Read More >>"> Drapetomania (Chapter 4 | The Beginning) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Drapetomania
MENU
About Us  

C:\Users\WIN 10\Documents\Love the words\Stories\1. Drapetomania\Screenshot (1722).png

“Tidak kusangka!”

Theo menyeringai puas melihat respon Sara. Ia menyentuh dagunya yang kini sudah dicukur rapi. “Ayahku orang inggris. Itulah mengapa wajahku tidak seperti orang Rusia lainnya, terlihat seperti itu?”  

Sara mengangguk. Theo mengintip layar ponsel Sara. Rentetan pesan dari nomor yang tercantum nama office sucks dihiraukannya. Lalu mereka melangkah menjauh dari market dengan gelato ditangan mereka masing-masing. “Oh wow, makanan ini luar biasa enak.” Theo melahap hingga habis dan Sara menggeleng dan kasih tisu kepadanya. 

“Stai mangiando come un bambino,” ucap Sara dengan bahasanya. Theo tidak mengerti apa yang ia katakan, tapi ia sepertinya tahu apa yang diucap Sara barusan. “Ayolah Sara, rasanya kurang kalau belum makan eskrim khas ini.”

Sara menggeleng harap maklum. Ia kasih eskrimnya ke Theo. 

Theo mana mungkin menolak.

Dua porsi telah lenyap, Sara hanya diam saja melihatnya. “Ada apa, Sara? Apa ada yang ingin kau tanyakan?” Sara bilang sesuatu namun terhenti. Ada yang ingin utarakan namun ia ragu. “Ah, tidak. Maksudku bagaimana selanjutnya? Apa kau tidak menghubunginya, atau harus Darius? Kau tidak menjelaskan rencanamu.”

Sepanjang jalan ia juga menceritakan Darius, dan sebagian rencana ‘sederhana’ juga melibatkan si dokter. Janji harus ditepati, pikirnya. “Sebenarnya simpel. Kita ke stasiun menuju Milan. Tidak harus kereta yang sama asalkan hari ini kita bersama sampai disana. Sebentar lagi aku memberinya kode. Tenang saja.”

“Lalu bagaimana dia? Apa dia bisa keluar tanpa dicurigai? Pasti aman-aman saja ‘kan?”

...................

Kursi bahan kayu tiba-tiba ditendang dan serpihan kayu tersebut melukai Darius. Ia tidak bisa berkutik sekarang. Melawan dalam kondisi tangan terikat akan percuma. Di depannya kini lima pria, badan seperti dewa petir, menatapnya penuh amarah dan bengis.

“Masih ingin mengelak lagi, Dokter?” salah satu pria berucap.

Tak ada yang bisa ia lakukan dalam kondisi tangan terikat, kakinya nyaris menyentuh lantai. Kondisinya kacau sekali. Pelipisnya tidak henti-hentinya berdarah, mata kirinya lebam, sisi mulutnya pun juga robek karena, tentunya, dihajar habis-habisan oleh mereka berlima. Namun ia masih bisa tertawa.

Satu tinju diterima Darius. “Tidak ada yang lucu, aku tidak suka tertawamu.”

Mata sengitnya ia lemparkan ke orang yang memukulnya. “Memang ada, kau berpikir aku menyembunyikan Theo–ugh. . .” rasa mual bergejolak dalam perutnya, “kalian benar-benar berpikir aku temannya, ya? Seriuslah, mate. Aku memang sering bertemu karena harus menguru lukanya. Itu tugasku di sini dasar bodoh.”

Satu kesepakatan antara dirinya dengan Theo, tidak membuat publik berpikir mereka berteman satu sama lain. 

“Kau boleh memukulku sampai mati, tapi kau akan kehilangan dokter terbaik yang kau punya. Jadi. . .,” tangan yang tergantung di langit-langit ruangan, sedikit lagi tali itu terlepas. “Silahkan pukul aku lagi.” Pria tidak punya rambut itu terpancing emosi, ia maju tanpa ragu sekalipun. “Kau tahu aku selalu ingin memukul wajah sokmu itu, jangan salahkan aku kau akan mati.”

Pria tersebut rupanya salah. Setelah tali itu lepas, pisau yang Darius pegang sedari tadi sudah menancap di bahunya, darah keluar dan terciprat hingga ke rahang Darius. “Harusnya kau melihat ini datang, bung.” 

Suara gebrakan pintu mengejutkan mereka semua. Seorang pria memakai mantel berwarna hitam yang panjangnya sampai lutut, “lain waktu aku akan masukkan kau ke dalam arena, Darius, itu akan menjadi menarik.” 

“Gideon.” Terselip ekspresi tegang dari wajah Darius. “Aku tak mengira kau kembali lebih cepat.”

Ia yang disebut Gideon berjongkok di samping korban. “Ugh my ankle.” Lalu ia mengambil pulpen dari mantelnya, lalu menyentuh kepala korban dengan itu. “Dia belum mati, Darius?” 

“Dia hanya pingsan, kehilangan sedikit darah,” kata Darius sambil mengelap wajahnya. “Kakimu kumat lagi, Gideon?” Tahu-tahu pria tua itu sudah berdiri di belakangnya, meninggalkan kesan dingin di tengkuk Darius.

“Kau tahulah dokter, aku sudah tua. Wajar saja kaki protes minta istirahat sejenak. Dan lagi kesibukanku di Roma, terlalu banyak tikus yang harus kusingkirkan, prajuritku kebanyakan tidak bisa berkelahi rupanya, akupun harus ikut turun ke arena.” Lalu Gideon dengan isyarat tangan menyuruh orang bawa si botak keluar. 

Masih berpikir dia adalah Caesar rupanya, pikir Darius.

“Sepertinya aku harus merekrut orang baru,” Gideon melirik dirinya. Darius menunjuk dirinya sendiri. “Oh maksudmu aku?” 

Darius melangkah ke peralatan kotak medisnya, perlahan meraih telepon rahasianya dan mengecek isi pesan berusaha tanpa Gideon tahu. “Aku lebih tertarik menjahit luka daripada membuat luka baru.”

“Tapi dengan keahlianmu, terlalu sayang tidak dipakai,” balas Gideon, ia tersenyum jenaka padanya. “Aku bisa memaksamu kalau perlu.”

Darius melirik dengan ekspresi–jangan–bercanda. “Aku tahu apa maumu, Gideon. Jangan lupa dengan kondisi sekarang, Theo menghilang, dimana aku tidak peduli, dan kau mau aku menggantikan posisi Theo? Hell no, wajah tampanku terlalu sayang untuk di pukul.”

Pulpen yang ia pegang dilemparnya, seolah itu anak panah kearah bahu Darius. Likuid merah itu kembali bercucuran. Tentu saja sang dokter kesakitan. “Kita sudah kenal sejak lama, Darius. Apa salahnya aku meminta lebih padamu?”

“Ya tuhan, Gideon, jangan memohon padaku. Jijik.”

Gideon terbahak “Aku suka humormu.” Kemudian pria tua itu menepuk bahu Darius, dimana letak sakitnya akibat digantung terlalu lama, dan mencabut pulpen berdarah tanpa ampun. “Namun kau juga tahu aku tidak menyukai penolakan.”

Darius merintih kesakitan lagi, kini ia mengerti kenapa Theo selalu cengeng  setelah bertarung.

Sebelum Gideon keluar dari ruangan itu ia berkata, “Ikuti asistenku, bantu ia melacak Theo. Lalu tarik dia kembali kesini sebelum aku melakukan sesuatu yang, kau tahulah aku.”

“Just go away.”

“Jangan sampai kau tidak membawanya pulang, Darius.” Dengan posisi tangan Gideon di dalam saku celananya, Darius sudah keringat dingin. Ia tahu di tangan Gideonnya ada pisau kecil yang siap menyerangnya jika ia menolak. Ia tidak punya pilihan selain mengangguk. 

Gideon tersenyum puas. Kemudian ia menelepon asistennya selagi keluar. “Belum bisa terlacak? Ayolah aku tidak punya waktu banyak. . .” Suara Gideon masih menggema sepanjang lorong. Darius sendirian di ruangannya, berjalan ke lemari meraih obat antiseptik. 

“Sialan kau Gideon.” pulpen yang ia tancapkan tadi sebelumnya terkena darah korbannya. “Dia tidak punya otak apa gimana sih?” lalu serentetan sumpah serapah bahasa daerahnya, Perancis, keluar dari mulut dengan indahnya.

Tangannya secara otomatis meraih sesuatu dimantel putihnya. Selembar foto drinya bersama gadis kecil dipangkuannya. Darius tersenyum melihat foto itu, tidak peduli luka robek dimulutnya terbuka lagi. 

Semuanya merasa kembali ke awal. Ingatan akan kehidupan sebelumnya yang semanis gula masih segar di kepalanya. Saat dulu ia tidak keberatan waktunya diinterupsi gadis kecilnya. Namun apa yang bisa ia lakukan? Seperti kata orang, takdir berkata lain. Tidak ada yang mampu melawan arus takdir. Dengan segala kesalahan di masa kelam, ia merasa malu akan perbuatan bodohnya. Ia saat ini merasa hidupnya asam seperti lemon. 

Darius tertawa sendiri. “Bukan kau saja yang pernah melakukan hal bodoh, Theo.”

....................

“Well, ini aneh.”

Sara melirik ke Theo, “Ada apa?” Raut wajahnya tidak lagi cemberut. Seharian mereka hanya berjalan di daerah yang sama dan untungnya sekali lagi tidak ada yang mengenali Theo. “Darius lupa apa gimana, dia tidak membalas pesanku satu hari ini dan–” 

Ucapannya berhenti membuat Sara penasaran. Theo merendahkan dirinya, bersembunyi di belakang Sara, wanita itu tentu risih dan coba menghindar, Namun Theo menarik lengan jaket Sara yang ia ikatkan ke pinggang. “Ada masalah, Theo?”

Waktu cepat berlalu menjadi malam, waktu yang tepat untuk orang-orang yang berniat jahat keluar dari tempat persembunyiannya. Sara yang tidak bisa mencerna kondisi dengan cepat, bingung lebih tepatnya. “Bisa dijelaskan apa yang terjadi?” 

Kumpulan pria persis apa yang ia lihat semalam, penampilan mereka membuat orang-orang menjauh. Sedetik kemudian wanita itu menyadari apa yang terjadi sebenarnya. “Ya ampun!”

Wajah Theo terlihat tidak senang. “Kita harus pergi sekarang.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
UnMate
14      8     0     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
Cowok Cantik
147      33     0     
Romance
Apa yang akan kau lakukan jika kau: seorang laki-laki, dianugerahi wajah yang sangat cantik dan memiliki seorang ibu dari kalangan fujoshi? Apa kau akan pasrah saja ketika ditanya pacarmu laki-laki atau perempuan? Kuingatkan, jangan meniruku! Ini adalah kisahku dua tahun lalu. Ketika seorang laki-laki mengaku cinta padaku, dan menyebarkannya ke siswa lain dengan memuat surat cintanya di Mading...
Chahaya dan Surya [BOOK 2 OF MUTIARA TRILOGY]
233      87     0     
Science Fiction
Mutiara, or more commonly known as Ara, found herself on a ship leading to a place called the Neo Renegades' headquarter. She and the prince of the New Kingdom of Indonesia, Prince Surya, have been kidnapped by the group called Neo Renegades. When she woke up, she found that Guntur, her childhood bestfriend, was in fact, one of the Neo Renegades.
Cazador The First Mission
51      21     0     
Action
Seorang Pria yang menjadi tokoh penting pemicu Perang Seratus Tahun. Abad ke-12, awal dari Malapetaka yang menyelimuti belahan dunia utara. Sebuah perang yang akan tercatat dalam sejarah sebagai perang paling brutal.
ketika hati menentukan pilihan
4      4     0     
Romance
Adinda wanita tomboy,sombong, angkuh cuek dia menerima cinta seorang lelaki yang bernama dion ahmad.entah mengapa dinda menerima cinta dion ,satu tahun yang lalu saat dia putus dari aldo tidak pernah serius lagi menjalani cintanya bertemu lelaki yang bernama dion ahmad bisa mengubah segalanya. Setelah beberapa bulan menjalani hubungan bersama dion tantangan dalam hubungan mereka pun terjadi mula...
Unknown
4      4     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
F I R D A U S
12      6     0     
Fantasy
Breakeven
77      54     0     
Romance
Poin 6 Pihak kedua dilarang memiliki perasaan lebih pada pihak pertama, atau dalam bahasa jelasnya menyukai bahkan mencintai pihak pertama. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian ini selesai dan semua perjanjian tidak lagi berlaku. "Cih! Lo kira gue mau jatuh cinta sama cowok kayak lo?" "Who knows?" jawab Galaksi, mengedikkan bahunya. "Gimana kalo malah lo duluan ...
The Secret Of Donuts
7      5     0     
Fantasy
Masa lalu tidak dapat dibuang begitu saja. Walau, beberapa di antara kita berkata waktu akan menghapusnya, tapi yakinkah semuanya benar-benar terhapus? Begitu juga dengan cinta Lan-lan akan kue donat kesukaannya. Ketika Peter membawakan satu kue donat, Lan-lan tidak mampu lagi menahan larangan gila untuk tidak pernah mencicipi donat selamanya. Dengan penuh kerinduan, Lan-lan melahap lembut kue t...
Rela dan Rindu
91      36     0     
Romance
Saat kau berada di persimpangan dan dipaksa memilih antara merelakan atau tetap merindukan.