Read More >>"> MONSTER (BAB 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - MONSTER
MENU
About Us  

Gress sadar diri dengan kondisinya. Tak banyak membuat masalah adalah caranya bertahan di setiap fase hidupnya. Beda lagi dengan William, untuknya hati-hati adalah tetap membiarkan tangannya bersih setelah meminjam bahu banyak orang untuk naik menjadi sang pusat perhatian. Di balik senyumnya, ia sembunyikan setiap kerja otak liciknya. Tanpa peduli bahu yang ia pijak meringis tertahan.

                “Banyak perusahaan yang lebih mengutamakan lulusan empat tahun ke bawah, Kak. Jadi penting sekali untuk fokus ditahun-tahun terakhir seperti Kakak” jelas William setelah menyodorkan segelas kopi pada seorang mahasiswa semester tujuh yang mulai sibuk menyusun skripsi.

                “He’em, kau benar Will. Tapi mereka sudah menegurku karena kemarin tidak mendampingi Gressy”

                “Tapi aku menjaga Gressy dengan baik. Apa masalahnya?”

                “Tidak ada masalah sebenarnya”

                William memiringkan kepala, kemudian mencondongkan sedikit tubuhnya hingga membuat pendamping Gress yang bernama Nita itu terdiam. “Kalau begitu, hari ini dan besok aku bisa menjadi pendamping Gressy lagi kan?”

                “Ah, itu...”

                “Yaaa, jika ingin lulus tahun depan” sahut William menarik diri.

                “Baiklah-baiklah. Kau bisa menggantikanku lagi. Tapi kirimi aku setiap kegiatan yang dilakukan Gressy. Aku perlu laporannya untuk disetorkan ke atas”

                Senyum William mengembang, matanya intens menatap sang lawan bicara. Sorotnya seperti menunggu sesuatu dan saat itu pula tangan perempuan berjilbab itu diulurkan. “Deal?”

                “Deal”

                Dan lagi, sebuah seringai dengan kepala yang digerakkan puas luput dari pandangan Nita begitu dirinya berbalik dan beranjak cepat.

***

                Kelas baru saja di mulai tapi Gressy sudah sedikit kesusahan karena tak juga menemukan recordernya. Hari ini, Kak Nita, pendampingnya tidak bisa hadir jadi ia harus melakukan kebutuhannya sendiri. Vina sepertinya telat, sedangkan Gress terlalau malu untuk meminta bantuan ke teman lain. Ia hanya tidak bisa melihat, bukan tidak bisa melakukan semua hal, apalagi hal sepele seperti ini.

                “Pakai ponselku saja” kejut sebuah suara yang diucapkan dengan nada berbisik tepat di telinga Gress.

                “Kak William?” tebak Gress setelah hidungnya mencium aroma coklat khas William. “Kenapa kesini?”

                “Untuk mendampingimu”

                “Ah, terima kasih”

                “Bayar aku dengan makan bersama” William melirik Gress. “Selesai kelas, bagaimana?”

                Begitu Gress mengangguk, William lantas membenarkan posisi duduknya. Ia menegakkan punggung dan dengan semanagt empat lima menjelaskan apapun pada Gress tentang materi yang ada dilayar monitor. Tindakannya itu tentu mengundang atensi mahasiswa lain dan juga sang dosen. Mereka semua berbondong-bondong memuju kebaikan hati William. Maka tanpa bisa dikendalikan, dada William membusung. Posisinya yang duduk paling belakang membuatnya dengan mudah menunjukkan seringai lebarnya, tanpa sungkan.

                Untungnya, William tidak perlu terlalu lama merasakan neraka dalam kelas itu ketika dosen pengisi mengakhiri kelas lebih awal. Pandangan tajam dibalik topinya mengedar, mencari kesempatan untuk melancarkan aksi selanjutnya. Seisi kelas belum sepenuhnya keluar, maka ia lepas topinya dan membantu Gress untuk berdiri.

                “Ayo makan bersama, Gress” ajakan itu diucapkan cukup keras hingga membuat semua orang dalam kelas itu menoleh. Mereka bersorak, menunjukkan dukungannya dibalik ketidak sukaan. William tahu benar itu, tapi itu bukan masalah. Tentu saja, selama ia menjadi pusatnya. Si topik hangat.

                Gress mengangguk saja. Ia merasa berterima kasih karena sudah dua hari ini William rela menggantikan pendampingnya yang sedang sibuk dengan sukarela. Hanya makan bersama, tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Lagipula, selain seorang William yang tiba-tiba mendekati gadis buta sepertinya, tak ada yang aneh dengan anak itu. Ya, meskipun ia harus rela ikut menjadi pusat perhatian setiap kali bersama dengan William. Sesuatu yang tidak ia suka.

***

                Kantin fakultas berada di bagian paling belakang gedung bahasa, bersebelahan langsung dengan lapangan basket. Satu-satunya akses jalan ke kantin adalah harus melewati area lapangan, sesuatu yang sial bagi William karena kini fokusnya teralih. Tangannya yang menuntun Gress tak sesuai dengan matanya yang kini berkeliling memandang sekitar. Semua mata yang ia lihat sama sekali tak ada yang tertuju padanya, bahkan meskipun ia bersama Gress.

                “Penggemar Kak Beni memang tidak bisa diragukan. Aku bisa merasakannya hanya dengan mendengar teriakan semangat mereka” ujar Gress.

                William diam, bidiknya bergulir pada tengah lapangan dimana Beni, teman seangkatan sekaligus sahabatnya, sedang berlari ke sana- kemari mengejar dan mendribel bola. Jangankan berhasil memasukkan bola ke ring, bahkan saat ia berhasil mendapat bola saja suara teriakan menggila sudah menggema. Setiap teriakan itu mengusik William. Matanya memerah, otot-otot lehernya mengencang dengan kepala yang bergerak menahan amarah. Tangan kirinya mengepal kuat. Saat Beni menyapanya dengan melambaikan tangan, William hanya membalas dengan senyum simpul dan segera mengalihkan pandang.

                “Mendengar teriakannya, rasanya aku juga ingin menjadi pemain basket”

                Gress memukul tangan William yang menggenggamnya, “Eiiii, Kakak sudah populer. Kalau Kakak menjadi pemain basket, mungkin semua orang akan gila”

                “Itu bagus” tawa William sengaja dibuat-buat. Matanya jatuh pada tangah Gress yang ia genggam, amarah mulai menguasainya. Tapi ia tidak ingin semua rencananya rusak, jadi ia ambil nafas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Kemudian dengan disengaja ia keluarkan senyum termanis andalannya dan melemparnya pada Gress. Menunjukkan sisi tulus buatannya begitu ia iangat Gress memiliki peka yang tinggi.

***

                “Gress, maaf aku hanya mengajakmu ke kantin dan bukannya ke restoran yang bagus” ujar William sesudah mereka menghabiskan mie ayam andalan fakultas mereka. Gress menggeleng, baginya ini sudah lebih dari cukup daripada ia harus makan sendirian.

                “Bagaimana makanannya?” tanya William.

                “Enak. Aku suka”

                “Tapi aku tidak menyukainya” sahutan itu membuat alis Gress bertaut. William tersenyum, ia melanjutkan. “Karena aku lebih menyukaimu daripada semua jenis makanan di sini”

                Gress hanya menanggapi dengan senyum. Sebelum senyumnya memudar, William menyentaknya dengan secara tiba-tiba meraih tangan Gress di atas meja dan menariknya dengan lembut. “Aku menyukaimu, Gress. Maukah kau menjadi pacarku?”

                Kelu sudah lidah Gress. Otaknya dengan lamban memproses apa yang baru saja ia dengar. Tak tahu jawaban seperti apa yang harus ia luncurkan lewat mulutnya. Semua terasa terlalu cepat. William adalah orang asing yang beberapa minggu ini hadir dalam harinya. Seorang sempurna yang datang dalam hidup abu-abu Gress. Dengan banyak perangai yang dilakukan, tiba-tiba menyatakan perasannya. Gress masih belum mengerti, tapi semua itu terjadi tepat di depannya.

                Sentakan kembali Gress rasakan. Tangan yang jauh lebih besar dari tangannya itu mulai merenggang dan hendak lepas. Entah bagaimana jadinya, Gress merasa gugup. Lantas ia tarik kembali tangan yang hendak mengendur itu dan menggenggamnya erat.

                “A...aku... aku mau”

                “Bernarkah? Terima kasih”

                Genggaman itu kini saling mengikat satu sama lain. Berada dalam dekap telapak yang jauh lebih besar ternyata sangat nyaman. Dalam siluet matanya, Gress mencoba fokus pada satu titik, William yang ada di depannya. Meskipun hanya siluet samar dengan banyak garis yang bercampur aduk, tapi Gress bisa melihat mata William yang panjang sedang tersenyum. Dalam situasi seperti inilah, Gress paling ingin bisa melihat. Ia ingin melihat bagaimana rupa senyum yang sebenarnya.

                “Aku ke toilet sebentar yaaa” izin William sambil melepas genggamannya.

                Tanpa siapapun mengetahuinya, di toilet, tepatnya di wastafel, William dengan gerakan cepat membasuh tangannya bekas menggenggam tangan Gress sebelum membilasnya dengan bersih. Kemudian ia mematut diri di cermin, menatap tajam dengan dagu yang naik dan mata turun. Tak ada lagi senyum di matanya. Tatapan tajam dengan senyum puas justru yang terpantul dari dirinya.

                “Tinggal satu langkah lagi”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • AlifAliss

    Nice. Cuma mungkin ada beberapa kata yang aslinya bukan typo, tapi salah eja. Misalnya : mencegat bukan menyegat dan perangai bukan peringai. Ganbatte!!

    Comment on chapter BAB 1
Similar Tags
Special
76      56     0     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Tuan Landak dan Nona Kura-Kura
114      70     0     
Romance
Frans Putra Mandala, terancam menjadi single seumur hidupnya! Menjadi pria tampan dan mapan tidak menjamin kisah percintaan yang sukses! Frans contohnya, pria itu harus rela ditinggal kabur oleh pengantinnya di hari pernikahannya! Lalu, tiba-tiba muncul seorang bocah polos yang mengatakan bahwa Frans terkena kutukan! Bagaimana Frans yang tidak percaya hal mistis akan mematahkan kutukan it...
Dinding Kardus
316      166     0     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Gloomy
8      8     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Salendrina
45      35     0     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...
Loker Cantik
14      14     0     
Short Story
Ungkapkan segera isi hatimu, jangan membuat seseorang yang dianggap spesial dihantui dengan rasa penasaran
Lost in Drama
64      45     0     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
MY MERMAN.
12      12     0     
Short Story
Apakah yang akan terjadi jika seorang manusia dan seorang duyung saling jatuh cinta?
TEKA-TEKI SILANG
7      7     0     
Short Story
Teka-teki silang atau TTS merupakan sebuah teka-teki dengan kotak-kotak vertikal dan horizontal, dimana orang dapat menerka-nerka jawabannya.
Forbidden Love
250      156     0     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...