannya ini dengan Democratio Alliance, yaitu Maxiel. Dengan Maxiel yang disibukkan oleh Beeg, Niels dapat kabur melalui pintu belakang lalu pergi ke tempat pertemuan yang telah ditetapkan, Kedai Lila Tabak di desa di tengah jalan antara Anirieta dan Furai.
Sementara Marie tidak ikut Niels, ia disuruh untuk mengawasi kelakuan Beeg. Jika lepas kendali, maka Marie lah yang akan menghentikannya. Lagipula, pengalihan Beeg ditujukan hanya untuk lima menit saja, tidak lebih. Itu waktu yang sudah cukup bagi Niels agar keluar dari Furai dan menghilang di jalanan malam di kebun atau desa-desa. Dari sana, ia harus berjalan selama tiga puluh menit agar sampai ke tempat tujuan.
Perjalanannya cukup tenang. Bahkan Niels menikmati perjalanan sorenya itu. Saat ia melalui padang rumput yang luas, ia dimanjakan dengan pemandangan yang menakjubkan, yaitu jutaan kelap-kelip kunang-kunang yang terbang kesana-kemari. Mereka tampak saling mengejar satu sama lain. Tidak hanya itu, hembusan angin malam juga membawa aroma rumput basah yang segar, menyegarkan pikiran dan membuatnya tenang. Tidak hanya itu, konstelasi-konstelasi di atap dunia juga memamerkan gemerlap tiap bintang anggotanya. Niels membatin, ah, ini adalah musim panas, ia tahu itu dari letak segitiga musim panas yang menjadi tanda dari awalnya musim panas.
Sebenarnya, Niels ingin menikmati pemandangan ini sebisa mungkin dengan memilih duduk di bawah pohon yang teduh, lalu menyalakan api unggun dan menyanyi dalam kesendiriannya. Setidaknya itu yang ia inginkan. Ia sudah bosan dengan pemandangan jalanan kota yang sempit, lusuh, dan bau. Ia juga tidak tertarik dengan kemewahan serta kemegahan Kastil Asvir, malahan ia ingin menikmati waktu-waktu seperti ini.
Tapi tidak, batinnya. Ia tidak punya waktu yang cukup untuk bersantai. Ia harus bergegas ke tempat pertemuan. Karena mungkin saja, delegasi Democratio Alliance sudah menunggunya di sana, meminta penjelasan tentang pesan yang tersurat dalam pisau lempar itu. Dengan pemikiran itu, Niels mulai mempercepat langkahnya, bahkan memilih berlari menyusuri padang rumput dengan cepat. Derap kakinya memecah keheningan, membuat semua kunang-kungan yang melayang tenang menjadi kabur dan menjauh.
Gemerlap lampu teplok terlihat dari kejauhan di ujung horizon. Tinggal menaiki satu bukit lagi dan Niels akan sampai di gerbang desa. Niels mengatur napasnya sesaat. Lalu, dalam tarikan yang dalam, ia kembali berlarian kecil lagi. Dalam lima menit selanjutnya, ia sudah sampai di gerbang. Beberapa penjaga menanyainya tentang perihal kedatangannya ke sini dan Niels menjawabnya dengan alasan perjalanan. Ia memasang muka yang datar dan tidak berekspresi. Penjaga melihatnya tidak mencurigakan, lalu membiarkannya masuk ke desa tanpa pemeriksaan yang berarti.
Suasana pedesaan yang telah beristirahat dari semua aktivitasnya menyambung hangat Niels dengan puluhan lampu teplok yang menyala berwarna-warni. Ada dari mereka yang menyala redup, ada juga yang menyala dengan terang. Dari puluhan lampu teplok yang terpajang di depan teras perumahan di desa tersebut, Niels mencari kedai minum yang memiliki nama Lila Tabak. Setelah berkeliling, akhirnya ia menemui sebuah kedai dengan papan nama kedainya, yang didekorasi dengan ukiran tembakau berwarna ungu sesuai dengan nama kedai itu.
Niels langsung saja masuk ke kedai itu. Saat ia masuk, ia langsung mendapati punggung sosok yang ia kenal. Sosok itu mengangkat cangkir minumnya, menawarkan untuk minum bersama dengannya.
“Kau lama Niels. Omong-omong, ayo kita minum. Seperti janjiku, aku yang traktir Niels.” Sosok itu menanggalkan tudungnya, memperlihatkan rambut hitam panjangnya yang tergerai anggun.
“Yah, aku harap aku tidak dipukuli ketika aku mabuk. Kau memang punya nyali membuatku mabuk, lalu mengirimku untuk ke klub petarung demi taruhan, Lauren.” Niels berjalan menghampiri Lauren, lalu duduk di sebelahnya sembari memesan secangkir anggur.
“Berapa orang yang kau bawa, Ren?” tanya Niels dengan nada halus namun dingin dan mencekam. Niels sebenarnya ingin memasang atmosfer damai di sini, tapi ia tahu bahwa Lauren juga tak datang sendirian ke sini.
“Terhitung aku, hanya empat orang saja yang kesini, Niels. Tenang, kami tidak berencana membungkamu atau bahkan membunuhmu di tempat Niels, jadi, tolong turunkan pisau lemparmu itu.”
“Cih, kau menyadarinya ya? Seperti yang diharapkan dari mantan Grau Kapuze. Baiklah Ren, akan kuturunkan pisau lemparku ini.”
Niels menjatuhkan pisau lempar dan juga belatinya, “sekarang kau percaya?”
Lauren mengangguk. Matanya kini beralih ke sudut jendela samping kedai itu. Di sana, Niels akhirnya menyadari bahwa sepasang mata sedari tadi mengawasi mereka dari luar. Setelah tanda dari Lauren, sepasang mata itu lenyap, lalu beberapa saat kemudian tiga orang masuk melalui pintu depan kedai.
Dua orang sudah pernah Niels lihat dan kenal. Si Pria besar berjanggut yang berumur paruh baya dan kekar itu bernama Brig, ketua dari Klan Bandit Banditen, sementara si wanita di sebelahnya adalah penyihir ahli dan terakhir dari Remnants, Alinae Renae, penyihir yang dirumorkan menyembah Penyihir Abadi. Sementara, satu orang lain tidak pernah Niels lihat, tapi Niels tahu orang itu.
“Tak kusangka, pemimpin Democratio Alliance datang sendiri ke undanganku ini. Selamat datang, Ser Thoir!” sapa Niels sambil membungkukan badan memberi hormat. Thoir membalas hormatnya sembari mengangguk pelan, ia juga diikuti dengan Brig dan Alinae meskipun sedikit terpaksa.
“Jadi, apa yang akan kau bicarakan dengan kami, Niels? Apa yang dapat kau tawarkan dan yang kau ajukan pada perbincangan saat ini, Niels?” tanya Thoir sembari duduk di seberang meja mereka. “Sebentar, perlu kau ingat Niels, posisimu sekarang tidak seratus persen dipercayai. Mungkin juga The Eagle’s tak mempercayaimu pula bukan? Tapi, Lauren memaksa kami tetap mempercayaimu dengan alasan bahwa kau punya rencana yang terduga dan masih berpihak dengan kita. Apa itu benar, Niels?”
Niels mengangguk pelan, “iya itu benar, Ser Thoir. Kalian boleh saja tidak mempercayai kami, Dieb. Kami memang hanyalah seorang pencuri rendahan yang bekerja secara opurtunis, hanya melihat keuntungannya saja, itulah naluri kami. Tapi, aku mohon, demi masa depan yang kita genggam sekaran, mohon dengarkanlah aku untuk malam ini, karena mungkin saja besok atau lusa, kita akan bertemu lagi dengan belati, pedang, atau bahkan mantra guna saling membunuh satu sama lain. Apakah perbincangan ini dapat diawali?”
Srek! Segelas cangkir tersaji di sebelah Niels. Pemilik kedai tua itu sudah tak kuasa mengangkat cangkirnya, akibatnya ia mendorong cangkir tersebut dan menimbulkan suara sedemikian rupa.
“Malam masih panjang, kawan. Kita bisa habiskan semalaman di sini. Kami akan mendengarkan penjelasanmu, walaupun itu panjang dan lebar.” Thoir mengangkat tangannya, memesan secangkir anggur. Brig tentunya juga ikut memesan karena ia memang suka mabuk, hanya Alinae sajalah yang tidak memesan anggur, malahan ia memesan kopi hitam yang panas.
Semua orang di sana duduk tersebar karena memang kedai itu selalu sepi. Lauren duduk di sebelah Niels, Thoir duduk di depan mereka, Brig duduk di ujung, sementara Alinae berdiri dengan sandaran dinding di punggungnya.
“Sebelumnya, akan aku ceritakan alasan serta latar belakangku. Aku harap, dengan ceritaku ini, kalian dapat memahami pemikiran serta alasan yang kuambil selama ini. Aku harap kalian tidak bosan mendengarnya. Namaku Niels Jay, ini adalah masa laluku...”
Wajh china2 gitu ya
Comment on chapter BAB 1 Everything Start at University